You are on page 1of 4

Kajian Stabilitas Sistem Keuangan

DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN BANK INDONESIA

KSK. No.11- 2008

Juni 2008

Tekanan terhadap Stabilitas Sistem Keuangan


Meskipun Kondisi Perbankan Stabil
Stabilitas sistem keuangan selama Semester I 2008 tetap terjaga walau adanya berbagai tekanan global maupun domestik, ditandai dengan tren peningkatan inflasi (11,35% Juni08) dan suku bunga (8,5% Juni08). Hal ini tercermin juga dari tekanan akibat penurunan SUN sebesar sekitar 15% dan IHSG sebesar sekitar 14,5% namun demikian kinerja perbankan masih tetap terjaga. Kinerja perbankan masih menunjukkan perkembangan yang stabil, seperti kredit tumbuh 31,6% (y-o-y), fungsi intermediasi meningkat (LDR 76,6%) meskipun NPL nominal sempat naik Rp2,9 T karena adanya penghapusbukuan dan restrukturisasi kredit menjadi 1,7% . Tekanan internal & eksternal memperburuk Financial Stability Index ((FSI) dari 1,25 (Des 07) menjadi 1,60 (Juni 08). Namun demikian, peningkatan FSI masih di bawah threshold aman (FSI: 2). FSI diperkirakan akan masih tertekan sampai dengan akhir tahun, dari 1,60 menjadi 1,79 (Desember 2008) mengingat inflasi cenderung masih meningkat dan baru akan kembali normal pada tahun 2009. Suku bunga cenderung meningkat sehingga berpotensi menekan NPL perbankan. SUN dan pasar saham masih tertekan.

Key-Vulnerabilities
Sistem Keuangan Indonesia
KECENDERUNGAN PENINGKATAN INFLASI

SUN DAN PASAR SAHAM


MASIH MENGALAMI TEKANAN

RISIKO PERBANKAN KHUSUSNYA RISIKO LIKUIDITAS MENINGKAT MESKIPUN MASIH DALAM BATAS AMAN

RISIKO KREDIT DAN RISIKO


PASAR MENINGKAT SEIRING PERKEMBANGAN EKONOMI

serta jumlah kredit yang meningkat tajam, NPL Gross turun dari 4,6% menjadi 4,1%. Penyisihan penghapusan kredit yang dibentuk perbankan meningkat Rp1,8 T sehingga NPL net turun dari 1,9%

Perkembangan Isu Strategis


GAMBARAN UMUM KONDISI MAKRO EKONOMI DAN SEKTOR RIIL

Kecenderungan Peningkatan Risiko Sistem Keuangan dan Upaya Mitigasi Risiko

KONDISI PERBANKAN

Ketahanan perbankan masih terjaga meski menghadapi tekanan dari harga minyak, harga bahan pangan, dampak krisis subprime mortgage, inflasi dan penurunan harga SUN. CAR perbankan masih cukup memadai namun harus

diwaspadai tren menurun akibat pertumbuhan kredit

yang tinggi. Risiko pasar

stabil walaupun sempat tertekan sejalan dengan har ga SUN yang turun. Namun risiko dari penurunan harga SUN terkendali karena kuatnya modal perbankan. Risiko pasar rendah karena rendahnya

POTENSI KERAWANAN SISTEM KEUANGAN

CRISIS MANAGEMENT PROTOCOL

Kajian Stabilitas Sistem Keuangan


.mitigasi risiko sistem keuangan
posisi PDN. Namun perlu diwaspadai potensi kenaikan risiko sejalan dengan meningkatnya suku bunga mengingat bank banyak mempunyai posisi short pada jangka pendek. Dengan tingginya pertumbuhan kredit (jauh diatas pertumbuhan DPK), bank mulai menggunakan secondary reserves untuk membiayai kredit. Sejalan dengan itu, risiko likuiditas meningkat dan harus diwaspadai. Risiko kredit stabil pada tingkat moderat dengan NPL yang terus menurun. Namun perlu diwaspadai dampak kenaikan suku bunga dan inflasi tinggi yang dapat mengurangi daya beli masyarakat. Dampak negatif ke industri perbankan akan diminimalisir dengan berbagai upaya peningkatan sistem ketahanan perbankan, peningkatan kualitas manajemen risiko perbankan, peningkatan fungsi pengawasan bank dan surveillance sektor keuangan BI, serta penerapan Crisis Ma-nagement Protocol.

Kondisi Makro Ekonomi dan Sektor Riil


Nilai ekspor (mayoritas berbasis sumber daya alam) naik 16,09% dibandingkan semester I 2007 karena naiknya harga komoditi unggulan dunia dan diversifikasi negara tujuan ekspor (selain ke AS juga ke Asia). NPI menghasilkan surplus (USD1,3M) akibat ekspor dan aliran investasi yang tinggi sehingga meningkatkan cadangan devisa menjadi USD59,5 M pada akhir Juni 2008. Pertumbuhan ekonomi semester I 2008 diperkirakan mencapai 6,39% (turun 0,02% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 6,41%). Tingkat inflasi (y-o-y) Juni 2008 11,3% (meningkat 5,26% dibandingkan Juni 2007). Kenaikan Inflasi diantisipasi kenaikan BI-rate menjadi 8,5% pada akhir Juni 2008.

STABILITAS MAKROEKONOMI INDONESIA TERJAGA NAMUN BERBAGAI TEKANAN EKSTERNAL (PERLAMBATAN GLOBAL DAN INFLASI) MEMBUAT PELAKU USAHA MEREDAM EKSPANSI USAHA DAN KONSUMSI. BIAYA PRODUKSI YANG MENINGKAT DAN DAYA BELI YANG MENURUN MENJEPIT PROFITABILITAS KORPORASI. JIKA BERLANJUT KETAHANAN SEKTOR KEUANGAN DOMESTIK DAPAT TERGANGGU

Perkembangan ekonomi global diwarnai tekanan global sebagai dampak perlambatan global (dipicu oleh krisis subprime mortgage) dan inflasi. Ekonomi AS terkena dampak pelambatan dan berdampak pada negara-negara mitra dagang, zona Eropa, emerging markets, bahkan Cina dan India

Nilai tukar selama semester I 2008 terjaga pada level sekitar Rp9.228 per dolar AS Fundamental makroekonomi domestik yang tetap terjaga di tengah peningkatan tekanan risiko eksternal, me-nyebabkan pelaku usaha meredam ekspansi usaha, konsumsi, maupun investasi. Investasi yang

ada lebih banyak berupa aliran modal portofolio dibandingkan FDI (58% vs. 42%). Menurunnya kegiatan ekonomi dan meningkatnya harga menipiskan margin sektor korporasi sehingga rentabilitas (ROA dan ROE) korporasi (khususnya perusahaan non-finansial yang telah go public) pada kuar-

tal IV 2007 masing-masing sebesar 0,14 dan 0,35, turun dibandingkan periode yg sama tahun sebelumnya sebesar 0,15 dan 0,37.

Halaman 2

KSK. No.11- 2008


Menggunakan pendekatan barrier option, jumlah perusahaan yang memiliki PD>0,5 sedikit meningkat, dari 32 (Des 2007) menjadi 34 (Des 2008). Hal ini mengindikasikan potensi naiknya risiko kredit ke depan. Namun, kondisi ini diantisipasi bank dengan membentuk cadangan aktiva produktif dan permodalan yang memadai

Secara umum struktur DPK tidak berimbang, terkonsentrasi pada dana jangka pendek (pangsa 93,4%). Sebagian besar DPK (55,7%) dimiliki oleh perorangan, sementara deposan besar (hanya 2,6% dari total pemilik DPK) menguasai 77,0% dari total DPK. Hal ini berpotensi menimbulkan tekanan likuiditas jika terjadi penarikan secara tiba-tiba. Pertumbuhan kredit dibandingkan pertumbuhan DPK tidak imbang (31,6% vs. 14,7%) y-o-y. Akibatnya bank membiayai kredit dengan alat likuid yang dimiliki mengakibatkan rasio jumlah alat likuid terhadap non core deposit menurun tajam dari 147,7% (Des 2007) menjadi 102,5% (Juni 2008), namun masih dalam batas aman (diatas 100%).

DENGAN TIDAK ADANYA CAR BANK DI BAWAH 10% DAPAT DISIMPULKAN BAHWA PERBANKAN MASIH CUKUP KUAT MENGHADAPI RISIKO KREDIT, RISIKO SUKU BUNGA, RISIKO NILAI TUKAR, DAN RISIKO PENURUNAN HARGA SUN

Peningkatan kredit yang cukup besar menurunkan NPL gross dari 4,6% menjadi 4,1%. Nominal NPL relatif tidak mengalami perubahan karena ada penghapusbukuan dan restrukturisasi kredit oleh Bank Persero yang menyebabkan NPL Gross Bank Persero turun menjadi 5,2%. Kenaikan NPL Gross yang cukup besar terjadi pada kelompok Kantor Cabang Bank Asing menjadi 6,0% karena kartu kredit. Kenaikan penyisihan penghapusan kredit yang dibentuk bank(Rp1,8 T) sementara NPL nominal tidak berubah telah menurunkan NPL net dari 1,9% (akhir 07) menjadi 1,7% (Juni 08). Kondisi makroekonomi yang kurang menguntungkan berpotensi meningkatkan risiko kredit ke depan. Inflasi secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas kredit (NPL). Kenaikan inflasi 1% akan meningkatkan NPL

Naiknya kredit membuat Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) naik pesat. Modal hanya naik 5,1% sedangkan ATMR naik 23,6%. Akibatnya CAR turun dari 19,3% jadi 16,4%, sementara rasio modal inti terhadap ATMR masih 14,7%. Dalam stress-test terhadap bankbank besar dengan Skenario Stress-Test : Kualitas kredit menurun downgrade outstanding kolektabilitas kredit 10% ; Harga SUN menurun 15% ; Suku bunga meningkat 2% ; Nilai tukar rupiah menjadi Rp9,725/USD . Hasilnya adalah CAR bank turun rata-rata 0,4% (terendah 0,1% dan tertinggi 3,3%) dari 18,8% menjadi 18,4%.
Halaman 3

Potensi Kerawanan Sistem Keuangan


Dampak krisis subprime mortage terhadap pasar keuangan global masih memberikan potensi tekanan sektor keuangan domestik. Selama semester I 2008. Di AS, kegagalan Bear Stearns memaksa otoritas berwenang segera bertindak untuk mencegah dampak yang lebih parah. Kegagalan juga merembet ke bank regional berukuran relatif besar, yaitu IndyMac Bank, serta raksasa pendukung mortgage yaitu Fannie Mae dan Freddie Mac. Dampak lanjutan diperkirakan masih dapat terjadi di berbagai belahan dunia sejalan dengan semakin terintegrasinya perekonomian dunia. Dampak penting lainnya dari krisis subprime mortgage adalah pasar kredit yang semakin sempit di AS dan negara lain terkait karena lembaga-lembaga keuangan saling menahan diri untuk tidak menyalurkan dana. Akibatnya, kondisi likuiditas di pasar keuangan global semakin ketat. Di sisi lain, meskipun harga bahan bakar minyak dunia mulai mengalami penurunan sejak pertengahan Juli 2008, namun levelnya masih relatif tinggi. Penurunan harga minyak dan komoditi-komoditi lainnya perlu diwaspadai karena dapat memperburuk kinerja Neraca Perdagangan Indonesia yang pada kuartal II sudah menunjukkan defisit. Disamping itu, dengan tren kenaikan inflasi yang masih terjadi maka perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan masih tetap berlanjut. Perkembangan tersebut dapat menekan sektor keuangan global yang sudah terpuruk paska krisis subprime mortgage sehingga menimbulkan ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan domestik. Potensi kerawanan lainnya adalah perkembangan aliran dana investasi asing masuk ke Indonesia. Meskipun pasar saham dan obligasi domestik sempat ikut tertekan karena imbas gejolak pasar keuangan global, dalam kenyataannya investor asing tetap tertarik untuk melakukan penanaman dalam SBI, SUN dan saham perusahaan domestik. Hal ini perlu diwaspadai mengingat aliran dana dari investor asing tersebut umumnya bersifat jangka pendek, sehingga sangat rentan terhadap gejolak yang dapat mendorong aliran modal ke luar negeri secara serentak dan tiba-tiba (sudden reversal) yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan Indonesia. Dari dalam negeri, potensi kerawanan antara lain berasal dari masih terjadinya tren kenaikan harga bahan pokok dan energi yang dapat meningkatkan biaya produksi perusahaan dan mengurangi daya beli masyarakat sehingga berpotensi mendorong kenaikan kredit bermasalah (NPL). Kenaikan NPL juga dapat dipicu dari tren kenaikan suku bunga paska kenaikan BI rate. Di samping itu, antisipasi berbagai bentuk bencana alam seperti gempa dan banjir juga harus terusmenerus dilakukan guna mencegah menurunnya kualitas kredit. Tidak kalah pentingnya adalah peningkatan country risk dan risiko kredit terkait dengan Pemilu 2009.

Crisis Management Protocol (CMP)


Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan LPS telah melakukan pembahasan intensif sejak april untuk menyelesaikan perumusan RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK). Sebagai bagian dari tahapan penyusunan RUU dimaksud setiap otoritas menyusun Crisis Management Protocol (CMP) untuk mengantisipasi dan memitigasi risiko terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. CMP setiap otoritas telah direview oleh konsultan yang ditunjuk oleh Pemerintah sehingga dapat dilakukan perbaikan untuk mendukung pelaksanaan RUU JPSK pada waktunya. CMP juga akan disimulasikan tidak hanya untuk internal masing-masing otoritas tetapi juga dilakukan secara komprehensif dan melibatkan semua pihak yang bertanggung jawab untuk menjaga kestabilan sistem keuangan. Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank, yang merupakan bagian terbesar dari struktur sistem keuangan Indonesia, terus melakukan penyesuaian dan sinkronisasi dengan kebijakan moneter melalui penyediaan fasilitas sesuai dengan peran Bank Sentral sebagai Lender of the Last Resort.

DIREKTORAT

PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN

Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Menara Radius Prawiro Lt. 9 Phone: 62-21-3818336 ; Fax: 62-21-2311672 E-mail: bssk@bi.go.id

You might also like