You are on page 1of 4

Hukum Menutup Muka Bagi Wanita [Cadar]

Kategori Wanita - Fiqh Wanita

Sabtu, 5 Juni 2004 17:49:21 WIB

HUKUM MENUTUP MUKA BAGI WANITA [CADAR]?

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Bagaimana hukum wanita
menutup muka (cadar) ?"

Jawaban.
Kami tidak mengetahui ada seorangpun dari shahabat yang mewajibkan hal itu. Tetapi lebih utama
dan lebih mulia bagi wanita untuk menutup wajah. Adapun mewajibkan sesuatu harus berdasarkan
hukum yang jelas dalam syari'at. Tidak boleh meajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah.

Oleh karena itu saya telah membuat satu pasal khusus dalam kitab 'Hijabul Mar'aatul Muslimah',
untuk membantah orang yang menganggap bahwa menutup wajah wanita adalah bid'ah. Saya telah
jelaskan bahwa hal ini (menutup wajah) adalah lebih utama bagi wanita.

Hadits Ibnu Abbas menjelaskan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat,
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam 'Al-Mushannaf'.

Pendapat kami adalah bahwa hal ini bukanlah hal yang baru. Para ulama dari kalangan 'As Salafus
Shalih' dan para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari dan lain-lain mengatakan bahwa wajah
bukan termasuk aurat tetapi menutupnya lebih utama.

Sebagian dari mereka berdalil tentang wajibnya menutup wajah bagi wanita dengan kaidah.

"Artinya : Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kemanfaatan"

Tanggapan saya.
Memang kaidah ini bukan bid'ah tapi sesuatu yang berdasarkan syari'at.
Sedangkan orang yang pertama menerima syari'at adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kemudian orang-orang yang menerima syari'at ini dari beliau adalah para shahabat. Para Shahabat
tentu sudah memahami kaidah ini, walaupun mereka belum menyusunnya dengan tingkatan ilmu
ushul fiqih seperti di atas.

Telah kami sebutkan dalam kitab 'Hijaab Al-Mar'aatul Muslimah' kisah seorang wanita

1
'Khats'amiyyah' yang dipandangi oleh Fadhl bin 'Abbas ketika Fadhl sedang dibonceng oleh Nabi
Shallallahu 'laihi wa sallam, dan wanita itupun melihat Fadhl. Ia adalah seorang yang tampan dan
wanita itupun seorang yang cantik. Kecantikan wanita ini tidak mungkin bisa diketahui jika wanita
itu menutup wajahnya dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu memalingkan wajah
Fadhl ke arah lain. Yang demikian ini menunjukkan bahwa wanita tadi membuka wajahnya.

Sebagian mereka mengatakan bahwa wanita tadi dalam keadaan ber-ihram,


sehingga boleh baginya membuka wajah. Padahal tidak ada tanda-tanda
sedikitpun bahwa wanita tadi sedang ber-ihram. Dan saya telah men-tarjih (menguatkan) dalam
kitab tersebut bahwa wanita itu berada dalam kondisi setelah melempar jumrah, yaitu setelah
'tahallul' awal.

Dan seandainya benar wanita tadi memang benar sedang ber-ihram, mengapa
Rasulullah tidak menerapkan kaidah di atas, yaitu kaidah mencegah kerusakan .?!

Kemudian kami katakan bahwa pandangan seorang lelaki terhadap wajah wanita, tidak ada bedanya
dengan pandangan seorang wanita terhadap wajah lelaki dari segi syari'at dan dari segi tabi'at
manusia.

Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman. 'Hendaknya mereka menahan
pandangannya" [An-Nuur : 30]

Maksudnya dari (memandang) wanita.

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan katakanlah kepada wanita yang beriman. 'Hendaklah mereka


menahan pandangannya" [An-Nuur : 31]

Maksudnya yaitu jangan memandangi seorang laki-laki.

Kedua ayat diatas mengandung hukum yang sama. Ayat pertama memerintahkan menundukkan
pandangan dari wajah wanita dan ayat kedua memerintahkan menundukkan pandangan dari wajah
pria.

Sebagaimana kita tahu pada ayat kedua tidak memerintahkan seorang laki-laki untuk menutup.
Demikian pula ayat pertama tidak memerintahkan seorang wanita untuk menutup wajah.

Kedua ayat di atas secara jelas mengatakan bahwa di zaman Rasulullah


Shallallahu 'alaihi wa sallam ada sesuatu yang biasa terbuka dan bisa dilihat yaitu wajah. Maka
Allah, Sang Pembuat syari'at dan Yang Maha Bijaksana memerintahkan kepada kedua jenis
menusia (laki-laki dan perempuan)untuk menundukkan pandangan masing-masing.

Adapun hadits.

"Artinya : Wanita adalah aurat"

Tidak berlaku secara mutlak. Karena sangat mungkin seseorang boleh menampakkan auratnya di
dalam shalat.[1]

2
Yang berpendapat bahwa wajah wanita itu aurat adalah minoritas ulama.
Sedangkan yang berpendapat bahwa wajah bukan aurat adalah mayoritas ulama (Jumhur).

Hadits diatas, yang berbunyi.

"Artinya : Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka syaithan memperindahnya"

Tidak bisa diartikan secara mutlak. Karena ada kaidah yang berbunyi :

"Dalil umum yang mengandung banyak cabang hukum, dimana cabang-cabang hukum itu tidak
bisa diamalkan berdasarkan dalil umum tersebut, maka kita tidak boleh berhujah dengan dalil
umum tersebut untuk menentukan cabang-cabang hukum tadi".

Misalnya : Orang-orang yang menganggap bahwa 'bid'ah-bid'ah' itu baik adalah berdasarkan dalil
yang sifatnya umum. Contoh : Di negeri-negeri Islam seperti Mesir, Siria, Yordania dan lain-lain....
banyak orang yang membaca shalawat ketika memulai adzan. Mereka melakukan ini berdasarkan
dalil yang sangat umum yaitu firman Allah.

"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya" [Al-Ahzaab : 56]

Dan dalil-dalil lain yang menjelaskan keutamaan shalawat kepada Nabi


Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan dalil-dalil umum (yang tidak bisa daijadikan hujjah
dalam adzan yang memakai shalawat, karena ia membutuhkan dalil khusus, wallahu a'lam, -pent-).

Mewajibkan wanita menutup wajah. Berdasarkan hadits : "Wanita adalah aurat", adalah sama
dengan kasus di atas. Karena wanita (Shahabiyah) ketika melaksanakan shalat mereka umumnya
membuka wajah. Demikian pula ketika mereka pulang dari masjid, sebagian mereka menutupi
wajah, dan sebagian yang lain masih membuka wajah.

Jika demikian hadits diatas (wanita adalah aurat), tidak termasuk wajah dan telapak tangan. Prinsip
ini tidak pernah bertentangan dengan praktek orang-orang salaf (para shahabat).

[Disalin dari kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa
AlBani, hal 150-154 Pustaka At-Tauhid]
_________
Foote Note
[1] Maksud beliau adalah bahwa orang yang berpendapat tentang wajibnya menutup wajah bagi
wanita pun bersepakat tentang bolehnya wanita membuka wajahnya, yang menurut mereka adalah
aurat, ketika shalat, maka hal ini menunjukkan bahwa hadits di atas tidaklah berlaku secara mutlak
[-pent]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=780&bagian=0

3
Kategori Wanita - Fiqh Wanita
Senin, 24 Mei 2004 09:02:59 WIB

HUKUM HIJAB
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Alhamdulillah saya merasa mantap dengan
pensyari’atan hijab yang menutup seluruh badan, saya pun telah melaksanakannya dengan
mengenakan hijab tersebut sejak beberapa tahun. Saya pernah membaca beberapa buku yang
membahas hijab, terutama buku-buku tafsir pada bagian yang membahas hijab saat menafsirkan
sebagian surat AlQur’an, seperti An-Nur dan Al-Ahzab. Tapi saya tidak tahu bagaimana
memadukan antara pakaian kaum muslimat pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para
Khulafaur Rasyidin, para Khalifah Bani Umayyah dan urgensi hijab yang hampir saya anggap wajib
atas semua wanita ?

Jawaban.
Harus kita ketahui, bahwa masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi dua :

Pertama : Masa sebelum diwajibkan hijab. Pada saat itu, kaum wanita tidak menutup wajah dan
tidak diwajibkan berlindung dibalik tabir.

Kedua : Masa setelah diwajibkannya hijab, yaitu setelah tahun keenam. Saat itu kaum wanita
diwajibkan berhijab, sehingga mereka, sebagaimana diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengatakan kepada putri-putrinya, isteri-
isterinya dan isteri-isteri kaum mukminin ; Hendaknya mereka mengulurkan jilbab mereka,
sehingga mereka mengenakan kain hitam dan tidak ada yang tampak dari tubuh mereka kecuali
sebelah mata untuk melihat jalanan. Alhamdulillah, di negara kita sampai saat ini kondisinya masih
tetap pada jalan ini, yakni Al-Kitab dan As-Sunnah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melanggengkan apa yang telah dianugerahkan kepada kaum
wanita kita, yaitu hijab yang menutup seluruh tubuh sesuai dengan tuntunan Kitabullah, sunnah
RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pandangan yang benar.

[Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang beliau tanda tanganinya]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syara’iyyah Fi Al-Masaail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-
Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 515 - 516 Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=746&bagian=0

You might also like