You are on page 1of 23

KEGAWATDARURATAN ORTOPEDI Adalah trauma pada muskuloskeletal dimana apabila tidak mendapat penanganan yang tepat dapat menyebabkan

komplikasi lebih lanjut, kelumpuhan bahkan kematian. Jenisnya antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Open Fractures Neurovascular Injuries Dislocations Septic Joints Trauma servical dan gangguan neurologisnya trauma pelvis dan perdarahannya

1.

OPEN FRACTURES Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka

pada kulit dan jaringan lunak sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga timbul komplikasi infeksi, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from without (dari luar). Fraktur terbuka suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. Berikut klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo,Merkow dan Templeman (1990) : Grade I Patah tulang terbuka dengan luka < 1 cm, relatif bersih, kerusakan jaringan lunak

minimal, bentuk patahan simpel/transversal/oblik. Grade II Patah tulang terbuka dengan luka > 1 cm, kerusakan jaringan lunak tidak luas,

bentuk patahan simpel. Grade III Patah tulang terbuka dengan luka > 10 cm, kerusakan jaringan lunak yang luas, kotor dan disertai kerusakan pembuluh darah dan saraf. IIIA. Patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan luas, tapi masih bisa menutupi patahan

tulang waktu dilakukan perbaikan. III B Patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan lunak hebat dan atau hilang (soft tissue

loss) sehingga tampak tulang (bone-exposs) III C Patah tulang terbuka dengan kerusakan

pembuluh darah dan atau saraf yang hebat

Komplikasi Open Fractures Infeksi Soft tissue Osteomyelitis Gas gangrene Tetanus Crush syndrome Skin loss Fraktur Non-union

Penatalaksanaan Kontrol perdarahan Tutupi fraktur dengan sterile dressing Splint IV antibiotics Tetanus prophylaxis Anti Gas Gangrene Serum (AGGS, Clostridium perfringes)

2. 1. 2. 3.

NEUROVASCULAR INJURIES Vascular trauma Trauma to peripheral nerves Acute compartment syndrome

Etiologi: 1. 2. 3. 4. 5. Fracture : Humerus, femur Dislocation : siku dan lutut Direct/penetrating trauma Embolism Direct Compression : Cast, unconscious

Acute Compartment Syndrome Pengenalan dan pengobatan dini sindroma kompartemen penting pada pasien trauma untuk mencegah kematian, amputasi dini, dan disfungsi tungkai. Kegagalan mendiagnosa dan menangani sindroma kompartemen pada pasien trauma mengakibatkan sejumlah kasus morbiditas yang sebenarnya dapat Penyebab sindroma kompartemen beragam dan termasuk, jika tidak dibatasi, fraktur terbuka dan fraktur tertutup, cedera arteri, luka tembak, gigitan ular, kompresi tungkai, dan luka bakar.

Dapat terjadi di ekstremitas atas, ekstremitas bawah, tangan, kaki, mata, dan abdomen.

Penyebab: 1. 2. Penurunan volume kompartemen : Penutupan defek fascia yang ketat Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas Casts, dressing atau splint Pakaian militer antishock Kompresi eksternal dalam waktu lama pada anggota tubuh Posisi litotomi yang lama Peningkatan tekanan struktur kompartemen: Pendarahan atau pembentukan hematoma akibat trauma vaskuler atau koagulopati Peningkatan permeabilitas kapiler Trauma akibat fraktur atau kerusakan jaringan Penggunaan otot berlebihan akibat olahraga intensif, kejang, tetanus, eklampsi Luka bakar Operasi ortopaedi

Gigitan ular Penurunan osmolaritas plasma akibat sindrom nefrotik Injeksi obat intraarteri Hipertrofi otot

Gejala klinisnya (5P): 1. 2. 3. 4. 5. Pain (nyeri) Pallor Pulselesness Parestesia Paralisis

Terapi 1. Terapi Medikal/non operatif

o Singkirkan penyebab kompresi o O2 o Pertahankan ekstremitas setinggi jantung o Konsultasi ortopedi atau bedah darurat 2. Terapi pembedahan / operatif (apabila tekanan intrakompartemen > 30 mmHg)

3.

DISLOKASI

Diagnosa umum dislokasi: Mirip dengan tanda-tanda fraktur Anamnesis:


Persendiannya lepas/keluar dari tempatnya Nyeri Spasme otot Gangguan fungsi

Pemeriksaan Fisik:

Swelling/pembengkakan Deformitas: angulasi, rotasi, kehilangan bentuk yang normal, pemendekan

Gerakan yang abnormal Nyeri setempat

Dislokasi Sendi Panggul Dislokasi ke Posterior (sering) Penderita berbaring, panggul yang terkena dalam posisi fleksi, adduksi dan rotasi Interna Dislokasi ke Anterior (jarang) Penderita berbaring posisi panggul dalam keadaan ekstensi, abduksi dan rotasi eksterna Dislokasi ke Sentral (selalu disertai Fraktur dari Acetabulum) Dislokasi Sendi Bahu Anterior (paling sering) Posterior lengan terkunci dalam posisi adduksi dan rotasi interna

Inferior dimana caput humerus terperangkap dibawah cavitas glenoidales dikenal sebagai Luxatio Erecta Dislokasi Sendi siku 2 tipe: Flexi Extensi Dislokasi ke arah posterior: Trauma pada sendi siku dalam keadaan sedikit fleksi/truma yang menyebabkan hiper ekstensi siku Sering disertai fraktur dari proc coronoideus, capitullum humerus atau caput radii Sendi bengkak dalam posisi semi flexi dan olecranon teraba di bagian posterior Penatalaksanaan Reduksi dislokasi selalu membutuhkan sedasi intravena untuk mengurangi spasme otot pada sendi. Jika sebuah sendi tidak dapat direduksi oleh metode tertutup dengan sedasi yang cukup, maka anestesi umum dibutuhkan. Berbagai usaha dilakukan untuk mereduksi sendi dengan teknik tertutup di dalam ruang operasi dengan staf yang siap sedia melakukan reduksi terbuka jika prosedur teknik tertutup ini gagal. Tujuan jangka panjang reduksi adalah untuk mengembalikan posisi anatomi dan fungsi normal. Reduksi juga meringankan nyeri akut, membebaskan pembuluh darah dan ketegangan nervus, dan bisa mengembalikan sirkulasi pada ekstremitas yang tidak terdapat pulsasi.

4.

SEPTIC JOINT/SEPTIC ARTHRITIS Rongga sendi merupakan rongga yang steril berisi cairan sinovial dan bahan selular

termasuk sel darah putih, septik artritis merupakan infeksi pada rongga sendi dan biasanya merupakan infeksi bakterial. Septik arthriris merupakan bentuk akut arthritis yang paling berbahaya, dan merupakan kasus kegawatdaruratan pada bidang ortopedi, keterlambatan dalam mendiagnosa dan memberikan terapi dapat menyebabkan kerusakan sendi yang menetap bahkan dapat menyebabkan morbiditas yang nyata bahkan kematian. Septik artritis dapat terjadi melalui invasi langsung pada rongga sendi oleh berbagai mikroorganisme termasuk bakteri, virus, mycobacteria dan jamur. Reaktif artritis terjadi suatu proses inflamasi steril pada sendi oleh karena suatu proses infeksi ditempat lain dari tubuh. Kuman penyebab Gonococcal vs nongonococcal 80% berasal dari kuman gram positif aerob (S aureus, beta-hemolytic streptococci, and Streptococcus pneumoniae) Etiologi Kontak langsung Trauma Iatrogenic Penyebaran hematogen osteomyelitis infeksi Soft tissue

Lokasi Lutut - 40-50% Hip- 20-25%* *paling sering terjadi pada bayi baru lahir dan anak kecil Lengan- 10% Bahu, ankle, siku- 10-15%

Faktor Resiko Pemakaian Sendi buatan Infeksi kulit

Pembedahan sendi Riwayat Rheumatoid arthritis dan Diabetes Mellitus Pengguna obat IV Degeneratif

Tanda dan gejala Onsetnya cepat Nyeri sendi Pembengkakan Sendi Rasa panas di daerah sendi Sendi yang Kemerahan Demam Penurunan Range of Motion Nyeri pada saat gerakan ROM aktif maupun pasifDecreased range of motion

Pengobatan Antibiotika IV Drainase Aspirasi berulang Perlu dipertimbangkan lavage

Indikasi dilakukannya pembedahan terbuka dengan drainase Kesulitan pada aspirasi sendi Demam serta gejala yang menetap selama > 24 jam Leukocytosis selama >48-72 jam Kultur darah atau sendi yang positif berulang >48 jam Sendi buatan yang terinfeksi

Komplikasi Destruksi cepat pada sendi dengan pengobatabyang tertunda (>24 jam) Penyakit sendi degeneratif Trauma jaringan lunak Osteomyelitis fibrosis sendi Sepsis

Kematian

5.

TRAUMA VERTEBRA CERVICAL

Tujuan utama dari management trauma vertebra adalah : 1. (Stabilitas vertebra bebas nyeri) Painless stable spine. 2. Mencegah komplikasi pada medula spinalis. Gangguan stabilitas ada 2 macam 1. Gangguan stabilitas permanent : Bila lesi atau kerusakan lewat diskus atau jaringan lunak. Dalam hal ini perlu mutlak untuk dilakukan stabilisasi anterior, posterior atau kombinasi anterior & posterior terganutng dari kerusakannya. 2. Gangguan stabilitas temporer : Kerusakan lewat komponen tulang, tindakan konservatif kecuali ada pendesakan fragmmen ke spinal canal yang menimbulkan spinal canal enroachment dengan neorologic deficit

a. Penanganan cidera acut cervical tanpa gangguan neurologis. 1. Cervical sprain derajat I & II oleh karena whiplash injury. Pasang collar brace 6 mg Ulangan dinamic foto setelah 3-6 mg post trauma Untuk melihat adanya chronic instability

Kriteria untuk melihat adanya instability secara radiologis: a. Dislokasi facet > 50% b. Loss of paralelisme dari facet joint

c. Vertebrae body angles > 110 pada posisi flexi d. Widening interspinosus space e. Pelebaran ADI (Atlanto Dental Interval) > 3,5 masing-masing pada dewasa dan > 5 masing-masing pada anak-anak. f. Pelebaran body mass CI terhdap corpus cervical II (axis) > 7 masing-masing pada foto AP 2. Dislokasi cervical spine Sebaiknya dilakukan emergency closed reduction dengan atau tanpa anaesthesia,

dianjurkan tanpa anaesthesia cukup dengan premedikasi. Keuntungannya : masih ada kontrol otot-otot leher yang dapat mencegah over stretching dari spinal cord. Reposisi dilakukan dnegan pertolongan image intensifier proyeksi lateral. Bila

fasilitas tidak ada, sebaiknya dikerjakan gradual traksi dengan pemasangan crutch field dengan bnadul bertahap dan kontrol x-ray proyeksi lateral. SURGERY : Tujuan stabilisasi : 1. Stabilisasi mutlak diperlukan untuk mencegah kerusakan spinal cord akibat instability 2. Pada kondisi yang stabil, penyembuhan jaringan lunak akan lebih baik Indikasi operasi : Instability (C.I < 2) Spinal canal enroachment > 30% Neurologic deficit (complete/incomplete)

Waktu operasi : dianjurkan urgent dalam periode 24-48 jam bukan emergency (6-8 jam) atau late lebih 1 minggu post trauma. Surgical approach : Anterior untuk : herniasi diskus dan burst fracture yang menimbulkan canal enroachment

tanpa posterior ligamentum instability

Posterior untuk : bilateral facet dislocation yang disertai putusnya posterior ligament

complex. 3. Fracture of the atlas (Jeffersons fractures) (805.01) a. MOI : axial loading : menghasilkan bursiting fracture os atlas dengan displacement

fragment secara sentripetal. b. Sign & symptoms :

- Nyeri leher bagian atas atau occipital neuralgia dan torticolis Kadang-kadang tidak dapat mempertahankan kepala dalam posisi tegak (sense of

instability) kepala ditopang dengan kedua tangan Deficit neurologis sangat jarang terjadi oleh karena terdapat disporporsi yang besar

antara spinal cord dan spinal canal pada cervical bagian atas. Bila terdapat kelumpuhan biasanya dalam bentuk pentaplegia yang berakibat fatal dan

penderita tidak sempat masuk rumah sakit. c. d. Diagnostik : Foto standard AP (open mouth view) terjadi displacement body mass Foto lateral : fraktur dari arcus posterior CT-scan Therapy : Konservatif dengan minerva jacket atau halo traction selama 3 bulan. Operatif : bila disertai denagn ruptur ligamnet transversum dilakukan stabilisasi

posterior dengan posterior fusion antara occipital, vertebrae cervical 1 & vertebral cervical 2 Rupture ligamen : transversum bisa dilihat padafoto AP terdapat lateral displacement dari body mass CI terhadap C2 > 7 masing-masing. 4. Fracture os odontoid 805.02 (3) a. MOI : kejatuhan benda berat dikepala kil b. Sign & symptoms : Nyeri pada setiap pergerakan leher Nyeri pada leher bagian belakang : occipital neuralgia Torticolis dan occipito cervical instability

Neurologic deficit akibat ternagsangnya n. occipitalis mayor dan menimbulkan

occipital neuralgia atau rasa tebal pada daerah occipital Penyulit : pentaplegia akibat penekanan batang otak oleh odontoid berakhir

dengan kematian. c. Diagnostik : Foto proyeksi AP / lat Tomografi AP/lat Kalau perlu dikejakan dinamic x-ray untuk memastikan ada tidaknya instability

Pada proyeksi lateral : terjadi instability bila ADI > 3,5 mm pada dewasa, ADI > 5 mm pada anak-anak. Pada foto proyeksi open mouth menurut Anderson & Alanzo dibagi 3 type : Type I : fracture diujung odontoid Type II : fracture dibasis odontoid : paling sering terjadi non union Type III : fracture ditubuh C2 (body of C2) (805.02) (8) d. Therapy : Konservatif : immobilisasi dengan crutch field, kemudian dilanjutkan dengan minerva

jacket selama 2-3 bulan. Operatif : bila terdapat instability C1 & C2

6.

TRAUMA PELVIS DENGAN PERDARAHAN Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa.

Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 1530% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.

Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien dan intervensi yang cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur pelvis membutuhkan sebuah pendekatan multidisiplin. Meskipun ahli trauma bedah umum pada akhirnya mengarahkan pengobatan seseorang dengan cedera multipel, penting bagi pasien dengan fraktur pelvis agar ahli bedah ortopedi ikut terlibat dalam setiap fase pengobatan, termasuk resusitasi primer. Penilaian dini oleh ahli bedah ortopedi yang mengenal pola fraktur pelvis memudahkan tim pengobatan untuk membangun diagnosa dan prioritas pengobatan, dan mempercepat pembentukan manuver penyelamatan-hidup. Sebuah pemahaman seksama terhadap sumber perdarahan potensial dan kesadaran akan pilihan pengobatan adalah penting bagi semua dokter yang terlibat.

ANATOMI Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis. Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-ligamentumsacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberale. Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas vertikal pada pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat dan kelima sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang dari processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri.

Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea inferior, arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis dan dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga venavena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2). Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi untuk mengenali pola fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap pembuluh darah mayor dan mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan.

EVALUASI PASIEN Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi karena kejadian ini jarang terjadi sebagai cedera tersendiri. Daya yang sama yang menyebabkan disrupsi cincin pelvis sering dihubungkan dengan cedera abdomen, kepala, dan toraks. Sebagai tambahan terhadap cedera-cedera ini, 60-80% pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera muskuloskeletal, 12% berhubungan dengan cedera urogenital dan 8% berhubungan dengan cedera pleksus lumbosacralis. Hipotensi dihubungkan dengan meningkatnya resiko kematian, Adult Respiratory Distress Sybdrome, dan kegagalan organ multipel. Hipotensi terkait dengan trauma tumpul mungkin disebabkan sejumlah penyebab, termasuk kompromi hipovolemik, septik, kardiak atau neurologis. Pencarian yang cepat dan sistematik terhadap sumber hipotensi harus dilakukan. Syok hemoragik merupakan penyebab tersering hipotensi pada pasien trauma tumpul. Seorang pasien dapat menjadi hipotensif akibat kehilangan darah terkait dengan satu lokasi perdarahan atau kombinasi dari banyaknya lokasi perdarahan. Pemeriksaan fisik, radiografi dada, dan tube torakostomi akan mendeteksi kemunculan dan beratnya kehilangan darah intratorakal. Pemeriksaan fisik abdomen mungkin tidak terlalu jelas pada pasien yang tidak responsif. Namun,

rongga intraabdomen harus dikecualikan sebagai kemungkinan sumber perdarahan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik. Evaluasi emergensi paling sering dibuat dengan pemeriksaan sonografi abdominal terfokus untuk trauma atau focused abdominal sonography for trauma/FAST. Perdarahan dari lokasi fraktur pelvis jarang sebagai satu-satunya penyebab kehilangan darah pada pasien dengan cedera multipel, dan perdarahan masif dari fraktur pelvis itu sendiri luar biasa. Pada satu seri besar pasien dengan fraktur pelvis, perdarahan mayor muncul pada lokasi non-pelvis. Meskipun demikian, fraktur pelvis harus dipertimbangkan diantara berbagai lokasi paling mencolok perdarahan yang signifikan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik, terutama sekali ketika usaha awal untuk mengontrol perdarahan dari sumber lain gagal menstabilkan pasien. Pada kasus-kasus dugaan perdarahan fraktur pelvis, stabilisasi pelvis sementara harus segera terjadi selama evaluasi dan resusitasi awal. Stabilisasi sementara dapat terdiri atas pengikat pelvis atau lembaran sederhana yang dibungkuskan dengan aman disekeliling pelvis dan diamankan dengan pengapit kokoh. Hebatnya kehilangan darah dapat ditentukan pada evaluasi awal dengan menilai pulsasi, tekanan darah, dan pengisian kembali kapiler. Sistem klasifikasi ATLS dari American College of Surgeons berguna untuk memahami manifestasi sehubungan dengan syok hemoragik pada orang dewasa (tabel 1). Volume darah diperkirakan 7% dari berat badan ideal, atau kira-kira 4900 ml pada pasien dengan berat badan 70 kg (155 lb). Tabel 1. Klasifikasi Perdarahan ATLS K elas rata Kehilangan Darah (mL) I < 750 < 15 Tidak ada perubahan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah I I 1500 750 30 15 Takikardi dan takipnoe; tekanan darah sistolik mungkin larutan hanya menurun sedikit; sedikit tunggal, Biasanya kristaloid namun Tidak ada Ratame (%) Volu Darah Umum Tanda dan Gejala Kebutuhan Resusitasi

pnoe; tekanan darah sistolik beberapa mungkin sedikit; hanya menurun mungkin

pasien

pengurangan membutuhkan

pengurangan output urin (20- transfusi darah 30 mL/jam) I II 2000 1500 40 30 Takikardi dan takipnoe Seringnya

yang jelas, ekstremitas dingin membutuhkan dengan kapiler pengisian-kembali transfusi darah terlambat secara

signifikan,menurunnya tekanan menurunnya darah status sistolik, mental,

menurunnya output urin (5-15 mL/jam) I V > 2000 > 40 Takikardia jelas, Perdarahan

tekanan darah sistolik yang yang membahayakanmenurun secara signifikan, jiwa membutuhkan

kulit dingin dan pucat, mental transfusi segera status yang menurun dengan hebat, output urin yang tak berarti Perdarahan kelas 1: kehilangan darah <15% dari total volume darah, mendorong pada tidak adanya perubahan terukur pada kecepatan jantung atau pernafasan, tekanan darah, atau tekanan nadi dan membutuhkan sedikit atau tidak adanya perawatan sama sekali. Perdarahan kelas 2 : kehilangan darah 15-30% volume darah (750-1500 ml), dengan tanda-tanda klinis termasuk takikardia dan takipnoe. Tekanan darah sistolik mungkin hanya sedikit menurun, khususnya ketika pasien berada pada posisi supinasi, akan tetapi tekanan nadi menyempit. Urin output hanya menurun sedikit (yaitu, 20-30 ml/jam). Pasien dengan perdarahan kelas 2 biasanya dapat diresusitasi dengan larutan kristaloid saja, namun beberapa pasien mungkin membutuhkan transfusi darah.

Perdarahan kelas 3 : kehilangan 30-40% (1500-2000 ml) volume darah. Perfusi yang tidak adekuat pada pasien dengan perdarahan kelas 3 mengakibatkan tanda takikardia dan takipnoe, ekstremitas dingin dengan pengisian kembali kapiler yang terhambat secara signifikan, hipotensi, dan perubahan negatif status mental yang signifikan. Perdarahan kelas 3 menghadirkan volume kehilangan darah terkecil yang secara konsisten menghasilkan penurunan pada tekanan darah sistemik. Resusitasi pasien-pasien ini seringnya membutuhkan transfusi darah sebagi tambahan terhadap pemberian larutan kristaloid. Perdarahan kelas 4 : kehilangan darah > 40% volume darah (> 2000 ml) mewakili perdarahan yang mengancam-jiwa. Tanda-tandanya termasuk takikardia, tekanan darah sistolik yang tertekan secara signifikan, dan tekanan nadi yang menyempit atau tekanan darah diastolik yang tidak dapat diperoleh. Kulit menjadi dingin dan pucat, dan status mental sangat tertekan. Urin output sedikit. Pasien-pasien ini membutuhkan transfusi segera untuk resusitasi dan seringkali membutuhkan intervensi bedah segera. Praktek menggenggam crista iliaca dalam mencari instabilitas teraba, kurang sensitivitas dan spesifitasnya dan jarang memberikan informasi yang tidak dapat diperoleh dari radiografi pelvis anteroposterior tunggal. Disrupsi posterior mencolok pada pelvis biasanya jelas pada posisi pandangan ini ketika pelvis mengalami fraktur. Pandangan dalam dan luar terhadap pelvis, yang dapat memberikan informasi lebih tentang kemunculan dan lokasi cedera cincin posterior, harus diperoleh hanya setelah pasien mencapai stabilitas hemodinamik. CT sangat berharga untuk menjelaskan instabilitas cincin posterior. Protokol CT cepat untuk evaluasi trauma abdomen bisa meliputi potongan scan melewati sacrum dan persendian sacroiliaca. Informasi dari studi ini sering membantu manajemen awal langsung karena hal tersebut dapat membantu dalam menjelaskan besarnya cedera cincin posterior. Bagaimanapun, CT-scan berkepanjangan pada pasien hipotensif akut harus dihindari. Tambahan CT-scan potongan-tipis mungkin diindikasikan untuk evaluasi lebih lanjut fraktur pelvis atau acetabulum, namun hanya setelah pasien distabilkan. Pencitraan CT pelvis dipertinggi-kontras, yang sering dilakukan pada pasien trauma yang stabil secara hemodinamik, adalah sebuah teknik non-invasif yang telah terbukti cukup akurat dalam menentukan munculnya atau hilangnya perdarahan pelvis yang berkelanjutan. Dalam sebuah studi yang membandingkan metodologi ini dengan temuan angiografi pelvis, CT mendeteksi perdarahan pada 16 dari 19 pasien yang mengalami cedera vaskuler atau ekstravasasi

yang diperlihatkan oleh angiografi, untuk sensitivitas sebesar 84%. Hasil angiografi pelvis adalah negatif pada 11 pasien, dan tidak ada pasien yang memiliki bukti perdarahan pada CTscan preangiografi. Dua lokasi ekstravasasi agen-kontras diidentifikasi oleh pencitraan CT pada dua pasien yang tidak menunjukkan perdarahan pada angiografi, dengan spesifitas 85% untuk deteksi perdarahan. Keakuratan CT secara keseluruhan untuk menentukan adanya atau hilangnya perdarahan pada studi ini adalah 90%.

SISTEM KLASIFIKASI DAN NILAI PROGNOSTIK Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan arah tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah dikembangkan untuk memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi tentang tipe dan kemungkinan masalah kesulitan manajemen yang mungkin dihadapi dengan masing-masing tipe fraktur. Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini, salah satu yang dijelaskan oleh Young dan Burgess, paling erat hubungannya dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada seri standar gambaran pelvis dan gambaran dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk. Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan mekanisme kombinasi (CM). Kategori APC dan LC lebih lanjut disubklasifikasi dari tipe I III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera open book yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC

dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior. Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.

Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga telah menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24jam terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210 pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan bahwa kebutuhan transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC, dibandingkan dengan rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama, pasien dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%. Angka mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM (18%) dibandingkan pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya. Penyebab kematian yang teridentifikasi paling umum pada pasien di seri ini dengan fraktur LC adalah cedera kepala tertutup. Pada kontras, penyebab kematian yang teridentifikasi pada pasien dengan cedera APC merupakan kombinasi cedera pelvis dan viseral. Temuan ini mengindikasikan bahwa kemampuan untuk mengenali pola fraktur pelvis dan arah tekanan cedera yang sesuai dapat membantu tim resusitasi mengantisipasi kebutuhan transfusi cairan dan darah sebagaimana halnya membantu untuk penilaian dan pengobatan awal langsung. Pasien dengan instabilitas posterior lengkap dapat diantisipasi agar tidak menjadi perdarahan yang berat.

METODE PENATALAKSANAAN Military Antishock Trousers Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an, penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun, penggunaan MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan

sindroma kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas telah digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil. Pengikat dan Sheet Pelvis Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit dan pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam telah ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas pada pasien dengan cedera APC (gambar 4). Gambar 4. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar pelvis (pengikat pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk mengontrol tekanan Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar. Fiksasi Eksternal Fiksasi Eksternal Anterior Standar Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis open book mengarah pada peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar. C-Clamp

Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC. Angiografi Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis dan infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis yang membutuhkan embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri terbaru, angiografi dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah fraktur pelvis. Pasien yang lebih tua dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih tinggi paling sering mengalami angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh penulis membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk melaporkan bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis yang sama sekali tak stabil, termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS, memiliki perdarahan arteri aktif (58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28 pasien dengan instabilitas hemodinamik persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis menunjukkan perdarahan arteri (67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi dilakukan, hal tersebut sukses menghentikan perdarahan arteri pelvis pada 86-100% kasus. Ben-Menachem dkk menganjurkan embolisasi bersifat lebih-dulu, menekankan bahwa jika sebuah arteri yang ditemukan pada angiografi transected, maka arteri tersebut harus diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-selektif pada arteri iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan multipel dan menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh vasospasme. Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk memperbaiki hasil akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi dalam 3 jam sejak kedatangan

menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih besar secara signifikan. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis yang dilakukan dalam 90 menit izin masuk memperbaiki angka ketahanan hidup. Namun, penggunaan angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan dari cedera vena dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan sumber perdarahan dalam jumlah lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Waktu yang digunakan pada rangkaian angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung ketahanan hidup. Balutan Pelvis Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk menunjukkan bahwa pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal juga efektif dalam mengontrol perdarahan arteri. Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis balutan retroperitoneal telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol perdarahan retroperitoneal melalui sebuah insisi kecil (gambar 5). Rongga intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh untuk membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat dan mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat untuk pasien dengan beragam berat ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi yang kurang penting. Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian sebagai akibat dari kehilangan darah akut pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik persisten ketika balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan responden pada studi ini membutuhkan embolisasi selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan bahwa balutan secara cepat mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi emergensi.

Resusitasi Cairan

Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (16-gauge) kanula intravena harus dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang penilaian awal. Larutan kristaloid 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon tekanan darah yang cukup dapat diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah tipe-khusus atau keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch untuk tipe ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah seperti itu dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya. Darah yang secara keseluruhan memiliki tipe dan crossmatch membawa resiko lebih sedikit bagi reaksi transfusi, namun juga butuh waktu paling banyak untuk bisa didapatkan (rata-rata 60 menit). Ketika respon infus kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal merespon, 2 liter tambahan cairan kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau darah donor-universal non crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol perdarahan dengan pembedahan mungkin dibutuhkan. Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis. Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus diasumsikan membutuhkan trombosit dan fresh frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit trombosit dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian volume. Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek inflamasi, dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif produk-produk darah untuk resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah transfusi PRC merupakan faktor resiko independen untuk kegagalan multi-organ paska cedera. Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa pasien trauma koagulopati terutama harus diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan transfusi yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk mencegah kemajuan koagulopati dini. Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai intervensi akhir jika koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa menetap disamping pengobatan lainnya. Ini merupakan penggunaan rFVIIa off-label. Boffard dkk melakukan sebuah studi multicenter

dimana pasien trauma berat yang menerima 6 unit PRC dalam 4 jam setelah masuk diacak pada baik pengobatan rFVIIa atau plasebo. Pada kelompok rFVIIa, jumlah transfusi sel darah secara signifikan berkurang (kira-kira 2,6 unit sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat kecenderungan ke arah reduksi mortalitas dan komplikasi. EVALUASI STATUS RESUSITASI Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium dan tandatanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat selama fase akut resusitasi. Titik akhir resusitasi yang umumnya dipertimbangkan termasuk tekanan darah normal, menurunnya denyut jantung, urin output yang cukup ( 30 mL/jam), dan tekanan vena sentral (CVP) normal. Namun, bahkan setelah normalisasi parameter-parameter ini, oksigenasi jaringan yang tidak memadai bisa menetap. Pengukuran laboratorium tambahan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan termasuk defisit basa, bikarbonat dan laktat. Semua ini menilai glikolisis anaerobik. Istilah defisit basa dan kelebihan basa digunakan bergantian, satusatunya perbedaan untuk menjadi defisit basa diperlihatkan sebagai nomor positif dan kelebihan basa diperlihatkan sebagai nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3 mmol/L; angka ini secara rutin diukur melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit basa menetap menandakan resusitasi yang tidak mencukupi.

DAFTAR PUSTAKA: 1. Anonim.2010.www.usuhs.mil/fap/resources/eit/OrthopedicEmergenciesandUrgencies.p pt. diunduh 15 September 2012 2. Mansjoer, Arif. et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI 3. Bucholz, RW. et al : Orthopaedic Decision Making, Toronto BC, Decker, 1894 4. Prijambodo B. : Penatalaksanaan Cedera Cervical, MOI Vol. 21 No. 2 Des. 92, p. 55-67

You might also like