You are on page 1of 28

TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus genus Flavivirus famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4 melalui perantara gigitan nyamuk Aedes aegypti. Keempat serotipe dengue terdapat di Indonesia, den-3 merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anakanak. Sampai sekarang penyakit DBD ini masih menimbulkan masalah kesehatan di Indonesia, karena jumlah penderitanya semakin meningkat dan wilayah yang terjangkit semakin luas. Jumlah kasus biasanya meningkat bersamaaan dengan peningkatan curah hujan oleh karena itu puncak jumlah kasus berbeda di tiap daerah. Pada umumnya di Indonesia meningkat pada musim hujan sejak bulan Desember sampai dengan April-Mei tiap tahun. DBD dapat berkembang menjadi demam berdarah dengue yang disertai syok (dengue shock syndrome = DSS ) yang merupakan keadaan darurat medik, dengan angka kematian cukup tinggi. Penatalaksanaan DD adalah dengan memberikan terapi simptomatis dan suportif, dan memonitor dengan ketat terhadap timbulnya DBD/DSS. Timbulnya DBD/DSS harus dikenal dengan cepat dengan melakukan pemeriksaan hematokrit dan trombosit secara teratur. Apabila terjadi DBD/DSS, penatalaksanaannya diutamakan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit karena terjadi leakage plasma.

Epidemiologi Di Indonesia demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Jogjakarta (1972). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1873). Pada tahun 1974, epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun1994 DBD telah menyebar ke seluruh (27) propinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di pedesaan.

Walupun angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia cenderung meningkat, suatu hal yang menggembirakan ialah angka kematian (case fatality rate = CFR) secara drastis menurun dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 3% pada tahun 1984. Sejak tahun 1991 CFR terlihat stabil di bawah 3%. Pada umumnya letusan atau wabah di daerah yang sebelumnya belum terjangkit DBD, CFR-nya tinggi, sedangkan di daerah/kota endemis CFR-nya mempunyai kecenderungan rendah. Pada tahun

1998 kasus DBD dilaporkan meningkat di atas 14 propinsi, sedangkan 12 propinsi melaporkan penurunan kasus. Pada saat ini DBD di banyak negara di kawasan Asia Tenggara merupakan penyebab utama perawatan anak di rumah sakit. Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan dari berbagai negara bervariasi dan disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain status umur penduduk, kerpadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan terdapat tidak terdapat perbedaan jenis kelamin penderita, tetapi kematian lebih banyak pada anak perempuan daripada anak-anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (8695%). Namun, pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang di golongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita DBD terbanyak ialah anak berumur 5-11 tahun. Proporsi penderita yang berumur lebih dari 15 tahun sejak tahun1984 meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu Jelas, tetapi dalam garis besar dapat dikemukakan bahwa jumlah penderita meningkat antara bulan September sampai Februari yang mencapai puncaknya pada bulan Januari.

Vektor DBD Graham ialah sarjana pertama yang pada tahun 1903 dapat membuktikan secara positif peran nyamuk Aedes aegypti dalam transmisi dengue di Indonesia. Vektor DBD telah diselidiki dan Aedes aegypti di daerah perkotaan diperkirakan sebagai vektor terpenting. Nyamuk Aedes aegypti pada awal mulanya berasal dari Mesir yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, melalui kapal laut dan udara. Nyamuk Aedes aegypti hidup dan berkembang biak pada tempat-tempat penampungan air bersih yang tidak langsung berhubungan dengan tanah. Nyamuk ini tersebar diseluruh pelosok

tanah air kecuali wilayah yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut. Perkembangan hidup nyamuk Aedes aegypti dari telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10-12 hari. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya. Umur nyamuk Aedes aegypti betina berkisar antara 2 minggu sampai 3 bulan atau rata-rata 1 bulan, tergantung dari suhu kelembaban udara di sekelilingnya. Kemampuan terbangnya sejauh 2 km, walupun umumnya jarak terbangnya adalah pendek berkisar antara 40-100 m dari tempat perkembang-biakannya. Tempat istirahat yang disukainya adalah benda-benda yang tergantung yang ada di dalam rumah, seperti gordyn, kelambu dan baju/pakian di kamar yang gelap dan lembab. Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada waktu musim hujan, dimana banyak terdapat genangan air bersih yang dapat menjjadi tempat perkembang-biakannya.

Virus Dengue Di Indonesia virus dengue (DEN) tipe 1, 2, 3 dan 4 telah berhasil diisolasi dari darah penderita. Di Jakarta, daerah endemis tinggi, dari sebagian besar penderita DBD derajat berat maupun yang meninggal dapat diisolasi virus dengue tipe 3. Survai virologis penderita DBD telah dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 1995. Keempat serotipe virus dengue berhasil diisolasi baik dari penderita DBD derajat ringan maupun berat. Selama 17 tahun, serotipe yang mendominasi ialah Dengue serotipe 2 atau 3.

Patogenesis Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali mungkin memberi gejala seperti DF. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan.

Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibodi (kompleks virus antibodi) yang tinggi. Terdapatnya komplek virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal sebagai berikut : 1. Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen, berakibat dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a. C5a menyebabkan

meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam terjadinya renjatan. Pada DSS kadar C3 dan C5 menurun masing-masing sebanyak 33% dan 89%. Nyata pada DHF pada masa renjatan terdapat penurunan kadar komplemen dan dibebaskannya anafilatoksin dalam jumlah besar, walupun plasma mengandung inaktivator ampuh terhadap anafilatoksin, C3a Dan c5a agaknya perannya dalam proses terjadinya renjatan telah mendahului proses inaktivasi tersebut. Anafilaktoksin C3a dan C5a tidak berdaya untuk membebaskan histamin dan ini terbukti dengan ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam air seni 24 jam pada pasien DBD. 2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis akan dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan berakibat

trombositopenia hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan amin vasoaktif (histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit faktor III yang merangsang koagulasi intravaskular. 3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini, plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam

pembentukan anafilatoksin yang penghancuran fibrin menjadi fibrin

degradation product. Disamping itu aktivasi akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah.

DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis, yang dasarnya sebagai berikut: 1. Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue. 2. Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fogosit mononukleus.

3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah sel yang terinfeksi. 4. Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediator-mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan aktivasi komplemen dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah, serta tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.

Patofisiologi Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjarkelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DF disebabkan oleh kongesti pembuluh darah dibawah kulit. Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dengan DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilatoksin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskular. Berakibat mengurangnya volum plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura dan renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%. Adanya kebocoran plasma ke daerah ektravaskular dibuktikan dengan ditemukannya cairan dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma,

bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Perdarahan pada DBD umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan meningkatnya destruksi trombosit dalam sistem retikuloendotelial. Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis dengan terdapatnya sistem koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang terganggu oleh aktivitasi sistem koagulasi. DIC secara potensial dapat juga terjadi pada pasien DBD tanpa renjatan. Pada awal DBD pernah DIC tidak menonjol dibanding dengan perembesan plasma, tetapi bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan, maka akan memperberat DIC sehingga perannya akan menonjol.

Manifestasi Klinis Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium (WHO tahun 1997). Kriteria Klinis: o Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terusmenerus selama 2-7 hari, hampir tidak bereaksi terhadap pemberian antipiretik. o Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk *uji bendung positif, petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan / melena. o Hepatomegali.
* Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset pada tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif bila ditemukan 10 atau lebih petekie per 2.5 cm2 (1 inci).

Kriteria Laboratorium: o Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ml). o Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit >20% menurut standar umur dan jenis kelamin. o Waktu perdarahan memanjang o Waktu protrombin memanjang Dua kriteria klinis pertama + trombositopenia dan hemokonsentrasi, serta dikonfirmasi secara uji serologik hemaglutinasi.

DIAGNOSIS Menetapkan diagnosis DHF saat ini masih menggunakan rumusan dari WHO (1975), yaitu : 2 atau lebih kriteria klinik dan 2 kriteria laboratorik dengan syarat bila kriteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2 kriteria klinik (satu diantaranya ialah panas). Ternyata dengan menggunakan kriteria WHO di atas maka ketetapan diagnose berkisar 70-90%.

Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue DD/DBD Derajat* Gejala


DD Demam mendadak 2-7 hari disertai 2 atau lebih tanda: sakit kepala, Nyeri retroorbital, Mialgia, Atralgia. DBD I Gejala di atas ditambah uji bendung positif.

Laboratorium
Leukopenia Trombositopenia, tidak

ditemukan bukti kebocoran plasma. Trombositopenia (<100.000/l), bukti ada

kebocoran plaasma. DBD II Gejala di atas ditambah Trombositopenia (<100.000/l), bukti ada

perdarahan spontan.

kebocoran plaasma. DBD III Gejala di atas ditambah (kulit Trombositopenia (<100.000/l), bukti ada

kegagalan

sirkulasi

dingin, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg) / hipotensi (sistolik 80 mmHg) dan lembab serta gelisah). DBD IV Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur penurunan dapat disertai kesadaran,

kebocoran plaasma.

Trombositopenia (<100.000/l), bukti ada

kebocoran plaasma.

sianosis dan asidosis. *DBD derajat III dan IV juga disebut sindroma syok dengue (SSD)

DENGUE SHOCK SYNDROME (DSS) Menurut klasifikasi WHO (1975) merupakan DBD derajat 3 dan 4 dengan tandatanda kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan. Patofisiologi Patofisiologi yang terutama pada DSS ialah terjadinya peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya perembesan plasma dan elektrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk ke dalam ruang interstitial sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi cairan ke rongga serosa.

Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang sampai kurang lebih 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan hipovolemia ini bila tidak diatasi dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis metabolic, sehingga terjadi pergeseran ion kalium intraseluler ke ekstraseluler. Mekanisme ini diikuti pula dengan penurunan kontraksi otot jantung dan venous pooling, sehingga lebih lanjut akan memperberat renjatan. Pembagian renjatan menurut Munir dan Rampengan: 1. Syok ringan/tingkat 1 (impending shock) yaitu gejala dan tanda-tanda syok disertai menyempitnya tekanan nadi menjadi 20mmHg. 2. Syok sedang/tingkat 2 (moderate shock) yaitu=tingkat 1 ditambah tekanan nadi menjadi <20mmHg, tetapi belum sampai nol, disertai menurunnya tekanan sistolik menjadi <80mmHg, tetapi belum sampai nol. 3. Syok berat/tingkat 3 (profound shock) yaitu tekanan darah tidak terukur/nol,tetapi belum ada sianosis/asidosis. 4. Syok sangat berat/tingkat 4 (moribund cases) yaitu tekanan darah tidak terukur lagi disertai sianosis dan asidosis. Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik klinik pada penderita DSS menurut Wong: 1. Clouding of sensorium 2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun. 3. Nyeri perut. 4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis, hematemesis, melena, hematuri dan hemoptisis. 5. Trombositopenia berat. 6. Adanya efusi pleura pada toraks foto. 7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG.

Tatalaksana Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan

yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi. Tatalaksana DBD dibagi atas 3 fase berdasarkan perjalanan penyakitnya: 1. Fase Demam terapi simptomatik dan suportif. 1. Parasetamol 10 mg/kgBB/dosis setiap 4-6 jam (aspirin dan ibuprofen dikontraindikasikan). Kompres hangat diberikan apabila pasien masih tetap panas. 2. Terapi suportif yang dapat diberikan antara lain larutan oralit, jus buah atau susu dan lain-lain. 3. Apabila pasien memperlihatkan tanda-tanda dehidrasi dan muntah hebat, berikan cairan sesuai kebutuhan dan apabila perlu berikan cairan intravena. Setelah bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien DBD akan memasuki fase kritis. Sebagian pasien sembuh setelah pemberian cairan intravena, sedangkan kasus berat akan jatuh ke dalam fase syok. 2. Fase Kritis (berlangsung 24-48 jam), sekitar hari ke-3 sampai dengan hari ke-5 perjalanan penyakit. Umumnya pada fase ini pasien tidak dapat makan dan minum oleh karena anoreksia atau dan muntah. A. Tatalaksana umum Rawat di bangsal khusus atau sudut tersendiri sehingga pasien mudah diawasi. Catat tanda vital, asupan dan keluaran cairan dalam lembar khusus. Berikan oksigen pada kasus dengan syok. Hentikan perdarahan dengan tindakan yang tepat. B. Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti: Bayi. DBD derajat III dan IV. Obesitas. Perdarahan masif. Penurunan kesadaran.

Mempunyai penyulit lain, seperti Thalasemia dll.

C. Tatalaksana cairan Indikasi pemberian cairan intravena: Trombositopenia, peningkatan Ht 10-20%, pasien tidak dapat makan dan minum melalui oral. Syok.

Jenis cairan pilihan: Kristaloid (jenis cairan pilihan diantaranya: ringer laktat dan ringer asetat terutama pada fase syok) Koloid (diindikasikan pada keadaan syok berulang atau syok berkepanjangan) Jumlah Cairan: Selama fase kritis pasien harus menerima sejumlah cairan rumatan ditambah defisit 5-8% atau setara dehidrasi sedang. Pasien dengan berat badan (BB) lebih dari 40kg, total cairan intravena setara dengan 2 kali rumatan. Pada pasien obesitas,perhitungkan cairan intravena berdasar atas BB ideal. Tetesan: Pada kasus non syok BB < 15 kg 6-7 ml/kgBB/jam BB 15-40 kg 5 ml/kgBB/jam BB > 40 kg 3-4 ml/kgBB/jam Pada kasus DBD derajat III mulai dengan tetesan 10 ml/kgBB/jam. Pada kasus DBD derajat IV, untuk resusitasi diberikan cairan RL 10 ml/kgBB dengan tetesan lepas secepat mungkin (10-15 menit) kalau perlu dengan tekanan positif, sampai tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian turunkan sampai 10 ml/kgBB/jam.

*Tatalaksana penderita DBD derajat I dan II dengan peningkatan hematokrit >20%

D. Penatalaksanaan pada DSS 1. Pada DSS segera beri infus kristaloid ( Ringer laktat atau NaCl 0,9%) 1020 ml/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2 lt/mnt. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur) diberikan ringer laktat 20ml/kgBB bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah. 2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap dilanjutkan15-20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (HES) sebanyak 10-20ml/kgBB, maksimal 30ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah. Pada syok berat (tekanan nadi < 10 mmHg), penggunaan koloid (HES) sebagai cairan resusitasi inisial memberi hasil perbaikan peningkatan tekanan nadi lebih cepat. 3. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar

hemoglobin/hematokrit, tekanan nadi > 20mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10ml/kgBB. Volume 10ml/kgBB/jam dapat tetap dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis stabildan hematokrit menurun <40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjdi 7ml/kgBB sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5ml dan seterusnya3ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi klinis, nadi, tekanan darah, jumlah urin dikerjakan tiap jam (usahakan urin >1ml/kgBB, BD urin <1,020) dan pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik. 4. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tetapi masih >40 vol% berikan darah dalam volume kecil10ml/kgBB. Apabila tampak perdarahan masif,berikan darah segar 20ml/kgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP

(dipertahankan 5-8cmH2O) padasyok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan. 5. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan cairan dan pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP normal (>10cmH2O), maka diberikan dopamin.

DSS

Oksigenasi (berikan 02 2-4 liter/menit Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis) RL/NaCl 0,9% 10-20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ? Pantau tanda vital tiap 10 menit, catat balans cairan selama pemberian cairan intravena

Syok teratasi Kesadaran membaik Nadi teraba kuat Tekanan nadi > 20 mmHg Tidak sesak nafas/sianosis Ekstrimitas hangat Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam

Syok tidak teratasi Kesadaran menurun Nadi lembut/tidak teraba Tekanan nadi < 20 mmHg Distres pernafasan/sianosis Kulit dingin dan lembab Ekstrimitas dingin Periksa kadar gula daarah

Cairan dan tetesan disesuaikan 10 ml/kgBB/jam Lanjutkan cairan 15-20 ml/kgBB/jam

Evaluasi ketat Tanda vital Tanda perdarahan Diuresis Hb, Ht, trombosit Stabil dalam 24 jam Tetesan 5 ml/kgBB/jam Tetesan 3 ml/kgBB/jam

Tambahkan koloid/plasma Dekstran/FFP 10-20 (max 30) mi/kgBB

Koreksi asidosis Evaluasi 1 jam Syok teratasi Syok belum teratasi

Infus stop tidak melebihi 48 jam

Ht turun

Ht tetap tinggi naik koloid

Transfusi darah segar 10 ml/kgBB 20 ml/kg BB dapat diulang sesuai kebutuhan

Pemantauan terhadap syok dilakukan dengan ketat selama 1-2 jam setelah resusitasi. Enam sampai 12 jam pertama setelah syok, tekanan darah dan nadi merupakan parameter penting untuk pemberian cairan selanjutnya. Akan tetapi kemudian, semua parameter sekaligus harus diperhatikan sebelum mengatur jumlah cairan yang akan diberikan. Parameter pemberian cairan yang harus diperhatikan adalah : - Kondisi klinis : penampilan umum, pengisian kapiler, nafsu makan dan kemampuan minum pasien. - Tanda vital : Tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nafas. - Hematokrit. - jumlah urine Indikasi transfusi darah adalah : - Perdarahan saluran cerna berat (melena). - Kehilangan darah bermakna, yaitu > 10% volume darah total. (Total volume darah = 80 ml/kg). Berikan darah sesuai kebutuhan. Apabila packed red cell (PRC) tidak tersedia, dapat diberikan sediaan darah segar. - Pasien dengan perdarahan tersembunyi. Penurunan Ht dan tanda vital yang tidak stabil meski telah diberi cairan pengganti dengan volume yang cukup banyak, berikan sediaan darah segar 10 ml/kg/kali atau PRC 5 ml/kgBB/kali Indikasi transfusi trombosit adalah : Hanya diberikan pada perdarahan masif. Dosis: 0.2 /kgBB/dosis

3. Fase penyembuhan Setelah masa kritis terlampaui maka pasien akan masuk dalam fase maintenance/penyembuhan, pada saat ini akan ada ancaman timbul keadaan overload cairan. Sehingga pemberian cairan intravena harus diberikan dalam jumlah minimal hanya untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi intra vaskuler, sebab apabila jumlah cairan yang diberikan berlebihan, akan menimbulkan kebocoran ke dalam rongga pleura, abdominal, dan paru yang akan menyebabkan distres pernafasan yang berakibat fatal.

Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Indikasi pasien masuk ke dalam fase penyembuhan adalah : - Keadaan umum membaik. - Meningkatnya nafsu makan - Tanda vital stabil - Ht stabil dan menurun sampai 35-40%. - Diuresis cukup

4. Indikasi Pulang - 24 jam tidak pernah demam tanpa antipiretik - secara klinis tampak perbaikan - Nafsu makan baik - Nilai Ht stabil - Tiga hari sesudah syok teratasi - Tidak ada sesak nafas atau takipnea - Trombosit 50.000/l.

Pemeriksaan Penunjang. 1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru. Parameter laboratorium yang dapat diperiksa: Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (> 45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat. Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8 akibat depresi sumsum tulang.

Hematokrit:

kebocoran

plasma

dibuktikan

dengan

ditemukannya

peningkatan hematokrit 20% dari hematokrit awal. Sering ditemukan mulai hari ke-3. Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah. Imunoserologi ~ Pemeriksaan anti-dengue IgG, IgM IgM + + IgG + + Interpretasi Infeksi primer Infeksi sekunder Riwayat terpapar/ dugaan infeksi sekunder Bukan infeksi Flavivirus, ulang 3-5 hari bila curiga. ~ Uji HI: 1: 2560 Infeksi sekunder Flavivirus Protein/Albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. SGOT/SGPT dapat meningkat. Ureum, Kreatinin: dapat meningkat pada keadaan gagal ginjal akut. Gas darah: terdapat gangguan pada konsentrasi gas darah sesuai dengan keadaan pasien. Elektrolit: sebagai parameter pemberian cairan. Golongan darah dan cross match: dilakukan sebelum tindakan tranfusi darah untuk keamanan pasien. 2. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan foto roentgen dada, bisa didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan. Pemeriksaan foto dada dilakukan atas indikasi dalam keadaan klinis ragu-ragu dan pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.

USG: untuk mendeteksi adanya asites dan juga efusi pleura.

Komplikasi Ensefalopati dengue Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Virus dengue dpat menembus sawar darah otak, tetapi sangat jarang dapat menginfeksi jaringan otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut. Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apati atau somnolen, dapat disertai atau tidak kejang, dan dapat terjadi pada DBD/DSS. Apabila pada pasien syok terjadi ensefalopati , syok harus diatasi terlebih dahulu. Pungsi lumbal dilakukan apabila syok sudah teratasi dan kesadaran tetap menurun (hati-hati apabila trombosit <50.000/uL). Pada ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar gula darah turun, alkalosis pada AGD, dan hiponatremia.

Kelainan Ginjal GGA pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupn jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Oleh karena apabila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok beratsering kali dijumpai acute tubular nekrosis, ditandai dengan penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.

Udem Paru Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak menyebabkan udem paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadinya reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan secara berlebih. Pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru harus dibedakan dengan pendarahan paru.

Prognosis Tergantung dari beberapa factor seperti, lama dan beratnya renjatan, waktu, metode, adekuat tidaknya penanganan, ada tidaknya recurrent shock yang terjadi terutama dalam 6 jam pertama pemberian infuse dimulai, panas selama renjatan, dan tanda-tanda serebral. Bila tidak disertai dengan renjatan, maka prognosanya baik, biasanya dalam 24-36 jam cepat menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda-tanda perbaikan maka kemungkinan sembuh kecil dan prognosa menjadi lebih buruk.

Langkah Promotif / Preventif. Pencegahan /pemberantasan DBD dengan membasmi nyamuk dan sarangnya dengan melakukan tindakan 3M, yaitu: Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali atau menaburkan bubuk larvasida (abate). Menutup rapat-rapat tempat penampungan air. Mengubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air.

Analisa Kasus

1 Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat ?

Diagnosa kerja pada pasien ini adalah DBD derajat III, sudah tepat. DBD ditegakkan berdasarkan gejala klinik : Kriteria Klinis: o Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terusmenerus selama 2-7 hari, hampir tidak bereaksi terhadap pemberian antipiretik. o Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk *uji bendung positif, petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan / melena. o Hepatomegali. o Syok
* Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset pada tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif bila ditemukan 10 atau lebih petekie per 2.5 cm2 (1 inci).

Kriteria Laboratorium: o Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ml). o Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit >20% menurut standar umur dan jenis kelamin.

Pada pasien ini ditemukan hampir seluruh kriteria dari DBD, seperti, ditemukannya demam tinggi sudah 5 hari, uji bendung positif, serta hasil lab menunjukkan trombositopenia (52.000/ul), peningkatan hematokrit (54 %). Menetapkan diagnosis

DBD saat ini masih menggunakan rumusan dari WHO (1975), yaitu : 4 kriteria klinik dan 2 kriteria laboratorik dengan syarat bila kriteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2 kriteria klinik (satu diantaranya ialah panas).

Pasien ini digolongkan ke DBD derajat III karena didapatkan tanda-tanda kegagalan sirkulasi ringan yaitu nadi cepat dan lemah (144x/mnt), tekanan darah (80/60 mmHg) disertai akral yang dingin, lembab dan penderita gelisah yang sesuai dengan kriteria DBD derajat III.
2 apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat ?

Pemberian O2 2 L/menit seharusnya dilakukan pada pasien ini untuk mengatasi hipoksemia yang terjadi karena hipotensi dan kegagalan sirkulasi.

Pemberian IVFD RL 20 mL/KgBB/jam secepatnya (bolus dalam 30 menit) sudah tepat dilakukan untuk mengatasi syok. Evaluasi 30 menit kemudian, bila syok telah teratasi maka kurangi cairan menjadi 10 mL/KgBB/jam. Dan bila stabil dalam 24 jam, maka terapi cairan berubah menjadi 5mL/Kg/BB, lalu bila pemeriksaan Ht stabil dalam 2x pemeriksaan maka dilanjutkan dengan 3mL/Kg/BB dan bila telah 48 jam dari waktu syok teratasi maka infus di stop. Pada kasus ini langkah 1 dan 2 telah tepat, namun langkah berikutnya kurang tepat karena langsung diberikan cairan infus 12 gtt/mnt.

Pemberian Ceftriaxone 1g/12 jam tidak tepat karena DBD disebabkan oleh virus sehingga tidak diperlukan antibiotik. Pemberian Ranitidin pada kasus ini adalah 25mg/12jam IV cukup tepat karena dosis ranitidine IV adalah 1 mg/KgBB 6-8jam. Dengan BB 20 kg seharusnya ranitidine IV 20mg/Kg/8jam atau 30mg/Kg/12jam. Ranitidine diindikasikan pada penderita karena pasien tidak mau makan sehingga asam lambung pasien meningkat.

Pemberian paracetamol dilakukan apabila pasien mengalami demam. Dosis parasetamol menurut untuk umur 7 tahun adalah 10-15mg/KgBB/x sehingga diberikan 200-300mg/x atau 1/2 tab atau 2cth(1 cth = 120mg). dosis paracetamol pada kasus ini kurang tepat.

3 Bagaimana prognosis pada kasus ini ?

Pada kasus ini prognosisnya baik karena pasien mendapat pengobatan yang adekuat, tidak adanya renjatan berulang dan klinis pasien sudah mulai membaik dalam 24 jam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Choundry SP, Gupta RK, Kishan J. 2004 : Dengue shock syndrome in newborn, a case series. J Ind Pediatr;41:397-9. 2. Depkes RI. 2005. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 3. Hadinegoro SRH, Satari HI. 2005. (eds) : Demam Berdarah Dengue, Naskah Lengkap. Jakarta : Balai Penerbit FK UI:1-80. 4. Hardiono, dkk. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.Ed.I. 2004. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 5. Nusirwan Acang. 2009. Pemberian Cairan Pada Demam Berdarah Dengue. Sub Bagian Petri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-Unand/RS Dr. M. Djamil Padang. Available from: http://papdiplg.multiply.com/journal (diakses 8 April 2012). 6. Soedarmo SS, dkk. 2010. Infeksi Virus Dengue. Buku Ajar Infeksi dan Pediatric Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 155-180 7. Willis BA, Dung NM, Loan HT, Tam DTH, Thuy TTN, Minh LTT et al. 2005. Comparison of three fluid solutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J Med;353:877-89. 8. Willis BA. 2001: Volume replacement in dengue shock syndrome. Dengue Bulletin. 2001; 25: 50-4. 9. WHO Indonesia. 2008. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Alih bahasa: Tim Adaptasi Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

You might also like