You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak di temukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal ( 18%), laring (16%) dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. Berdasarkan data laboratorium patologik anatomik tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.(1,2,3) Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.(1) Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. (1,2) Oleh kerena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.(1,2) Karsinoma nasofaring disebut juga sebagai tumor kanton ( canton tumor ). Menurut estimasi WHO, sekitar 80% dari karsinoma nasofaroing didunia terjadi di China. Radioterapi dikombinasi dengan kemoterapi dapat meningkatkan efektivitas terapi kanker nasofaring .(1,2) Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, Hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering

terlambat. Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi.(7)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi 2.1.1 Nasofaring Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung, diatas tepi bebas palatum molle dengan diameter anterior-posterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung dan telinga tengah melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah (Neel dan Witte, 1998). 2.1.2 Batas-batas nasofaring Dinding depan (anterior), dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Diameter vertikal rata-rata sebesar 2,5 cm sedangkan diameter transversal 1,2 cm. Dinding atas (superior) dan belakang (posterior) sedikit menonjol, dinding atas dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput, dinding belakang dibentuk oleh fasia faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama (tulang atlas) dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas dinding posterior dan atap nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat meluas sampai ke muara tuba eustachius. Pada bagian tengah kelenjar ini yang tepatnya di bagian atas muskulus konstriktor superior terdapat lekukan berbentuk kantong kecil yang disebut bursa faring. Kantong ini sering membentuk kista dan meradang dan dikenal dengan bursitis dari Thornwaldt. Pada usia 2 tahun adenoid sering mengalami hipertrofi dan hiperplasia, pertumbuhan ini menjadi lebih cepat pada usia 3-5 tahun dan sering menyebabkan sumbatan pernafasan melalui hidung dan tuba eustachius. Setelah usia 5 tahun

besarnya relatif menetap dan akan mengalami involusi setelah masa pubertas, akan tetapi jaringan limfoid masih tetap ada. Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang disebut dengan istmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior yang dimulai dari basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis, dan kanalis hypoglosus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial (Gustafson dan Neel, 1989). 2.1.3 Jaringan Lunak yang Membentuk Rongga Nasofaring a. Selaput Lendir (mukosa) Nasofaring Selaput lendir yang meliputi rongga nasofaring permukaannya tidak rata tetapi mempunyai lekukan dan tonjolan. Pada orang dewasa luasnya kurang lebih 50 sentimeter persegi. Selaput lendir ini terdiri dari lapisan epitel, jaringan limfoid dan kelenjar saliva. Aliran limfe dari nasofaring bersifat bilateral dan langsung ke bagian lateral kelenjar limfe retrofaringeal dari Rouviere, kelenjar limfe jugulodigastrik, dan rantai kelenjar limfe spinalis. Jaringan epitel mukosa nasofaring bentuknya sangat bervariasi dan terdiri dari epitel skuamosa bertingkat, pseudoepitel bertingkat bersilia dan epitel tak beraturan. Selama masa kehidupan janin terdapat perubahan secara bertahap dari epitel saluran nafas bersilia sampai epitel skuamosa di bagian bawah dan belakang nasofaring.

Kira-kira 60% dari seluruh epitel nasofaring merupakan epitel skuamosa bertingkat. Di sekitar koana dan atap nasofaring diliputi oleh epitel bersilia. Dinding lateral dan sebagian atap nasofaring terdiri dari kumpulan epitel skuamosa dan epitel bersilia bercampur dengan pulau-pulau kecil epitel, transisional. Dinding belakang sebagian besar terdiri dari epitel skuamosa. Berbeda dengan selaput lendir saluran nafas lainnya, selaput lendir nasofaring mengandung banyak sekali jaringan limfoid yang terletak didalam dan dibawah epitel yang merupakan kumpulan sel limfosit tipe B dan sedikit tipe T yang membentuk folikel-folikel dan pusat germinal tanpa kapsul. Struktur limfoid ini banyak terdapat di dinding lateral terutama di sekitar muara tuba Eustachius, dinding posterior dan bagian nasofaring di paltum molle. Struktur limfoid ini merupakan lengkung bagian atas dari cincin Waldeyer (Gustafson dan Neel,1989; Chew, 1997). b. Jaringan Submukosa Nasofaring Dinding posterior dibentuk oleh 4 lapisan yaitu (1) mukosa faring, (2) aponeurosis faring, (3) otot konstriktor faringeus superior, (4) fasia bukofaringeal. Otot dinding nasofaring tidaklah lengkap, pada bagian atas dinding lateral hanya terdir atas 2 lapisan yaitu, mukosa dan aponeurosis faring. Daerah dengan struktur otot 2 lapis ini disebut sinus morgagni (Aeckerman dan Del Regato, 1970). 2.1.4 Pendarahan dan Persarafan Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Pleksus vena terletak dibawah selaput lendir nasofaring dan berhubungan dengan pleksus pterigoid diatas dan vena jugularis interna dibawah. Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal diatas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf

glossofaringeus hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1) (Ackerman dan Del Regato, 1970). 2.1.5 Sistem Limfatik Nasofaring Sistem limfatik dari atap dan dinding posterior nasofaring berjalan ke arah anteroposterior dan bergabung pada garis tengah. Setelah melalui fasia faringeal, aliran limfe dari sisi kanan dan kiri akan menuju ke kelenjar limfe retrofaringeal. Beberapa aliran limfe dari masing-masing sisi akan menuju ke kelenjar yang terletak paling proksimal dari rantai kelenjar spinal dan jugularis interna. Pada dinding lateral, terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya juga berjalan ke arah anteroposterior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, dimana rantai kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoid pada tiap prosesus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf kranial terakhir, yaitu saraf IX,X,XI,XII (Cottril, 2003). 2.2 Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring (Gustafson dan Neel, 1989). Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher (Gustafson dan Neel, 1989). KNF pertama kali dilaporkan secara terpisah oleh Regaud dan Schminke pada tahun 1921 (Brennan, 2006). 2.2.1 Hubungan struktur anatomi dengan jalan penyebaran tumor Tumor ganas mempunyai kemampuan menginvasi dan merusak sistem barier yang ada. Tumor yang tumbuh di garis tengah nasofaring dapat menyebar

ke salah satu sisi atau sering bilateral. Jalan yang paling sering dilalui oleh penyebaran tumor yaitu. a. Lumen/ Ruang Nasofaring Jalan ini sering terjadi pada tumor yang sangat besar dan akan masuk dalam orofaring atau kavum nasi. Kadangkadang dapat masuk ke sinus maksila atau orbita, tetapi sangat jarang masuk ke tuba Eustachius. b. Ruang Retrofaring Walaupun sering melalui jalan anatomis (retroparotidian), kadang-kadang tumor dapat langsung masuk ke ruang retrofaring dengan mengadakan kompresi atau infiltrasi ke ruang retrostiloid atau merusak bagian lateral vertebra servikais pertama (vertebra atlas). c. Ruang Parafaring Ruang kecil prestiloid, tumor yang tumbuh di dinding lateral atau di daerah fossa Rosenmuller dapat menjalar ke ruang kecil ini yang terletak di atasnya dan akan mengenai serabut motorik dan sensorik saraf trigeminus (V). Tumor dapat menginvasi otot pterigoid dan menyebabkan trismus atau menginfiltrasi otot levator sehingga menyebabkan asimetri palatum mole. Tumor juga dapat mengenai palatum durum, kelenjar parotis fisura pterigomaksila dan ke fossa infratemporal. Pada tumor yang sangat besar dapat menginvasi sinus maksila dan frontalis. Ruang kecil retrostiloid, ruang kecil ini berisi selubung karotis dan isinya, kelenjar limfe servikal dalam atas, saraf-saraf kranial terakhir (saraf IX,X,XI,XII) dan cabang saraf simpatis servikalis. Ruang ini disebut juga ruang retroparotidian yang selain dapat terinvasi melalui jalan anatomis (melalui aliran limfe/ retroparotidian) dapat juga akibat lanjutan invasi langsung yang lebih dalam ruang parafaring. Dari ruang ini pula tumor dapat menyebabkan erosi dasar tengkorak. d. Intrakranial Perluasan tumor ke intrakranial biasanya melalui foramen laserum dan ovale atau melalui sinus kavernosus dan ganglion gaseri dan mengenai saraf kranial otot bola mata, yaitu saraf III,IV,VI (penyebarab secara petrosfenoid) tetapi dapat juga melalui erosi dasar kanalis karotis

dan melalui arteri karotis interna masuk ke dalam sinus kavernosus, juga dapat akibat tumor mendestruksi sinus sfenoid. e. Tumor menyebar langsung ke sinus etmoid, selanjutnya mengenai sinus frontalis, maksila, dan rongga orbita. f. Metastasis jauh Metastasis jauh dapat melalui aliran darah atau sistem limfatik dan mengenai hati, tulang, dan paru (Gustafson dan Neel, 1989). 2.2.2 Patologi Karsinoma Nasofaring a. Maskroskopis Secara makroskopis pertumbuhan tumor dapat dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu, 1. Bentuk Ulseratif Bentuk ini paling sering dijumpai pada dinding posterior atau di daerah fossa Rosenmuller. Kadang-kadang terdapat di dinding lateral di depan tuba Eustachius dan di atap nasofaring. Lesi ini biasanya kecil disertai jaringan nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Penjalaran ke intrakranial sangat mudah terjadi melalui daerah lemah foramen laserum dan ovale. Penjalaran secara petrosfenoid ini akan mengenai ganglion Gaseri dan sinus kavernosus beserta saraf-saraf kranial di sekitarnya. Tumor cepat membesar, meluas dan merusak foramen-foramen di basis kranii dan masuk kedalam fossa kranii media. 2. Bentuk noduler/ lobuler Bentuk ini paling sering timbul didaerah tuba Eustachius, sehingga cepat menyebabkan sumbatan tuba. Tumor ini biasanya berbentuk seperti anggur atau polipoid tanpa ada ulserasi kecil dibandingkan dengan besarnya tumor yang terlihat. Tumor ini mula-mula mengadakan infiltrasi di sekitar tuba Eustachius dan meluas masuk ke dalam ruang maksilofaring dan mengadakan kompresi cabang mandibular saraf trigeminus (V2), tumor dapat menjalar ke bawah mendesak palatum mole dan mudah menyebar ke daerah petrosfenoid di basis kranii. Walaupun saraf-saraf kranial berada di sekitar tumor dan pertumbuhan tumor sangat cepat, tetapi kompresi saraf-saraf kranial baru timbul setelah terjadi erosi basis kranii dan masuk ke dalam fossa serebri media. Pada stadium lanjut

tumor dapat mengadakan invasi ke dalam rongga orbita melalui fissura orbita inferior dan melalui sinus etmoid masuk ke sinus maksila. 3. Bentuk eksofitik Bentuk ini biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak terdapat ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan permukaannya licin. Tumor ini tumbuh dari atap dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor dapat mendorong palatum mole ke bawah, tumbuh ke arah koana dan masuk ke kavum nasi. Tumor bentuk ini cepat mencapai sinus maksila dan rongga orbita sehingga menyebabkan eksophtalmus unilateral atau menonjol ke luar nares anterior. Di daerah tuba Eustachius tumor lebih cenderung, tumbuh secara submukosa ke arah basis kranii (Ackerman dan Del Regato, 1970). b. Mikroskopis (Histopatologi) Menurut WHO (1979) KNF diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu: 1. Tipe I. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi Tampilannya mirip dengan karsinoma sel skuamosa pada traktus aerodigestif. Ditandai dengan adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau sebagian sel mengalami keratinisasi (diskeratosis), adanya stratifikasi dari sel terutama pada sel yang terletak di permukaan atau suatu rongga kistik, dan adanya jembatan intersel (intercellular bridges). Sebanyak 25% KNF merupakan karsinoma tipe I di Amerika Serikat, namun hanya 1-2% di populasi endemik (Neel dan Witte, 1989; Lin et al, 2003). 2. Tipe 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi Menunjukkan sekuensi maturasi yang karakteristik untuk epitel skuamosa, namun secara mikroskopis tidak terdapat pembentukan keratin. Ditandai dengan masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun teratur/ berjajar, dan sering terlihat bentuk pleksiform yang mungkin terlihat sebagai sel tumor yang jernih/ terang yang disebabkan adanya glikogen dalam sitoplasma sel, serta tidak terdapat musin atau defferensiasi dari kelenjar (Lin et al, 2003). 3. Tipe 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi

Sesuai pada reklasifikasi WHO (1991). Ditandai dengan susunan sel tumor yang berbentuk sinsitial, batas sel yang satu dan lainnya sulit dibedakan, sel tumor berbentuk spindel dan beberapa sel mempunyai nukleolus (inti) yang hiperkromatik dan sel ini sering bersifat dominan, sel tumor tidak memproduksi musin. KNF WHO tipe 3 ditemukan sebanyak 95% pada semua kasus di daerah endemik, namun dipopulasi risiko rendah seperti pada populasi kulit putih Amerika Utara hanya ditemukan sebanyak 60% (Neel dan Witte, 1998; Lin et al, 2003; Zimmermann et al,2006). Kebanyakan kasus KNF pada anak-anak dan remaja adalah KNF WHO tipe 3, hanya beberapa yang tipe 2. pada KNF WHO tipe 2 dan 3 ditemui titer VEB yang tinggi, tetapi tipe 1 tidak mempunyai hubungan dengan titer VEB. Pada KNF tipe 2 dan 3 dapat disertai dengan infiltrasi sel-sel radang seperti limfosit, sel plasma dan eosinofil yang sangat banyak sehingga muncul terminologi limfoepitelioma (Brennan, 2006). 2.2.3 Epidemiologi KNF merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang paling banyak ditemukan di Indonesia dan menduduki urutan pertama dari seluruh keganasan pada pria dan urutan ke-4 dari seluruh keganasan pada wanita setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, dan kulit, dapat terjadi pada semua golongan usia, insiden meningkat pada dekade II akhir dan mencapai puncaknya pada usia 40-50 tahun (Hulu et al, 1999; Fachiroh et al, 2004). Perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1 sampai 4:1 (Hadi dan Kusuma, 1999). Prevalensi KNF di Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk pertahun (Fachiroh et al, 2004). Di RSUP H. Adam Malik Medan selama tahun 1998-2002 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 penderita baru onkologi kepala dan leher (Lutan,2003). Dari data rekam medik jumlah penderita KNF yang datang berobat dari tahun 2002- Agustus 2007 ditemukan 924 orang laki-laki berjumlah 630 orang dan perempuan 294 orang, dengan rentang usia 15-82 tahun. Pada populasi kulit putih Amerika Utara, Eropa, dan Jepang, KNF relatif jarang, dengan insiden 1 tiap 100.000 penduduk. Insiden ini meningkat pada

keturunan Afrika, Afrika Utara, Indian, dan Polynesia menjadi 2-4 per 100.000. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina Selatan sebesar 30 per 100.000 orang. Insiden tertinggi ditemukan pada Guangdong dan kota-kota besar sekitarnya, termasuk Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Keturunan generasi pertama emigrasi dari Cina Selatan ke daerah dengan insidensi rendah mengalami penurunan insiden KNF menjadi 15 per 100.000. Sumatera Utara merupakan ras Mongoloid (Marzuki, 2001). Dari data ini menunjukkan kombinasi faktor genetik dan lingkungan berperan terhadap meningkatnya kemungkinan terkena KNF (Neel dan Witte, 1998; Fachiroh et al,2004). KNF terutama mengenai orang dewasa dengan puncaknya pada usia 4060 tahun. Perbandingan antara pria dan wanita sekitar 3:1 (Thompson, 2005). 2.2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi a. Faktor Genetik Penyelidikan pertama tentang adanya kelainan genetik pada ras Cina yang dihubungkan dengan kejadian KNF adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA). Disimpulkan dalam penelitian itu bahwa adanya HLA A2 dan HLA Bsin2 pada alel yang sama merupakan faktor resiko terjadinya KNF. Lebih lanjut dilaporkan HLA Aw19, Bw46 dan B17 berhubungan dengan peningkatan kejadian KNF, sedangkan HLA A11 berhubungan dengan kejadian sebaliknya (Hu, 1996). Pada keluarga dengan KNF, haplotipe HLA yang sama ditemukan 21 kali lipat pada penderita dengan keluarga KNF (Zimmermann et al, 2006). Penelitian sitogenetika, genetika molekuler dan penggunaan teknik untuk menganalisis loss of heterozygosity (LOH) melaporkan adanya berbagai defek kromosom misalnya kromosom 1,3,9,11,12, dan 14 (Huang, 1998; Pathmanan, 1998). Kelainan kromosom yang paling sering dijumpai adalah kelainan kromosom 3p dengan 3 lokus utama, yaitu 50% pada lokus 3p25, 50% pada 3p14.1-14.3 dan 3p13 (Hu, 1996). Peneliti lain melaporkan kelainan kromosom 3p pada 67-100% kasus KNF. Pada lokasi tersebut kemudian dapai diidentifikasi adanya TSG FHIT.

Dilaporkan juga adanya defek pada 3p26, yang ternyata juga merupakan lokasi TSG lainyya. Dengan kekerapan yang lebih rendah dilaporkan juga adanya kelainan pada 11q dan 14q (54% dan 33%). Pada lokasi spesifik 11q13.3-22 dan 11q22-24 sekurang-kurangnya terdapat dua jenis TSGs. Selain itu dilaporkan juga adanya keterlibatan satu jenis ATM (ataxia telangiectasis malformation) yang berlokasi di 14q31 (Huang, 1998). Disamping adanya berbagai delesihomozigot dilaporkan juga adanya proses metilasi abnormal gen p15 dan 16 yang berlokasi di kromosom 9p21. Protein p16 merupakan protein inhibitor siklin/cdk kinase yang secara potensial berperan pada kontrol negatif masuknya sel ke fase S melalui induksi gen p53. Gangguan fungsi gen p16 akan berpengaruh pada fungsi gen p53, yaitu tidak diekspresikannya protein p53 bila ada kerusakan DNA. Akibatnya siklus sel tidak terhenti pada fase G1 sehingga replikasi DNA yang rusak akan berlangsung terus menerus. Selain itu gangguan fungsi gen ini akan mempertahankan keadaan protein rb tidak terfosforilasi, sehingga faktor transkripsi E2F tetap bebas dab akan menggiring sel terus menerus masuk ke fase S (Huang, 1998). b. Faktor Lingkungan 1. Infeksi Virus Epstein Barr (VEB) Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1964 dalam biakan sel limfoblas dari penderita limfoma Burkitt. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes (Herpesviridae) yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu,mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan KNF. Genom DNA VEB mengandung 172 kbp dan memiliki kandungan guaninplus-sitosin sebesar 59%. VEB dapat bereplikasi pada sel epitel orofaring dan kelenjar parotis, kemudian menyebar lewat ludah dan menular melalui berciuman. Melalui tempat replikasinya di orofaring, VEB dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada sel ini, menetap pada penderita yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit yang berarti (Notopuro et al, 2005). Ada dua jenis infeksi VEB yang terjadi, yaitu infeksi litik, dimana DNA dan protein virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel.

Jenis infeksi kedua adalah infeksi laten non litik, disini DNA virus dipertahankan di dalam sel terinfeksi sebagai episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut menjadi keganasan. Berbagai antigen yang disandi oleh virus dapat diidentifikasi dalam nukleus, sitoplasma dan membran sel terinfeksi. Antigen ini dapat menginduksi respon imun seperti EBNA ( Epstein-barr nuclear antigen) yang diekspresikan pada infeksi litik dini tapi juga dapat diekspresikan pada infeksi laten. Protein laten adalah LMP (laten membrane protein) dan VCA (viral capsid antigen). Infeksi VEB mempunyai dampak yang jelas pada sel B. Percobaan invitro membuktikan bahwa virus ini merupakan aktivator proliferasi poliklonal sel B yang tidak tergantung pada sel T, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi immortal dan mengalami transformasi ganas. Walaupun dapat terjadi respon seluler atau respon humoral terhadap antigen yang disandi oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik terhadap antigen tersebutlah yang dapat memperantarai penolakan terhadap tumor tersebut secara invivo. Jadi untuk mengatasi infeksi VEB diperlukan respon imun seluler atau respon sel T. Pada keadaan defisiensi respon imun seluler, dapat mengakibatkan sel yang terinfeksi VEB secara laten mengalami transformasi ganas (Notopuro et al, 2005). 2. Faktor Makanan Ho (1971) yang pertama kali menghubungkan ikan yang diasinkan yang merupakan makanan kegemaran penduduk Cina Selatan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya KNF. Teori ini didasarkan atas insiden KNF yang tinggi pada masyarakat nelayan tradisional di Hongkong yang mengkonsumsi ikan yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar. Penelitian di Hongkong tahun 1986 menyebutkan bahwa dari 250 penderita KNF dibawah usia 35 tahun, sebagian besar ternyata mengkonsumsi ikan asin semenjak usia dibawah 10 tahun. Kebiasaan makan ikan yang diasinkan ini juga terdapat pada penduduk keturunan Cina yang beremigrasi ke negara lain seperti Malaysia Timur (Kadazans) dan negara Asia Tenggara lainnya. Zat nitrosamin juga didapati pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Tunisia,

Cina Selatan, Greenland dimana angka kejadian KNF cukup tinggi (Ahmad, 2002). Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa makanan yang mengandung nitrosamin dan nitrit yang dikonsumsi semasa kecil mempunyai resiko untuk terjadinya KNF pada usia dewasa (Ward, 2000). 3. Sosial Ekonomi, Lingkungan dan Kebiasaan Hidup Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya KNF adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF masih belum dapat dijelaskan. Serbuk kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan penderita KNF. Kebiasaan merokok lebih dari 30 batang mempunyai resiko 3 kali lebih besar daripada yang bukan perokok (Yu et al, 1990). KNF juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan karsinogen antara lain bezopyrenen, benzoanthrancene, gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan (Ahmad, 2002). 4. Radang Kronis Beberapa peneliti lain melaporkan adanya hubungan yang bermakna antara adanya infeksi kronis di hidung seperti rhinitis, sinusitis, atau polip nasi dan infeksi kronis di telinga tengah dengan timbulnya KNF. Adanya peradangan menahun di nasofaring maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (Ahmad, 2002) 2.2.5 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring Keluhan penderita KNF berhubungan dengan lokasi tumor primer, derajat, dan arah penyebarannya (Soetjipto, 1989). 1. Gejala Dini Menegakkan diagnosis KNF secara dini merupakan hal yang paling penting dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit ini. Gejala dini berupa:

a. Gejala Telinga Oklusi tuba Eustachius/ kataralis Umumnya keluhan berupa rasa penuh di telinga, telinga berdengung (tinnitus), atau dengan gangguan pendengaran yang biasanya tuli konduktif dan bersifat unilateral. Gejala ini disebabkan karna pertumbuhan atau infiltrasi tumor primer pada otot tuba dan mengganggu mekanisme pembukaan ostia tuba. Tuba oklusi dapat menjadi permanen, jika tumor menyebar dan menyumbat muara tuba. Gangguan pendengaran Sering bersifat tuli konduktif dan unilateral. Gejala ini disebabkan karena otitis media serosa akibat gangguan fungsi tuba. Tuli saraf mungkin terjadi pada penderita KNF sebagai efek radioterapi dan jarang akibat penyebaran langsung tumor ke saraf VIII. Otitis media serosa sampai perforasi membran timpani Penyebabnya adalah sumbatan muara tuba Eustachius oleh massa tumor. Tinnitus Sering dijumpai pada penderita KNF, dapat mengganggu dan sulit diobati. Gejala ini juga disebabkan gangguan fungsi tuba. Otalgia Gejala ini jarang ditemukan dan bila ada menunjukkan bahwa tumor telah menginfiltrasi daerah parafaring dan mengerosi dasar tengkorak. b. Gejala Hidung Epistaksis Umumnya berupa ingus bercampur darah yang dapat terjadi berulangulang dan biasanya jumlahnya sedikit. Gejala ini timbul akibat permukaan tumor rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat terjadi perdarahan. Obstruksi hidung Gejala ini biasanya menetap dan bertambah berat. Gejala ini akibat pertumbuhan massa tumor menutupi koana. Gejala ini kadang-kadang

disertai gangguan penciuman. Bila terjadi obstruksi hidung total menunjukkan stadium yang lanjut dari KNF. 2. Gejala Lanjut a. Limfadenopati servikal Ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari KNF. Dapat terjadi unilateral atau bilateral. Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan tempat pertama penyebaran sel tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran kelenjar limfe ini tidak teraba dari luar. Ciri yang khas penyebaran KNF ke kelenjar limfe leher yaitu terletak di bawah prosesus mastoid (kelenjar limfe jugulodigastrik), dibawah angulus mandibula, di dalam otot sternocleidomastoid, konsistensi keras, tidak terasa sakit, tidak mudah digerakkan terutama bila sel tumor telah menembus kelenjar dan mengenai jaringan otot dibawahnya. Lebih dari 40% dari seluruh kasus KNF, keluhan adanya tumor di leher ini yang paling sering dijumpai dan yang mendorong penderita untuk datang berobat (Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002). b. Gejala Neurologis Sindroma petrosfenoidal, akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii media sehingga mengenai saraf kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menyebabkan kelumpuhan otot levator palpebra dan otot tarsalis superior sehingga menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV, dan IV menyebabkan keluhan diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya unilateral (Neel dan Witte, 1998). 3. Gejala Metastase Jauh Metastase jauh dari KNF dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal, dan limfa. Metastase jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang (48%), paru-paru (27%),

hepar (11%) dan kelenjar getah bening supraklavikula (10%). Metastase sejauh ini menunjukkan prognosis yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan (Chiesa dan De Paoli, 2001). 2.2.6 Diagnosis a. Anamnesis Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF. Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering menyebabkan penderita KNF berobat. Gejala hidung, telinga, gangguan neurologi juga sering dikeluhkan penderita KNF (Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002). b. Pemeriksaan 1. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita dewasa yang tidak sensitif, dilakukan dengan menggunakan kaca nasofaring. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah (Ahmad, 2002). 2. Rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter Dua buah kateter dimasukkan masing-masing ke dalam rongga hidung kanan dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar, kemudian disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya. Kedua ujung ini ditarik dengan keras agar palatum molle terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca nasofaring rongga nasofaring tampak dengan jelas (Lore dan Medina, 2005). 3. Endoskopi a. Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy) Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu 0, 30, dan 70 derajat dengan tang biopsi. Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan cara: Transnasal, teleskop dimasukkan melalui hidung Transoral, teleskop dimasukkan melalui rongga mulut (Wei,2006).

b. Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy) Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya yang dilengkapi alat biopsi. Endoskopi fleksibel memungkinkan pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap nasofaring, meskipun masuknya hanya melalui satu sisi kavum nasi. Biopsi massa tumor dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran. Alat endoskopi fleksibel ini memiliki saluran khusus untuk suction dimana forsep biopsi dapat dimasukkan melaluinya, sehingga biopsi tetap dapat dilakukan dengan pandangan langsung (Wei, 2006). 4. Biopsi Nasofaring a. Dengan anestesi lokal Obat anestesi lokal disemprotkan ke daerah nasofaring dan orofaring. Melalui tuntunan rinoskopi posterior dan dapat juga dibantu dengan kateter, massa tumor diambil dengan tang biopsi. Biopsi dapat juga dilakukan melalui tuntunan nasofaringoskopi kaku (Wei, 2006). b. Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum Cara ini dapat dilakukan pada hal-hal tertentu, yaitu: Jika biopsi dengan anestesi lokal tidak mendapatkan hasil yang positif, sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri KNF. Keadaan umum penderita kurang baik, tidak kooperatif atau faringnya terlalu sensitif, trismus, dan anak-anak. 5. Pemeriksaan radiologi Foto polos Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu : (7) Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique) Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks Tomogram Lateral daerah nasofaring Tomogram Antero-posterior daerah nasofaring Pemeriksaan CT Scan, mempunyai makna klinis dimana aplikasinya adalah membantu diagnosis, memastikan luas lesi, penetapan stadium secara

Computer Tomografi (CT) Planning/CT Scan

akurat menetapkan zona target terapi dan merancang medan radiasi secara tepat, serta memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan lanjut. (1) Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk : (4) 1. Mengetahui metastase ke organ lain, hal ini penting untuk menentukan tingkatan staging sehingga dapat dipilih penatalaksanaan yang tepat. 2. Mengetahui apakah tumor sudah mengecil setelah pemberian kemoterapi, dilakukan pemeriksaan setelah 46 minggu setelah pemberian kemoterapi. 3. Mendeteksi rekurensi, dilakukan pemeriksaan setiap 5 tahun. CT Scan dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan. CT scan juga dapat melihat staging dan bisa melihat konsistensi daripada tulang.(4) CT Contrast-Enhanced menunjukan nasopharyngeal carcinoma dengan perluasan parapharyngeal kanan dan retropharyngeal adenopathy. (5,6) CT Scan Nonenhanced (pandangan coronal) menunjukkan bagian yang menebal pada dinding parapharyngeal kanan. (5,6) CT scan axial contrast-enhanced pada tingkatan nasopharynx

menunjukkan suatu massa di dalam fossa pterygoid yang menutup nasofaring kanan. Terdapat erosi dari pterygoid pada bagian kanan dan juga menutup tuba eustachius dan bagian posterior sinus maksilaris kanan. (5,6) CT scan axial contrast-enhanced pada leher memperlihatkan massa dengan ukuran 3,3x2,6 cm, bulat, homogen yang meningkat, dengan lesi solid di leher kanan bagian posterior ke kelenjar submandibular. (5,6) CT-scan dengan kontras pada leher menunjukkan massa yang besar dengan berbagai ukuran atau tingkatan pada nasofaring, dan meluas ke clivus dan turun ke C1 anterior. (4) Massa besar pada tengah sinus sphenoid dengan destruksi tulang. Massa kelihatan seolah-olah terkikis atau terjadi erosi melalui clivus dan ke dalam fossa pituitary. (4)

MRI Pemeriksaan MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik dari CT. MRI selain dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat. MRI T1-Weighted Nonenhanced menunjukkan kanker nasoparyng yang mendesak ke sisi sebelah kiri clivus. Intensitas dari sumsum tulang belakang hilang pada sisi kiri clivus dibandingkan dengan sebelah kanan.
(5,6)

MRI T1-Weighted Gadolinium-enhanced axial menunjukkan kanker/tumor nasopharyngeal dengan keterlibatan parapharingeal kiri(5,6) MRI T1-Weighted Coronal gadolinium-enhanced menunjukkan kanker nasopharyngeal disertai keterlibatan dan perluasan ke parapharyngeal kiri ( pasien sama seperti di gambaran yang sebelumnya) (5,6)

MRI T2-weighted axial menunjukkan nodul servical bagian kiri dari metastasis kanker nasoparing (5.6) MRI Coronal T2-weighted menunjukkan gambaran metastasis dari kanker nasopharingel pada bagian kiri nodul servical (5,6)

6. Pemeriksaan patologi anatomi, yang dapat dilakukan berupa: a. Sitologi Sediaan sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara seperti melalui kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan penghisap. Akan tetapi pemeriksaan ini hasilnya sering meragukan, sehingga pemeriksaan sitologi ini belum dapat diterima untuk mendiagnosis KNF. b. Biopsi Aspirasi Jarum Halus

Sebagian besar KNF ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di leher. Untuk membuktikannya merupakan metastase KNF dilakukan pemeriksaan biopsi aspirasi. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada massa tumor di nasofaring (Wei dan Sham, 2005). c. Histopatologi Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam menentukan subtipe histopatologi. d. Pemeriksaan Imunohistokimia Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuia. Sistem deteksi digunakan untuk identifikasi lokasi antibodi menggunakan penanda molekuler yang dapat dilihat. Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda seperti zat fluororesens atau suatu enzim yang mengkatalis rekasi lebih lanjut membentuk produk berwarna yang dapat dilihat (Sudiana, 2005). e. Pemeriksaan Serologi Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya KNF menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini. Antibodi terhadap VEB baik Ig G dan Ig A penderita KNF meningkat sampai 810 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat (Notopuro et al, 2005). Titer imunoglobulin A (Ig A) terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus (viral capsid antigen/VCA) dan antigen awal (early antigen/EA) tetapi tingkat spesifisitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedangkan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk KNF tetapi kurang sensitif, dan titernya akan menurun mendekati normal pada KNF stadium lanjut. Titer yang tinggi dapat merupakan indikator KNF. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut penderita paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif (Ahmad, 2002). f. Polimerase Chain Reaction (PCR)

Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar, sehingga dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen, mendeteksi adanya mutasi, amplifikasi, rekayasa genetika, dan untuk mendeteksi DNA virus atau bakteri (Zachreni, 1999). 2.2.7 Stadium Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium KNF. Di beberapa negara Asia digunakan penentuan stadium yang dikemukakan oleh Ho pada tahun 1978 (Hos System), sementara di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint Commitee on Cancer/ International Union Against Cancer). Cara penentuan stadium KNF yang terbaru adalah menurut AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu (Brennan, 2006): Tumor di nasofaring (T) Tx : Tumor primer tidak dapat ditentukan T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer Tis : Carcinoma in situ T1 : Tumor terbatas di nasofaring T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak T2a : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa perluasan ke depan parafaring T2b : Dengan perluasan ke parafaring T3 : Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal Universitas T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang masticator Kelenjar limfe regional (N) Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan N0 : Tidak ada pembesaran KGB regional N1 : Metastase ke KGB unilateral, ukuran 6cm, terletak di atas fossa supraklavikula

N2 : Metastase ke KGB bilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikula N3 : Metastase ke KGB: N3a : Ukuran KGB > 6 cm, diatas fossa supraklavikula N3b : Terletak pada fossa supraklavikula Metastasis jauh (M) Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan M0 : Tidak ada metastasis jauh M1 : Ada metastasis jauh Stadium KNF 0 : T is N0 M0 I : T1 N0 M0 IIa : T2a N0 M0 IIb : T1-2a N1 M0, T2b N0-1 M0 III : T1-2b N2 M0, T3 N0-2 M0 IVa : T4 N0-2 M0 IVb : Semua T N3 M0 IVc : Semua T N0-3 M1 2.2.8 Diagnosis Banding Angifibroma Juvenile, merupakan tumor yang terdiri dari 2 macam jaringan, yaitu jaringan vaskular dan jaringan fibrosa. Pada pemeriksaan radiologis dengan menggunakan foto polos didapatkan gambaran massa jaringan lunak di nasofaring ataupun dapat digunakan pemeriksaan yang lebih sensitif seperti CT Scan, MRI, dan angiografi (Dhingra, 2004). Limfoma, terlihat licin, eksofitik, sub mucosal, non ulseratif. Limfoma yang terjadi di nasofaring biasanya dapat terdeteksi lebih cepat daripada di daerah lain, karena akibat dari oklusi tuba Eustachius menyebabkan munculnya penyakit otitis media serosa.

Kordoma, biasanya memiliki komponen intrakranial terutama mengisi sphenoid, mengandung kalsifikasi ireguler dan dapat melibatkan jaringan retrofaringeal.

Rhabdomyosarkoma, yang biasanya terjadi pada anak-anak dan invasi dasar tengkorak ditemukan pada 1/3 penderita dan biasanya melibatkan sinus kavernosus.

2.2.9 Terapi Terapi standar KNF adalah radioterapi. Keuntungan dengan memberikan radioterapi sebagai regimen tunggal pada kanker stadium I dan II akan memberikan harapan hidup 5 tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi adalah sebagian besar penderita datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan sebagian datang dengan keadaan yang sudah jelek (Lin et al, 2003). Disamping itu KNF dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk mengadakan metastase regional maupun jauh. Keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh stadium. Keterlambatan untuk mendapatkan penanganan yang adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari menggembirakan (Mulyarjo, 2002). 1. Radioterapi Radioterapi sebagai terapi standar KNF sudah dimulai sejak lama (sekitar tahun 1930-an). Hasil radioterapi untuk KNF stadium dini cukup baik dengan complete response sekitar 80-100% (Kentjono,2003). Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25-65%. Kegagalan radioterapi konvensional dalam memberantas sel kanker di nasofaring maupun anak sebarnya di kelenjar getah bening leher mencapai angka 40-80%. Selain itu, paska radioterapi cukup sering dijumpai metastase jauh dan komplikasi akibat lokasi tumor yang dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasi terbatas seperti batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise-hipotalamus, lobus temporalis, mata, telinga tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis (Kentjono, 2003; Wei dan Sham, 2005). 2. Brachytherapy (Radiasi Internal)

Radiasi interna pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Indikasinya adalah sebagai booster bila masih ditemukan residu dan sebagai pengobatan kasus kambuh (Marzaini, 2002). 3. Kemoterapi Alternatif lain untuk mengobati penderita karsinoma sel skuamosa kepala dan leher yang secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti dengan kemoradioterapi sebagai terapi radikal, terutama pada penderita dengan respon yang baik terhadap kemoterapi induksi. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli onkologi sebagai terapi standar terapi KNF stadium lanjut (Lin et al, 2003). Indikasi pemberian kemoterapi adalah untuk KNF dengan penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastase jauh, dan kasus-kasus residif (Zakifman dan Harryanto, 2002). Dari banyak laporan penelitian, ternyata kemoradioterapi konkuren merupakan yang paling efektif dalam penanganan KNF (Wei dan Sham, 2005). Dibandingkan dengan kemoterapi induksi yang diikuti dengan radioterapi, kemoradioterapi konkomitan lebih disukai (Graf et al, 2006). Menurut Agulnik dan Siu (2005), dosis obat kemoterapi yang paling optimal hanya dapat dicapai dengan kemoterapi neoadjuvan. 4. Imunoterapi Imunoterapi dilakukan dengan memberikan vaksin anti virus Epstein-Barr pada populasi yang rentan sebelum terinfeksi virus Epstein-Barr untuk mencegah terjadinya KNF (Mauer, 2005). 5. Pembedahan Diseksi leher radikal Hal ini dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih. Adanya fibrosis dan reaksi jaringan paska radiasi sering

menjadi sulit untuk memperkirakan perluasan penyakit pada kelenjar limfe servikal baik secara klinis maupun radiologi (Wei, 2006). Nasofaringektomi Ketika tumor di nasofaring yang menetap atau berulang meluas ke dalam rongga paranasofaringeal, atau terlalu besar untuk radiasi interna, maka pilihan selanjutnya adalah operasi. Nasofaringektomi efektif dalam eradikasi penyakit-penyakit terlokalisir. Berbagai pendekatan pernah digunakan untuk mencapai nasofaring. Posisi otak dan korda vertebralis membuat pendekatan secara posterior dan superior menjadi tidak dapat dilakukan. Pendekatan-pendekatan anterior seperti ini, meskipun mengikutsertakan pematahan palatum durum hanya dapat memperlihatkan dinding posterior nasofaring sedangkan dinding lateral tidak terlihat. Nasofaring dapat dicapai secara inferior dengan teknik transpalatal, transmaksila, dan transservikal. Pendekatan-pendekatan ini berguna untuk tumor-tumor yang terletak di tengah dan dinding posterior nasofaring. Secara umum selama tumor menetap atau berulang dapat direseksi dengan batas yang jelas, maka hasilnya cukup memuaskan (Wei, 2006). 6. Terapi Gen Tujuan terapi gen adalah untuk mengenalkan materi genetik baru ke dalam sel kanker yang akan secara selektif membunuh sel kanker tanpa menyebabkan toksik pada sel-sel yang normal. Terapi gen digunakan untuk mengantar sekuensi DNA ke dalam sel dan kemudian DNA bergabung sendiri di dalam gen seluler dan menghasilkan protein yang mempunyai efek terapeutik. 2.2.10 Prognosa a. Faktor usia dan jenis kelamin b. Subtipe histologi c. Stadium tumor d. Genetik

DAFTAR PUSTAKA
1. Japaris, Willie. Karsinoma Nasofaring Dalam: Onkologi Klinis. Jakarta : FKUI. 2008. Hal : 263-278 2. Roezin A, Syafril A. Karsinoma Nasofaring Dalam : Arsyad Efiaty, Iskandar Nurbaety. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : FKUI. 1990. Hal : 146-150 3. Adams, George L. Penyakit penyakit Nasofaring dan Orofaring Dalam: Adams, Boies, Higler. BOIES BUKU AJAR PENYAKIT THT EDISI : 6.Jakarta : EGC. 2002. Hal : 320-327; 442-443 4. Radswiki ; Gaillard, Frank. Nasopharyngeal Cacinoma. Diunduh dari :http://radiopaedia.org/articles/nasopharyngeal-carcinoma# 5. Paulino, Arnold C ; Arceci, Robert J. Nasopharyngeal Cancer. Diunduh dari :http://emedicine.medscape.com/article/988165-workup#showall (2012) 6. Lo , Simon S ; Naul, L Gill. Imaging in Nasopharyngeal Squamous Cell Carcinoma. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/384425overview#showall (2011) 7. Asroel, Harry A. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Diunduh dari : http://library.usu.ac.id/download/fk/ththary2.pdf(2002) 8. Prokop. Mathias, Galanski Michael. Nasopharyngeal Carcinomas Dalam : Computed Tomography Of The Body. New York : Thieme. 2003. Hal: 252-256

You might also like