You are on page 1of 35

SENSITIVITAS IN VITRO Salmonella typhi TERHADAP ANTIBIOTIK KLORAMFENIKOL, CIPROFLOKSASIN DAN CEFTRIAKSON DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSUD ULIN

BANJARMASIN PERIODE MEI-JULI 2012

Usulan Penelitian Diajukan guna menyusun Karya Tulis Ilmiah untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh derajat Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Diajukan oleh Laily Agustina I1A009027

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS KEDOKTERAN BANJARBARU


Mei, 2012

Dewan penguji Ketua (Pembimbing Utama)

dr. Nia Kania, Sp. PA

Anggota (Pembimbing Pendamping)

dr. Eka Yudha Rahman, Sp. U

Anggota

dr. Ika Kustiyah O., Sp. PA

Anggota

Drs. Eko Suhartono, M. Si

DAFTAR ISI ii

Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN DAFTAR ISI DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Debu Batubara dan Gangguan akibat Paparan Debu Batubara 5 B. Senyawa Oksigen Reaktif dan Stres Oksidatif C. Debu Batubara dan Stres Oksidatif D. Proses Pembentukan Malondialdehid sebagai Hasil Peroksidasi Lipid 9 BAB III LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori B. Hipotesis 13 15 8 6 1 3 4 4 i ii iii iv

iii

BAB IV

METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian B. Bahan dan Alat Penelitian C. Variabel Penelitian D. Definisi Operasional E. Prosedur Penelitian F. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data G. Cara Analisis Data H. Waktu dan Tempat Penelitian I. Biaya Penelitian 17 18 18 19 20 23 23 24 25

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Tiga fase reaksi berantai peroksidasi lipid ........................... 11 3.1. Kerangka berpikir perbandingan kadar MDA di paru dan darah tikus akibat paparan debu batubara akut dan subakut 15

Halaman

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. 2. Jumlah replikasi minimal untuk setiap kelompok perlakuan Rancangan tabel hasil pengukuran kadar MDA

vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Demam tifoid adalah infeksi sistemik akut pada system retikuloendothelial yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang penting di Negara berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi demam tifoid di Indonesia tahun 2007, sekitar 358-810/100.000 penduduk, dengan risiko pada usia 3-19 tahun 64%. Kasus ini terus meningkat setiap tahun dengan rata-rata morbiditas 500/100.000 penduduk. Proporsi penderita demam tifoid rawat inap di Rumah Sakit Sumatra Utara tahun 2002 sekitar 11,4%, sedangkan di RSUD Deli Serdang , tahun 2009 sekitar 3,5%. Proporsi tertinggi penderita demam tifoid berdasarkan sosiodemografi pada kelomopk usia 11-20 tahun 31,9%, proporsi perempuan 17,8% dan laki-laki 14,1%. Usia termuda adalah 2 tahun (3,2%) dan tertua adalah 78 tahun, serta pada kelompok pelajar/ mahasiswa sebesar 49,7%. Dilaporkan penggunaan kloramfenikol pada tahun 1948 akibat demam

tifoid dapat menurunkan angka kematian kurang dari 1% sehingga kloramfenicol digunakan sebagai drug of choice untuk pengobatan demam tifoid. Namun, tahun 1970, dilaporkan terjadi resistensi antibiotik kloramfenikol pada pasien dema tifoid di Mexico dan Vietnam. Resistensi juga terjadi pada beberapa antibiotik pertama seperti ampicilin, kloramfenikol dan kombinasi trimetoprim sulfonamide terhadap Salmonella typhi. Selanjutnya sejak tahun 1980an secara 1

2 konsekuen Ciprofloksasin menjadi terapi pilihan pertama demam tifoid. Pola resistensi bakteri terhadap antibiotik bervariasi pada waktu dan tempat yang berbeda. Dilaporkan mulai terjadi peningkatan penyebaran resistensi pada flouroquinolon. Resistensi dan penurunan kerentanan pada flouroquinolon dapat menyebabkan kegagalan terapi demam tifoid. Hasil penelitian di Roukela tahun 2000, menyebutkan bahwa dari 5140 sampel darah, 715 sampel ditemukan positif Salmonella typhi dan hasil uji sensitivitas didapat sekitar 85% kloramfenikol sensitif dan 100% ceftriakson dinyatakan sensitif. Dari data lain dilaporkan ceftriakson memiliki sensitifitas 98,5% dan tidak ditemukan resisten terhadap ciprofloksasin atau ceftriakson, sedangkan resistensi terhadap ciprofloksasin 3% dan ceftriakson 2%. Antibiotik kloramfenikol, ciprofloksasin dan ceftriakson merupakan antibiotik yang digunakan menangani demam tifoid di Bagian Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin. Belum ada laporan sensitifitas bakteri penyebab demam tifoid terhadap antibiotik kloramfenikol, ciprofloksasin dan ceftriakson di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Ulin Daerah Banjarmasin, untuk mengetahui gambaran sensitifitas antibiotik, maka dilakukan penelitian ini. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola sensitivitas isolat Salmonella typhi pada darah penderita demam tifoid Bagian Penyakit Dalam RSUD Ulin Banjarmasin terhadap antibiotik Kloramfenikol,

Siprofloksasin dan Ceftriakson.

3 C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui pola sensitivitas isolat Salmonella typhi pada penderita demam tifoid terhadap beberapa antibiotik di Bagian Penyakit Dalam RSUD Ulin Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan. Tujuan khusus penelitian yaitu mengetahui pola sensitivitas isolat Salmonella typhi pada penderita demam tifoid terhadap antibiotik terpilih yaitu Kloramfenikol, Ciprofloksasin dan Ceftriakson. D. Manfaat Penelitian Dengan diketahuinya gambaran sensitifitas Salmonella typhi dari darah penderita demam tifoid terhadap antibiotik dapat menjadi masukan sebagai data epidemiologi pola sensitifitas Salmonella typhi penderita demam tifoid terhadap kloramfenikol, ciprofloksasin dan ceftriakson. Selanjutnya dapat digunakan sebagai landasanyang tepat, sehingga dapat mempercepat penyembuhan dan mengurangi terjadinya komplikasi. Selain itu dari hasil penelitian itu dapat memberikan sumbangan untuk perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran dan sebagai dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pola sensitifitas bakteri terhadap antibiotik yang digunakan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

Debu Batubara dan Gangguan akibat Paparan Debu Batubara Batubara adalah sisa tumbuhan dari zaman prasejarah yang berubah bentuk

yang awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Batubara terbentuk di bawah tekanan dan panas terhadap fosil tanaman sehingga terjadi perubahan kimiawi dan fisik yang mengeluarkan oksigen dan menyimpan hidrokarbon (1). Komposisi dari batubara terdiri dari debu (ash), fixed carbon, silika, sulfur, ferrum (Fe), mangan (Mn), fosfor (P), dan sulfit (H2S) (16). Debu batubara terdiri dari partikel-partikel yang dapat terhisap oleh paru (4). Partikel debu batubara yang dihantarkan melalui udara akan melewati rongga hidung menuju alveoli. Saluran nafas akan merespon masuknya debu tersebut melalui berbagai mekanisme reflek untuk melindungi jalan nafas, meliputi batuk, bersin, dan pengeluaran lendir. Bila terjadi pemaparan oleh debu batubara dalam waktu yang cukup lama dengan jumlah yang signifikan, maka partikel debu batubara akan tertahan di paru, dan saluran nafas yang resisten akan mengalami peningkatan aktivitas sel imun serta mengakibatkan terjadinya inflamasi (17,18). Seiring peningkatan produksi batubara, maka terjadi penurunan taraf kesehatan, serta terjadi peningkatan kasus beberapa penyakit seperti penyakit paru, penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit paru hitam, hipertensi dan gangguan ginjal. Semua dampak tersebut akibat paparan debu batubara sehingga mempengaruhi kondisi kesehatan (5,6,7). 4

5 Inhalasi debu batubara akan menghasilkan SOR, secara tidak langsung melalui aktivasi sel inflamasi seperti makrofag dan leukosit polimorfonuklear, dan secara langsung oleh debu batubara itu sendiri. Selain itu, paparan debu batubara akan memicu pembentukan H2O2 dan meningkatkan akivitas katalase akibat paparan debu batubara sehingga kadar SOR semakin meningkat (19). B. Senyawa Oksigen Reaktif dan Stres Oksidatif Di dalam dunia kedokteran, istilah SOR sering dikacaukan dengan radikal bebas maupun oksidan. Tidak semua SOR merupakan radikal bebas, karena ada juga yang bukan radikal. SOR yang tergolong radikal bebas meliputi radikal superoksida (O2), radikal hidroksil (OH), radikal peroksil (ROO), dan alkoksil (RO). Sedangkan SOR yang bukan radikal bebas di antaranya oksigen singlet (1O2), hidrogen peroksida (H2O2), dan asam hipoklorit (HOCL) (15,20). Istilah radikal bebas dalam ilmu kimia adalah atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tak berpasangan pada orbital terluarnya, sedangkan oksidan adalah atom atau molekul yang dapat menarik elektron. Oleh karena radikal bebas juga mempunyai sifat sebagai penarik elektron, maka radikal bebas juga bersifat sebagai oksidan (15,20). SOR yang berbentuk radikal bersifat sangat reaktif dan tidak stabil sehingga mudah bereaksi dengan molekul-molekul yang lain. Reaktivitas yang tinggi menyebabkan radikal bebas memiliki kecenderungan untuk menarik elektron dan mengubah suatu molekul menjadi radikal yang baru (20,21,22). Sedangkan SOR yang berbentuk bukan radikal mempunyai reaktivitas yang lebih rendah daripada yang berbentuk radikal. Hal ini bukan berarti SOR yang bukan radikal tidak berbahaya, karena senyawa ini justru

6 juga dapat memicu pembentukan radikal bebas yang baru. Oleh karena itu, baik radikal bebas maupun bukan radikal bebas dapat menjadi ancaman kesehatan bagi manusia terutama orang yang tidak memiliki sistem perlindungan diri (20). Berbagai proses metabolisme normal dalam tubuh dapat menghasilkan

radikal bebas dalam jumlah kecil sebagai produk antara. Di dalam sel hidup, radikal bebas terbentuk pada membran plasma dan organel-organel seperti mitokondria, peroksisom, retikulum endoplasmik, dan sitosol; melalui reaksireaksi enzimatik fisiologis yang berlangsung dalam proses metabolisme (15,23). Proses fagositosis oleh sel-sel fagositik termasuk netrofil, monosit, makrofag, dan eosinofil, juga menghasilkan radikal bebas (24). Stres oksidatif terjadi jika terdapat peningkatan pembentukan radikal bebas, menurunnya sistem penetralan, dan pembuangan radikal bebas. Hal tersebut terjadi baik berupa penurunan antioksidan berat molekul rendah di jaringan maupun gangguan aktivitas pertahanan antioksidan enzimatik (15,20). Stres oksidatif menyebabkan kerusakan pada protein, lipid, karbohidrat, dan asam nukleat. Oleh karena itu, enzim, protein struktural, membran, gugus gula, DNA, dan RNA sangat rentan mengalami kerusakan oksidatif (25). Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu

menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya, kerusakan sel akan dihambat (23).

7 C. Debu Batubara dan Stres Oksidatif Parameter kerusakan oksidatif yang berkaitan dengan fungsi paru akan mengalami perubahan selama inhalasi debu batubara. Jaringan paru yang dipaparkan batubara intratrakea akan memicu peningkatan TBARs dan protein karbonil. Paparan debu batubara pada manusia berkaitan dengan pembentukan SOR, antioxidant upregulation, induksi faktor inflamasi, dan peroksidasi lipid (26). Selain itu, gas CO, CO2, CH3 di lingkungan tambang batubara dapat menyebabkan cedera tambahan yang akan memicu stres oksidatif (19). Kapasitas oksidatif debu batubara utamanya disebabkan kandungan logam transisi, meliputi Fe, Cr, Mn, Co, Ni, Cu, Zn, dan Si. Sebagian besar logam tersebut dapat mengkatalisis reaksi oksidatif untuk menghasilkan SOR, dengan cara bereaksi dengan H2O2 dan membentuk radikal hidroksil (15). Penelitian Ghio et al. menemukan bahwa besi yang terkandung dalam batubara dapat meningkatkan respon inflamasi dan produksi SOR (4,27). Dua mekanisme pemaparan mineral terhadap pembentukkan SOR, yaitu: 1. Pembentukan SOR secara langsung Keberadaan metal pada permukaan fibra asbestosa dapat memicu pembentukan radikal hidroksil. Hydroxyproline diketahui merupakan penanda dari fibrosis, SOR berhubungan dengan berbagai macam penyakit. Pembentukan tipe reaksi Fenton dari radikal hidroksil berhubungan dengan komposisi logam dari debu batubara. Debu batubara dan crystaline silica memiliki kandungan radikal hidroksil 8 kali lipat lebih tinggi dibanding dengan kuarsa. Debu batubara memiliki radikal yang stabil dan dapat menghasilkan SOR dalam cairan biologis,

8 serta sebagian besar mengakibatkan kerusakan oksidatif secara langsung melalui mekanisme non-seluler (4,8). 2. Pembentukan SOR secara tidak langsung Pembentukan radikal secara tidak langsung di paru, dikontrol oleh makrofag alveolar. Makrofag alveolar terinkubasi bersama dengan debu mineral menghasilkan radikal oksigen dalam jumlah yang berlebihan. Berdasarkan penelitian terhadap hewan coba, hewan yang terpapar berbagai macam mineral termasuk debu batubara mengakibatkan makrofag alveolar menjadi sumber utama SOR (4,8). Partikel-partikel yang diendapkan di alveoli akan dibersihkan dalam beberapa hari sampai beberapa bulan melalui fagositosis makrofag alveolar yang selanjutnya meningkatkan pelepasan H2O2 dan O2-. Akhirnya, partikel-partikel tersebut dibersihkan dari paru oleh sistem mukosiliar atau dibawa ke dalam ruang interstitial, kemudian berdifusi ke dalam limfonodus regional atau darah. Luasnya cedera akibat paparan debu batubara juga terkait dengan lama partikel berada pada ruang interstitial. Partikel pada permukaan alveoli yang tidak dibersihkan oleh makrofag alveolar juga akan ditranspor dengan cepat melintasi epitel menuju ruang interstitial dan berdifusi ke dalam limfonodus regional atau darah (28). D. Lipid Dampak negatif stres oksidatif terhadap membran terjadi akibat dari serangan-serangan radikal terutama radikal hidroksil yang menyerang komponen penting penyusun membran sel yang dapat menimbulkan reaksi rantai yang Proses Pembentukan Malondialdehid sebagai Hasil Peroksidasi

9 dikenal dengan nama peroksidasi lipid. Akibatnya adalah terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa yang bersifat toksik terhadap sel (23). Asam lemak tak jenuh jamak atau Polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang banyak terdapat pada membran sel menjadi target utama oksidan, karena sangat rentan terhadap terjadinya autokatalisis peroksidasi. Pada kondisi temperatur fisiologis abstraksi ion H selama fase propagasi jauh lebih siap pada bentuk PUFA daripada bentuk monosaturated lipids. Hal ini diakibatkan terlepasnya ikatan yang menggunakan energi rendah sebesar ~10 kcal/mol dibanding bentuk

monosaturated lipids. Adanya ikatan ganda pada jembatan metilen (-CH2-) PUFA membuat lemah ikatan C-H pada atom karbon dan memfasilitasi lepasnya atom hidrogen (29). Senyawa oksigen reaktif yang bereaksi dengan makromolekul sel dapat merusak sel melalui proses peroksidasi lipid, oksidasi DNA dan protein. Peroksidasi lipid ini mengakibatkan gangguan pada fluiditas dan permiabilitas membran, kerusakan membran sel dan organel, kerusakan sitoskeleton, hambatan pada metabolisme sel, dan gangguan transpor ion. Kerusakan mitokondria juga dapat terjadi menyebabkan produksi SOR bertambah (30,31). Peroksidasi lipid merupakan suatu rangkaian reaksi yang terjadi dalam 3 fase. Diawali dengan fase inisiasi, dimana terjadi abstraksi ion H dari ikatan C-H lipid dengan paparan oksidan dan terbentuk carbon centred lipid radical. Kemudian diikuti dengan fase propagasi yang merupakan bagian yang kompleks, dimana radikal lipid dengan cepat mengalami penggabungan dengan O 2 dan terbentuk radikal peroksi. Reaksi kedua pada fase ini membuat peningkatan

10 jumlah yang dramatis sehubungan dengan adanya abstraksi ion H dari lipid oleh radikal peroksi membentuk lipid hidroperoksidase. Penggabungan O2 dengan lipid radikal yang baru terbentuk menambah jumlah peroksidasi membran lipid. Akhirnya rangkaian peroksidasi lipid berakhir dengan satu atau lebih reaksi terminasi (29). Rangkaian reaksi peroksidasi lipid dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Tiga fase reaksi berantai peroksidasi lipid (29)

Berbagai produk terbentuk selama fase propagasi dan teminasi sesuai struktur kimia prekusor lipid. Hasil dari radikal asam lemak lebih stabil dengan terbentuknya diene terkonjugasi, kemudian diikuti terbentuknya produk yang lebih stabil seperti hidroperoksida, alkohol, aldehid dan alkane. Banyak dari

11 produk ini ditemukan dalam cairan tubuh. Kelompok karbonil yang terbentuk pada proses peroksidasi lipid berupa n-alkenals (propanal, butanal, pentanal, heksanal dll), 2 alkenal (akrolein, pentenal, heksenal dll), 2-4 alkadienals (heptadienal, oktadienal, dekadienal), 4 hidroksi 2,5-undekadienal, 5 hidroksi oktanal, 4-hidroksi-2 alkenals (HNE), dan MDA. Komponen utama ditemukan dalam sampel biologis pada berbagai kompartemen cairan tubuh adalah MDA dan HNE (29). Produk utama hasil oksidasi PUFA dan yang paling sering digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid adalah MDA. MDA juga digunakan secara luas sebagai petanda biologik stres oksidatif, sensitif, dan bisa digunakan pada penelitian dalam jumlah besar. MDA relatif konstan terhadap proporsi peroksidasi lipid, oleh karena itu merupakan indikator yang tepat untuk mengetahui kecepatan proses peroksidasi lipid in vivo (15).

BAB III LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori Debu batubara yang dihantarkan melalui udara dapat masuk ke dalam rongga pernapasan menuju alveoli. Paparan debu batubara yang terjadi dalam waktu cukup lama dengan jumlah yang signifikan dapat terdeposit di alveoli. Hal ini akan memicu aktivasi makrofag alveolar dan reaksi-reaksi kimia di tubuh (17,18). Kemudian peristiwa tersebut akan memicu pembentukan SOR melalui mekanisme tidak langsung atau secara selular oleh makrofag alveolar dan melalui mekanisme langsung atau secara non-selular oleh debu batubara itu sendiri (4). Makrofag yang teraktivasi akan melakukan proses fagositosis terhadap partikel debu batubara. Fagositosis makrofag ini akan memproduksi SOR yang mengakibatkan kerusakan sel epitel saluran nafas dan jaringan mesenkim, serta mengakibatkan penumpukan matriks ekstraseluler. Akhirnya, partikel tersebut dibersihkan dari paru oleh sistem mukosiliar atau dibawa ke dalam ruang interstitial, kemudian berdifusi ke dalam darah (28). Senyawa oksigen reaktif dapat dihasilkan secara langsung oleh debu batubara. Kapasitas oksidatif debu batubara utamanya disebabkan oleh kandungan logam transisi, meliputi Fe, Cu, Cr, Mn, Co, Ni, Zn, dan Si. Beberapa metal tersebut dapat mengkatalisis reaksi oksidatif untuk menghasilkan SOR (15). Partikel yang tidak dibersihkan makrofag alveolar akan ditranspor sistem mukosiliar menuju ruang interstitial, kemudian berdifusi ke dalam darah (28). 12

13 Senyawa oksigen reaktif akan merusak sel dengan cara bereaksi dengan makromolekuler sel melalui proses peroksidasi lipid sehingga proses peroksidasi lipid ini mengakibatkan gangguan pada fluiditas dan permeabilitas membran, kerusakan membran sel dan organel, hambatan pada metabolisme sel, dan gangguan transpor ion (30,31). MDA merupakan produk utama peroksidasi lipid dan yang paling sering digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid (15,20,23). Landasan teori di atas ditunjukkan dalam kerangka berpikir perbandingan kadar MDA di paru dan darah tikus akibat paparan debu batubara akut dan subakut pada gambar 3.1.

Akut Tikus normal Terdeposit di alveoli Debu batubara Subakut

Mekanisme langsung Berdifusi ke dalam darah SOR

Mekanisme tidak langsung

Peroksidasi lipid

MDA paru dan darah


Keterangan : = induksi/ menyebabkan = perlakuan = yang diukur = intervensi

Gambar 3.1. Kerangka berpikir perbandingan kadar MDA di paru dan darah tikus akibat paparan debu batubara akut dan subakut

14 B. Hipotesis Hipotesis yang dapat diambil dari landasan teori di atas adalah sebagai berikut: 1. kadar malondialdehid di paru lebih tinggi dibandingkan dengan darah tikus akibat paparan debu batubara baik akut maupun subakut, dan 2. kadar malondialdehid pada paparan subakut lebih tinggi dibandingkan dengan paparan akut debu batubara baik di paru maupun di darah tikus.

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan post-test only with control group design untuk mengetahui mekanisme paparan debu batubara dalam memicu peroksidasi lipid melalui pengukuran kadar MDA di paru dan darah. Berdasarkan penelitian Altin et al. (2004) didapatkan kadar tertinggi debu batubara di lokasi pertambangan batubara adalah 12,3 mg/m3 sehingga pada penelitian ini digunakan kadar 6,25 mg/m3, 12,5 mg/m3, dan 25 mg/m3 dengan lama paparan 1 jam/hari selama 14 hari dan 28 hari (8,32). Debu batubara yang digunakan berukuran 10 m (33,34). Subjek penelitian ini adalah tikus galur Wistar (Rattus norvegicus) dengan sampel penelitian bronchoalveolar lavage fluid (BALF) dan darah. Jumlah kelompok perlakuan pada penelitian ini sebanyak tujuh kelompok, dengan jumlah minimal subjek penelitian untuk setiap kelompok adalah 5 ekor (lampiran 1), terdiri atas: Kelompok 1: Tikus Kontrol Kelompok 2: Tikus dipapar debu batubara 6,25 mg/m3 1 jam/hari selama 14 hari Kelompok 3: Tikus dipapar debu batubara 12,5 mg/m3 1 jam/hari selama 14 hari Kelompok 4: Tikus dipapar debu batubara 25 mg/m3 1 jam/hari selama 14 hari Kelompok 5: Tikus dipapar debu batubara 6,25 mg/m3 1 jam/hari selama 28 hari Kelompok 6: Tikus dipapar debu batubara 12,5 mg/m3 1 jam/hari selama 28 hari Kelompok 7: Tikus dipapar debu batubara 25 mg/m3 1 jam/hari selama 28 hari 15

16 B. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah BALF dan darah tikus, partikel batubara berukuran 10 m, sodium pentotal, garam fisiologis, phospate buffer saline, Trichloroacetic acid (TCA), HCl, dan Na-thiobarbiturat. 2. Alat penelitian Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah ball mill, ring mill, Raymond mill, MicroSieve (BioDesign, USA), coal dust exposure seri NKBS-12010-0,5, lap pembersih, disposable syringe, jarum, alas pembedahan, pinset, gunting, sonde dengan ujung wing needle, label, tabung reaksi, rak tabung reaksi, mikrosentrifugasi, vortex, glass wool, waterbath, mikropipet dan tip mikropipet, spektrofotometer, kandang hewan, tempat minum, masker, dan sarung tangan. C. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas Variabel bebas pada penelitian ini adalah kadar debu batubara 6,25 mg/m3, 12,5 mg/m3, dan 25 mg/m3, serta durasi paparan 14 dan 28 hari. 2. Variabel terikat Variable terikat pada penelitian ini adalah kadar MDA di paru dan darah tikus. 3. a. Variabel pengganggu Subjek penelitian

1) keadaan umum tikus, dikendalikan dengan memastikan tikus dalam keadaan sehat sebelum penelitian dilakukan.

17 2) faktor fisik dan psikologis tikus, dikendalikan dengan memberikan perlakuan yang sama pada semua subjek penelitian. 3) umur, dikendalikan dengan memilih tikus dengan umur 3 bulan. 4) berat badan, dikendalikan dengan memilih tikus dengan berat badan yang seragam, yaitu 200-250 gram. 5) jenis kelamin, dikendalikan dengan memilih tikus jantan. b. Alat penelitian Variabel laboratorium berupa standarisasi alat dilakukan dengan melakukan pengkaliberasian alat sebelum melakukan penelitian. c. Aspek lainnya dan ketelitian pengukuran, variabel ini dikendalikan dengan

1) cara

menggunakan bahan dan metode pengukuran yang distandardisasi untuk seluruh pemeriksaan. 2) suhu ruangan, dikendalikan dengan menempatkan subjek penelitian di ruangan yang sama pada setiap kelompok perlakuan. D. Definisi Operasional 1. Kadar MDA adalah kadar MDA setelah dipapar debu batubara yang diukur dengan menggunakan spektrofotometri dengan satuan ng/ml. 2. Debu batubara adalah material batubara yang berupa partikel dan berasal dari hancuran batubara dan memiliki ukuran 10 m yang bersifat respirable. 3. Paparan debu batubara akut adalah durasi perlakuan yang diberikan pada tikus dengan cara memaparkan debu batubara selama 14 hari.

18 4. Paparan debu batubara subakut adalah durasi perlakuan yang diberikan pada tikus dengan cara memaparkan debu batubara selama 28 hari. 5. Tikus dalam penelitian adalah tikus galur Wistar yang termasuk spesies Rattus norvegicus. Tikus ini berwarna putih dan sering digunakan untuk penelitian in vivo. E. Prosedur Penelitian 1. Persiapan hewan uji dan pembagian kelompok Tikus sebanyak minimal 35 ekor diperoleh dari Bidang Layanan Pra Klinik Penelitian dan Pengembangan Hewan Percobaan Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Selanjutnya tikus tersebut dipisahkan secara acak ke dalam 7 kelompok dan masing-masing kelompok dimasukkan ke dalam kandang untuk adaptasi selama 1 minggu. Setiap kandang berisi 5 ekor tikus. Dalam masa adaptasi tikus mendapat makanan dan minuman secara ad libitum. Aklimatisasi dalam hal ini diperlukan agar tikus tidak mengalami stres sewaktu dipapar debu batubara. 2. Pembuatan debu batubara Batubara diperoleh dari Carsurin Coal Laboratories, Banjarmasin. Sebelum pemaparan akan dilakukan pembuatan debu batubara dari bongkahan batubara. Pembuatan debu batubara dilakukan dengan menghancurkan bongkahan batubara menggunakan alat pulverizer yang terdiri atas ball mill, ring mill, dan Raymond mill di Carsurin Coal Laboratories sehingga ukuran debu batubara 70 m. Debu

19 batubara disaring lagi dengan menggunakan alat MicroSieve (BioDesign, USA) sehingga didapatkan debu batubara ukuran 10 m. 3. Pemaparan debu batubara terhadap tikus Pemaparan debu batubara menggunakan alat coal dust exposure seri NKBS1-2010-0,5 dengan volume 0,5 m3. Prinsip alat tersebut adalah menyediakan lingkungan ambien yang mengandung debu batubara yang akan masuk ke saluran nafas hewan coba. Aliran udara pada blower di alat tersebut adalah 1,5-2 liter/menit. Kecepatan ini disesuaikan dengan kecepatan aliran udara di lingkungan batubara. Sebelum alat digunakan, alat wajib dibersihkan terlebih dahulu, kemudian stop kontak alat dicolokkan pada sumber listrik. Debu batubara yang telah ditimbang sesuai dengan berat untuk penelitian kemudian dimasukkan bersamaan dengan tikus lalu pintu ditutup rapat dengan selotip. Tekanan oksigen diatur agar tikus merasa nyaman dan tidak kekurangan oksigen. Kecepatan blower lalu diatur sesuai dengan kecepatan yang diinginkan kemudian dibiarkan selama 1 jam agar terjadi sirkulasi debu batubara yang terus-menerus. Blower dimatikan setelah 1 jam pemaparan, kemudian tikus dikeluarkan dan alat dibersihkan. 4. Pengambilan sampel pada tikus Tikus dianestesi dengan menggunakan sodium pentotal secara inhalasi. Tikus diletakkan terlentang dengan perut menghadap ke atas, keempat kaki difiksasi dengan jarum pada alas pembedahan. Dengan pinset dan gunting dilakukan pembukaan rongga perut membujur dari bawah ke atas sampai tulang

20 dada. Kemudian irisan dilanjutkan seperti huruf V untuk membuka rongga dada. Lipat irisan tulang dada ke atas agar jantung dapat terlihat jelas. Pengambilan darah tikus diambil dengan melakukan pembukaan rongga thorax kemudian pengambilan darah diambil di jantung sebanyak 3-4 ml dengan menggunakan spuit injeksi dan dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian diukur kadar MDA. Pengukuran MDA di paru menggunakan sampel BALF. Tujuan menggunakan BALF untuk mengambil sampel yang terletak di alveoli. Prosedur ini dilakukan dengan cara memasukkan cairan salin ke ujung bronkoskop dan dibiarkan selama 1 menit, kemudian disedot kembali untuk mendapatkan material yang cukup dari alveoli. Tindakan ini dapat diulang beberapa kali sampai didapat jumlah sampel yang diperlukan. Pada penelitian ini, sampel yang diperlukan sebanyak 3-4 ml. Sampel yang didapat diukur kadar MDA. 5. Pengukuran kadar malondialdehid di paru Metode pengukuran menggunakan metode yang dikembangkan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. BALF sebanyak 3-4 ml disentrifus 1000 rpm selama 15 menit. BALF dibagi dua sebagai cairan uji dan cairan kontrol. Pada cairan uji dan kontrol ditambahkan TCA 100 L dan divortex kemudian ditambahkan HCl 250 L lalu divortex kembali. Kemudian dilakukan sentrifus 500 rpm 10 menit, diambil supernatan kemudian disaring dengan glass wool. Na-thiobarbiturat ditambahkan pada cairan uji sebanyak 100 L. Pada cairan uji dan kontrol dilakukan vortex, panaskan dalam waterbath 100oC selama 20 menit, angkat dan diamkan pada suhu ruang. Baca

21 absorbansinya pada panjang gelombang 529 nm. Pada penelitian ini digunakan kurva standar MDA untuk mengukur kadar MDA pada tikus. Kurva standar dibuat berdasarkan pengukuran absorbansi MDA standar dengan beberapa variasi kadar pada panjang gelombang 529 nm. 6. Pengukuran kadar malondialdehid di darah Metode pengukuran menggunakan metode yang dikembangkan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Darah sebanyak 3-4 ml disentrifus 1000 rpm selama 15 menit. Serum darah dibagi dua sebagai serum uji dan cairan kontrol. Pada serum uji dan kontrol ditambahkan TCA 100 L dan divortex kemudian ditambahkan HCl 250 L lalu divortex kembali. Kemudian dilakukan sentrifus 500 rpm 10 menit, diambil supernatan kemudian disaring dengan glass wool. Na-thiobarbiturat ditambahkan pada cairan uji sebanyak 100 L. Pada serum uji dan kontrol dilakukan vortex, panaskan dalam waterbath 100oC selama 20 menit, angkat dan diamkan pada suhu ruang. Baca absorbansinya pada panjang gelombang 529 nm. Pada penelitian ini digunakan kurva standar MDA untuk mengukur kadar MDA pada tikus. Kurva standar dibuat berdasarkan pengukuran absorbansi MDA standar dengan beberapa variasi kadar pada panjang gelombang 529 nm. F. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data Data dikumpulkan dengan cara mengukur kadar MDA di paru dan darah dengan menggunakan spektrofotometer, lalu dimasukkan ke dalam tabel menurut urutan pengukuran dan ditabulasikan untuk ketujuh kelompok perlakuan, kemudian di hitung rataan dari tiap hasil yang didapat (Lampiran 2).

22 G. Cara Analisis Data Seluruh analisis data akan diolah dengan komputerisasi. Data akan disajikan dalam bentuk tabel dan diperjelas dengan bentuk grafik. Untuk mengetahui data penelitian memiliki distribusi normal dan homogen maka dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk dan uji homogenitas dengan

menggunakan uji Levene. Data kadar MDA pada sampel diuji dengan analysis of variance (ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05). Apabila data tidak terdistribusi normal atau tidak homogen, maka dilakukan transformasi data agar distribusi data normal. Jika tetap tidak terdistribusi normal atau varian tidak sama, maka alternatif yang dipilih uji Kruskal-Wallis. Jika terdapat perbedaan bermakna, maka dilanjutkan dengan uji Post-hoc untuk mengetahui kelompok yang terdapat perbedaan bermakna. H. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang dan Laboratorium Kimia/Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru pada bulan Maret-Agustus 2011 dengan rincian kegiatan sebagai berikut:

23 Tabel 4.1. Jadwal penelitian perbandingan kadar malondialdehid di paru dan darah tikus akibat paparan debu batubara akut dan subakut Kegiatan Pengumpulan dan persiapan referensi Penyusunan proposal Konsultasi Seminar KTI I Perbaikan proposal Penelitian di laboratorium Pengolahan dan analisis data Penyusunan laporan Seminar KTI II Perbaikan dan laporan akhir I. Biaya Penelitian Penelitian ini direncanakan memerlukan dana sebagai berikut batubara spuit 5 cc tikus 35 ekor @ Rp. 20.000,pakan hewan coba pemeriksaan MDA penggandaan dan penjilidan 5 exp @ Rp. 10.000,Jumlah Rp Rp Rp Rp 100.000,35.000,700.000,76.000,Maret 2011 Waktu pelaksanaan penelitian April Mei Juni Juli 2011 2011 2011 2011 Agustus 2011

Rp 2.625.000,Rp 50.000,-

Rp 3.586.000,-

DAFTAR PUSTAKA

1. World Coal Institute. Coal-power for progress. London: WCI, 2005. 2. Anonymous. Jangan kemaruk menguras bumi. Banjarmasin Post 2006; (online), (http://klipingtambang.blogspot.com/2006_10_01_archive.html, diakses 11 April 2011). 3. Anonymous. Debu tambang Kalsel lewati ambang batas. Banjarmasin Post 2008; (online), (http://klipingtambang.blogspot.com/2008_09_01_archive. html, diakses 11 April 2011). 4. Schins RPF, Borm PJA. Mechanisms and mediators in coal dust induced toxicity: a review. Ann occup Hyg 1999; 43: 7-33. 5. Pinho RA, Silveira PCL, Piazza M, et al . Regular physical exercises decrease the oxidant pulmonary stress in rats after acute exposure to mineral coal. Rev Bras Med Esporte 2006; 12: 71-76. 6. Vallyathan V, Goins M, Lapp LN, et al. Changes in bronchoalveolar lavage indices associated with radiographic classification in coal miners. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162: 958965. 7. Huang C, Li J, Zhang Q, et al. Role of bioavailable iron in coal dust-induced activation of activator protein-1 and nuclear factor of activated t cells: difference between Pennsylvania and Utah coal dusts. Am J Respir Cell Mol Biol 2002; 27(5): 568574. 8. Armutcu F, Gun BD, Altin R, et al. Examination of lung toxicity, oxidant/ antioxidant status and effect of erdosteine in rats kept in coal mine ambience. Envirnmental Toxicology and Pharmacology 2007; 24:106-113. 9. Kontos HA. Oxygen radicals in cerebral ischemia: The 2001 willis lecture. Stroke 2001; 3: 27122716. 10. Droge W. Free radical in the physiological control of cell function. Physiol Rev 2002; 82:4795. 11. Romieu I, Castro-Giner F, Kunzli N, et al . Air pollution, oxidative stress and dietary supplementation: a review. Eur Respir J 2008; 31: 179196. 12. Kadiiska MB, Gladen BC, Bairrd DD, et al. Biomarkers oxidative stress study II : are oxidation products of lipids, proteins, and DNA markers of CCl 4 poisoning?. Free Radical Biology and Medicine 2005; 38 (6): 698-710.

13. Dalle-Donne I, Rossi R, Colombo R, et al. Biomarker of oxidative damaged in human disease. Clinical Chemistry 2006; 52: 601623. 14. Cherubini A, Ruggiero C, Polidori MC, et al. Potensial marker of oxidative stress in stroke. Free Radical Biology and Medicine 2005; 39: 841852. 15. Halliwell B, Gutteridge JMC. Free radical in biology and medicine. Oxford: Oxford University Press, 1999. 16. Tamka, Alde. Ledakan debu batubara. USU: Teknik Pertambangan, 2009. 17. Palmer KT, McNeill-Love R, Poole JR, et al. Inflammatory responses to the occupational inhalation of metal fume. Eur Respir J 2006; 27: 366373. 18. Hamidi. Penelitian kaitan pajanan debu dengan kejadian gangguan pernafasan. Jakarta : Universitas Indonesia, 2001. 19. Nadif R, Mintz M, Jedlicka A, et al. Association of CAT polymorphisms with catalase activity and exposure to environmental oxidative stimuli. Free Radical Research 2005; 39: 1345-1350. 20. Suhartono E, Fachir H, Setiawan B. Kapita selekta biokimia: stres oksidatif dasar dan penyakit. Bajarmasin: Pustaka Banua, 2007. 21. Defeng W, Cederbaum AI. Alcohol, oxidative stress, and free radical damage. Alcohol Research & Health 2003; 27: 277-284. 22. Sen S, Chakraborty R, Sridhar C, et al. Free radicals, antioxidants, diseases and phytomedicines: current status and future prospect. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research 2010; 3: 91-100. 23. Winarsi H. Antioksidan alami dan radikal bebas. Yogyakarta: Kanisius, 2011. 24. Hays AM, Srinivasan D, Witten ML, et al. Arsenic and cigarette smoke synergistically increase DNA oxidation in the lung. Toxicol Pathol 2006; 34: 396-404. 25. Pryor WA, Houk KN, Foote CS, et al. Free radical biology and medicine: its a gas, man!. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 2006; 291: 491511. 26. Yunanto A, Setiawan B, Suhartono E. Kapita selekta biokimia: peran radikal bebas pada intoksikasi dan patobiologi penyakit. Banjarmasin: Pustaka Banua, 2009.

27. Dai j, Xie C, Churg A. Iron loading makes a nonfibrogenic model air pollutant particle fibrogenic in rat tracheal explants. Am J Respir Cell Mol Biol 2002; 26: 685693. 28. Suhartono E, Setiawan B. Kapita selekta biokimia: mekanisme oksidatif dan patobiologi tuberkulosis paru. Banjarmasin: Pustaka Banua, 2010. 29. Burcham PC. Genotoxic lipid peroxidation products : their DNA damaging properties and role in formation of endogenous DNA adducts. Mutagenesis 1998; 13: 287305. 30. Warner DS, Sheng H, Batinic-Haberle I. Oxidants, antioxidants and the ischemic brain. The journal of experimental biology 2004; 207: 3221-3231. 31. Weigand MA, Laipple A, Plaschke K, et al. Concentration changes of malondialdehyde across the cerebral vascular bed and shedding of L- selectin during carotid endarterectomy. Stroke 1999; 301: 306-11. 32. Altin R, Armutcu F, Kart L, et al. Antioxidant response at early stages and low grades of simple coal workers pneumoconiosis diagnosed by high resolution computed tomography. Int J Hyg Environ Health 2004; 207: 1-8. 33. Muller U, Riediker M, Wick P, et al. Oxidative stress inflammation response after nanoparticle exposure: difference between human lung cell monocultures and an advanced three-dimentional model of the human epithelial airways. Journal of The Royal Society Interface 2010; 7: 27-40. 34. Fishwick D. Pneumoconiosis. Medicine 2008; 36: 258-260.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Jumlah replikasi minimal untuk setiap kelompok perlakuan Jumlah replikasi untuk setiap kelompok ditentukan dengan menggunakan rumus Federer: (t - 1) (n - 1) 15 (7 - 1) (n - 1) 15 6n-6 6n 15 21 n 3,5 4
Keterangan: t = jumlah kelompok n = jumlah pengulangan

Untuk mengantisipasi risiko kematian pada subjek penelitian, maka jumlah tikus ditambah dengan perhitungan menggunakan metode drop-out rate yaitu: 20% x 4 = 0,8 1 ekor. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka jumlah minimal replikasi untuk setiap kelompok adalah 5 ekor tikus. Jadi, jumlah sampel secara keseluruhan kelompok adalah 35 ekor.

Lampiran 2. Rancangan tabel hasil pengukuran kadar MDA 1. Tabel kadar MDA di paru Kadar MDA pada tikus kePerlakuan 1 2 3 4 5 Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5 Kelompok 6 Kelompok 7 2. Tabel kadar MDA di darah Kadar MDA pada tikus kePerlakuan 1 2 3 4 5 Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5 Kelompok 6 Kelompok 7
Keterangan: Kelompok 1: Tikus kontrol Kelompok 2: Tikus dipapar debu batubara 6,25 mg/m3 1 jam/hari selama 14 hari Kelompok 3: Tikus dipapar debu batubara 12,5 mg/m3 1 jam/hari selama 14 hari Kelompok 4: Tikus dipapar debu batubara 25 mg/m3 1 jam/hari selama 14 hari Kelompok 5: Tikus dipapar debu batubara 6,25 mg/m3 1 jam/hari selama 28 hari Kelompok 6: Tikus dipapar debu batubara 12,5 mg/m3 1 jam/hari selama 28 hari Kelompok 7: Tikus dipapar debu batubara 25 mg/m3 1 jam/hari selama 28 hari

Total

Rataan

Total

Rataan

You might also like