You are on page 1of 23

Demokrasi, Pemerintahan Paling Mahal dan Paling Jahat

Hanya pemerintah yang kaya dan aman yang mampu menjadi negara demokrasi, karena demokrasi adalah jenis pemerintahan yang paling mahal dan paling jahat yang pernah terdengar di permukaan bumi. (Mark Twain) Paling mahal dan paling jahat. Dua kata yang mensifati sistem demokrasi ini tercermin dari drama sidang paripurna DPR saat membahas kenaikan harga BBM baru-baru ini. Mahal,karena sidang ini terkesan berjalan alot , sampai larut malam, membutuhkan waktu yang lama. Dananya tentu saja membengkak. Jahat, karena keputusannya akhirnya tetap memberikan peluang untuk menaikkan BBM yang akan mencekik rakyat. Ya demokrasi memang mahal. Karena itu, kekuatan modal menjadi penentu kemenangan dalam menjadi penguasa dan pengambilan keputusan. Untuk biaya Pemilu 2009 diperkirakan 48 trilyun , pilkada DKI menghabiskan dana 124 milyar, sementara pilkada Jatim 2 putaran menghabiskan dana 800 milyar. Jangan tanya biaya kampanye, yang menelan ratusan milyar. Untuk iklan di televisi misalnya jika rata-rata biaya beriklan secara excessive di sebuah stasiun TV per harinya adalah Rp 500 juta, maka per bulan adalah Rp 15 milyar . Biaya pembuatan UU nya juga mahal. Meski kinerja legislasi DPR dinilai belum memuaskan, lembaga tersebut tetap menganggarkan Rp 466,78 miliar untuk biaya legislasi dari Rp2,91 triliun anggaran tahun 2012. Itu berarti terjadi pembengkakan biaya dari anggaran 2005 yang hanya Rp560 juta. Secara sistemik demokrasi melahirkan negara korporasi yang terbentuk dari simbiosis mutualisme elit politik dan pemilik modal yang merugikan rakyat. Akibatnya kebijakan yang muncul bukan untuk kepentingan rakyat tapi elit pemilik modal yang mendukung. Menjadi alat untuk mengembalikan investasi politik yang mahal sekaligus untuk mempertahankan kekuasaan. Sistem ini menjadikan uang atau modal sebagai panglima. Konsekuensinya, praktik suap menyuap, manipulasi dan korupsi pun menjadi kanker ganas yang menjadi penyakit bawaan dari sistem cacat ini. Dalam bahasa sehari-hari, kata yang digunakan untuk percobaan mempengaruhi tindakan seseorang melalui insentif uang disebut dengan istilah suap. Tapi dalam dunia politik demokrasi, kita bersikeras menggunakan istilah-istilah seperti dana, melobi atau pinjaman lunak. Dan ini bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga di Inggris yang dikenal sebagai kampiun demokrasi dunia. Skandal politik Inggris yang terbaru membuktikan hal itu. Bendahara bersama Partai Konservatif yang memerintah tertangkap kamera sedang menawarkan akses kepada perdana menteri dan kanselir hingga lebih dari 250.000 dari dana sumbangan. Kemudian terungkap bagaimana para pendonor telah diundang makan malam secara pribadi dengan David Cameron dan keluarganya.

Skandal The Cash for Questions, pecah pada tahun 1994. Seorang pelobi parlemen, Ian Greer, telah menyuap para anggota parlemen sebagai ganti untuk menukar pertanyaan-pertanyaan parlemen yang diajukan, dan tugas-tugas lainnya, atas nama pengusaha Mohamed Al Fayed. Pada tahun 2009 , muncul lagi skandal ketika empat orang anggota Partai Buruh dari parlemen Inggris yang dipecat karena menawarkan membantu membuat amandemen undang-undang dengan uang hingga lebih dari 120.000. Uang sebagai panglima inilah yang membuat sistem demorkasi menjadi sistem yang jahat. Disamping penuh dengan suap menyuap baik legal atau tidak, sistem ini juga melahirkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat. Yang terpenting adalah kepentingan pemilik modal. Mengurangi bahkan menghapuskan hak rakyat yang diklaim disubsidi oleh negara. Disisi lain privatisasi dan pasar bebas telah menjadi alat bagi negara-negara imperialis asing merampok kekayaan alam kita yang sesungguhnya merupakan milik rakyat. Maka tidak heran kalau kita menyaksikan dalam drama sidang paripurna kemarin menghasilkan kebijakan yang justru melegitimasi kebijakan liberal. Memberikan peluang naiknya harga BBM dengan tunduk kepada rezim pasar internasional yang rakus. Seperti yang disampaikan Jubir HTI Ismail Yusanto dalam pernyataan persnya bahwa keputusan rapat Paripurna DPR kemaren alih-alih bisa menyelesaikan kemelut persoalan BBM, tapi sebenarnya justru menegaskan makin kokohnya liberalisasi migas di negeri ini. DPR dan pemerintah telah secara bulat meletakkan migas sebagai komoditas semata-mata yang dalam penetapan harga (pricing policy) benar-benar mengikuti harga internasional atau harga pasar. Padahal Pasal 28 Ayat 2 UU Migas yang menjadi dasar untuk mengkaitkan harga BBM dengan mekanisme pasar telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu. Akibatnya, segala bentuk perhitungan juga akan mengacu ke sana. Disitulah problema di seputar berapa sebenarnya harga produksi, harga jual, dan berapa sebenarnya subsidi (dan apakah tepat istilah subsidi itu) akan terus berlanjut yang membuat persoalan BBM ini menajdi tidak terurai secara jernih. Karena itu Hizbut Tahrir dengan tegas menyatakan bahwa menaikkan harga BBM dan kebijakan apapun yang bermaksud untuk meliberalkan pengelolaan sumber daya alam khususnya migas merupakan kebijakan yang bertentangan syariat Islam. Migas serta kekayaan alam yang melimpah lainnya dalam pandangan Islam merupakan barang milik umum yang pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, kebijakan kapitalistik, yakni liberalisasi migas baik di sektor hilir (termasuk dalam pricing policy) maupun di sektor hulu (yang sangat menentukan jumlah produksi migas setiap hari), juga kebijakan dzalim dan khianat ini harus segera dihentikan. Sebagai gantinya, migas dan SDA lain dikelola sesuai dengan syariah. Jalannya hanya satu, melalui penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Rasyidah ala minhaj an-nubuwah. (Farid Wadjdi)

Demokrasi: Sistem Gagal dan Merusak


[Al-Islam edisi 657] Negeri ini sedang dilanda eforia demokrasi. Selama tahun 2013 ini, hampir dua hari sekali diselenggarakan Pilkada. Sebanyak 152 pilkada telah dan akan digelar tahun ini terdiri dari 15 provinsi, 104 kabupaten dan 33 kota. Eforia demokrasi itu membius rakyat dan membisikkan mimpi-mimpi keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, pemulihan harkat kemanusiaan dan mimpi-mimpi tentang kebaikan lainnya. Namun layaknya obat bius, begitu umat mendapatkan kembali kesadarannya, umat pun akan cepat menyadari bahwa demokrasi sesungguhnya bukanlah solusi, bahkan demokrasi merupakan sistem gagal dan merusak dan sejak awal sebenarnya tidak dibutuhkan oleh umat Islam. Umat Tak Butuh Demokrasi Istilah demokrasi selalu dinisbatkan kepada dua kata Yunani kuno, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan atau pemerintahan. Sehingga demokrasi diartikan kekuasaan atau pemerintahan rakyat. Penisbatan itu untuk memberikan kesan bahwa demokrasi modern sekarang ini memiliki akar sejarah yang menjulur hingga ke masa Yunani yang dianggap mewariskan berbagai kebajikan. Sistem pemerintahan demokrasi dijalankan di negara kota Yunani kuno, Athena, pada abad ke-5 SM. Sistem itu dibentuk atas prakarsa Cleisthenes. Dalam sistem demokrasi Athena, kedaulatan dipegang oleh majelis yang disebut Demos (rakyat). Sistem demokrasi Yunani kuno tak bertahan lama. Kekaisaran Romawi yang mengalahkan Yunani menganut pemerintahan monarki absolut dengan sistem teokrasi. Di dalamnya raja dan penguasa berkolusi dengan pemimpin gereja (agamawan). Raja dianggap sebagai wakil tuhan dan kehidupan rakyat dikendalikan menurut doktrin gereja yaitu doktrin para agamawan yang dinisbatkan kepada tuhan. Kolaborasi penguasa dan agamawan (raja dan gereja) melahirkan penindasan. Segala hal termasuk pemikiran dan sains yang bertentangan atau menyimpang dari doktrin gereja diberangus. Ratusan ribu ilmuwan dibunuh, di mana puluhan ribu di antaranya dibakar hidup-hidup. Terjadilah gerakan perlawanan dari para filsuf dan ilmuwan sehingga muncul dua kubu yang saling berseteru. Kubu kolaborasi raja dengan gereja (agamawan) yang mengusung teori kedaulatan tuhan dengan sistem teokrasi dan bentuk monarkhi di mana raja dianggap sebagai manusia terpilih perpanjangan tangan tuhan, berhadapan dengan kubu filsuf dan ilmuwan yang menolak peran gereja bahkan tak sedikit yang tidak mengakui agama. Bersamaan dengan itu juga terjadi perlawanan dari bangsa yang ditindas dan pemberontakan kaum protestan terhadap kekuasaan gereja katolik romawi. Terjadilah banyak peperangan dan konflik yang berlangsung selama abad-abad pertengahan (abad ke-V XV M). Hingga akhirnya disetujuinya perjanjian Westphalia tahun 1648. Perjanjian ini mengakui kemerdekaan Belanda, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman dari Kekaisaran suci Romawi. Perjanjian ini meletakkan dasar hubungan antara negara yang dilepaskan dari hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara masing-masing. Sebelumnya gereja memiliki kekuatan atas hubungan antar-negara. Perjanjian Westphalia juga meletakkan dasar tentang hakikat negara dengan pemerintahannya, yakni memisahkan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja (agama). Perjanjian Westphalia itulah yang meneguhkan doktrin sekulerisme. Karena dipisahkan dari kekuasaan gereja, pengaturan negara akhirnya diserahkan kepada kehendak rakyat dan untuk itulah dihidupkan kembali istilah demokrasi dengan sistem perwakilannya. Majelis yang beranggotakan wakil yang dipilih rakyat mewakili rakyat membuat hukum perundang-undangan dan pengaturan negara atas nama rakyat.

Jadi demokrasi itu dijalankan atas dasar doktrin sekulerisme yang memisahkan agama dari pengaturan negara dan kekuasaan. Hal itu merupakan hasil solusi kompromi yang mengakhiri konflik di Eropa sepanjang abad pertengahan. Dari situ tampak jelas bahwa demokrasi itu sebenarnya adalah khas Eropa dan solusi terhadap penindasan atas nama agama yang melanda Eropa abad pertengahan. Masalah itu sebenarnya tidak dialami oleh umat Islam. Umat Islam tidak memiliki problem sebagaimana problem Eropa abad pertengahan. Karena itu sebenarnya sejak awal umat Islam tidak butuh solusi yang namanya demokrasi seperti halnya masyarakat Eropa. Demokrasi : Sistem Gagal dan Merusak Demokrasi sarat kelemahan dan kerancuan, bahkan bisa dikatakan sistem yang gagal. Demokrasi gagal merealisasi doktrin mendasarnya yaitu kedaulatan rakyat. Rakyat hanya memiliki otoritas langsung saat pemilu untuk memilih penguasa dan wakilnya di Dewan Legislatif. Itupun otoritas yang telah dibatasi dan diarahkan oleh partai dan kapitalis melalui proses politik yang ada, sebab rakyat hanya memiliki otoritas memilih orang yang sudah disaring oleh parpol dan proses politik. Setelah pemilu, kedaulatan riil tidak lagi di tangan rakyat, tetapi di tangan pemerintah atau penguasa dan anggota legislatif, dan di belakang keduanya adalah para kapitalis. Pasca pemilu, kepentingan elit lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Wakil rakyat tidak mewakili rakyat akan tetapi mewakili diri sendiri dan golongannya (partai) dan para kapitalis. Demokrasi juga gagal menghilangkan aristokrasi yang cirinya kekuasaan dikuasai oleh kaum elit. Dalam praktek demokrasi dimanapun, kekuasaan tetap saja dipegang oleh kaum elit yaitu para kapitalis, elit partai, dan kelas politik. Hal itu sangat kentara. Penguasa dan politisi di negara demokrasi manapun selalu berasal dari dinasti kelas berkuasa secara politik dan ekonomi dan kelompoknya. Demokrasi merupakan sistem yang rusak dan memproduksi banyak kerusakan. Demokrasi rusak terutama karena pilar utamanya adalah paham kebebasan. Kebebasan inilah yang melahirkan banyak kerusakan di segala bidang; moral, pemerintahan, hukum, ekonomi, dll. Dengan dalih demokrasi dan kebebasan, pornografi, pornoaksi, seks bebas, zina asal suka sama suka, aborsi, peredaran miras, dll tidak bisa diberantas tuntas. Di bidang pemerintahan, korupsi juga menonjol dalam sistem demokrasi. Kebebasan kepemilikan melahirkan sistem ekonomi kapitalisme liberalisme yang membolehkan individu menguasai dan memiliki apa saja termasuk harta milik umum. Kebebasan berpendapat melahirkan keliaran dalam berpendapat sehingga menistakan agama, mencela Rasul SAW, dan menyebarkan kecabulan dan berbagai kerusakan. Kebebasan beragama membuat agama tidak lagi prinsip, orang dengan mudah bisa menodai kesucian agama, mengaku nabi, dsb. Demokrasi dijadikan alat penjajahan oleh barat atas dunia terutama negeri kaum muslimin. Melalui pembuatan undang-undang, Barat bisa memasukkan bahkan memaksakan UU yang menjamin ketundukan kepada barat, mengalirkan kekayaan kepada barat dan memformat masyarakat menurut corak yang dikehendaki barat. Bahkan tak jarang demokrasi dijadikan dalih untuk langsung melakukan intervensi dan invasi atas berbagai negeri di dunia seperti yang terjadi di Panama, Haiti, Irak, dsb. Demokrasi pun dijadikan jalan untuk memaksakan UU yang menjamin aliran kekayaan ke Barat dan penguasaan berbagai kekayaan dan sumber daya alam oleh para kapitalis asing. UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Migas, UU SJSN dan BPJS, dan sejumlah UU lainnya yang menguntungkan barat sudah diketahui secara luas pembuatannya disetir dan dipengaruhi oleh barat. Melalui mekanisme demokrasi pula penguasaan atas kekayaan alam oleh asing bisa dilegalkan dan dijamin.

Demokrasi menghasilkan UU diskriminatif dan tidak adil. Sebab dalam demokrasi, UU dibuat oleh parlemen yang sangat dipengaruhi oleh kepentingan. Jadilah UU yang dihasilkan dalam sistem demokrasi lebih banyak berpihak kepada pihak yang kuat secara politik dan atau finansial. Melalui UU dan peraturan yang dibuat secara demokratis, kelas politik dan ekonomi yang berkuasa bisa terus melipatgandakan kekayaannya termasuk dari penguasaan atas kekayaan alam; melindungi kekayaan dari pungutan pajak dan malah mendapat berbagai insentif. Demokrasi pula yang menjadi biang korupsi dan kolusi. Hal itu karena perlu biaya besar untuk membiayai proses politik untuk menjadi penguasa dan anggota legislatif serta menggerakkan mesin partai. Maka tidak aneh jika lembaga anti korupsi kebanjiran kasus setiap menjelang pemilu. Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, laporan pengaduan masyarakat terkait dugaan korupsi menjelang Pemilu 2014 ke KPK meningkat. Dari sejumlah laporan yang masuk, umumnya dilakukan oleh para penyelenggara negara untuk biaya politik dari uang APBN maupun APBD. Laporan naik menjelang 2014. Trennya ternyata para pejabat itu mencari biaya pemilu dengan korupsi keuangan negara atau suap, misalnya di bagian perizinan.(viva.news.co.id, 22/4). Wahai Kaum Muslimin Demokrasi sesungguhnya khas barat dan muncul untuk menyelesaikan problem penindasan atas nama gereja di barat. Itu tidak dialami oleh umat Islam sehingga umat Islam tidak butuh demokrasi. Selain itu demokrasi nyata-nyata sistem yang gagal, rusak dan merusak. Semua itu wajar saja sebab demokrasi adalah sistem buatan manusia yaitu sistem jahiliyah. Karena itu sistem demokrasi itu harus segera ditinggalkan dan dicampakkan. Allah SWT bertanya yang sekaligus menjadi celaan terhadap siapa saja yang mengikuti sistem jahiliyah. Allah berfirman: Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50) Sudah saatnya umat Islam kembali kepada tuntunan dan aturan yang berasal dari Allah yang Maha Bijaksana. Hal itu tidak lain dengan jalan menerapkan syariah dalam bingkai Khilafah ala minhaj an-nubuwwah. WalLahu alam bi Shawab

Demokrasi Bertentangan dengan Islam, Harus Dicampakkan!


[Al-Islam edisi 659] Demokrasi modern sekarang ini, kemunculannya dijadikan solusi atas problem dan penindasan akibat sistem monarki yang berlaku di Eropa. Raja atau kaisar dianggap sebagai wakil tuhan. Semua jenis kekuasaan ada di tangannya baik kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan yudikatif. Jadi kekuasaan raja atau kaisar bersifat absolut. Dia berada di atas hukum dan tidak ada yang bisa mengontrol atau mengoreksinya. Kekuasaan absolut itu akhirnya menjadi korup dan menindas. Untuk itulah digagas sistem demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan sumber kekuasaan. Sebagai pemilik kedaulatan, rakyatlah yang berhak membuat hukum dan undang-undang. Karena rakyat tidak mungkin melakukan peran ini secara langsung, maka dibuatlah sistem perwakilan di mana rakyat mewakilkan kepada wakil-wakil yang mereka pilih untuk melaksanakan wewenang tersebut. Jadilah, parlemen sebagai wakil rakyat

untuk menjalankan kekuasaan legislatif membuat hukum dan undang-undangan. Demikian pula parlemen mewakili rakyat dalam memonitor dan mengoreksi kekuasaan eksekutif. Sebagai sumber kekuasaan, rakyatlah yang memilih penguasa dan melimpahkan kekuasaan eksekutif kepadanya untuk menjalankan sistem, hukum, dan undang-undang buatan rakyat dan mengurus kehidupan rakyat. Hanya orang yang dipilih dan mendapat pelimpahan kekuasaan dari rakyat saja yang bisa menjadi penguasa. Semua praktek itu dilakukan melalui pemilu, baik untuk memilih kepada negara atau penguasa daerah. Demokrasi Bertentangan dengan Islam Demokrasi tak jarang disederhanakan sebagai pemilu atau pemilihan penguasa oleh rakyat. Karena itu, demokrasi dianggap sejalan dengan Islam, sebab Islam menentukan bahwa penguasa dipilih oleh rakyat. Namun demokrasi yang hakiki itu bukan hanya pemilu atau pemilihan penguasa. Demokrasi yang hakiki memiliki dua pilar. Pilar pertama, kedaulatan rakyat, artinya rakyatlah yang berhak membuat hukum dan undang-undang yang digunakan negara dan pemerintah untuk mengurus rakyat. Pilar kedua, rakyat pemilik dan sumber kekuasaan. Artinya, rakyatlah yang memiliki hak memilih penguasa, memonitor dan mengoreksinya dan memberhentikannya. Tanpa kedua pilar ini sekaligus, demokrasi tidak ada. Mengenai pilar pertama yakni kedaulatan rakyat, demokrasi jelas bertentangan dengan Islam. Kedaulatan adalah hak membuat hukum. Itu artinya rakyatlah yang berhak menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh; memisahkan mana kebaikan dan mana keburukan, mana yang makruf dan mana yang mungkar, perbuatan mana yang terpuji dan mana yang tercela; dan mana yang halal dan yang haram. Sementara, dalam Islam semua itu adalah milik Allah saja, yakni milik syara. Allah SWT berfirman: ] [ Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (TQS al-Anam [6]: 57) Menyerahkan kedaulatan kepada rakyat, yakni kepada manusia, artinya menyerahkan pembuatan hukum sesuai hawa nafsu manusia. Sementara Allah SWT justru memerintahkan untuk mengikuti hukum Allah tanpa mengikuti hawa nafsu manusia. ] [ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (TQS al-Maidah [5]: 49) Fakta riil kehidupan demokrasi yang menyerahkan pembuatan hukum sesuai hawa nafsu manusia, telah melahirkan berbagai kerusakan baik pada alam, manusia, maupun kehidupan itu sendiri. Allah SWT sudah menegaskan kepada kita bahwa mengikuti hawa nafsu manusia itu menjadi sumber kerusakan. ] [ Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. (TQS al-Muminun [23]: 71) Selain menjadi sumber kerusakan, mengikuti hawa nafsu manusia, sebagaimana dalam demokrasi, juga tidak bisa mengantarkan pada tujuan mulia yang ingin dicapai setiap manusia. Sebab, Allah SWT menegaskan bahwa mengikuti hawa nafsu manusia merupakan jalan yang paling sesat. ] [

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. (TQS al-Qashshash [28]:50). Menyerahkan penentuan hukum yaitu halal dan haram kepada manusia, sama artinya merampas hak Allah dan membuat-buat kebohongan terhadap Allah. Hal itu akan melahirkan banyak kesusahan, sebab perilaku itu merupakan pangkal ketidakberuntungan. ] [ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (TQS an-Nahl [16]: 116) Demokrasi adalah menyerahkan hukum kepada rakyat di mana tolok ukurnya adalah suara mayoritas. Di mana ada suara mayoritas, di situ dianggap ada kebenaran. Sedangkan dalam Islam, kebenaran itu diputuskan oleh nas-nas syara, bukan oleh jumlah suara atau kebanyakan manusia. Bahkan kadang kala kebanyakan manusia bersepakat atas kebatilan. Allah SWT berfirman: ] [ Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (TQS al-Anam [6]: 116) Dari semua itu, jelaslah bahwa demokrasi bertentangan secara total dengan Islam. Ini tentang pilar pertama demokrasi yaitu kedaulatan rakyat. Adapun pilar kedua, kekuasaan milik rakyat, memang dalam Islam, kekuasaan dimiliki oleh rakyat. Rakyatlah yang berhak memilih penguasa dan melimpahkan kekuasaan kepada orang yang dipilih rakyat sebagai penguasa itu. Meski secara global tampak sama, namun dalam filosofi dan rincian prakteknya, demokrasi berbeda, bahkan bertentangan dengan Islam. Dalam demokrasi, rakyat memilih penguasa untuk menjalankan hukum yang dibuat oleh rakyat. Sementara dalam Islam, rakyat memilih penguasa untuk menerapkan hukum-hukum syara. Sebab Islam memerintahkan kita semua untuk berhukum dan memutuskan perkara menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut hukum syara (QS al-Maidah [5]: 48, 49). Islam mengaitkan aktivitas menjadikan Rasul SAW sebagai pemutus perkara yang terjadi di tengah manusia yaitu artinya berhukum kepada syara sebagai bukti keimanan (QS an-Nisa [4]: 65). Bahkan Allah SWT menetapkan siapa saja yang memutuskan perkara dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut selain hukum syara sebagai orang zalim (QS al-Maidah [5]: 45), fasik (QS al-Maidah [5]: 47), bahkan (QS alMaidah [5]: 44). Karena itu, Allah menegaskan bahwa tidak ada pilihan bagi orang-orang yang beriman, kecuali tunduk kepada keputusan yakni hukum yang telah diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya saw. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (TQS al-Ahzab [33]: 36) Semua itu menegaskan bahwa dalam Islam, penguasa dipilih oleh rakyat tidak lain adalah untuk menerapkan dan menjalankan hukum syara, bukan hukum positif buatan manusia

seperti dalam demokrasi. Jelas dalam filosofi pelaksanaan pilar kekuasaan milik rakyat ini, demokrasi bertentangan dengan Islam. Sementara dalam rincian prakteknya, dalam demokrasi pelimpahan kekuasaan kepada penguasa dilakukan menurut teori kontrak sosial, sementara dalam Islam dilakukan melalui akad baiat dari rakyat kepada penguasa. Dalam demokrasi, penguasa bekerja kepada rakyat sehingga diberi gaji. Sedangkan dalam Islam, penguasa mewakili rakyat mengimplementasikan hukum syara, dan kepadanya tidak diberi gaji melainkan tunjangan untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya secara makruf; sebab penguasa tersebut telah memberikan seluruh waktunya untuk mengurus rakyat. Wahai Kaum Muslimin Penjelasan singkat di atas sudah cukup bagi orang yang beriman kepada Allah dan Rasulullah SAW serta yakin kepada hari akhirat untuk mengetahui bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam yang dianut dan diyakininya. Juga nyatalah bahwa demokrasi itu merupakan perampasan atas hak Allah, jalan paling sesat, menjadi biang kerusakan, dan pangkal ketidakberuntungan. Karena itu, demokrasi yang merupakan sistem dan hukum jahiliyah itu harus dicampakkan. Allah SWT berfirman: Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50 Wallh alam bi ash-shawab. DEMOKRASI SISTEM KUFUR Tahun 2013 merupakan tahun pemanasan politik di Indonesia karena tahun 2014 akan digelar hajatan Pemilihan Umum (Pemilu). Demokrasi pun masih dianggap kompatibel diterapkan di Indonesia. Padahal mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Umat masih silau dengan janji demokrasi berupa keadilan dan kesejahteraan. Sebaliknya, mereka takut dicap anti-demokrasi. Terdapat juga di kalangan umat yang menyamakan Islam dengan demokrasi. Bahkan ada yang memaksakan Demokrasi-Islam sebagai tambal sulam dari Demokrasi-Kapitalisme yang gagal. Apa itu Demokrasi Demokrasi adalah (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat ( Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintahan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah setiap pemilihan bebas. Sebagaimana ucapan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M). Di satu sisi ekstrem, dominasi gereja yang berkolaborasi dengan para raja Eropa menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial, dll) pada aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya, dominasi gereja ini ditentang oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik) dalam kehidupan.

Terjadinya Reformasi Gereja, Renaissance dan Humanisme, menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja itu. Akhirnya, pasca Revolusi Prancis tahun 1789, terwujudlah jalan tengah dari dua sisi ekstrem itu, yang terumuskan dalam paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, tetapi masih diakui walaupun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang mengatur dan membuat hukumnya? Jawabannya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau agama. Pada titik inilah demokrasi lahir. Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua hal: (1) Hak membuat hukum (legislasi). Inilah prinsip kedaulatan rakyat (as-siyadah li al syabi). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu hukum dibuat oleh para tokohtokoh gereja atas nama Tuhan. (2) Hak memilih penguasa. Inilah prinsip kekuasaan rakyat (as-sulthan li al-ummah). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut. Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of legislation and authority). Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan. Demokrasi juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Maka dari itu, munculah kebebasan di segala aspek kehidupan. Sistem demokrasi melahirkan beberapa poin yang akhirnya menjadi sokoguru demokrasi: (a) kedaulatan rakyat; (b) pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; (c) kekuasaan mayoritas; (d) hakhak minoritas; (e) jaminan HAM; (f) pemilihan yang bebas dan jujur; (g) persamaan di depan hukum; (h) proses hukum yang wajar; (i) pembatasan pemerintahan secara konstitusional; (j) pluralisme sosial, ekonomi dan politik; (k) nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat. Demokrasi vs Islam Jelaslah, demokrasi merupakan ideologi buatan manusia. Akidahnya memisahkan agama dari kehidupan (sekular), kontradiksi dengan akidah Islam. Sistemnya juga menyalahi sistem Islam karena tidak bersandar pada wahyu Allah SWT. Demokrasi hanya bersandar pada rakyat. Keburukan yang menonjol dari demokrasi adalah suara mayoritas dalam menentukan kebenaran. Jelas sekali demokrasi bertentangan dengan Islam (Lihat: QS al-Anam [6]: 116). Islam mengharamkan demokrasi karena tiga alasan. Pertama: perekayasa ide demokrasi adalah negara-negara kafir Barat. Hal ini merupakan agresi ke Dunia Islam. Siapapun yang menerima dan mendorong demokrasi merupakan antek penjajah dan kroni penjajah serta menjadi penguasa boneka Barat. Kedua: demokrasi merupakan pemikiran utopis, tidak layak diimplementasikan. Manakala suatu negara menerapkan demokrasi, mereka sering melakukan kebohongan, manipulasi dan rekayasa sehingga menyesatkan umat manusia, seperti dalam penyusunan hukum dan undang-undang. Ketiga: sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia. Sistem tersebut disusun manusia untuk manusia. Pasalnya, manusia tidak bisa lepas dari kesalahan. Sesungguhnya hanya Allah yang terbebas dari kesalahan. Karena itu, hanya sistem dari Allah saja yang patut dianut. Dengan demikian demokrasi merupakan sistem kufur karena tidak bersumber dari syariah Islam. Dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir (2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat). Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas. Sebab, menurut Aqidah Islam,

yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia (QS al-Anam [6]: 57). Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran (QS alMaidah [5]: 44). Abdul Qadim Zallum (1990: 4) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam, antara lain: a. Dari segi sumber: Demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sebaliknya, Islam berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw. b. Dari segi asas: Demokrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Islam asasnya Aqidah Islamiyah yang mewajibkan penerapan syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS 2: 208). c. Dari segi standar pengambilan pendapat: Demokrasi menggunakan standar mayoritas. Dalam Islam, standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas. Rinciannya: (1) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat, bukan suara mayoritas. d. Dari segi ide kebebasan: Demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (al-hurriyat). Kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan apa pun pada saat melakukan aktivitas. Sebaliknya, Islam tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Islam justru mewajibkan keterikatan manusia dengan syariah Islam. Dengan demikian, demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam sesungguhnya merupakan sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukumhukum Islam, baik secara garis besar maupun secara rinciannya. Oleh karena itu, kaum Muslim diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan demokrasi. Apalagi mengaitkan demokrasi dengan Islam. Syura bukan Demokrasi Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi telah masyhur didengar meski anggapan ini sesungguhnya tidak benar. Anggapan itu muncul karena kafir penjajah sukses menyembunyikan kebusukan demokrasi. Demokrasi dijadikan oleh kafir Barat sebagai salah satu penjajahan atas negeri-negeri kaum Muslim, selain itu juga digunakan untuk memalingkan Islam dari umatnya. Menurut syariah, syura adalah mengambil pendapat (akhdh ar-rayi) (An-Nabhani 1994: 246). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (Zallum, 2002:216). Istilah lain syura adalah masyura atau at-tasyawwur. Hukum syura adalah mandub/sunnah, bukan wajib. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam QS Ali Imran [3]: 159. Pendapat itu sejalan dengan para ahli tafsir seperti Ibn Jarir athThabari (Jami Al-Bayan, IV/153), Al-Alusi (Ruh al-Maani, IV/106-107), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf, I/474), Imam al-Qurtubhi (Al-Jami li Ahkam al-Quran, IV/249-252) dan Ibnul Arabi (Ahkam al-Quran, I/298). Syura adalah hak kaum Muslim semata. Pihak pemegang kewenangan seperti khalifah, ketika hendak meminta atau mengambil pendapat, ia hanya mengambilnya dari kaum Muslim. Tegasnya, syura adalah proses pengambilan pendapat yang khusus di kalangan internal sesama orang Islam. Tidak boleh dalam syura mengambil pendapat dari orang kafir meskipun boleh orang kafir menyampaikan pendapat kepada orang

Islam dan boleh kaum Muslim mendengarkan pendapat dari orang kafir tersebut (AnNabhani, 2001: 111). Kekhususan ini sebagaimana dalam QS Al-Imran [3]: 159. Memang dalam demokrasi suara mayoritaslah yang menjadi penentu dalam setiap bidang permasalahan. Adapun dalam syura kriteria pendapat yang diambil bergantung pada permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya ada tiga. Pertama: dalam penentuan hukum syariah (at-tasyri). Kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash al-Quran dan as-Sunnah. Sebab yang menjadi Pembuat hukum (Musyarri) hanyalah Allah SWT. bukan umat atau rakyat. Sebagai contoh, tidak perlu meminta pendapat kepada umat apakah khamr haram atau tidak walaupun di situ ada kemanfaatan dan pendapatan sebagaimana dalam sistem kapitalis-sekular. Jelas, Islam mengharamkannya. Kedua: dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Dalam hal ini, yang dijadikan kriteria adalah ketepatan dan kebenarannya, bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi, masalah yang ada harus dikembalikan pada para ahli yang berkompeten. Merekalah yang memahami permasalahan yang ada secara tepat. Masalah kemiliteran, misalnya, dikembalikan kepada pakar militer. Masalah fikih dikembalikan kepada para fukaha dan mujtahid. Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah saw. mengikuti pendapat Hubab bin Al-Mundzir pada Perang Badaryang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategisyang mengusulkan kepada Nabi saw. agar meningggalkan tempat yang dipilih beliau sekiranya tempat itu bukan dari wahyu ( Sirah Ibnu Hisyam, II/272). Ketiga: masalah yang langsung menuju pada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam. Dalam hal ini, yang menjadi patokan adalah suara mayoritas karena mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya degan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Sebagai contoh, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atu ketua oraganisasi), apakah kita akan keluar kota atau tidak. Masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang. Mereka dapat memberikan pendapatnya. Dalil untuk ketentuan ini ketika ada dua pendapat dari para sahabat dalam Perang Uhud. Nabi saw. mengikuti pendapat sahabat muda yang menyarankan untuk keluar dari Kota Madinah dan mengabaikan pendapat sahabat senior yang meminta tetap di Kota Madinah. Dengan demikian, jelas bahwa syura berbeda dengan demokrasi. Khatimah Demokrasi bukanlah jalan bagi umat Islam. Menyamakan demokrasi dengan Islam sama saja menyampurkan yang haq dengan batil. Hal ini bertentangan dengan Islam (QS al-Baqarah [2]: 42). Demokrasi merupakan sistem kufur; haram diambil, diterapkan dan dipropagandakan. Sistem demokrasi harus diganti dengan sistem Islam dalam institusi Khilafah. Inilah jalan sahih bagi umat Islam untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan. Karena itu, segera tinggalkan demokrasi; tegakkan syariah dan Khilafah. Insya Allah. WalLahu aalam bi ash-shawwab. [Hanif Kristianto; Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jatim] Daftar Rujukan Apakah Demokrasi Itu? 1991, hlm. 4-5. Terbitan United States Information Agency. Ibid, hlm. 6. Abdul Qadim Zallum. 2004. Pemikiran Politik Islam, hlm. 202-203. Al-Izzah.

Abdul Qadim Zallum, 1990. Demokrasi Sistem Kufur. (Min Mansyurat Hizb at-Tahrir) Abdul Qadim Zallum, 2002. Nizham al-Hukm fi al-Islam. Cetakan VI (Min Mansyurat Hizb at-Tahrir). Taqiyyudin An-Nabhani, 2001. Nizham al-Islam. Cetakan VI JEBAKAN DEMOKRASI Demokrasi adalah sebuah doktrin pemerintahan, bahwa kedaulatan ada pada rakyat, baik dalam memilih sumber (rujukan) hukum yang akan diberlakukan di atas mereka, memilih siapa penguasa yang akan menerapkan hukum itu, maupun memilih apa yang mereka anggap mendatangkan manfaat bagi mereka. Secara singkat, demokrasi adalah dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Karena rakyat yang dimaksud adalah manusia, sedangkan manusia itu tempat salah dan lupa, tempat kepentingan lebih diutamakan dari persahabatan, tempat prediksi jangka panjang dilingkupi keterbatasan, maka produk demokrasi sering kontradiktif. Demokrasi di Amerika berakibat malapetaka untuk Irak dan Afganistan. Demokrasi di Belanda melegalisasi pernikahan sejenis dan menghalalkan narkoba. Demokrasi di Indonesia juga berdampak sangat negatif, baik yang terkait dengan prosedurnya maupun substansinya. Secara prosedural, demokrasi di Indonesia dengan rangkaian Pemilu dan Pemilukada berbiaya sangat tinggi, sehingga ketika sang terpilih berkuasa, dia atau investor-nya akan mati-matian berusaha agar modal kembali dan meraup laba. Ini akan memicu korupsi baik secara langsung (korupsi APBN/APBD atau menerima gratifikasi dari rekanan) atau secara tak langsung melalui pembuatan peraturan yang tampak sah secara hukum namun menguntungkan dirinya, keluarganya, kroninya, atau investor baik domestik maupun asing. Karena hanya mendapat kontrak lima tahunan, politisi yang relatif bersih pun hanya berpikir bahwa dalam lima tahun itu dia harus menghasilkan QuickWin, yakni suatu kebijakan yang populis, maksudnya yang hasilnya dapat cepat dirasakan rakyat. Jarang sekali politisi dalam sistem demokrasi yang berani mengambil kebijakan yang visioner, yakni yang mendasar dan berjangka panjang, yang justru baru akan dipanen atau dinikmati oleh penggantinya, yang belum tentu satu partai atau satu ide dengan dirinya. Di negara-negara maju yang relatif bersih dari korupsi, kebijakan pemerintahnya untuk menyenangkan rakyat terbukti dalam jangka panjang membuat utang negara semakin besar. Karena utang ini dibuat dengan mekanisme penerbitan surat utang atau obligasi, maka dalam jangka panjang, ini akan membuat APBN semakin berat untuk membayar utang atau nilai uang akan tertekan oleh inflasi. Di Indonesia, tidak cuma para politisi yang gemar menghalalkan segala cara demi pemenangan permainan demokrasi lima tahunan. Sekarang ini ada indikasi para birokrat senior juga mulai tertarik pada permainan itu, karena setelah pensiun dari PNS, mereka bisa masuk partai dan melamar jadi anggota dewan. Kalau mereka terpilih, maka lima tahun kemudian mereka dapat pensiun anggota dewan. Mereka juga masih bisa melamar ke jabatan politik yang lain, seperti menjadi bupati atau bubernur; juga setelah lima tahun dapat pensiun. Kalau ini semua terjadi, aturan yang ada saat ini akan memungkinkan mereka mendapat tiga pensiun sekaligus (PNS, Anggota Dewan, Kepala Daerah). Tentu saja untuk langkah pertama, mereka harus membawa mahar yang diperlukan. Yang jelas, mahar ini tidak cukup seperangkat alat shalat dan kitab al-Quran. Adapun secara substansial, demokrasi membawa paradigma, bahwa apa yang tidak dilarang oleh hukum positif (undang-undang produk demokrasi), berarti boleh, dan apa yang tidak

diperintahkan oleh hukum positif, berarti tidak perlu dikejakan. Contoh konsekuensi logisnya: 1. Menghirup uap Aica Aibon tidak dilarang maka berarti boleh. Akibatnya, Aica Aibon dijadikan semacam narkoba oleh anak-anak kalangan miskin, dan mereka tidak perlu khawatir akan ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN). Hal serupa terjadi pada beberapa zat racun lain yang belum masuk dalam daftar obat terlarang BNN. 2. Karena tak ada UU yang memerintahkan negara menyantuni gelandangan, maka pemerintah tidak perlu menyantuni gelandangan, sehingga gelandangan lalu mengemis di jalanan, tinggal di bantaran sungai, dan disalahkan ketika banjir terjadi. Hal yang serupa juga terjadi pada banyak hal yang lain. Para penggiat demokrasi substansial sering menolak atau menunda penerimaan terhadap penerapan syariah Islam, dengan alasan, karena itu belum diperintahkan oleh konstitusi. Namun, penolakan terhadap syariah Islam seperti ini berdampak sangat negatif, karena lantas banyak sekali perbuatan bodoh yang dilakukan orangdengan alasan tidak melanggar hukum dan banyak sekali perbuatan cerdas yang tidak dilakukandengan alasan tidak diperintahkan. Padahal andaikata kita tidak menunggu demokrasi, tetapi langsung mengacu pada syariah Islam, kekosongan ini tidak akan terjadi. Penikmat Demokrasi Ketika demokrasi dipandang hanya sebagai alat (tools), maka orang akan cenderung memandang bahwa demokrasi bisa diperalat atau bahkan dinikmati, termasuk untuk perjuangan Islam. Mereka akan masuk ke dalam sistem pemerintahan, baik sebagai anggota legislatif, ekeskutif maupun yudikatif. Kalau alat ini tetap diperlakukan sebagai alat, sedangkan tujuannya tetap idealisme, misalnya syariah dan Khilafah, maka penggunaan demokrasi ini akan berhadapan dengan sejumlah kendala ataupun jebakan yang dipersiapkan pihak lain, baik itu yang bernama tata tertib, tekanan stakeholder, maupun budaya organisasi. Banyak tata tertib yang membelenggu mekanisme kerja di parlemen. Misalnya, rancangan undang-undang atau Perda harus diusulkan Pemerintah. Meski DPR sendiri memiliki hak inisiatif untuk mengusulkan UU, ada persyaratan yang cukup berat, seperti dukungan sejumlah anggota atau sekian puluh ribu konstituen. Belum tanggung jawab penyiapan anggaran pembahasan bila hak inisiatif ini dipakai. Pada sisi lain, para pemangku kepentinganbaik perorangan, korporasi maupun kelompok masyarakattak henti-hentinya menekan anggota Dewan baik untuk memperjuangkan aspirasinya, ataupun sekadar minta perhatian (baik secara moril maupun materil) pada berbagai kepentingannya, yang kadang tidak terkait persoalan masyarakat. Begitu terpilih menjadi anggota, ratusan proposal permohonan bantuan/dana akan berdatangan. Ada yang minta sekolah atau pesantrennya direnovasi, ada yang minta bantuan hukum untuk kasusnya di pengadilan, ada PNS yang minta dukungan agar menduduki jabatan tertentu, dan tentu saja ada yang minta dibantu memenangkan tender pada dinas atau departemen tertentu. Sebagian besar mengaku sebagai konstituen yang memiliki kontribusi sehingga politisi tadi terpilih. Ini membuat fokus anggota dewan tadi terpecah, tak lagi pada persoalan politik agung, tetapi pada banyak persoalan remeh-temeh. Pada awalnya mereka ingin menjadi pemeralat demokrasi atau penunggang demokrasi. Namun, pada akhirnya mereka justru bisa menjadi korban demokrasi. Adapun kalau memang niatnya ingin menjadi penikmat demokrasi, maka pintu telah terbuka lebar. Sebelumnya perlu diluruskan, bahwa melakukan hal-hal yang diijinkan oleh syariah, dan kebetulan juga diijinkan oleh undang-undang produk demokrasi, tidak bisa dikatakan sebagai menikmati demokrasi. Kalau seseorang di masa kini dapat

mengemukakan pendapat Islam di depan publik, dapat bebas berorasi mengkritik pemerintah yang abai urusan umat, atau bebas menerbitkan majalah Islam tanpa takut dibreidel, maka itu bukanlah menikmati demokrasi, karena itu memang diwajibkan syariah, baik itu diijinkan atau dilarang oleh UU produk demokrasi. Justru sebaliknya, menikmati demokrasi yang sesungguhnya itu adalah ketika orang menikmati berbagai kemaksiatan yang dilindungi UU produk demokrasi, misalnya menikmati riba ala perbankan, menikmati judi ala Pasar Modal, menikmati miras berijin, menikmati aurat di layar TV, menikmati penjarahan sistemik SDA dsb. Demikian juga, pendukung sistem demokrasi adalah para politisi, kader dan simpatisan yang menghalalkan segala cara agar sistem yang melegalkan maksiat tadi tetap tegak. Adapun mereka yang bekerja secara profesional di dunia akademisi, birokrasi, BUMN, maupun bisnis serta mengupayakan tatanan kehidupan yang lebih baik, mereka tidak bisa disebut pendukung [sistem yang rusak itu], sekalipun mereka adalah PNS, penegak hukum maupun para pembayar pajak, kecuali bila aktivitas mereka memang terkait langsung dengan maksiat. Jebakan Demokrasi Jalan untuk menegakkan syariah pastilah bukan jalan yang mudah dan ringan, tetapi jalan yang sukar dan mendaki. Namun, manusia memang secara naluriah lebih cenderung mencari jalan yang mudah dan ringan. Benarlah kata al-Quran: . . . . . . . . . . . . . . Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar (QS al-Balad [90]: 10-11). Demokrasi dengan one-man one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah. Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan. Yang termudah adalah dengan menjual sesuatu yang gampang diterima oleh massa. Kadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya sembako murah atau citra bersih), kadang berupa public-figure seperti dai kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer, dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti bantuan uang atau materi lainnya. Semua hal mudah ini jelas berakibat lunturnya ideologi partai. Para pemilih bahkan tim sukses pun tidak lagi melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak di benak mereka. Mereka terpaku pada yang gampang diterima massa. Demokrasi prosedural juga memberikan waktu yang terbatas pada siapapun yang terpilih. Para legislator dan kepala daerah umumnya hanya diberi waktu lima tahun. Setelah itu kartu akan dikocok ulang. Khusus para kepala daerah bahkan hanya dapat dipilih ulang sekali saja. Waktu lima tahun tentulah bukan waktu yang cukup untuk perubahan dalam skala ideologi. Revolusi di manapun membutuhkan masa transisi cukup panjang yang biasanya dirasakan cukup berat. Rasulullah saw. yang merevolusi kaum Muhajirin dan Anshar pun dalam sepuluh tahun pemerintahannya dapat dikatakan era transisi, ditandai dengan puluhan perang yang harus mereka alami. Tentu saja tidak mudah untuk mengukir tonggak keberhasilan dalam lima tahun dan menunjukkannya ke para pemilih agar mereka memperpanjang mandatnya. Karena tidak mudah ini, maka dalam masa lima tahun itu terjadilah politik pragmatisme, yakni mengejar kemanfaatan jangka pendek. Dibuatlah berbagai aturan yang dapat memperkokoh kedudukan partai, baik dari segi dana, SDM maupun organisasi. Upaya ini dapat berasal dari pundi-pundi lembaga yang mereka kuasai (legislatif, eksekutif, yudikatif) maupun dari unsur-unsur eksternal seperti bantuan dari pihak swasta ataupun bantuan non pemerintah dari Luar Negeri. Semuanya tentu ada

kompensasinya. Tidak heran bahwa banyak partai yang semula sangat sederhana, tiba-tiba jadi memiliki gedung kantor yang megah lengkap dengan fasilitas kendaraan mewah dan perlengkapan lainnya setelah kadernya ada yang duduk di parlemen atau pemerintahan. Ketika mereka telah duduk di pemerintahan, tampaklah bahwa ada 1001 persoalan bersamanya. Ada aturan-aturan yang saling menopang dan membelit, yang tidak dapat diubah satu-persatu begitu saja. Kadang-kadang seorang menteri atau kepala daerah berpikir bahwa jika suatu aturan dibuat di instansinya, maka dia dapat berinisiatif untuk mengubah atau bahkan mencabutnya. Namun ternyata, banyak aturan yang terkait dengan peraturan lain, atau bahkan terkait dengan perjanjian internasional. Contoh: aturan bunga bank (yang sudah difatwa haram oleh MUI). Kalau suatu kepala daerah ingin membuat perda, misalnya hanya bank-bank dengan sistem syariah yang boleh beroperasi di daerahnya, pasti akan digugat oleh bank-bank konvensional dengan alasan persaingan usaha, dan perda tersebut pasti akan kalah saat Judicial Review, karena menyalahi undang-undang. Kalau Menteri Keuangan bersama Gubernur BI akan mensyariahkan undang-undang perbankan, pasti digugat oleh IMF, Bank Dunia dan WTO, sebab Indonesia punya kesepakatan-kesepakatan internasional bidang moneter dan perdagangan. Hal ini juga terjadi dalam perkara pertanahan, pertambangan, kehutanan, pendidikan, hukum pidana, hukum perdata, dan sebagainya. Adanya globalisasi makin mempersulit posisi tersebut. Kalau bukan disentil oleh IMF, Bank Dunia atau WTO, kita akan didemo oleh LSM-LSM asing, atau diberitakan miring oleh jaringan pers internasional. Para aktivis syariah akan distempel fundamentalis, radikal, dan teroris! Hanya revolusi yang dapat mendobraknya. Namun, revolusi adalah jalan yang mendaki dan sukar. Tidak banyak yang berani menanggung resikonya. Walhasil banyak dari politisi yang masuk dalam legislatif atau eksekutif ini yang menyerah pada situasi, suka tidak suka jadi terlibat dalam sistem perundang-undangan yang tidak lagi melihat halal-haram. Padahal sistem perundang-undangan semacam itu hakikatnya adalah sistem kufur. Akhirnya, karena mereka tidak sanggup lagi mengubahnya, mereka menyatakan kondisi saat ini sebagai kondisi darurat. Mereka akan mengatakan bahwa masih lebih baik mereka yang duduk, bukan politisi sekular yang kejam, bukan pula diktator korup. Kita tidak ingin mengatakan bahwa para aktivis partai Islam tersebut telah terjebak. Mereka berjuang, dan tidak dinafikan bahwa sebagian dari mereka betul-betul berjuang dengan ikhlas, mengorbankan harta, waktu, tenaga dan pikirannya. Kita menyebut fenomena di atas adalah jebakan sebagaimana seorang prajurit yang gagah berani di medan perang dapat juga tanpa sengaja terkepung pada medan penuh ranjau yang sangat sulit, sehingga dia dengan sadar memutuskan untuk memilih jalan yang dalam pertimbangannya ranjaunya paling sedikit. JEBAKAN JEBAKAN DEMOKRASI Siapapun yang pernah merasakan hidup di bawah penguasa yang tiranik, sewenang-wenang, serta buta dan tuli terhadap penderitaan rakyat, tentu sepakat bahwa pemerintahan diktator otoriter seperti itu harus dihentikan, dilawan dan dicegah agar jangan pernah muncul kembali. Di dunia, ada beberapa tipe diktator. Ada diktator aristokrasi, yakni diktator para bangsawan. Hukum dibuat hanya untuk melindungi kepentingan bangsawan yang seakan-akan pemilik negara seluruhnya. Ada diktator teokrasi, yaitu diktator para pendeta. Mereka menciptakan hukum dengan hawa nafsunya, namun diklaim bahwa itu adalah ilham dari Tuhan. Mereka juga mengklaim dirinya tidak bisa salah (maksum). Ada diktator militer, yang memerintah

dengan asas, yang kuat menguasai yang lemah. Dalam negara, siapa yang lebih kuat dari angkatan bersenjata? Demokrasi dicitrakan di Barat sebagai anti tesis dari diktator dan memang begitu sejarahnya. Manusia cenderung untuk melakukan pembagian dikotomis: besar-kecil, baik-buruk, benarsalah, demokratis-diktator. Jarang yang memikirkan pihak di tengah, yang tidak besar maupun kecil, yang tidak dapat disifati baik-buruk (karena bukan persoalan etika), yang tidak dapat disifati benar-salah (karena bukan persoalan logika). Jarang juga yang berpikir adanya sistem kekuasaan yang bukan demokratis, namun juga bukan diktator. Karena itu, setelah 32 tahun diperintah rezim Soeharto yang otoriter, anti kritik dan korup, masyarakat menyambut gembira reformasi yang ditandai dengan sejumlah perubahan demokratis. Demokrasi dipahami dengan adanya keterbukaan yang akan mencegah korupsi, dengan kebebasan dari rasa takut untuk berpendapat, berdemonstrasi, membangun media massa, membentuk partai, hingga mencalonkan diri menjadi presiden. Sejumlah aktivis Islam yang di era Orde Baru harus mendekam di penjara karena vokal mengritik Soeharto maupun yang harus bergerak di bawah tanah, sejak era Reformasi tidak ragu-ragu lagi untuk bergerak terbuka. Muncullah berbagai partai-partai baru, baik yang berasas Islam maupun Pancasila. Mereka berkompetisi memperebutkan kepercayaan rakyat via Pemilu. Mereka mencoba berjuang melalui koridor yang diberikan demokrasi, yaitu mendirikan partai, melakukan kaderisasi dan sosialisasi, ikut Pemilu, meraih kursi di parlemen, jabatan kepala daerah atau bahkan presiden, kemudian memodifikasi peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan syariah Islam. Sejauh ini, itu adalah teori yang dinilai cukup meyakinkan, karena selama ini TNI/POLRI terbukti netral. TNI/POLRI mendukung siapapun yang terpilih di negeri ini. Karena itulah, negeri ini kemudian disebut sebagai negeri Muslim dengan demokrasi terbesar di dunia, dan negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia dilihat dari jumlah populasinya (setelah India dan AS). Simplifikasi Namun, semua itu ternyata hanya simplifikasi. Orang menganggap mudah (simpel) sesuatu yang sebenarnya tidak sederhana itu. Ketika demokrasi hanya diartikan sebagai tangga meraih kekuasaanpartai, Pemilu, parlemenmaka demokrasi ini oleh para ideolog demokrasi dianggap hanya prosedural, belum substansial. Apalagi ketika tujuan akhir dari proses ini adalah untuk menegakkan syariah Islam. Sebagian kalangan liberal menilai, cara ini adalah cara Hitler, sang pemimpin Nazi yang berkuasa di Jerman dari tahun 1933-1945 dan menyeret Jerman dalam malapetaka Perang Dunia II. Hitler meraih kekuasaannya dalam proses Pemilu yang demokratis. Masa awal pemerintahannya diisi dengan politik pembangunan yang sangat populis (setiap keluarga Jerman mendapatkan satu pekerjaan, satu rumah dan satu mobil) sehingga pada Pemilu berikutnya dia meraih mayoritas mutlak. Ini kemudian digunakannya untuk mengubah konstitusi Jerman sedemikian rupa sehingga dapat dinilai justru membunuh asas-asas demokrasi itu sendiri (yaitu politik diskriminasi dan bahkan pemusnahan bagi lawan-lawan politiknya). Karena itu, tidak aneh jika kalangan liberal tetap curiga bahwa prosedur demokrasi di tangan para aktivis Islam suatu hari nanti akan dipakai untuk membunuh demokrasi itu sendiri. Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa prosedur demokrasi ini tidak selalu mulus. Minimal ada empat hal yang menjadi hambatan. Pertama: bagaimana meraih kemenangan suara terbanyak, ketika suara rakyat jelata yang pendidikannya rendah dan awam terhadap politik sama beratnya dengan para politikus yang cerdas? Bagaimana berkompetisi dengan partai lain yang benar-benar mengandalkan keawaman massa? Kita melihat bahwa pada

Pemilu 1999 dan 2004, suara pendukung tokoh reformasi Amien Rais dan partainya tidak sebanyak suara ke tokoh dan partai yang lain, yang sebenarnya tidak punya citra reformasi yang kental! Mengapa? Salah satu alasannya: mesin keuangan mereka tidak sekuat kompetitornya. Kedua: pihak yang mendapat suara terbanyak tidak otomatis akan didukung dalam segala sikap politiknya. Ini berlaku juga bagi partai yang ingin menegakkan syaraih Islam via jalur demokrasi. Akibatnya, partai Islam yang terpilih tidak otomatis akan dibela para pemilihnya itu ketika mereka dalam kesulitan, sebagaimana kasus FIS di Aljazair atau Refah di Turki. Pada tahun 1991, FIS memenangkan 188 dari 231 kursi parlemen Aljazair, tetapi kemudian militer yang direstui Prancis menganulir Pemilu dan menangkapi para pemimpin FIS. Tahun 1996 partai Refah yang memenangkan Pemilu di Turki bahkan telah memerintah dengan Najmudin Erbakan sebagai perdana menteri. Namun, pada 1997 terjadi kudeta militer dengan alasan Refah memiliki agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi. Pada 1998, Mahkamah Agung Turki menyatakan Refah menjadi partai terlarang. Pada kedua kejadian ini, mayoritas para pemilih ternyata memilih bersikap pasif (diam)! Ketiga: pemegang kekuasaan yang sesungguhnya di negara manapun adalah siapa yang dapat mengendalikan kekuatan bersenjata (militer). Pengendali ini bisa tokoh informal yang tidak duduk di kekuasaan, bisa pula kekuatan asing. Merekalah yang hakikatnya mampu melakukan apapun, termasuk membekukan konstitusi. Ini terjadi di negeri-negeri yang pernah merasakan kudeta. Siapapun yang memenangkan Pemilu, baik dengan jujur maupun curang, tidak akan mampu berbuat apa-apa jika militer tidak netral atau tidak bersama mereka. People power yang sebesar apapun hanya akan berhasil jika militer mendiamkannya. Untuk melakukan kudeta, bagi militer cukup mudah. Cukup merebut pusat-pusat komunikasi, menahan rumah para politisi, termasuk memutus semua alat komunikasinya, lalu mengumumkan di televisi bahwa telah terjadi kondisi darurat. Untuk melakukan semua ini hanya dibutuhkan sekitar 1000 orang tentara. Inilah yang terjadi di Thailand tahun 2006. Keempat: hambatan konstitusi. Di beberapa negara, sekularisme menjadi harga mati yang ditanam dalam konstitusi. Segala upaya apapun yang akan menggoyang asas ini dapat dinyatakan melanggar konstitusi oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Dalam UUD 1945 hasil Amandemen para hakim konstitusi ini diberi kewenangan menguji undangundang apapun terhadap UUD, menyatakan presiden telah mengkhianati negara karena melanggar konstitusi hingga dapat dimakzulkan, membubarkan suatu partai yang agendanya dianggap bertentangan dengan konstitusi, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Karena itu, pada negara-negara sekular, selain para komandan militer, posisi para hakim konstitusi adalah strategis yang harus dijaga agar tetap di tangan orang-orang sekular. Jebakan Demokrasi Jalan untuk menegakkan syariah pastilah bukan jalan yang mudah dan ringan, tetapi jalan yang sukar dan mendaki. Namun, manusia memang secara naluriah lebih cenderung mencari jalan yang mudah dan ringan. Benarkah kata al-Quran: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, namun ia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar (QS al-Balad [90]: 10-11). Demokrasi dengan one-man one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah. Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan. Yang termudah adalah dengan menjual sesuatu yang gampang diterima oleh massa. Kadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya sembako

murah atau citra bersih), kadang berupa public-figure seperti dai kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer, dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti bantuan uang atau materi lainnya. Semua hal mudah ini jelas berakibat pada lunturnya ideologi partai. Para pemilih, bahkan tim sukses pun, tidak lagi melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak di benak mereka. Mereka terpaku pada yang gampang diterima massa. Demokrasi prosedural juga memberikan waktu yang terbatas pada siapapun yang terpilih. Para legislator dan kepala daerah umumnya hanya diberi waktu lima tahun. Setelah itu, kartu akan dikocok ulang. Khusus para kepala daerah bahkan hanya dapat dipilih ulang sekali saja. Waktu lima tahun tentulah bukan waktu yang cukup untuk perubahan dalam skala ideologi. Perubahan yang mendasar dan menyeluruh (taghyir) di manapun membutuhkan masa transisi cukup panjang yang biasanya dirasakan cukup berat. Rasulullah saw. yang merubah kaum Muhajirin dan Anshar pun dalam sepuluh tahun pemerintahannya dapat dikatakan era transisi, ditandai dengan puluhan perang yang harus mereka alami. Tentu tidak mudah untuk mengukir tonggak keberhasilan dalam lima tahun dan menunjukkannya kepada para pemilih agar mereka memperpanjang mandatnya. Karena tidak mudah ini, maka dalam masa lima tahun itu terjadilah politik pragmatisme, yakni mengejar kemanfaatan jangka pendek. Dibuatlah berbagai aturan yang dapat memperkokoh kedudukan partai, baik dari segi dana, SDM maupun organisasi. Upaya ini dapat berasal dari pundi-pundi lembaga yang dikuasainya (legislatif, eksekutif, yudikatif) maupun dari unsur-unsur eksternal seperti bantuan dari pihak swasta ataupun bantuan non pemerintah dari luar negeri. Semuanya tentu ada kompensasinya. Tidak heran bahwa banyak partai yang semula sangat sederhana, tibatiba memiliki gedung kantor yang megah lengkap dengan fasilitas kendaraan mewah dan perlengkapan lainnya setelah kadernya ada yang duduk di parlemen atau pemerintahan. Ketika mereka telah duduk di pemerintahan, tampaklah bahwa ada 1001 persoalan bersamanya. Ada aturan-aturan yang saling menopang dan membelit, yang tidak dapat diubah satu-persatu begitu saja. Kadang-kadang seorang menteri atau kepala daerah berpikir bahwa jika suatu aturan dibuat di instansinya, maka dia dapat berinisiatif untuk mengubah atau bahkan mencabutnya. Namun ternyata, banyak aturan yang terkait dengan peraturan lain, atau bahkan terkait dengan perjanjian internasional. Contoh: aturan bunga bank (yang sudah difatwa haram oleh MUI). Kalau suatu kepala daerah ingin membuat perda, misalnya, hanya bank-bank dengan sistem syariah yang boleh beroperasi di daerahnya, pasti itu akan digugat oleh bank-bank konvensional dengan alasan persaingan usaha, dan perda tersebut pasti akan kalah saat Judicial Review, karena menyalahi Undang-undang. Kalau Menteri Keuangan bersama Gubernur BI akan mensyariahkan undang-undang perbankan, pasti itu akan digugat oleh IMF, Bank Dunia dan WTO, sebab Indonesia mempunyai kesepakatan-kesepakatan internasional di bidang moneter dan perdagangan. Hal ini juga terjadi dalam perkara pertanahan, pertambangan, kehutanan, pendidikan, hukum pidana, hukum perdata, dan sebagainya. Adanya globalisasi makin mempersulit posisi tersebut. Kalau bukan disentil oleh IMF, Bank Dunia atau WTO, kita akan didemo oleh LSM-LSM asing, atau diberitakan miring oleh jaringan pers internasional. Para aktivis syariah akan distempel fundamentalis, radikal, dan teroris! Hanya perubahan yang mendasar dan menyeluruh (taghyir) yang dapat mendobraknya, namun jalan ini adalah jalan yang mendaki dan sukar. Tidak banyak yang berani menanggung risikonya. Walhasil, banyak dari politisi yang masuk dalam legislatif atau eksekutif ini yang menyerah pada situasi, suka tidak suka jadi terlibat dalam sistem perundang-undangan yang tidak lagi melihat halal-haram. Padahal sistem perundang-undangan semacam itu hakikatnya adalah sistem kufur. Akhirnya, karena mereka tidak sanggup lagi mengubahnya, mereka

menyatakan kondisi saat ini sebagai kondisi darurat. Mereka akan mengatakan bahwa masih lebih baik mereka yang duduk, bukan politisi sekular yang kejam, bukan pula diktator korup. Kita tidak ingin mengatakan bahwa para aktivis partai Islam tersebut telah terjebak. Mereka berjuang dan tidak dinafikan bahwa sebagian dari mereka betul-betul berjuang dengan ikhlas, mengorbankan harta, waktu, tenaga dan pikirannya. Kita menyebut fenomena di atas adalah jebakan, sebagaimana seorang prajurit yang gagah berani di medan perang juga tanpa sengaja dapat terkepung di medan yang penuh ranjau yang sangat sulit, sehingga dia dengan sadar memutuskan untuk memilih jalan yang dalam pertimbangannya ranjaunya paling sedikit. Jalur Alternatif Namun, kalau dipikir jernih, ada cara yang lebih aman secara syari, meskipun tentu saja lebih sukar. Tidak ada nikmatnya demokrasi di sana, karena jalan ini tidak menjanjikan jabatan, tidak menjanjikan perubahan yang cepat ataupun segala indikator duniawi lainnya. Jalan itu adalah jalur yang ditempuh Rasulullah saw., melalui dakwah ideologis baik ke level akar rumput maupun ke level elit. Di Makkah, hanya level akar rumput yang dapat diakses, itu pun dalam 13 tahun hanya berhasil merekrut sekitar 100 orang. Namun di Madinah, dalam setahun, hampir seluruh lapisan elit dapat dipegang sehingga perubahan yang mendasar dan menyeluruh (taghyir) berjalan mulus. Tentu saja jalan ini hanya akan tercatat dengan tinta emas sejarah jika dapat dipertahankan. Kuncinya perubahan total itu harus didukung oleh kesadaran masyarakat dan pemilik kekuasaan riil (ahlul Quwwah). Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang luar biasa tentang bagaimana proses yang alami ini dapat berlangsung manusiawi dan sempurna. [Dr. Fahmi Amhar]

Ilusi Demokrasi (1)


Orang sering mengatakan, apapun sistem politiknya, yang penting rakyat sejahtera. Dari sekian sistem politik yang ada, demokrasi dipercaya sebagai sistem politik terbaik yang akan mewujudkan misi itu. Bukan benar-benar terbaik, tetapi terbaik di antara yang buruk (the best among the worst). Dengan kemampuan memberikan ruang cukup luas pada aspirasi rakyat, penghargaan pada keragamaan atau pluralitas dengan tetap memberikan kebebasan, baik kebebasan berpendapat dan berkelompok, maupun kebebasan berekspresi, demokrasi dipercaya bisa mengakomodasi kepentingan seluruh anggota masyarakat, termasuk dalam memperlakukan kelompok rakyat miskin dan kaya sehingga kesejahteraan bersama bisa diwujudkan. Namun, dalam kenyataannya justru demokrasilah dengan Kapitalismenya itu yang menjadi penyebab utama terjadinya konsentrasi kekayaan dan timbulnya ketimpangan serta proses pemiskinan di tengah masyarakat. Bagaimana bisa? Seperti telah banyak dipahami, inti dari demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat (sovereignty belongs to people), yang perwujudannya tampak pada dua perkara. Pertama, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Kedua, dalam pemilihan pemimpin. Dengan kewenangan (wakil) rakyat menyusun peraturan perundang-undangan dan memilih pemimpin, diyakini bahwa peraturan perundangan yang dihasilkan akan selaras dengan kepentingan rakyat, dan pemimpin yang terpilih akan benar-benar bekerja demi rakyat. Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Untuk bisa menjadi anggota parlemen dan menjadi penguasa baik di level negara maupun di level distrik (propinsi dan kota/kabupaten) diperlukan biaya yang tidak sedikit. Nah, kebutuhan akan dana yang besar inilah yang kemudian menjadi pangkal timbulnya masalah. Ambil contoh Amerika Serikat. Di negara yang dianggap sebagai kampiunnya demokrasi, dalam Pemilu baru lalu, untuk biaya kampanye, Obama dikabarkan menghabiskan paling

sedikit 800 juta USD (sekitar Rp 7,2 triliun). Rivalnya, Mitt Romney juga menghabiskan jumlah kurang lebih sama. Keadaan serupa terjadi di Indonesia. Pasangan Sukarwo dan Saifullah dalam Pilkada Jawa Timur pada tahun 2008 lalu, misalnya, secara resmi menyatakan telah menghabiskan dana Rp 1,3 triliun untuk pencalonannya sebagai gubernur Jawa Timur. Bila untuk pencalonan gubernur saja dihabiskan dana segitu besar, yang dikeluarkan oleh calon presiden tentu lebih besar lagi. Disebut-sebut paling sedikit sekitar Rp 1,5 triliun. Lalu untuk calon anggota legislatif (caleg), biaya yang dikeluarkan juga tak sedikit. Wakil Ketua DPR dari PDI Perjuangan, Pramono Anung, dalam penelitian untuk disertasi doktoralnya mendapati fakta, untuk Pemilu paling sedikit caleg mengeluarkan dana minimal Rp 600 juta. Ada juga yang menghabiskan dana hingga Rp 6 miliar. Biaya itu dari Pemilu ke Pemilu cenderung meningkat. Biaya caleg tahun 2009, misalnya, naik 3,5 lipat dibanding tahun 2004. Untuk Pemilu 2014 mendatang biaya pencalegkan pasti menyentuh angka miliaran. Pertanyaannya, darimana semua dana itu diperoleh? Di AS, hampir 80% dana sebanyak itu disumbang oleh para pengusaha. Di Indonesia tidaklah berbeda. Kondisi ini tentu memberikan implikasi serius. Pertama, kebijakan pemerintah yang dibentuk melalui proses politik seperti itu pasti kemudian akan cenderung mengutamakan kepentingan pengusaha yang telah mendukungnya. Kedua, peraturan perundangan yang dihasilkan oleh anggota parlemen, terutama yang berkaitan dengan ekonomi, juga akan cenderung berpihak kepada pemilik modal. Itu dilakukan sebagai kompensasi atau sebagai jalan untuk mendapatkan dana guna mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan. Akhirnya, mereka menjadikan kedudukan dan kewenangan yang mereka miliki itu sebagai alat untuk memperoleh uang karena gaji resmi yang diterima jauh dari kebutuhan. Oleh karena itu, bisa dimengerti bila kemudian banyak kepala daerah dan anggota parlemen tersangkut perkara korupsi. DPR bahkan dinilai sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, sebanyak 69,7 persen anggota DPR terindikasi korupsi. Sepanjang tahun 2004 hingga 2012, ada 431 orang anggota DPRD provinsi dan 998 orang anggota DPRD Kabupaten/Kota tersangkut kasus korupsi. Lalu 17 dari 33 Gubernur yang ada, dan 148 walikota/bupati juga menjadi tersangka korupsi. Akhirnya, demokrasi semakin jauh dari realisasi politik demi kepentingan rakyat. Para pemilik modal itulah yang akhirnya secara efektif memiliki akses dan kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Tak heran bila kemudian kebijakan yang diambil oleh pemerintah lebih cenderung menguntungkan para pemilik modal atau kelompok kaya yang tidak lain adalah mereka yang telah mendukung rezim naik ke tampuk kekuasaan sehingga yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin makin tersisihkan. Keadaan inilah yang menimbulkan ketimpangan ekonomi di berbagai negara di dunia. Di Amerika Serikat, misalnya, dari tahun 1980 hingga 2005, 80% kekayaan AS hanya dimiliki oleh 1% penduduk. Dari tahun 1979 hingga tahun 2007 pendapatan rata-rata 1% terkaya orang naik 272% dari 350.000 USD ke 1.300.000 USD. Pada kurun waktu yang sama, pendapatan rata-rata 20% penduduk AS termiskin hanya naik 13% dari 15.500 USD ke 17.500 USD. Di Indonesia, kesenjangan serupa juga terjadi. Indeks Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi pada 2011 menjadi 0,41. Padahal pada tahun 2005, gini rasio Indonesia masih 0,33. Data lain memperlihatkan, total pendapatan 20 persen masyarakat terkaya meningkat dari 42,07 persen (2004) menjadi 48,42 persen (2011). Sebaliknya, total pendapatan 40 persen

masyarakat termiskin menurun dari 20,8 persen (2004) menjadi 16,85 persen (2011). Kekayaan 40 ribu orang terkaya Indonesia sebesar Rp 680 Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan 10,33% PDB, dan itu setara dengan kekayaan 60% penduduk atau 140 juta orang. Dalam konteks global, terjadi pula kecenderungan peningkatan ketimpangan kekayaan. Hingga tahun 2010, sebanyak 0,5% penduduk terkaya (24 juta orang) memiliki 35,6% kekayaan global; 8% penduduk terkaya (358 juta) memiliki 79,3 kekayaan global. Sebaliknya, 68,4% penduduk miskin (3,038 miliar) hanya memiliki 4,2% kekayaan global. Maka tak heran, dalam demo yang marak terjadi di berbagai negara Barat menyusul krisis ekonomi yang tak kunjung surut, mereka membawa poster atau spanduk berbunyi: Capitalism is not working, Capitalism is merely for 1%, we are the 99%. Konsentrasi kekayaan hanya pada kelompok kecil itu tentu saja mengakibatkan melajunya proses pemiskinan dan peningkatan jumlah orang miskin di dunia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan juga naik 200% sejak 1980-an. Kemiskinan adalah pembunuh massal yang sangat kejam. Dilaporkan 22.000 anak-anak di dunia meninggal tiap hari akibat tidak cukup mendapatkan makan, air bersih dan layanan kesehatan. Belum lagi mereka yang terpaksa hidup seadanya, tanpa tempat tinggal yang layak, nutrisi yang mencukupi dan layanan pendidikan dan kesehatan yang semestinya. Jadi, mengharap dari sistem demokrasi lahir kesejahteraan bersama adalah sebuah ilusi besar. Ketimpangan ekonomi di berbagai belahan dunia, termasuk di negeri ini, membuktikan hal itu. Oleh karena itu, mestinya kita tidak ragu untuk meninggalkan demokrasi yang telah tampak jelas kebusukannya, dan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk tegaknya syariah. Yakinlah, hanya dengan penerapan syariah secara kaffah di bawah naungan Daulah Khilafah saja kesejahteraan rakyat akan benar-benar terwujud. Bukan hanya sekadar sejahtera, melainkan juga kesejahteraan yang mulia karena hal itu dilahirkan dari kegiatan ekonomi halal saja dan kegiatan ekonomi haram sama sekali tidak mendapat tempat dalam sistem ini. WalLahualam bi ash-shawwab. [Bersambung] ILLUSI DEMOKRASI 2 Vox Populi, Vox Dei. Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan adalah slogan yang acap diusung oleh para pengikut demokrasi. Pepatah kuno bahasa Latin itu memang menggambarkan pengagungan yang luar biasa terhadap prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi. Sedemikian tinggi posisi suara atau aspirasi rakyat hingga diserupakan dengan suara atau kehendak Tuhan. Karena itu suara rakyat mutlak harus diperturutkan, tidak boleh diabaikan. Namun, benarkah setiap suara rakyat pasti mencerminkan kehendak Tuhan? Seperti sudah dipahami, inti dari demokrasi adalah prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat, melalui wakil-wakilnya di parlemen, menetapkan peraturan perundangan guna mengatur mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan; mana yang benar dan mana yang salah. Slogan Suara Rakyat adalah Suara Tuhan berangkat dari sebuah asumsi, bahwa kesepakatan mayoritas (wakil) rakyat dalam sistem demokrasi itu pasti mencerminkan kebaikan dan bakal menghasilkan penyelesaian yang memuaskan bagi seluruh rakyat. Logikanya, bila kebanyakan orang setuju, pastilah persetujuan itu akan berkait dengan hal-hal yang dipandang baik oleh kebanyakan orang itu. Bila Tuhan diyakini sebagai sumber kebaikan, maka persetujuan kebanyakan orang atas sesuatu yang dipandang baik itu juga tentu selaras dengan kehendak Tuhan. Dari situlah disimpulkan, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Namun, kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Secara faktual, terbukti tidak selamanya kesepakatan kebanyakan orang selalu berkenaan dengan kebaikan atau menghasilkan kebaikan. Tidak selamanya sebuah kebaikan dengan mudah disepakati. Sebagaimana juga tidak selamanya sebuah keburukan pasti tidak disepakati. Kebenaran adalah kebenaran. Ia tidak ditentukan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang menyepakati. Sesuatu itu disebut benar bergantung pada dasar yang digunakan untuk menetapkan sebuah kebenaran. Di situlah pemikiran menyeluruh mengenai alam semesta, manusia dan kehidupan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang akan sangat menentukan, karena ia menjadi dasar berpikir dan landasan untuk menilai sesuatu itu benar atau salah. Bila pemikiran mendasar tadi benar, pemikiran yang bertumpu di atasnya juga akan menjadi benar, begitu sebaliknya, tak peduli berapa jumlah orang yang mendukungnya. Meski telah disepakati oleh banyak orang, belum tentu sesuatu itu adalah benar-benar sebuah kebenaran, karena kesepakatan banyak orang tidak selalu identik dengan kebenaran dan pasti akan menghasilkan kebaikan. Contohnya, pengesahan pernikahan sejenis (same-sex marriage) di sejumlah negara Barat, yang diawali oleh Belanda pada tahun 2001; lalu Belgia tahun 2003, Spanyol (2005) dan Kanada, Norwegia serta Swedia pada tahun 2009; juga Portugal dan Islandia pada 2010. Meski mendapat tantangan keras dari warga, tampaknya akan segera menyusul pula Inggris dan Prancis. Bila benar Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, kira-kira Tuhan jenis apa, Tuhan merek apa, yang mau melegalkan pernikahan sejenis? Bahkan di dunia hewan yang paling menjijikkan sekalipun, se-anjing-anjingnya anjing, anjing yang paling anjing, tak sekalipun dijumpai gejala lesbianisme dan homoseksualitas. Dimana-mana, kalau ada ayam jantan ngejar ayam jantan, pasti mau tarung, bukan mau kawin. Lah, ini di lingkungan manusia, jenis makhluk yang katanya paling berakal, koq disahkan aksi jeruk makan jeruk. Lalu secara rasional, siapa yang berani bilang bahwa pernikahan sejenis adalah sebuah kebaikan? Sekarang saja, angka pertumbuhan penduduk di negara-negara Eropa sangatlah rendah karena angka kelahiran di sana juga sangat rendah. Angka kelahiran di Prancis 1.8, Inggris 1.6, Yunani 1.3, Jerman 1,3, Italy 1.2, dan Spanyol 1.1. Rata-rata di seluruh negara kesatuan Eropa, angka kelahiran mendekati 1.38. Angka tersebut dipastikan tak akan mampu menopang kelanjutan peradaban mereka. Penduduk yang ada makin tua, sementara generasi baru tidak banyak lahir. Apalagi bila tendensi homoseksualitas dan lesbianisme terus meningkat menyusul pelegalan pernikahan sejenis di hampir seluruh negara Eropa. Akibatnya, dalam jangka panjang diperkirakan peradaban Eropa akan lenyap. Eropa sendiri tentu tidak akan hilang. Namun, Eropa masa depan adalah Eropa yang bakal diisi oleh para imigran atau komunitas yang menolak keras pernikahan sejenis dan bersemangat melahirkan banyak keturunan. Di Indonesia, contoh ekstrem tadi pasti ditolak karena katanya tidak mungkin lah kesepakatan gila seperti itu bakal terjadi di negeri yang mayoritas Muslim. Namun, tidak berarti kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh wakil rakyat di negeri ini pasti lebih baik. Ambillah contoh kesepakatan yang berkaitan dengan perbankan. Di negeri ini, sebagaimana di banyak negara lain, sistem perbankan dijalankan dengan prinsip ribawi (bunga), padahal semua agama melarangnya. Dalam agama Yahudi dan Nasrani, misalnya, mereka yang membungakan uang dianggap melakukan penipuan dan perampokan. First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktikkan bunga. Adapun larangan bagi masyarakat luas dikeluarkan oleh Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia dinyatakan keluar atau murtad dari Kristen. Dalam al-Quran terdapat keterangan sangat jelas tentang larangan riba dengan ancaman yang sangat keras.

Barang siapa yang tidak menghentikan memungut riba akan diperangi oleh Allah dan Rasul, serta mereka akan kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, bila hingga sekarang sistem perbankan ribawi ini kokoh berdiri dengan landasan peraturan perundang-undangan yang telah disepakati oleh wakil rakyat, coba tanyakan, suara Tuhan yang mana yang diikuti? Bahkan filosof seperti Plato dan Aristoteles yang tidak mendasarkan pikirannya pada agama juga mengecam keras bunga bank. Plato menyebut bunga sebagai penyebab perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Aristoteles menyatakan bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Melalui dua contoh sederhana di atas, jelaslah bahwa slogan Suara Rakyat adalah Suara Tuhan adalah sebuah ilusi karena membayangkan bahwa kesepakatan (wakil) rakyat pasti akan selaras dengan kebenaran Tuhan adalah juga sebuah ilusi. Maka dari itu, mengharap kebaikan dari sebuah sistem yang ilusif sama ilusinya. Demikianlah, demokrasi mendasarkan diri pada prinsip etnosentrisme, paham yang menganggap manusia sebagai makhluk terunggul. Padahal kenyataannya manusia adalah makhluk yang lemah. Lihatlah, bagaimana peraturan perundangan buatan manusia yang lahir dari kesepakatan-kesepakatan demokratis selalu berubah-ubah. Yang dulu dibenci sekarang disukai. Yang dulu dilarang sekarang menjadi boleh. Yang ganjil bisa berubah menjadi wajar. Yang semestinya dibenci malah disuka. Yang harusnya disuka malah dibenci. Jadi, bagaimana bisa suara dari makhluk yang lemah itu disamakan dengan suara Al-Khaliq Yang Mahagagah? Benarlah kata filsuf Yunani kuno Aristoteles, demokrasi adalah buah pikir manusia purba. Menurut Winston Churchill, mantan PM Inggris, demokrasi merupakan alternatif terburuk dari bentuk pemerintahan manusia. Nah! [Ismail Yusanto]

You might also like