You are on page 1of 4

ETIKA BERPOLITIK DALAM ISLAM

p k š‰ r ' ¯ » t ƒ t ûïÏ% © ! $ # (# þ q ã Y tB # u ä ( # q ã è ‹ÏÛ r & © !$ # $


( # q ã è ‹ÏÛ r & u r t Aq ß ™ §  9 $ # ’Í< ' ré & u r ͐ ö D F { $ # ó O ä 3 Z ÏB (
b Î* s ù ÷ Lä ê ô ã t “» u Z s ? ’Îû & ä ó Ó x « çnr –Šã  s ù ’ n < Î) « ! $ #
É Aq ß ™ §  9 $ # u r b Î) ÷ Lä êY ä . t b q ã Z ÏB ÷ sè ? « ! $ $ Î/
ÏQ ö q u ‹ø 9 $ # u r ̍ Å z F y $ # 4 y 7 Ï9 º s Œ × Ž ö  y z ß ` | ¡ô m r & u r
¸x ƒ Írù' s ? «ÎÒ È

ÒHai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul


(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q. s., Al-
Nisā/4:59).

Pembicaraan tentang etika adalah pembicaraan tentang moral. Etika adalah


batu sendi bagi kehidupan bermasyarakat. Manusia sebagai makluk politik (zoon
politicon: binatang politik) memerlukan batu-batu sendi itu untuk menjadi perekat
perilaku-perilaku sosial yang berakhlak dan beretika di dalam sebuah masyarakat.
Karena itu, dalam politik keberadaan etika sangat penting.
Politik adalah seni mengatur masyarakat. Politik bukanlah wujud kotor yang
harus dijauhi. Ungkapan “politik itu kotor” hanya benar bila di dalam politik itu tidak
ada etika atau akhlak. Kita sebagai bangsa relijius harus mengisikan muatan-muatan
etis dan moral ke dalam politik. Tanpa misi ini, politik akan terus menjadi wilayah
abu-abu yang banyak menghadirkan kemadaratan ketimbang kemaslahatan. Umat
Islam tidak perlu pesimis terhadap masalah politik, karena sikap pesimis justru akan
menjauhkan jarak politik dengan pemerintah. Mengedepankan sikap optimis
(husnudzan) justru lebih baik karena ia menjadi media dialog dan komunikasi politik

1
yang baik. Inilah salah satu akhlak politik yang diajarkan oleh Islam.

Khazanah Etika Dalam Politik Islam


Islam merupakan agama moral. Ibnul Qayyim bahkan mengatakan bahwa
semua isi agama adalah etika. “Barangsiapa bertambah etikanya, maka bertambah pula
agamanya”, kata Ibnul Qayyim. Ungkapan ini menunjukkan perhatian Islam terhadap
masalah moral dan etika yang tujuannya adalah untuk menegakkan kehidupan yang
lebih adil, harmonis, dan kemauan untuk bekerja sama. Selain itu, sebuah Hadis Nabi
mengatakan, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti”
(Riwayat Ibnu Sa’ad dan Bukhari, Jāmi’ al-Saghîr, 2349).
Logika hadis ini hendak mengemukakan bahwa masyarakat tidak akan
sempurna tanpa moral atau budi pekerti (akhlak). Nabi tidak perlu diutus jika tidak ada
misi penyempurnaan moral. Masalah moral, karena itu, terkait dengan kehidupan
bersama baik di dalam masyarakat maupun negara. Kumpulan orang-orang di dalam
suatu masyarakat harus diikat oleh suatu konsensus-konsensus sosial yang bermoral
sehingga kepentingan setiap orang tidak saling bertabrakan. Itulah sebabnya,
kepemimpinan dibutuhkan untuk mengorganisasikan berbagai kepentingan itu dalam
wadah sistem politik.
Dalam Islam, masalah politik setua Islam itu sendiri. Pemerintahan Nabi
Muhammad SAW di Madinah adalah pemerintahan yang berjalan berdasarkan moral
al-Qur’an. Hukum ditegakkan dan ketidakadilan tak boleh hidup di sana. Selama
pemerintahannya, Nabi di samping berpegang pada wahyu juga mengajak
bermusyawarah dengan para sahabatnya. Karena itu, tidak ada gerakan perlawanan
yang menggerogoti pemerintahannya. Hal ini terjadi karena dua hal. Pertama,
pemerintahan Nabi Muhammad SAW berlandaskan etika. Kedua, tindakan makar tidak
diperkenankan karena ia sama dengan melanggar kepatuhan kepada ulil amr dan
Rasulullah.
Laporan-laporan tertulis menyebutkan bahwa ketika di Mekah, Nabi biasa
dihina dan dicaci-maki. Tidak ada tindakan kepada para penghinanya, malah

2
dimaafkan. Hal ini terjadi karena di Mekah Islam belum menjadi sebuah masyarakat.
Tetapi ketika di Madinah, orang yang menghina Nabi Muhammad SAW dihukum
bunuh. Imam al-Syaukani dalam Nailul Athār Jilid VII, h. 213-115 mengemukakan
hadis riwayat Ali bin Abi Thalib yang berbunyi, “Bahwa ada seorang wanita Yahudi
yang sering mencela dan menjelek-jelekkan Nabi SAW, lalu perempuan itu dicekik
sampai mati oleh seorang laki-laki. Ternyata Rasulullah SAW menghalalkan
darahnya” (HR. Abu Daud). Riwayat ini dikemukakan untuk menunjukkan bahwa
dalam politik itu ada etika sehingga cara mengkritik yang merongrong kewibawaan
suatu pemerintahan adalah sebuah pembangkangan yang bisa mendorong pada
tindakan makar. Kritik haruslah disampaikan secara konstruktif dan dengan alasan-
alasan yang rasional serta mengedepankan etika moral sehingga ia berguna bagi
perubahan-perubahan kebijakan pemerintahan.
Selanjutnya, dalam pemerintahan para Khulafā’ al-Rāsyidin juga telah
menampilkan sebuah etika pemerintahan. Supremasi hukum ditegakkan dan
kepentingan rakyat dikedepankan. Masa pemerintahan Khulafā’ al-Rāsyidin dinilai
banyak sejarahwan sebagai paling etis, bermoral, dan demokratis meski ada sejumlah
kelemahan-kelemahan. Namun kelemahan-kelemahan itu ditutup oleh kecemerlangan
etis yang menghadirkan keadilan dan rasa aman. Pengakuan ini, misalnya, diakui oleh
sejarahwan non-Muslim seperti Robert N. Bellah dan Wilfred Cantwell Smith.
Pelajaran praktik politik dalam sejarah Islam di atas harus menjiwai moral
masyarakat Indonesia. Para pemimpin bangsa harus mengusung tema-tema moral dan
etika sebagai dasar kepemimpinan politik. Dengan dasar etika, sebuah kepemimpinan
akan menampilkan keadilan, keluhuran budi, kepekaan terhadap rakyat, dan memiliki
visi kesejahteraan bagi semua.

Penguatan Jiwa Moral Politik Umat


Pasca Orde Baru, sistem politik di Tanah Air telah banyak berubah. Tetapi
perubahan itu masih di tataran prosedural (aturan-aturan politik) dan belum menyentuh
kebaikan-kebaikan di tingkat masyarakat. Sekalipun begitu, arah perubahan ini sudah

3
baik dan pemerintah bersama DPR telah berusaha menyempurnakannya.
Dalam konteks umat Islam sebagai mayoritas, praktik politik belum
menyuguhkan kebajikan-kebajikan moral bagi umat. Praktik politik masih terus
dinodai oleh praktik-praktik korupsi yang akut. Sehingga umat Islam tidak
memperoleh pelajaran moral dalam masalah politik.
Karena itu, umat Islam terus bersama kekuatan bangsa yang lain termasuk
pemerintah mendukung proyek pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Selain
itu, umat Islam menginginkan agar partai-partai politik yang ada menjiwai moral
masyarakat pemilihnya. Keunggulan etika para pemimpin akan membentengi moral
masyarakat sehingga rakyat menaruh kepercayaan tinggi pada para pemimpinnya.
Jadi, pembangunan moral dan etika politik harus lahir dari para pemimpin.
Umat atau rakyat yang memiliki kearifan-kearifan tradisi dan moral agama harus terus
dikuatkan lagi melalui keteladanan para pemimpinnya. Dari sinilah sebutan bangsa
relijius yang melekat pada bangsa kita akan menemukan kekuatannya baik di tingkat
sosial masyarakat maupun di tingkat praktik politik. Jika demikian, misi Nabi
Muhammad SAW untuk menyempurnakan akhlak masyarakat terus berlangsung di
dalam hiruk-pikuk politik Tanah Air. Kita pun menjadi optimis bahwa hajat politik
Pemilu 2009 dengan seluruh tahapannya akan berjalan lancar dengan topangan etika
politik yang luhur. Wallāhu A’lamu Bil-Shawāb.

You might also like