You are on page 1of 21

TEORI METAKOGNISI DAN PROBLEM SOLVING

A. Sekilas Tentang John Hurley Flavell


Tokoh Teori Metakognisi: John Hurley Flavell Lahir pada tanggal 9 Agustus 1928 di Rockland, Massachusetts, Amerika Serikat. Setelah lulus sekolah tinggi pada tahun 1945, Flavell bergabung dengan Tentara tahun. Dia kemudian masuk di selama dua Northeastern

University di Boston pada bidang program sarjana psikologi dan lulus pada tahun 1951. Kemudian Flavell melanjutkan ke di Universitas Clark di Worcester, Massachusetts, Beliau memperoleh gelar MA pada tahun berikutnya dan gelar Ph.D. pada tahun 1955. Posisi Flavell pertama adalah sebagai seorang psikolog klinis di Veteran Administration Hospital di Colorado. Namun setahun kemudian pindah di University of Rochester di New York, pertama sebagai rekan klinis, kemudian sebagai asisten profesor psikologi, dan dipromosikan menjadi profesor pada tahun 1960. Pada tahun 1965, ia pindah ke Institut Perkembangan Anak di University of Minnesota sebagai seorang profesor psikologi. Di sana ia melanjutkan pekerjaannya pada pengembangan kognisi anak. Flavell meneliti

pengembangan keterampilan memori pada anak-anak, menemukan bahwa anak-anak perlu memahami konsep memori sebelum mereka dapat mengembangkan keterampilan untuk memanfaatkan dan meningkatkan memori. Ia menyebut pengetahuan ini sebagai "metamemory. Kemudian Flavell meneliti dan mengembangkan teorinya tentang "metakognisi" atau disebut juga "metaconsciousness," yang merupakan pemahaman anak tentang cara kerja pikiran manusia dan proses berpikir sendiri. Dalam penelitiannya telah menemukan bahwa anak-anak prasekolah memahami berpikir merupakan kegiatan mental manusia dan bahwa hal itu

dapat melibatkan hal-hal yang di masa lalu atau di masa sekarang, nyata atau imajiner. Mereka membedakan berpikir dari aktivitas lain seperti berbicara, merasa, melihat, atau mengetahui. Pada tahun 1976, ia menjadi profesor psikologi di Stanford University. Di sana ia melanjutkan keterlibatannya dengan organisasi profesional. Ia menjabat sebagai presiden Society for Research de Child Development 1979-1981. Pada tahun 1986 Flavell menerima penghargaan Award G. Stanley Hall dari APA (American Psychological Association).

B. Pengertian Metakognisi
Secara harfiah, metakognisi bisa diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran berfikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu. John Hurley Flavell pertama kali menggunakan istilah kata "metakognisi" yang merujuk pada pengetahuan seseorang tentang proses kognisi sendiri atau segala sesuatu yang berhubungan dengan ranah kognisi, misalnya, belajar sesuatu yang relevan dari informasi atau data. Metakognisi mengacu pada control yang benar-benar sadar akan aktivitas kognisinya (Brown, 1980). Apa itu metakognisi? Biasanya secara luas dan agak longgar didefinisikan sebagai semua pengetahuan atau aktivitas kognisi yang terjadi seperti obyeknya, atau mengatur semua aspek dari semua upaya kognisi. Disebut metakognisi karena pengertian intinya adalah kognisi seputar kognisi. Ketrampilan metakognisi dipercaya memainkan peran penting dalam banyak jenis aktivitas kognisi termasuk komunikasi oral, informasi, persuasi oral, komprehensi oral, komprehensi membaca, menulis, akuisisi bahasa, persepsi, perhatian, memori; penyelesaian masalah, kognisi sosial, dan berbagai bentuk instruksi diri dan control diri (Flavell, 1985 : 104). J.H. Flavell (1976 : 232), dalam teorinya, salah satu dari teori Piaget perkembangan kognisi, menggunakan hypercognition istilah untuk merujuk kepada diri monitoring, self-representasi, dan proses pengaturan diri, yang dianggap sebagai komponen integral dari pikiran manusia. Selain itu,. dengan
2

rekan-rekannya, ia menunjukkan bahwa proses-proses ini berpartisipasi dalam kecerdasan umum, bersama dengan efisiensi pengolahan dan penalaran. Berbagai metakognisi merujuk pada kajian memori-monitoring dan

pengaturan diri, metapenalaran, kesadaran dan auto-consciousness/selfawareness. Dalam prakteknya kapasitas ini digunakan untuk mengatur kognisi sendiri, untuk memaksimalkan potensi seseorang untuk berpikir, belajar dan evaluasi aturan etika/moral yang tepat. Metakognisi terbagi menjadi dua rangkaian ketrampilan yang

berhubungan. Pertama, orang harus memahami ketrampilan, strategi dan sumber daya apa saja yang dibutuhkan oleh sebuah tugas. Termasuk dalam kluster ini adalah menemukan ide-ide utama, mengungkapkan informasi, membentuk asosiasi atau citra, penggunaan teknik memori, pengorganisasian material, penggunaan catatan atau penekanan, dan penggunaan teknik uji (tes). Kedua, orang harus tahu bagaimana dan kapan menggunakan ketrampilan-ketrampilan dan strategi ini guna menjamin tugas yang diselesaikan dengan berhasil. Aktivitas monitoring ini termasuk level

pengecekan pemahaman, memprediksi hasil, mengevaluasi keefektivan usaha, perencanaan aktivitas, memutuskan bagaimana menganggarkan

waktu, dan memperbaiki atau berganti ke aktivitas lain untuk mengatasi kesulitan (Baker dan Brown, 1984). Secara kolektif, aktivitas metakognisi merefleksikan aplikasi strategi pengetahuan deklaratif, procedural dan kondisional pada tugas (Schraw dan Moshman, 1995). berargumentasi bahwa ketrampilan metakognisi Kuhn (1999)

adalah kunci pada

perkembangan berpikir kritis. Ketrampilan metakognisi berkembang secara perlahan. Anak kecil tidak secara penuh sadar akan kognisi yang mana memproses berbagai tugas yang terlibatkan. Misalnya, semua secara khusus buruk dalam memperkenalkan hal yang telah mereka pikirkan dan mengingat apa yang mereka pikirkan (Flavell, Green dan Flavell, 1995). Mereka tidak memahami bahwa alur yang tidak tersusun baik lebih sulit dipahami daripada yang tersusun dengan baik atau alur yang mengandung bahan yang tidak umum lebih sulit daripada yang
3

tersusun dari bahan yang biasa dipakai (Baker dan Brown, 1984). Dermitzaki (2005) menemukan bahwa orang peringkat kedua menggunakan strategi metakognisi tetapi pemanfaatannya mengggunakan sedikit hubungan dengan aktivitas regulasi diri anak-anak yang sebenarnya. Aktivitas monitoring

diterapkan lebih sering oleh anak lebih tua dan orang dewasa daripada oleh anak kecil, namun anak lebih tua dan orang dewasa tidak selalu memonitor komphrensinya (kecakapannya) dan sering buruk dinilai seberapa baik mereka sudah memahami sebuah teks (Baker, 1989). Sebaliknya, anak kecil secara kognisi mampu memonitor aktivitas merka dalam tugas yang sederhana (Kuhn, 1999). Secara umum, pembelajar lebih sering memonitor aktivitas tugas mereka dengan kesulitan yang biasa saja daripada tugas-tugas yang mudah (di mana memonitor tidak dibutuhkan) atau terhadap tugas yang sangat sulit (di mana orang tidak tahu apa yang akan dikerjakan atau bisa berhenti bekerja). Kemampuan metakognisi mulai berkembang sekitar usia 5 sampai 7 tahun dan terus melewati masa anak-anak sekolah, meski di dalam semua kelompok usia ada banyak variabilitasnya (Flavell, 1985). Anak pra sekolah mampu memeplajari beberapa perilaku strategis (Kail dan Hagen , 1982), tetapi sebagai hasil dari sekolah, anak berkembang kesadaran yang dapat mereka kendalikan apa yang mereka pelajari melalui strategi yang mereka gunakan (Duell, 1986). Flavell dan Wellman (1977) membuat hipotesis bahwa anak-anak membentuk generalisasi seputar bagaimana dikerjaan bagi mereka untuk meningkatkan prestasi sekolah. tindakan Ini secara mereka mempengaruhi lingkungan ; misalnya mereka belajar apa yang

khusus benar bersama dengan strategi memori, mungkin karena banyak keberhasilan di sekolah tergantugn pada infomrasi memori. Flavell (1976) menjelaskan metakognisi sebagai pengetahuan seseorang tentang seseorang kognisi sendiri proses dan produk atau apapun yang berhubungan dengan pengawasan aktif peraturan konsekuen dan orkestrasi dari proses ini. Definisi ini menekankan peran eksekutif metakognisi sebagai proses regulasi. Eksekutif proses mengacu pada proses-proses yang bertanggung jawab untuk pengolahan tujuan-diarahkan informasi dan
4

pemilihan tindakan. Dalam karyanya, Flavell (1976) mengusulkan bahwa basis pengetahuan metakognisi terdiri dari apa yang telah kita pelajari, melalui pengalaman, tentang kegiatan kognisi. Dia lebih jauh menyebutkan bahwa hal itu bisa dibagi menjadi tiga variabel pengetahuan yang berbeda dan sangat interaktif; yaitu variabel pembelajar, variabel tugas, dan variabel strategi. Flavell menyarankan bahwa peran pengetahuan dasar metacognitive sangat penting untuk belajar sukses dan pembelajar yang baik adalah salah satu yang memiliki banyak pengetahuan metakognisi tentang diri sebagai seorang pembelajar, tentang sifat tugas kognisi, dan tentang strategi yang tepat untuk mencapai tujuan akademik. Gambar 1 menjelaskan komponen metakognisi seperti yang dinyatakan oleh Flavell.

Cognitive Strategies

Metacognitive Strategies

Metacognitive Knowledge

Cognitive Goals

Leaner Variables

Task Variables

Strategy Variable sd

Gambar 1. Flavells Model of Metacognition

Variabel-variabel yang Mempengaruhi Metakognisi Kesadaran metakognisi dipengaruhih oleh variabel-variabel yang terkait

dengan orang yang belajar, tugas-tugas dan strategi (Duel, 1986; Flavell dan Wellman, 1977).

1. Variabel Pembelajar (Orang Yang Belajar)


Level perkembangan pembelajar mempengaruhi metakognisi mereka. Anak lebih tua memahami kemampuan memori diri mereka sendiri dan keterbatasan mereka daripada anak kecil (Flavel, Friedrich dan Hoyt, 1970). Flavell dkk (1970) menyajikan anak-anak dengan bahan dan menceritakan kepada mereka untuk mempelajarinya sampai mereka berpikir mereka dapat secara akurat mengingat kembali informasinya. Anak berusia 7 sampai 10 lebih akurat dalam menilai kesiapan mereka mengingat daripada anak berusia 4 sampai 6. Anak lebih tua juga lebih

sadar bahwa kemampuan memori mereka berbeda dalam satu konteks dengan yang lain. kemampuan memori. Kemampuan pembelajar memonitor seberapa baik mereka sudah menyelesaikan tugas memori juga bervariasi. Anak lebih tua lebih akurat dalam menilai apakah mereka sudah mengingat kembali semua item yang mereka ingat dan apakah mereka dapat mengingat kembali informasi. Wellman (1977) menyajikan anak-anak dengan gambar-gambar obyek dan meminta mereka memberi nama obyeknya. Jika anak tidak dapat memberi nama semuanya, mereka diminta apakah mereka dapat mengenali namanya. Dibandingkan dengan anak usia taman kanak-kanak, akan kelas tiga lebih akurat memprediksi nama obyek yang mana yang mereka bisa kenali. Anak dari usia sama menunjukkan variasi dalam

2. Variabel Tugas
Mengenali kesulitan relative bentuk-bentuk pembelajaran yang berbeda dan mengungkatkan dari berbagai tipe informasi memori menjadi bagian dari kesadaran metakognisi. Meski anak usia taman kanak-kanak dan kelas tiga percaya bahwa barang yang biasa diberi nama atau mudah diberi nama lebih mudah diingat, anak lebih tua lebih baik dalam

memprediksi bahwa barang yang dikategorisasi dengan mudah diingat daripada barang yang secara konseptual tidak berhubungan (Duell, 1986).

Anak lebih tua lebih sering percaya bahwa cerita yang tersusun dengan baik lebih mudah diingat dariapda bagian informasi yang tidak tersusun dengan baik. Berkaitan dengan tujuan pembelajaran, anak kelas enam tahu lebih baik daripada anak kelas dua di mana siswa seharusnya memanfaatkan strategi membaca ang berbeda yang tergantung pada apakah tujuannya adalah untuk mengingat kembali kata-kata dalam cerita atau kata mereka sendiri (Myers dan Paris, 1978). Beberapa tugas sekolah tidak membutuhkan metakognisi karena semua dapat ditangai secara rutin. Bagian isu tersebut dalam scenario pembukaan aldaah memanfaatkan lebh banyak tugas yang membutuhkan metakognisi dengan penurunan yang terkait dalam pembelajaran level rendah yang dapat dibentuk dengan mudah.

3. Variabel Strategi
Metakognisi tergantung pada strategi-strategi yang diterapkan pembelajar. Anak-anak seusia 3 dan 4 tahun dapat menggunakan strategi memori untuk mengingat informasi, tetapi kemampuannya untuk menggunakan strategi meningkat menurut perkembangannya. Anak yang lebih tua mampu menyatakan lebih banyak hal yang dapat mereka

kerjakan untuk membantunya mengingat. Terkait umur, anak-anak lebih sering berpikir hal-hal dunia luar (eksternal) misalnya menulis sebuah catatan daripada yang berasal dari dalam (misalnya berpikir seputar

mengerjakan sesuatu). Penggunaan strategi memori oleh siswa seperti pengungkapan dan kesungguhan juga meningkatkan perkembangan (Duell, 1986). Meski banyak siswa mampu menggunakan strategi metakognisi, mereka tidak bisa mengetahui strategi yang mana membantu pembelajaran dan diungkap dari mereka, tidak bisa menerapkan strategi tersebut menjadi hal yang sangat membantu (Flavell, 1985). Flavell, (1976)

meminta anak usia TK, kelas tiga dan mahasiswa mengingat kembali seluruh daftar item/barang yang menjelaskan property tertentu (misalnya
7

barang yang mudah pecah). Meski anak kecil dilaporkan sering merespon bahwa melaksanakan seluruh pencarian informasi menjadi hal penting (Duell, 1986), hanya mahasiswa secara spontan mengingat kembali masing-masing item dan memutuskan apakah ini menjelaskan property tertentu. Hanya menghasilkan sebuah strategi tidak menjamin

pemanfaatannya. Kekurangan pemanfaatan ini lebih umum pada anak lebih kecil (Justice, Baker-Ward, Gupta dan Jannings, 1997), dan muncul melekat dari pemahaman anak-anak bagaimana sebuah strategi bekerja.

Pembelajar lebih tua memahami bahwa perhatian untuk memanfaatkan sebuah strategi membawa pada pemanfaatan strategi, yang menghasilkan sebuah hasil. Anak kecil secara khusus hanya memiliki pemahaman

parsial hubungan antara niat, aksi dan hasil. Pemahaman tersebut dapat berkembang antara umur 3 dan 6 tahun (Wellman, 1990). Variabel tugas, strategi dan pembelajar secara khusus berinteraksi ketika siswa tersatukan dalam aktivitas metakognisi. Pembelajar

mempertimbangkan tipe dan lama material yang akan dipelajari (tugas/task), potensi strategi yang akan dipakai (strategi) dan ketrampilan mereka memanfaatkan berbagai strategi (pembelajar). Jika pembelajar berpikir bahwa penggunaan catatan dan penekanan (menggarisbawahi) adalah strategi yang baik untuk mengidentifikasi poin utama artikel teknik dan jika mereak percaya bahwa mereka baik dalam memberikan garis bawah/menekankan ini tetapi buruk dalam penggunaan catatan, mereka sering akan memutuskan menggaris bawahi. Sebagaimana Schraw dan Moshman (1995) mencatatkan, pembelajar membuat teori metakognisi yang termasuk pengetahuan dan strategi yang mereka percaya akan efektif dalam situasi tertentu.

C. Metakognisi dan Perilaku


Memahami ketrampilan dan strategi yang mana bisa membantu kita belajar dan mengingat informasi yang dibutuhkan tetapi tidak cukup untuk memajukan prestasi kita. Bahkan siswa yang sadar akan apa yang membentu
8

mereka belajar tidak secara konsisten tersatukan metakognisi dengan berbagai alasan.

dengan aktivitas

Dalam beberapa kasus, metakognisi

bisa tidak dibutuhkan karena materialnya tidak mudah dipelajari atau dapat diproses secara otomatis. Pembelajar juga mungkin tidak ingin menanamkan upaya mengerahkan aktivitas metakognisi. Yang disebut belakangan

merupakan tugas dengan hak mereka sendiri, mereka memanfaatkan waktu dan upaya. Pembelajar tidak bisa memahami secara penuh bahwa strategi metagkognisi meningkatkan kinerja mereka, atau percaya mereka tidak

mengatasinya tetapi ada faktor lain, seperti waktu yang dihabiskan dalam pembelajaran atau upaya-upaya yang dikerahkan, menjadi hal yang lebih penting untuk pembelajaran (Borkowski dan Cavanaugh, 1979). Fakta bahwa aktivitas metakognisi meningkatkan prestasi tetapi siswa tidak bisa secara otomatis memanfaatkannya memberikan hambatan bagi pendidik. Siswa perlu diajarkan sebuah menu aktivitas seputar dari

penerapan pembelajaran secara umum (misalnya penentuan tujuan dalam pembelajaran) hingga penerapan pada situasi khusus (misalnya

menggarisbawahi poin penting dalma teks) dan didorong memanfaatkannya dalam berbagai konteks (Belmont, 1989). Meski komponen pembelajaran apa saja yang penting, sehingga menjadi kapan, dimana dan mengapa strategi dimanfaatkan. Pengajaran apa tanpa yang disebut belakangan akan hanya membingungkan siswa dan dapat membuktikan demoralisasi, siswa yang tahu apa yang akan dikerjakan tetapi tidak tahu kapan, dimana atau mengapa mengerjakannya mungkin memegang efikasi diri yang rendah untuk berprestasi dengan baik di sekolah. Pembelajar yang baik sering perlu diajarkan pengetahuan deklaratif atau prosedural dasar bersama dengan ketrampilan metakognisi (Duell, 1986). Siswa perlu memonitor pemahaman mereka pada ide-ide utama, tetapi

monitornya kurang pas jika mereka tidak memahami apa ide utamanya atau bagaimana menemukannya. strategi metakognisi, Guru perlu mendorong siswa menerapkan

ini menjadi salah satu implikasi diskusi, dan

menyediakan peluang bagi mereka menerapkan apa yang telah mereka pelajari di luar konteks pengajaran. Siswa juga perlu umpan balik tentang
9

seberapa baik mereka menerapkan sebuah strategi dan bagaimana pemanfaatan strategi meningkatkan kinerja mereka (Schunk dan Rice, 1993).

D. Teori Metakognisi dalam Pembelajaran


Dalam domain ilmu saraf kognisi, metakognisi pemantauan dan pengendalian telah dilihat sebagai fungsi dari korteks prefrontal, yang menerima (monitor) sinyal sensorik dari daerah korteks lainnya dan melalui umpan balik menerapkan kontrol. Metakognisi telah digunakan, meskipun dari definisi asli, untuk menggambarkan pengetahuan itu sendiri. Komponen Metakognisi diklasifikasikan ke dalam tiga komponen: 1. Pengetahuan metakognisi (juga disebut kesadaran metakognisi) adalah apa yang orang tahu tentang diri sendiri dan orang lain sebagai prosesor kognisi. 2. Regulasi metakognisi adalah peraturan kognisi dan pengalaman belajar melalui serangkaian kegiatan yang membantu orang mengendalikan pembelajaran mereka. 3. Pengalaman metakognisi adalah pengalaman yang ada hubungannya dengan upaya kognisi saat ini, secara terus-menerus. Metakognisi merujuk kepada tingkat pemikiran yang melibatkan kontrol yang aktif selama proses berpikir yang digunakan dalam belajar situasi. Perencanaan cara untuk mendekati tugas belajar, pemantauan pemahaman, dan mengevaluasi kemajuan terhadap penyelesaian tugas: ini adalah keterampilan yang metakognisi di alam mereka. Demikian pula, mempertahankan motivasi untuk melihat tugas untuk penyelesaian juga merupakan keterampilan metakognisi. Kemampuan untuk menjadi sadar akan mengganggu rangsangan - baik internal maupun eksternal - dan mempertahankan usaha dari waktu ke waktu juga melibatkan fungsi metakognisi atau eksekutif. Teori bahwa metakognisi memiliki peran penting dalam belajar berhasil artinya adalah penting bahwa itu ditunjukkan oleh para siswa dan guru. Siswa yang menunjukkan berbagai keterampilan metakognisi berperforma lebih baik pada ujian dan bekerja lebih lengkap efisien. Mereka adalah pelajar diatur sendiri yang menggunakan "alat yang tepat untuk
10

pekerjaan" dan mengubah strategi belajar dan keterampilan berdasarkan kesadaran mereka efektivitas. Individu dengan tingkat tinggi pengetahuan metakognisi dan keterampilan mengidentifikasi blok untuk belajar sedini mungkin dan mengubah "alat" atau strategi untuk memastikan pencapaian tujuan. metacognologist menyadari kekuatan dan kelemahan mereka sendiri, sifat dari tugas di tangan, dan tersedia "tools" atau keterampilan. Sebuah repertoar yang lebih luas dari "alat" juga membantu dalam pencapaian tujuan. Ketika "alat" bersifat umum, generik, dan konteks independen, mereka lebih mungkin berguna dalam berbagai jenis situasi belajar. Proses metakognisi seperti yang di mana-mana, terutama, ketika datang ke diskusi tentang pembelajaran, yang terlibat dalam metakognisi adalah fitur penting dari diri pelajar. Groups (kelompok) memperkuat diskusi kolektif metakognisi adalah fitur penting dari kelompok sosial sendiri dan mengatur diri sendiri. Kegiatan seleksi strategi dan aplikasi termasuk mereka yang peduli dengan upaya berkelanjutan untuk merencanakan, cek, monitor, pilih, merevisi, mengevaluasi, dll. Metakognisi adalah 'stabil' dalam keputusan awal peserta didik berasal dari fakta yang bersangkutan tentang kognisi mereka melalui pengalaman belajar. Secara bersamaan, ia juga 'terletak' dalam arti bahwa itu tergantung pada peserta didik keakraban dengan tugas, motivasi, emosi, dan sebagainya. Individu perlu untuk mengatur pikiran mereka tentang strategi yang mereka gunakan dan menyesuaikannya berdasarkan situasi yang strategi sedang diterapkan. Kemampuan metakognisi setiap individu akan berlainan, tergantung dari variabel meta kognisi, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan, pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002)

mengemukakan bahwa aktivitas metakognisi tergantung pada kesadaran individu, monitoring, dan regulasi. Komponen meta kognisi menurut Sharples & Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognisi, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen metakognisi, yaitu: kesadaran, monitoring, dan regulasi. Metakognisi bisa digolongkan pada kemampuan kognisi tinggi karena memuat unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuh
11

kembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognisi ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal. Metakognisi peserta didik didefinisikan dan diselidiki dengan memeriksa orang tentang pengetahuan, pengetahuan tugas dan pengetahuan strategi. Wenden (1991) telah mengusulkan dan menggunakan kerangka dan Zhang (2001) telah mengadopsi pendekatan ini dan diselidiki metakognisi pembelajar bahasa kedua 'atau pengetahuan metakognisi. Selain

mengeksplorasi hubungan antara metakognisi pelajar dan kinerja, peneliti juga tertarik pada efek instruksi strategis metakognisi yang berorientasi pada pemahaman bacaan (misalnya, Garner, 1994, dalam konteks bahasa pertama, dan Chamot, 2005; Zhang, 2010). Upaya ini bertujuan untuk

mengembangkan otonomi pelajar, kemandirian dan self-regulasi. Metakognisi membantu orang untuk melakukan tugas-tugas kognisi lebih efektif.. Strategi untuk mempromosikan metakognisi meliputi diri-

pertanyaan (misalnya "Apa yang saya sudah tahu tentang topik ini, bagaimana saya dapat memecahkan seperti sebelumnya. Berpikir keras

ketika melakukan tugas, dan membuat representasi grafis (misalnya peta konsep, diagram alir) dari pikiran seseorang dan pengetahuan. Carr, 2002, berpendapat bahwa tindakan fisik menulis memainkan peranan besar dalam pengembangan keterampilan metakognisi (seperti dikutip dalam Gammil,, 2006 p.754).

E. Metakognisi dan Problem Solving


Metakognisi pengetahuan pemecahan masalah didefinisikan merujuk pada siswa tentang proses kognisi dan kemampuan untuk

mengendalikan dan memantau proses-proses sebagai fungsi dari umpan balik siswa menerima melalui hasil pembelajaran (Metcalfe & Shimamura, 1994). Jadi, dua komponen penting metakognisi terdiri: pengetahuan dan kontrol. Pengetahuan metakognisi siswa mengacu pada apa yang dipahami dan percaya tentang subjek atau tugas, dan penilaian serta dia membuat dalam

12

mengalokasikan sumber daya kognisi sebagai hasil dari pengetahuan (Flavell, 1976; Brown, 1987). Kontrol metakognisi mengacu pada pendekatan dan strategi siswa merencanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang spesifik dan tingkat kemampuan siswa, monitor, dan memodifikasi operasi mereka untuk memastikan bahwa belajar adalah efektif (Jacobs & Paris, 1987). Berkenaan dengan kontrol metakognisi, sumber daya perhatian, strategi kognisi, dan kesadaran dalam pemahaman, ditingkatkan oleh pengetahuan metakognisi dan keterampilan (Schraw & Dennison, 1994). Oleh karena itu, metakognisi adalah penting untuk pemahaman pembelajaran dalam ilmu karena peserta didik harus mengatur taktik dan strategi kognisi mereka dalam rangka untuk membangun makna dari bacaan, ceramah, dan pengalaman laboratorium. Metakognisi sangat diperlukan dalam pemecahan masalah (problem solving) dalam pembelajaran, seperti digambarkan dalam diagram berikut:

PROVIDE ORIENTATION

SUPPORT TASK PLANNING


METACOGNITIVE PROBLEM SOLVING

SUPPORT STRATEGY DEVELOPMENT

SUPPORT REFLECTION

Figure 2 : Support features for metacognitive training (Sumber: Australian Journal of Educational Technology)

Apa itu problem solving? Istilah problem solving sering digunakan dalam berbagai bidang ilmu dan memiliki pengertian yang berbeda-beda pula. Tetapi pengertian problem solving memiliki kekhasan tersendiri. Secara garis

13

besar terdapat tiga macam interpretasi istilah problem solving dalam pembelajaran, yaitu (1) problem solving sebagai tujuan (as a goal), (2) problem solving sebagai proses (as a process), dan (3) problem solving sebagai keterampilan dasar (as a basic skill). 1. Problem solving sebagai tujuan Para pendidik, dan pihak yang menaruh perhatian pada pendidikan seringkali menetapkan problem solving sebagai salah satu tujuan

pembelajaran. Bila problem solving ditetapkan atau dianggap sebagai tujuan pembelajaran maka ia tidak tergantung pada soal atau masalah yang khusus, prosedur, atau metode, dan juga isi pembelajaran. Anggapan yang penting dalam hal ini adalah bahwa pembelajaran tentang bagaimana menyelesaikan masalah (solve problems) merupakan alasan utama (primary reason) dalam pembelajaran. Suatu pertanyaan akan merupakan suatu masalah jika seseorang tidak mempunyai aturan tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Munurut George Polya (dalam Hudojo, 2003:150), terdapat dua macam masalah : a. Masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk teka-teki. Kita harus mencari variabel masalah tersebut, kemudian mencoba untuk mendapatkan, menghasilkan atau

mengkonstruksi semua jenis objek yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bagian utama dari masalah adalah sebagai berikut. (1) Apakah yang dicari? (2) (Bagaimana data yang diketahui? (3) Bagaimana syaratnya? b. Masalah untuk membuktikan adalah untuk menunjukkan bahwa suatu pertanyaan itu benar atau salah atau tidak kedua-duanya. Kita harus menjawab pertanyaan : Apakah pernyataan itu benar atau salah ?.

14

Bagian utama dari masalah jenis ini adalah hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya. Penyelesaian masalah merupakan proses dari menerima tantangan dan usaha-usaha untuk menyelesaikannya sampai memperoleh

penyelesaian. Sedangkan pengajaran penyelesaian masalah merupakan tindakan guru dalam mendorong siswa agar menerima tantangan dari pertanyaan bersifat menantang, dan mengarahkan siswa agar dapat menyelesaikan pertanyaan tersebut (Sukoriyanto, 2001:103). Tujuan Pembelajaran Problem Solving Berhasil tidaknya suatu pembelajaran bergantung kepada suatu tujuan yang hendak dicapai. Tujuan dari pembelajaran problem solving adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Hudojo (2003:155), yaitu sebagai berikut. (1) Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya. (2) Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hadiah intrinsik bagi siswa. (3) Potensi intelektual siswa meningkat. (4) Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses melakukan penemuan.

2. Problem solving sebagai proses Pengertian lain tentang problem solving adalah sebagai sebuah proses yang dinamis. Dalam aspek ini, problem solving dapat diartikan sebagai proses mengaplikasikan segala pengetahuan yang dimiliki pada situasi yang baru dan tidak biasa. Dalam interpretasi ini, yang perlu diperhatikan adalah metode, prosedur, strategi dan heuristik yang digunakan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah. Masalah proses ini sangat penting dalam belajar matematika dan yang demikian ini sering menjadi fokus dalam kurikulum matematika.

15

Sebenarnya, bagaimana seseorang melakukan proses problem solving dan bagaimana seseorang mengajarkannya tidak sepenuhnya dapat

dimengerti. Tetapi usaha untuk membuat dan menguji beberapa teori tentang pemrosesan informasi atau proses problem solving telah banyak dilakukan. Semua ini memberikan beberapa prinsip dasar atau petunjuk dalam belajar problem solving dan aplikasi dalam pembelajaran. Problem solving sebagai proses meliputi : a. Langkah-langkah Pembelajaran Problem Solving Adapun langkah-langkah yang harus diperhatikan oleh guru di dalam pembelajaran problem solving menurut John Dewey dalam Wina Sanjaya (2010 : 217) menjelaskan ada 6 langkah yang dinamakan metode pemecahan masalah (problem solving) yaitu sebagai berikut: 1. Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menetukan masalah yang akan dipecakan. 2. Menganalis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang. 3. Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilkinya. 4. Mengumpulkan data, yaitu langkah siswa mencari dan

mengambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah. 5. Pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil atau

merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan. 6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah siswa menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan. Sedangkan menurut Hudojo dan Sutawijaya (dalam Hudojo, 2003:162), menjelaskan bahwa langkah-langkah yang diikuti dalam penyelesaian problem solving yaitu sebagai berikut. (1) Pemahaman terhadap masalah. (2) Perencanaan penyelesaian masalah. (3) Melaksanakan perencanaan.
16

(4) Melihat kembali penyelesaian.

b. Strategi Pembelajaran Problem Solving Strategi belajar mengajar penyelesaian masalah adalah bagian dari strategi belajar mengajar inkuiri. Penyelesaian masalah menurut J. Dewey (dalam Hudojo, 2003:163), ada enam tahap: (1) Merumuskan masalah: mengetahui dan menemukan masalah secara jelas. (2) Menelaah masalah: menggunakan pengetahuan untuk memperinci, menganalisis masalah dari berbagai sudut. (3) Merumuskan hipotesis: berimajinasi dan menghayati ruang lingkup, sebab akibat dan alternatif penyelesaian. (4) Mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian hipotesis: kecakapan mencari dan menyusun data, menyajikan data dalam bentuk diagram, gambar. (5) Pembuktian hipotesis: cakap menelaah dan membahas data,

menghitung dan menghubungkan, keterampilan mengambil keputusan dan kesimpulan. (6) Menentukan pilihan penyelesaian: kecakapan membuat alternatif penyelesaian, kecakapan menilai pilihan dengan memperhitungkan akibat yang akan terjadi pada setiap langkah.

3. Problem solving sebagai keterampilan dasar Problem solving sebagai keterampilan dasar (basic skill). Pengertian problem solving sebagai keterampilan dasar lebih dari sekedar menjawab tentang pertanyaan: apa itu problem solving? Ada banyak anggapan tentang apa keterampilan dasar dalam pembelajaran. Beberapa yang dikemukakan antara lain keterampilan berhitung, keterampilan aritmetika, keterampilan logika, keterampilan memahami/menghafal, keterampilan mengungkapakan ide atau jawaban dan lainnya. Satu lagi yang baik secara implisit maupun eksplisit sering diungkapkan adalah keterampilan problem solving. Beberapa prinsip penting
17

dalam problem solving berkenaan dengan keterampilan ini haruslah dipelajari oleh semua siswa, seperti yang dikemukakan oleh George Polya tahun 1945. Menurut Polya, pekerjaan pertama seorang guru adalah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membangun kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah. Mengapa hal ini menjadi penting? Alasan pertama adalah karena siswa (bahkan guru, kepala sekolah, orang tua, dan setiap orang) setiap harinya selalu dihadapkan pada suatu masalah, disadari atau tidak. Karena itu pembelajaran pemecahan masalah sejak dini diperlukan agar siswa dapat menyelesaikan problematika kehidupannya dalam arti yang luas maupun sempit. Problem solving sebagai konteks menekankan pada penemuan tugas-tugas atau masalah yang menarik dan yang dapat membantu siswa memahami konsep atau prosedur. Walaupun secara umum para pendidik hanya terfokus pada materi pembelajaran pemecahan masalah, namun sesungguhnya ada dua dimensi atau dua materi yaitu: (1) pembelajaran melalui model atau strategi

pemecahan masalah, dan (2) pembelajaran pemecahan masalah itu sendiri. Yang pertama pemecahan masalah sebagai model atau strategi/ pendekatan pembelajaran, sedang yang kedua pemecahan masalah sebagai materi pembelajaran. Mengenai model atau pendekatan pemecahan masalah (problem solving approach), berikut merupakan karakteristik khusus pendekatan pemecahan masalah (dalam Taplin, 2000). 1. Adanya interaksi antar siswa dan interaksi guru dan siswa. 2. Adanya dialog dan konsensus antar siswa. 3. Guru menyediakan informasi yang cukup mengenai masalah, dan siswa mengklarifikasi, penyelesaiannya. 4. Guru menerima jawaban ya-tidak bukan untuk mengevaluasi. 5. Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan pertanyaanpertanyaan berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah. 6. Sebaiknya guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur membiarkan siswa menggunakan caranya sendiri.
18

menginterpretasi,

dan

mencoba

mengkonstruksi

7. Karakteristik lanjutan adalah bahwa pendekatan problem solving dapat menggiatkan siswa untuk melakukan generalisasi aturan dan konsep, sebuah proses sentral dalam pembelajaran. Bagaimana tahap-tahap pembelajaran dengan pendekatan problem solving berbeda-beda menurut pendapat para ahli. Ada kalanya kita kurang memahami karakteristik seorang pemecah masalah (problem solver) yang baik, sehingga seringkali identifikasi kita hanya terfokus pada hasil (apa yang ditemukan siswa, jawaban siswa), atau pada kecocokan proses penyelesaian. Dengan mengenali karakteristik pemecah masalah, maka kita dapat melihat potensi apa yang dimiliki oleh siswa serta apa yang harus kita lakukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Ada banyak literatur dan pendapat mengenai ciri-ciri seorang pemecah masalah (yang baik). Suydam (1980:36) telah menghimpun dan menyaring ciri-ciri pemecah masalah yang baik dengan mengacu pada berbagai sumber (Dodson, Hollander, Krutetskii, Robinson, Talton dan lain-lain) menjadi 10 macam ciri. Berikut ini kesepuluh macam ciri pemecah masalah tersebut: 1. Mampu memahami istilah dan konsep. 2. Mampu mengenali keserupaan, perbedaan, dan analogi. 3. Mampu mengindentifikasi bagian yang penting serta mampu memilih prosedur dan data yang tepat. 4. Mampu mengenali detail yang tidak relevan. 5. Mampu memperkirakan dan menganalisis. 6. Mampu memvisualkan dan mengintepretasi fakta dan hubungan yang kuantitatif. 7. Mampu melakukan generalisasi dari beberapa contoh. 8. Mampu mengaitkan metode-metode dengan mudah. 9. Memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi, dengan tetap memiliki hubungan baik dengan rekan-rekannya. 10. Tidak cemas terhadap ujian atau tes.

19

Kita seyogyanya dapat mengidentifikasi ciri-ciri tersebut pada peserta didiknya, dan selanjutnya dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan perbaikan pada proses pembelajaran secara terus menerus. Penilaian terhadap kemampuan siswa dalam pemecahan masalah disarankan mencakup kemampuan yang terlibat dalam proses memecahkan masalah, yaitu memahami masalah, merencanakan pemecahan masalah, menyelesaikan masalah (melaksanakan rencana pemecahan masalah), menafsirkan hasilnya. Dari hasil karya siswa dalam memecahkan masalah , dapat dilihat seberapa jauh kemampuan siswa dalam memecahkan masalah ditinjau dari kemampuan-kemampuan tersebut. Penilaian dapat dilakukan secara holistik (keseluruhan) atau analitik (perbagian). Pada kenyataannya, siswa sering terhalang dalam memecahkan masalah karena lemahnya (tidak terbiasa) mengembangkan strategi pemecahan masalah dan kurangnya pemahaman konsep atau prosedur yang terkandung dalam penyelesaian masalah. Indikator kemampuan : a. Menunjukkan pemahaman masalah. b. Menyajikan masalah secara sistematik dalam berbagai bentuk. c. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah. d. Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat. e. Mengembangkan strategi pemecahan masalah. keberhasilan memecahkan masalah ditunjukkan oleh

f. Membuat dan menafsirkan model dari suatu masalah, menyelesaikan


masalah yang tidak rutin.

20

F. Daftar Pustaka
Asri Budiningsih C. (2005). Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta Dale H. Schunk. (2009). Learning Theories An Educational Perspective. New Jersey: Pearson Education, Upper Sadlle River. Gredler, M. E. (1997). Learning and Instruction, Theory into Practice. New Jersey: Merrill, Prentice Hall. Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan pembelajaran Matematika. Malang : JICA. Robert B. Sund. (1976). Piaget for Educators. Columbus, Ohio: Charles E. Merril Schoenfeld, A. H. (1985). Mathematical Problem Solving. New York,: Academic Press. Sukoriyanto. 2001. Langkah-langkah dalam Pengajaran Matematika dengan Menggunakan Penyelesaian Masalah. Dalam Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. Malang : JICA. Vye, N. J., Schwartz, D. L., Bransford, J. D., Barron, B. J., & Zech, L. (1998). SMART environments that support monitoring, reflection and revision. In D. J. Hacker, J. Dunlosky, & A. C. Graesser (Eds), Metacognition in Educational Theory and Practice (pp. 305-346). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Woodcock, D. (1995). Problem Solving in Chemistry , The A thru E Approach. [unknown 16 Mar 2001] http://oksw01.okanagan.bc.ca/ chem/ probsol/ps_A-E.html. http://en.wikipedia.org/wiki/Metacognition, 10 Nopember 2010. yang diakses pada tanggal

http://special.lib.umn.edu/findaid/xml/uarc00482.xml, diakses pada tanggal 10 Nopember 2010.

21

You might also like