You are on page 1of 17

1

BAB I PENDAHULUAN

Abu Nasr Muhammad Al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa yang ada di Farab (Transexania) ditahun 870 M. menurut keterangan ia berasal dari Turki dan orangtuanya adalah seorang Jendral. Ia sendiri pernah jadi Hakim. Dari Farab ia kemudian pindah ke Bagdad yaitu pusat ilmu pengetahuan di waktu itu. Disana ia belajar pada Abu Bisr Matta Ibnu Yunus (penerjemah) dan tinggal di Bagdad selama 20 tahun, kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di istana Saif-Al-Daulah memusatkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Istanan Saif Al-Daulah adalah tempay pertemuan ahli-ahli ilmu pengetahuan dan filsafat di waktu itu. Dalam umur 80 tahun Al-Farabi wafat di Aleppo pada tahun 950 M. Ia berkeyakinan bahwa filsafat tak boleh dibocorkan dan sampai ke tangan orang lain. Oleh karena itu, para filosof-filosof harus menuliskan pendapat-pendapat atau filsafat mereka dalam bahasa yang gelap, agar jangan dapat diketahui oleh sembarangan orang, dan demikian iman serta keyakinan tidak menjadi Jika ia berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, malahan sama-sama membawa kebenaran.

BAB II PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI

A. Pemikiran Filsafat Al-Farabi 1. Riwayat HIdup Al-Farabi Nama lengkap Al-Farabi ialah Abu nasr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Beliau adlaah seorang muslim keturunan Parsi, yang dilahirkan di kota Farab (Turkestan), anak Muhammad Ibn Auzalgh seorang panglima perang Parsi dan kemudian berdiam di Bamsyik Al-Farabi belajar di Bagdad dan Harran, kemudian ia pergi ke Suria dan Mesir. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). ayahnya adalah seorang Iran dan kawin dengan wanita Turkestan. Kemudian ia menjadi perwira tentara Turkestan. Karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang dikatakan dari keturunan Iran. Sejak kecilnya Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain: Bahasa Iran Bahasa Turkestan Bahasa Kurdistan Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani yaitu bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.

Setelah besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, yang pusat pemerintahannya dan ilmu pengetahuan pada masanya untuk belajar antara lain pada Abu Bisry bin mathus. Selama ia berada di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. 1 Dan ia belajar ilmu logika itu kepada seorang Dokter Kristen bernama Matta Ibn Yunus, lalu ia pergi ke Harran. Di kota itu, ia bertemu dengan filosof Kristen bernama Yuhana Ibn Khaitan, dan terus mendalami logika dibawah arahannya.2 Sesudah pihdahnya ia ke Harran yang salah satu kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk berguru Yuhanna bin Jilan. Tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu untuk kembali ke Baghdad untuk mendalami filsafat. Sesudah itu ia menguasai ilmu Mantik (logika). Dan ia berdiam di Baghdad selama 30 tahun. Selama waktu itu ia memakai waktu itu, ia memakai waktunya untuk mengarang memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang paling terkenal pada masa ini Yahya bin Ady. Pada tahun 330 H (941 M), ia pindah ke Damsyik dan disini ia mendapat kedudukan yang baik dari Saifudaulah, seorang khalifah Hamda di Halab (Aleppo), sehingga ia diajak turut ikut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut kota Damsyik, kemudian ia menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337 H (950 M) pada usia 80 tahun.3

1 2

Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), hlm. 30. Tedd. D. beavers, Paradigma Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. Sudarsono, Op.Cit. hlm. 31.

41.
3

Al-Farabi yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang ke-ilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Zina dan Ibnu Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Pandangannya yang demikian mengenai filsafat terbukti dengan usahanya untuk mengakhri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles lewat risalahnya Al-jamu Baina Rayay Al-Hakimain Aflathun wa Aristhu. Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa Ibn Sina telah membaca 40 kali buku metafisika karangan Aristoteles, bahkan hampir seluruh isi buku itu dihapalnya, tapi belum dipahaminya. Barulah Ibnu Sina memahami benar filsafat Aristoteles setelah membaca buku Al-Farabi yaitu Tahqiq Ghardh Aristhu Fi Kitab Ma ba;da Al-Thabiah yang menjelaskan tujuna dan maksud metafisika Aristoteles. Pengetahuannya yang mendalam mengenai filsafat Yunani, terutama Plato dan Aristoteles, ia dijuluki AlMuallim Al-Tsani (guru kedua) Plato. Sedangkan A-Muallimin Al-Awwal (guru pertama) adalah Aristoteles.4 2. karianya-karianya setelah disebutkan diatas, Al-Farabi adalah seorang filsuf besar muslim yang banyak menyusun filsafat, sehingga tidak mengherankan jika dia menghasilkan karya-karya ilmu pengetahuan antara lain: 1) Arali Ahl Madinah al-Fadhilah
4

Hasyimsyah Syab, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 33.

2) Maqalat fimaani al-aql 3) Al-Ibanah An Ghardhi Aristo fi kitabi Ma hada al-Thabiah 4) Al-Masail Al-Falsalafiyah wa Ajiwibah Anha.5 5) Syuruh risalah zainul al-kabir al-yunani. 6) Al-Taliqat 7) Risalah fima yajibu marifat qobla taallumi al-falsafah. 8) Risalah fi itsbat al-mufaraqah. 9) Risalah al-aql 10) Ihsha al-ulum wa al tarif arqhradiha. 11) Kitab tahshil al-saadah 12) Fushul al-hukm 13) Dan lain-lain.6

B. Metafisika Adapun masalah ketuhahan Al-Farabi menggunakan pemikiran Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-maujud al-awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada, konsep tidak bertentangan dengan keesaan dalam ajaran Islam. Dalam buktian adanya Tuhan, Al-Farabi mengemukakan dalil wajib al-wujud, menurutinya segala yang ada ini hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga.

5 6

Hasan Bakti, Filsafat Umum, (Jakarta : Gaya Media Pertama, 2001), hlm. 118 Dr. Hasyim Syab, Op.Cit, hlm. 34.

Wajib al-wujud ialah : wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada, jika wujud ini tidak ada, maka akan timbul kemustahilan. Sedangkan mumkin al-wujud tidak akan berubah menjadi wujud actual tanpa adanya wujud yang menguatkan, dan itu bukan dirinya. Tentang sifat Tuhan Al-Farabi sejalan dengan paham Mutazilah yakni sifat Tuhan tidak berbeda dengan subtansinya. Orang boleh saja menyebut AsmaAlhusna, tetapi nama tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada zat sifat zatnya yang berbeda. Bagi Al-Farabi, Tuhan adalah Aql murni, Ia esa adanya dan yang menjadi obyek pemikirannya hanya subtansinya saja. Jadi, ia tidak memikirkan subtansi yang lain. Jadi Tuhan adalah Aql Aqil, dan Maqul (akal) subtansinya yang berpikir, dan subtansi yang dipikirkan, demikian pula Tuhan itu maha tahu. Tentang ilmu Tuhan, pemikiran Al-Farabi terpengaruh oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui dan memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan oleh Al-Farabi dengan menyatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juziayh (particular). Maksudnya, pengetahuan Tuhan hanya dapat menangkap secara Kulli (universal). Sedangkan untuk mengetahui yang Juzi hanya dapat ditangkan dengan panca indra, karena itu pengetahuan yang Juzi tidak secara langsung, melainkan is sebagai sebab bagi yang juzi.

Tentang penciptaan alam, Al-Farabi menggunakan teori Neo-Patonisme Monistik tetang umanasi. Filsafat Yunani, seperti, Aristoteles menganggap bahwa Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama (prima causa). Sedangkan dalam doktrin mutakallimin Tuhan pencipta yang menciptakan dari tiada menjadi ada. Sedangkan bagi Al-Farabi, Tuhan menciptakan suatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Adapun proses terjadinya yang banyak dari yang satu, Al-Farabi berpegang pada asa: yang berasal dari yang satu pasti satu juga (ia yang fiduan al-wahid illawahidun). Menurut atas itu, Allah Maha Esa mustahil dapat melimpahkan secara langsung, beraneka emanasi. Jadi teori emanasi / pancaran Al-Farabi). Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yag timbul darinya satu, Tuhan bersifat maha satu, tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari artinya banyak, maha sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat sifat Tuhan itu, jadi bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang maha satu? Menurutnya alam terjadi dengan cara teori emanasi. Sebagai berikut: Tuhan sebagai akal, berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al-wujud al-awwal). Dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (al-wujud as-sani) yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut akal pertama (al-aql al-awwal) yang tidak bersifat materi. Wujud kedua ini brpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbul wujud ketiga yang disebut akal kedua (as-sama al-awwal).

Wujud dua atau akal pertama itu juga berpikir tentang dirinya, dan dari situ timbullah langit pertama (as-sama al-awwal). Wujud ke III / akal kedua : Tuhan : Dirinya Wujud ke IV / akal ketiga : Tuhan : Dirinya Wujud ke V / akal keempat : Tuhan : Dirinya Wujud ke VI / akal kelima : Tuhan : Dirimya Wujud ke VII / akal keenam : Tuhan : Dirinya Wujud ke VIII / akal ketujuh : Tuhan : Dirinya Wujud ke IX / akal kedelapan : Tuhan : Dirinya Wujud ke X / akal kesembilan : Tuhan : Dirinya = wujud ke IV / akal ketiga = bintang-bintang = wujud ke V / akal keempat = Saturnus = wujud ke VI / akal kelima = Jupiter = wujud ke VII / akal keenam = Mars = wujud ke VIII / akal ketujuh = Matahari = wujud ke IX / akal kedelapan = Venus = wujud ke X / akal kesembilan = Mercury = wujud ke XI / akal kesepuluh = Bulan

Pada pemikiran wujud Xi / akal kesepuluh, berhentilah terjadinya / timbulnya akal, tapi dari situ muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama

yang menjadi dasar dari keempat unsure api, udara, air dan tanah. Jadi akal ke 10 mengatur dunia yang ditempati manusia ini. tentang qidam (tidak bermula) baharunya alam. Al-Farabi mereka orang yang mengatakan sebagaimana Aristoteles bahwa ala mini kekal, yaitu tidak terjadinya secara berangsur-angsur, tapi sekaligus dengan tak berwaktu.7

C. Jiwa Adapun tentang jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Platinus. Jiwa yag bersifat rohani, bukan materi dan teewujud setelah adanya badan, dan jiwa tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan yang lain. Jiwa manusia yang meteri berasal dari akal ke 10. kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara tidak membawa binasanya jiwa. Karena jiwa itu berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar dan bergerak. Jiwa itu diciptakan tatkala jasad siap menerimanya. Jiwa manusia mempunyai daya-daya, sebagai berikut: 1. Daya Gerak ( : montion), yakni: a. Makan ( , nutrition) b. Memlihara ( , preservation) c. Berkembang ( , reproduction)
7

Hasyim Syah, Op.Cit. hlm. 35-38.

10

2. Daya Mengetahui ( , cognition), yakni: a. Merasa ( , sensation) b. Imaginasi ( , imagination) 3. Daya Berpikir ( , intellection) a. Akal Praktis ( , practical intellect) b. Akal Teoritis ( , theoretical intellect) Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa pana. Jiwa khalidah adalah jiwa fadilah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa itu tidak hancur dengan hancurnya badan, sedangkan jiwa fana yaitu jiwa jahilah, tidak mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi. Ia akan hancur dan akan kekal, namun akan kekal dalam kesengsaraan.8

D. Teori Kenabian Akal yang kesepuluh dapat disamakan dengan malaikat dalam paham Islam. Filosof-filosof dapat mengetahui hakikathakikat karena dapat

berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Nabi atau Rasul demikian pula dapat menerima wahyu, karena mempunyai kesanggupan untuk mengadakan

komunikasi dengan akal kesepuluh. Tetapi kedudukan Rasul atau Nabi lebih tinggi dari pada filosof-filosof. Rasul atau Nabi itu adalah pilihan dan komunikasi
8

Ibid, hlm. 39-40.

11

dengan akal kesepuluh terjadi bukan atas usaha sendiri, tetapi atas pemberian dari Tuhan. Para filosof dapat mengadakan komunikasi itu usaha sendiri, yaitu dengan latihan dan komtemplasi. Selanjutnya para filosof dapat mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh melalui akal mustafad. Sedangkan Nabi atau Rasul tidak perlu sampai mencapai atau memperoleh tingkatan akal mustafat itu, karena Nabi atau Rasul mengadakan kontak dengan akal kesepuluh, malahan dengan daya pengetahuan disebut imajinasi diatas diberikan kepada Nabi-nabi atau Rasul-rasul sehingga dapat berhubungan dengan akal kesepuluh tanpa ada latihan yang harus dijalani seperti para filosof. Dengan imajinasi yang kuat itu Rasul atau Nabi dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh panca indra, dan dari tuntunan-tuntunan badan, sehingga ia dapat memusatkan perhatian dan mengadakan hubungan dengan akal kesepuluh dan daya imajinasi yang begitu kuat itu hanya diberikan Tuhan kepada Nabi-nabi atau Rasul-rasul. Oleh karena filosof dan Nabi atau Rasul mendapat pengetahuan mereka dari sumber yang satu yaitu akal yang kesepuluh, maka pengetahuan ffalsafat dan wahyu yang diterima Nabi tak bertentangan dan mujizat itu juga terjadi karena hubungan dengan akal klesepuluh dapat mewujudkan hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan.

12

Filsafat ini dikemukakan Al-Farabi untuk menentang aliran yang tak percaya kepada Nabi dan Rasul (wahyu) sebagaimana yang dibawa oleh Al-Razi dan lain-lain di zaman itu.9

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1999). Hlm. 24-25.

13

BAB III KESIMPULAN

Al-Farabi nama aslinya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad Tarkhan bin Uzalog. Al-Farabi pada mulanya memperoleh ilmu pengetahuan di kota Baghdad, dan di kota itu ia mulai belajar ilmu Mantik pada Abu Basyar Matius Ibnu Yunus, dan tidak lama kemudian Al-Farabi pergi ke Harran untuk memperoleh kaidah-kaidah bahasa Arab. Dan tidak lama kemudian dia kembali ke Baghdad untuk memperoleh ilmu falsafah. Al-Farabi adalah seorang filosof Islam dalam arti yang sebenarnya, sebagai suatu ciri yang sangat menonjol dalam filsafat Islam Pemikiran Al-Farabi merupakan pemalsuan filsafat Aristoteles, Plato dan Neo Potanisme dengan pemikiran Islam yang bercorak aliran Syiah imaniyah. Dan dalam metafisika, ia dipengaruhi oleh Plotinus. Jadi dari perpaduan itu, terjadilah perbedaan pendapat. Misalnya dalam masalah ke-Tuhanan. Al-Farabi menggunakan pemikiran Aristoteles dan Neo Platonisme, yakni Al-Maujud Al-Awwal sebagai sebab yang pertama bagi segala yang ada, dan tentang sifat Tuhan tentang penciptaan alam disini juga banyak terjadi proses perbedaan. Seperti yang dikatakan oleh Al-Farabi bahwa ia juga pada mulany mengatakan bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada dari pancaran. Jadi dari perbedaan pendapat ini, Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari yang satu. Tuhan bersifat maha satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti yang banyak, maha sempurna dan tidak berhajat pada apapun.

14

Jadi ia berkesimpulan bahwa yang berasal dari yang satu pasti satu juga (ia yang Fidu an-al wahid illa wahidin).

15

DAFTAR PUSTAKA

Bakti, Hasan, Filsafat Umum, Jakarta : Gaya Media Pertama, 2001. Beavers, Tedd. D., Paradigma Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2001. Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1999. Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996. Syab, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

16

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat dan karunianya kepada kita sehingga makalah yang sederhana ini dapat kami diselesaikan, serta tidak lupa kami junjung tinggikan shalawat bertangkaikan salam ke ruh Nabi Muhammad SAW yang menjadi tauladan bagi umat manusia. Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dan kejanggalan dalam penulisan makalah filsafat Umum ini yang dilatar belakangi keterbatasan pemikiran penulis dan masih jauh dari kategori kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pada saudara-saudari maupun dari Dosen Pembimbing demi perbaikan makalah ini. Akhir kata kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang turut membantu. Dan kepada Allah kami memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan.

Penulis

17

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR......................................................................................... i

DAFTAR ISI........................................................................................................ ii BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... BAB II PEMIKIRAN FILSAFAT AL-FARABI................................................ A. Pemikiran Filsafat Al-Farabi....................................................................... B. Metafisika................................................................................................... C. Jiwa ......................................................................................................9 1 2 2 5

D. Kenabian..................................................................................................... 10 BAB III KESIMPULAN...................................................................................... 13 DAFTAR PUSTAKA

You might also like