Professional Documents
Culture Documents
PERKEMBANGAN ISLAM
DI INDONESIA1
Oleh:
Prof. Dr. H. Umar Shihab
Ketua, Majelis Ulama Indonesia Pusat
PENDAHULUAN
Perkembangan yang menarik buat masyarakat Indonesia adalah bahawa lambat laun
ciri agrarisnya lebih menonjol dibandingkan dengan ciri baharinya. Dampak
penonjolan ini sangat besar pengaruhnya terhadap bentuk kerajaan, sistem
kekuasaan, dan corak keagamaan masyarakatnya.3 Dengan demikian dapat pula
berpengaruh terhadap struktur sosial yang berkembang pada masa itu.
1 Kertas kerja ini dibentangkan dalam Seminar Islam dan Era Imperialisme Baru anjuran Persatuan
Ulama’ Malaysia pada 19 – 20 Julai 2003 bersamaan 19 – 20 Jamadil Awal 14234H bertempat di Hotel
Armada, Petaling Jaya.
2
Lihat misalnya buku-buku berikut ini, antara lain: Benard H.M. Vlekke, Nusantara A History of the East
Indian Archipelago, (London: Humprey Milford, Oxford University Press, 1944); J.C. Van Leur,
Indonesian Trade and Society, (Netherland: W. Van Hoeve Publisher Ltd-The Hague, 1967); Sartono
Kartodirdjo, et. al, Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Departemen P dan K, 1975).
3
Lihat Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam
Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), Cet . ke-1, h. 17.
4
Lihat Gottfried Simnom, The Progress and Arrest of Islam in Sumatera, London: t.p, 1912, h. 15.
Seminar Islam
& Era Imperialisme Baru Kertas
Kerana itu, terdapat kesan kuat bahawa Islam di Indonesia, pada awalnya, berpusat
di kota yang juga merupakan pusat kegiatan dagang dan komersial. Pemeluk-
pemeluk pertamanya adalah golongan pedagang –suatu masyarakat yang ketika itu,
menempati posisi kelas sosial yang cukup baik.5 Dalam penyebarannya kemudian,
Islam dipeluk oleh masyarakat kota, baik dari lapisan atas mahupun lapisan bawah.
Islam adalah sebuah ajaran yang fleksibel dalam pengertian bahawa ia merupakan
kodifikasi nilai-nilai universal. Dengan ciri demikian itu, ajaran Islam dapat
berhadapan dengan berbagai bentuk dan jenis situasi kemasyarakatan. Kerana
watak ajaran seperti itu, maka Islam tidak secara serentak menggantikan seluruh
tatanan nilai yang telah berkembang di dalam kehidupan masyarakat Indonesia
sebelum datangnya Islam. Bahkan, hingga taraf-taraf tertentu, nilai-nilai
kemasyarakatan yang telah ada, seperti rendah hati, sabar, mementingkan orang lain
dan sebagainya, disubordinasikan ke dalam ajaran Islam. Sebab ajaran-ajaran
seperti itu, juga dikandung oleh Islam.
Oleh kerana itu, dalam sub judul ini, akan dibahas tentang berbagai aspek
perkembangan Islam di Indonesia, terutama dalam kaitan dengan aspek politik,
hukum dan ekonomi.
A. ASPEK POLITIK.
Di antara ciri-ciri Islam yang dapat menduduki ranking par-excellence (istimewa) ialah
kerana sifatnya yang universal, setiap aspek kehidupan tidak terlepas dari
5
Dalam kaitan ini, prosesi penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang itu, menyebabkan
munculnya berbagai asumsi teoritis akan adanya hubungan antara pasar (pedagang) dan masjid (da'i).
Bahkan antripolog kenamaan Amerika Serikat, Clifford Geertz, yang melakukan studi perbandingan
antara Islam di Maroko dan Indonesia, di dalam bukunya, Islam Observed; Religious Development in
Marocco and Indonesia, mengatakan bahawa, terdapat hubungan histories fungsional antara pasar
dan masjid, antara dagang dan Islam. Selanjutnya, lihat Bahtiar Effendy, "Islam Through The Eye of
Nakamura," Mizan; Indonesia Forum for Islam and Social Studies, No. 2, Vol, 2, Jakarta, h. 102.
6
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, op. cit, h. 28
2
Seminar Islam
& Era Imperialisme Baru Kertas
peraturannya tidak terkecuali aspek politik.7 Kerananya tidak heran bila dalam nas-
nasnya senantiasa kita dapatkan berbagai hukum yang berhubungan dengan urusan
kenegaraan berikut sistem pemerintahannya, hukum perang dan damai serta
hubungan international antara negara Islam dengan negara lainnya.
Untuk menelusuri lebih jauh term-term tersebut, paling tidak kita perlu membedakan
karakteristik Islam ke dalam dua perspektif. Pertama, adalah institusionalisasi ajaran
Islam, termasuk dalam konteks pembentukan sistem nasional, yang dikelompokkan
ke dalam Islam cultural dan Islam structural; Kedua, gerakan atau aktifitas Islam,
yang dikelompokkan dalam gerakan Islam kultural dan Islam politik. Namun demikian,
terlepas dari kedua dikotomi istilah di atas, penulis akan berkonsentrasi sekitar
perkembangan politik Islam di Indonesia, baik pada masa kolonial mahupun pada
masa kemerdekaan.
Islam di Indonesia adalah bahagian yang tidak terpisahkan dari budaya Indonesia,
sehingga Islam merupakan agama yang paling banyak dianut oleh mayoritas
penduduk Indonesia. Signifikansi hubungan yang begitu erat antara Islam dan
Indonesia sebagai suatu daerah territorial, menyebabkan penjajahan lebih dari tiga
abad oleh Belanda dan Jepun gagal dalam upaya deislamisasi agar akidah Islam
tercabut dari umat Islam.9 Sebab melalui hubungan itu juga menjelaskan
terinternalisasinya nilai-nilai Islam baik dalam bentuk akidah, pesan-pesan moral dan
sosial dalam diri pemeluknya guna membendung kolonialisme.
7
Jam±l al-Din Mu¥ammad Ma¥mud, al-Isl±m wa al-Musykil±t al-Siy±siyah al-Mu’±sirah, (Cairo: D±r al-
Kitab al-Mishri, 1992/1413), Cet. Ke-1, h. 22-23.
8
Lihat Masykuri Abdillah, "Potret Masyarakat Madani di Indonesia", dalam Seminar Nasional tentang
"Menatap Masa Depan Politik Islam di Indonesia", (Jakarta: International Institute of Islamic Thought,
Lembaga Studi Agama dan Filsafat UIN Jakarta, 10 Juni 2003), h. 5
9
Lihat J. Suyuthi Pulungan, Universalisme Islam, (Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002), Cet . ke-1,
h.204
3
Seminar Islam
& Era Imperialisme Baru Kertas
Agaknya, uraian di atas ada benarnya, sebab mengakarnya Islam di Indonesia tidak
terlepas dari sebuah proses panjang program sosialisasi Islam yang dilakukan oleh
para pemuka Islam melalui aktifitas dakwah dan pendidikan. Dalam proses tersebut,
Islam di Indonesia telah berhadapan dengan berbagai tentangan ideologi, budaya,
dan kekuatan sosial politik penguasa, sehingga memaksa Islam harus tampil dalam
berbagai bentuk gerakan, seperti, gerakan Islam melawan kolonialisme, sebagai
Islam politik, dan Islam sebagai kekuatan moral, kultural dan intelektual.
Bentuk-bentuk gerakan tersebut di atas sebagai akibat dari upaya umat Islam untuk
menjadikan Islam sebagai agama yang dinamis melalui pola-pola sosialisasi seperti
pola akomodasi, modifikasi dan sosialisasi, sehingga Islam tersosialisasi dalam
berbagai bentuk kehidupan masyarakat Indonesia.
Menurut Fachry Ali, dinamika Islam yang tampil dalam berbagai bentuk gerakan,
sangat dipengaruhi oleh dominasi Barat, baik yang bersifat "positif" seperti dalam
bentuk intelektualisme, sains dan teknologi, mahupun dalam hal-hal "negative"
seperti kolonialisme. Namun demikian, untuk menghadapi dominasi itu, Islam sangat
kaya dengan doctrinal dan pengalaman politik yang dapat ditranformasi dan
direkonstruksi menjadi ideologi politik tanpa meminjam ideologi lain.10
Berbeda dengan Fachry Ali, Yusril Ihza Mahendra mengklaim bahawa gerakan Islam
dipengaruhi oleh faktor rekayasa-rekayasa politik penguasa dan faktor-faktor
persaingan antara kelompok bangsa sendiri.11
4
Seminar Islam
& Era Imperialisme Baru Kertas
Di masa pemerintahan Orde Baru, umat Islam belum juga berhasil menetapkan Islam
sebagai dasar Negara. Sebaliknya, pemerintah Orde Baru menetapkan Pancasila
sebagai ideologi Negara dan satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kerana itu, ideologi politik lainnya, termasuk Islam tidak diberi hak untuk
hidup dan berkembang. Akibatnya, umat Islam dan juga umat lainnya tidak
dibenarkan menampilkan Islam dalam bentuk Islam politik seperti terwujud dalam
bentuk partai politik.
Namun demikian, umat Islam lainnya, tetap mendukung kebijakan Orde Baru itu.
Sehingga Islam terbahagi menjadi dua kelompok yang sangat berbeda, iaitu
kelompok pendukung Orde Baru dan kelompok penentang. Kelompok yang disebut
terakhir, dinamakan dengan kaum skripturalis yang hidup dalam suasana depolitisasi
dan konflik dengan pemerintah. Sedang kelompok pertama disebut kaum
substansialis yang mendapat manfaat dan fasilitas dari pemerintah.13
Sebagaimana dikemukakan di atas bahawa pemerintah Orde baru dalam hal politik
Islam mengadakan depolitisasi yang didukung kaum substansialis. Dukungan yang
paling nyata dari kalangan substansialis ialah slogan "Islamic Religioun: Yes", Islamic
(Political) Ideologi: No". Ini bererti bahawa bagi kaum substansialis, pemerintah Orde
12
Ibid, h. 214
13
Lihat R William Liddle, "Skripturalisme Media dakwah: Satu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam
Masa Orde Baru", dalam Ulumul Qur'an, No. 3 Vol. IV, thn. 1993, h. 54
5
Seminar Islam
& Era Imperialisme Baru Kertas
Baru sangat responsive terhadap Islam selama Islam yang dimaksud bukan Islam
politik yang menghendaki Negara diatur berdasarkan ajaran Islam.14
Ringkasnya, agenda politik Orde Baru mencakup depolitisasi Islam. Projek ini
didasarkan pada sebuah asumsi bahawa Islam yang kuat secara politik atau Islam
politik akan menghambat jalannya agenda-agenda politik rezim Orde Baru. Tidak
hanya itu, Islam politik juga dituduh akan menjadi hambatan bagi jalannya
modenisasi. Hal ini tampak dari kekecewaan di kalangan elit pemerintahan Orde Baru
terhadap kualitas dan kemampuan para pemimpin Islam tradisional.15
Sejalan dengan penolakan ideologi Islam atau partai politik Islam, pemerintah Orde
Baru melakukan fusi partai. Partai-partai non pemerintah dijadikan dua kelompok,
masing-masing kelompok Islam dan non Islam. Partai yang disebut pertama difusikan
sebagai Partai Persatuan pembangunan (PPP) dan partai disebut kedua adalah
Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
B. ASPEK HUKUM
Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal kerana ia merupakan bahagian
dari ajaran Islam yang juga universal. Kerana itu, Hukum Islam berlaku bagi Orang
Islam di manapun ia berada dan apapun nasionalitasnya.17
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas penduduk Indonesia
adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, merupakan bahagian dari ajaran
14
Bandingkan uraian ini dengan Affan Gaffar, "Islam dan Politik dalam Era Orde Baru Mencari
Artikulasi Politik yang Tepat" dalam Ulumul Qur'an, nomor 2 Vol. IV tah. 1993, h. 19.
15
Lihat M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), Cet . ke-1, h. 63.
16
Lihat R. William Liddle, op. cit, h. 52
17
Lihat Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali, 1991), Cet . ke-2, h. 240.
6
Seminar Islam
& Era Imperialisme Baru Kertas
dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan Hukum Nasional serta merupakan
bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.18
Keberadaan Hukum Islam dalam tatanan Hukum Nasional adalah sebuah perjuangan
yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam dengan menggunakan teori eksistensi.
Teori ini dalam kaitannya dengan Hukum Islam adalah sebuah teori yang
menerangkan tentang keberadaan Hukum Islam dalam Hukum Nasional, iaitu:
pertama, "ada" dalam erti sebagai bahagian integral dari Hukum Nasional Indonesia;
kedua, "ada" dalam erti keberadaan, kekuatan, dan wibawanya, diakui oleh Hukum
Nasional dan diberi status sebagai Hukum Nasional; ketiga, "ada" dalam erti Hukum
Nasional dan norma Hukum Islam (agama) yang berfungsi sebagai penjaring bahan-
bahan Hukum Nasional Indonesia; keempat, "ada" dalam erti sebagai bahan utama
dan unsur utama.19
Berdasarkan beberapa teori yang berkembang, misalnya teori recetie exit, teori
reception a contrario, maka Hukum Islam dikatakan eksis dalam Hukum Nasional
Indonesia yang ditandai sejak berdirinya lembaga yang bernama Departemen Agama
pada tanggal 13 Januari 1946 dan ditandai pula dengan munculnya UU No. 22 tahun
1946 tentang Nikah, Talak dan Rujuk. Dengan demikian resmilah berlaku hukum
18
Lihat DR. Hj. A. Rasdiyanah, "Problematika dan Kendala yang Dihadapi Hukum Islam dalam Upaya
Transformasi ke dalam Hukum Nasional", Makalah, disampaikan pada seminar dan reuni IKA Fak.
Syari'ah IAIN Alauddin Ujungpandang, tanggal 1-2 Maret 1996, h. 4
19
Lihat Ichtijanto, "Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia" dalam Tjun Suryani,
Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pertumbuhan, (Bandung: Rosdakarya, 1994), h. 137.
Bandingkan dengan Sajuti Thalib, Receptio A Contrario, (Jakarta: Bina Aksara, 1992), h. 65-67.
20
Lihat Abd. Kadir, S.H., "Apresiasi Hukum Islam Terhadap Hukum Lokal", Makalah, disampaikan pada
seminar dan reuni IKA Fak. Syari'ah IAIN Alauddin Ujungpandang, tanggal 1-2 Maret 1996, h. 4-5.
7
Seminar Islam
& Era Imperialisme Baru Kertas
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, Hukum Islam telah menjadi bahagian dari
berbagai kegiatan kenegaraan dan dibentuknya kelembagaan-kelembagaan yang
bersifat formal dan legal semisal Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Pembentukan Lembaga Keuangan Syari’ah.
Menganalisis dan mencermati berbagai uraian di atas, dapat dipahami bahawa pada
dasarnya Hukum Islam eksis dalam Hukum Nasional Indonesia dan mempunyai
wibawa hukum sebagai Hukum Nasional. Hal ini dapat dilihat dari berbagai nuansa
Hukum Islam yang telah ditetapkan sebagai Hukum Nasional. Keberadaan Hukum
Islam dalam tatanan Hukum Nasional dapat pula ditandai dengan terbentuknya
berbagai lembaga. Di samping itu, dapat pula dibuktikan dengan lahirnya berbagai
aturan-aturan dan perundang-undangan tertulis mahupun yang tidak tertulis.
C. ASPEK EKONOMI
Salah satu aspek penting yang patut dicatat dalam perkembangan ekonomi Islam di
Indonesia adalah munculnya berbagai gerakan para tokoh Islam untuk melahirkan
bank-bank Islam yang dapat mengakomodir berbagai kebutuhan umat Islam,
meskipun tidak semuanya umat Islam tertarik menjadi nasabahnya. Usaha ini cukup
menyita waktu yang banyak dalam memperjuangkannya, walaupun pada akhirnya,
dalam masa pemerintahan Orde Baru sistem ini dapat terwujud.
Pemerintahan Orde Baru tampil dalam perpolitikan nasional indonesia, tidak saja
menekankan aspek politik tetapi juga lebih menekankan aspek ekonomi. Sehingga
kebijakan-kebijakan yang lahir, terutama awal Orde Baru, diarahkan untuk
mendukung pencapaian tujuan ekonomi. Posisi umat Islam ketika itu, sebagaimana
Islam politik, tidak mendapat porsi yang cukup terutama menyangkut kebijakan-
kebijakan ekonomi. Hal ini disebabkan factor sumber daya manusia yang belum
memadai.
Kondisi seperti di atas menyedarkan umat Islam bahawa mereka tidak akan mampu
berkompetisi dan berpertisipasi secara penuh dalam pemerintahan Orde Baru selama
mereka tidak memiliki basis pengetahuan dan teknokrasi yang menjadi kebutuhan
pemerintah. Solusinya, orang tua umat Islam, terutama kalangan kelas menengah
kota, mengarahkan anak-anaknya menggeluti dunia pendidikan dengan cara
menyekolahkan anak-anak mereka pada sekolah-sekolah modern dan mendorong
mereka ke dalam kelas menengah baru.22
21
Lihat Umar Shihab, "Aspek Kelembagaan Hukum dan Perundang-undangan" Makalah, disampaikan
dalam Seminar Nasional tentang "Kontribusi Hukum Islam dan Pembinaan Hukum Nasional setelah 50
Tahun Indonesia Merdeka" di Ujungpandang, tanggal 1-2 Maret 1996, h. 12.
22
Lihat M. Syafi'i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 275.
8
Seminar Islam
& Era Imperialisme Baru Kertas
Hasilnya memberi dampak yang begitu luas terhadap umat Islam,23 bahkan akan
mendorong mobilitas umat Islam, baik secara horizontal mahupun secara vertikal.24
Di samping itu, peranan umat Islam yang ditandai dengan masuknya aktivis Muslim,
terutama dalam sektor pemerintahan yang berbasis ekonomi mulai muncul di awal
tahun 1970-an walaupun masih sangat terbatas. Namun demikian, pada 1 hingga 2
dasawarsa berikutnya, yaitu tahun 1980-an dan 1990-an telah bermunculan gagasan-
gagasan ekonomi yang berbasis Islam, misalnya bank Islam (Syari’ah).
Bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada
dalam ajaran Islam. Ide pendirian perbankan Islam di Indonesia dapat dilihat dari
bebagai keputusan organisasi ataupun lembaga-lembaga kemasyarakatan maupun
pandangan dari para intelektual Islam di Indonesia, termasuk Majelis Ulama
Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik pusat maupun daerah telah melakukan berbagai
seminar dalam usaha pendirian bank Islam. Ide pendirian bank Islam, sebenarnya
dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan tentang bunga bank. Akibat perbedaan
itu, muncul ide baru sebagai alternatif dari kontroversi tersebut. Ide tersebut adalah
pendirian bank Islam yang beroperasi dengan sistem non-bunga, yang pada akhirnya
untuk pertama kali menjadi sponsor pendirian Bank Mu’amalat, bank Syari’ah
pertama di Indonesia.
Hal yang sama juga telah dilakukan oleh Nahdatul Ulama (NU), pada sidang lajnah
Baytul Mas±il tahun 1982 di lampung. Nahdatul Ulama membuat beberapa
keputusan penting yang berkaitan dengan ide penerapan system Syari'ah dalam
bidang ekonomi dan pendirian bank Islam. Hal itu dilakukan atas pertimbangan
bahawa NU adalah organisasi massa yang besar di Indonesia, di samping
Muhammadiyah, yang juga memiliki potensi dalam pembangunan Nasional
Indonesia, terutama bidang ekonomi.26 Apalagi warga NU pada umumnya adalah
masyarkat pedesaan yang memiliki potensi yang cukup besar yang harus
dikembangkan.
23
Mengenai ledakan intelektual muslim di Indonesia, lihat wawancara redaksi Prisma dengan
Nurcholish Madjid, "Indonesia Masa Mendatang Ibarat Sosok Santri yang Canggih", dalam Prisma, No.
5, Tahun XVII, 1988, h. 64-72.
24
Lihat Azyumardi Azra, Islam reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 27.
25
Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
t.th), Cet . ke-3, h. 304-306.
26
Muhammad Syafi'I Antonio, Bank Syari'ah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), h. 61
9
Seminar Islam
& Era Imperialisme Baru Kertas
Tidak dapat dipungkiri, betapa besar peranan atau aktivitas Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dalam upaya mengembangkan syi'ar Islam di Indonesia. Baik dalam bidang
ekonomi, politik maupun hukum.
Dalam bidang ekonomi, misalnya, peran Majelis Ulama dalam pendirian bank Islam
sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari usaha Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
semakin intensif membicarakan gagasan-gagasan tersebut pada akhir dasawarsa
tahun 1980-an. Bahkan pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990, MUI melaksanakan
Lokakarya Nasional dengan tema, "Bunga Bank dan Perbankan".27 Ini adalah sebuah
upaya mendorong terbentuknya bank Islam di Indonesia, -Lokakarya yang menjadi
cikal bakal lahirnya Bank Muamalat Indonesia-, dengan mengundang berbagai
komponen bangsa, termasuk unsur pemerintah dan bank Indonesia.
Ide pendirian itu dipertegas lagi dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) MUI ke IV di
Hotel Sahid Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990. Untuk itu, dibentuk sebuah yayasan
yakni Yayasan Dana Dakwah Pembangunan yang akan menjadi induk organisasi
bagi bank Islam yang akan didirikan tersebut. Yayasan tersebut diketuai oleh Ketua
Umum MUI Pusat.
Untuk membantu kelancaran Tim MUI ini, terutama untuk masalah-masalah hukum,
dibentuk Tim Hukum Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI).28 Tim ini
menyiapkan perangkat-perangkat hukum yang berkaitan dengan pendirian Bank
Muamalat Indonesia, sebab sebuah bank pada saat pendirian dan operasionalnya
terkait dengan masalah legal formal.
Pendirian bank Islam di Indonesia mendapat respons positif dan dukungan berbagai
pihak, di antaranya pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, kalangan
perbankan, dan tentu saja mendapat sokongan yang kuat dari ICMI. Bahkan secara
khusus Presiden Soeharto, ketika itu menyatakan ketertarikannya terhadap system
27
Bank Muamalat Indonesia, Laporan Direksi 1992 dalam Rapat Umum Pemegang Saham, 17 Juni
1993 di Hotel Sahid jaya, h. 19. Bandingkan dengan Dawam Rahardjo, "Islam Transformasi", op. cit,
h. 404
28
Lihat Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997), h. 73.
10
Seminar Islam
& Era Imperialisme Baru Kertas
bagi hasil yang akan diterapkan di bank Islam itu. Lebih jauh ia berkata bahawa
system bagi hasil adalah system perbankan yang berakar dari budaya bangsa
Indonesia.
Di samping dalam bidang ekonomi, peran Majelis Ulama Indonesia dalam bidang
lainnya sangat besar. Sebagai sebuah lembaga yang diakui eksistensinya oleh
Pemerintah dan rakyat Indonesia, MUI telah berperan aktif dalam bidang sosial
kemasyarakatan. Hal ini dapat dilihat dari kompetensi lembaga ini untuk memberikan
sertifikat label pada setiap produk makanan, minuman dan berbagai produk lainnya
yang berhubungan dengan kebutuhan hidup bangsa Indonesia, termasuk produk-
produk kosmetik. Peran MUI dalam bidang ini sangat berpengaruh positif terhadap
tingkat kesadaran umat Islam menjalankan ajaran agamanya. Dalam hal pemberian
label setiap produk makanan, menjadikan perasaan dalam diri seorang muslim aman
dalam mengkonsumsi makanan.
Peran lain yang dijalankan Majelis Ulama Indonesia adalah ikut serta terlibat dalam
lembaga sensor film. Tugas utamanya adalah menyensor dan menyeleksi film-film
yang akan ditayangkan dan diedarkan kepada masyarakat luas, terutama film-film
yang berasal dari luar Indonesia yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai
agama, moral, falsafah, dan budaya bangsa Indonesia. Peran MUI dalam lembaga ini
merupakan peran yang sangat strategis terutama dalam penegakan moral bangsa
Indonesia dan upaya menciptakan generasi muda yang berdaya guna dan berhasil
guna bagi bangsa dan agama.
PENUTUP
Pertama, Agama Islam masuk ke wilayah Indonesia dengan jalan damai, tidak
melalui perang. Kerana itu, Islam berhasil merebut simpati masyarakat Indonesia
yang kemudian sebahagian besarnya menganut agama islam. Dalam masyarakat
yang sudah muslim itu, lahir dan berkembang kerajaan-kerajaan Islam yang memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Hal ini
ditandai dengan begitu cepatnya Islam menyatu dengan budaya masyarakat
Indonesia, sehingga dengan mudah Islam bisa berkembang.
Kedua, Perkembangan Islam di Indonesia dapat ditilik dari berbagai aspek kehidupan
masyarakat Indonesia, di antaranya, aspek politik, hukum dan ekonomi. Dalam aspek
11
Seminar Islam
& Era Imperialisme Baru Kertas
politik, baik pada masa colonial maupun era kemerdekaan Islam politik selalu
berusaha tampil dalam kancah perpolitikan di Indonesia, hanya saja Islam politik
selalu mengalami tekanan dan depolitisasi dari berbagai pihak, termasuk dalam
pemerintahan Orde Baru. Bahkan pada masa Orde Baru inilah Islam politik terpecah
dua golongan, yaitu golongan substansialis yang pro kepada pemerintah dan
golongan skripturalis yang bertindak sebagai oposan pemerintah Orde Baru. Dalam
bidang Hukum, dapat dilihat perkembangan yang cukup signifikan, dimana Hukum
Islam yang merupakan cita-cita seluruh umat Islam Indonesia bertujuan mewujudkan
dan melindungi kemaslahatan umat Islam di Indonesia dalam seluruh aspek
kepentingannya. Hukum Islam di Indonesia mempunyai prospek yang cerah dalam
system Hukum Nasional, meskipun mengalami banyak kendala. Namun demikian
dengan kekuatan dan peluang yang dimiliki, berbagai kendala itu dapat diminimalisir,
meskipun membutuhkan banyak tenaga dan waktu. Dalam bidang Ekonomi, umat
Islam bisa bernafas lega dengan didirikannya bank Islam yang kemudian disebut
Bank Muamalat Indonesia. Dengan didirikannya bank Islam ini, diharapkan umat
Islam dapat melakukan transaksi-transaksi ekonomi yang Islami.
12
Seminar Islam
& Era Imperialisme Baru Kertas
DAFTAR PUSTAKA
13
Seminar Islam
& Era Imperialisme Baru Kertas
14