You are on page 1of 9

Pembangunan adalah kata yang digunakan secara meluas dalam semua media massa di seluruh dunia dan merupakan

konsep yang kerap kali disebut dan diperbincangkan oleh semua lapisan masyarakat, terutama di kalangan ahli politik, wartawan, orang pemerintahan, dll. Pembangunan itu sendiri berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi syarat utama pembangunan.

Berikut ini adalah pengertian dan definisi pembangunan: # JOHAN GALTUNG Pembangunan merupakan upaya untuk memenuhan kebutuhan dasar manusia, baik secara individuao maupun kelompok, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan alam # MAPPADJANTJI AMIEN Pembangunan adalah proses yang bersifat evolutif, adaptif, dan partisipatif # JAKOB OETAMA Pembangunan adalah usaha mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam proses pembangunan terdapat unsur heroisme, unsur konflik, unsur frustasi, unsur romantik, dan unsur manusiawi yang mendalam # MOHAMMAD ALI Pembangunan adalah segala upaya yang dilakukan secara terencana dalam melakukan perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas manusia # GOULET Pembangunan adalah sebuah skandal, suatu campuran yang sangat mendua dari baik dan jahat, suatu proses yang benar-benar dialektis # BENNY H. HOED Pembangunan adalah upaya sistematis melepaskan diri dari keterbelakangan dan upaya untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat # THE QUEST FOR POLITICAL DEVELOPMENT Pembangunan ialah suatu lingkaran yang tidak berkeputusan, tanpa sempadan yang jelas diantara lembaran budaya, sosial, ekonomi, dan politik # A. SONNY KERAF Pembangunan adalah implementasi aspirasi dan kehendak masyarakat demi kepentingan masyarakat # DRS. JOKO UNTORO Pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan dalam struktur ekonomi dan corak kegiatan ekonomi atau usaha meningkatkan pendapatan per kapita

Perihal pembangunan suatu negara dalam arti seutuhnya, Doktor dan Master Hukum dari Universitas Padjadjaran, Bandung ini mengatakan ada 3 konsep yang harus dibangun agar sesuatu negara lebih stabil dalam arti keseluruhannya yaitu membangun Identitas Nasional (National Identity), Integritas Nasional (National Integrity), dan Kredibilitas Nasional (National Credibility).

Halaman 1 dari 5 Pertama, mengenai pembangunan identitas nasional (national identity). Dengan nada bertanya dia mengatakan bagaimana identitas nasional bangsa kita sekarang ini. Apakah betul lebih menjunjung nilai-nilai budaya bangsa atau malah sudah larut kepada pengaruh budaya luar?

Mantan Direktur TVRI ini mengatakan, faktor teknologi memang tidak bisa dipungkiri. Dulu saat elektronik hanya radio, masyarakat sudah senang mendengar. Tapi sekarang, semuanya sudah 'spill over', sudah ada peluberan siaran yang begitu saja masuk ke kamar kita, ke kamar keluarga kita tanpa bisa dihindari. Dalam hal globalisasi, mantan penyiar siaran langsung luar negeri pertama yakni dari Tanjung Kennedy Amerika Serikat saat peluncuran satelit Palapa A-1, satelit pertama Indonesia ini mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya sudah memulai bahkan mungkin terlalu awal, sehingga sekarang malah terperosot. Disebut terlalu awal mengingat pada tanggal 7 Juli 1976 Indonesia telah meluncurkan satelit Palapa A-1 sebagai sarana keterbukaan informasi dan komunikasi internasional. Diingatkannya, bahwa arti global sudah multidimensi. Kalau dulu, kita menghadapi imperialisme fisik, tapi sekarang kita harus menghadapinya dalam berbagai bidang kehidupan. Dicontohkannya, mengenai produk-produk televisi, kalau di negara maju mereka sangat concern

dalam peranan sebagai how to inform, how to educatc, how to entertain. Mereka selalu berlandaskan pada identitas nasional, integritas nasional, dan kredibilitas nasionalnya. Seperti di Australia atau negara yang memproduksi film-nya sendiri, program-program TV di sana sifatnya edukatif. Walau mereka tetap memproduk film-film bertema sadisme namun umumnya hanya untuk diekspor. Kalau di negara ini, menurutnya malah sebaliknya, dimana ada stasiun TV lebih banyak menayangkan produk dari luar yang kurang mempedulikan faktor edukatif, sehingga masyarakat pun mengikuti. Dikatakan, film-film dari luar memang lebih murah, misalnya film serial yang berdurasi 45-60 menit harganya paling sekitar US $ 800. Padahal kalau dibuat sendiri, bisa memakan biaya antara Rp. 40-60 juta. Dan di samping itu menurutnya, stasiun-stasiun TV di negeri ini dalam menutupi biayanya, mereka mengejar rating agar iklan masuk. Akibatnya, mereka hanya berlomba pada rating tanpa mengingat identitas nasional sehingga membuat kondisi pertelevisian seperti sekarang ini. Melihat pertelevisian di Indonesia seperti sekarang ini, seorang temannya menyimpulkan bahwa di Indonesia ini sudah terlampau lengkap. Dikatakan begitu karena film-film silat, film India, telenovela dan sebagainya sudah merajalela. Ia sebenarnya senang-senang saja dan bukan anti film silat misalnya, tapi menurutnya kalau diperhatikan hasil akhir dari film silat itu selalu menanamkan balas dendam. Sedangkan film India yang juga marak di negeri ini, dikatakannya, juga sebagian kurang mendidik karena selalu melecehkan pejabat negara seperti

polisi yang sering dibuat main-mainan. Dan telenovela - film Amerika latin selalu mempertontonkan kehidupan yang serba luks dan glamour yang jelas tidak sesuai dengan kehidupan banyak orang di negeri ini. Pengaruh negatifnya di masyarakat cukup cepat dan menyebar seperti banyaknya orang tua yang

'broken home',

busanabusana remaja yang tidak sopan dan lain sebagainya. Padahal menurutnya, kalau orang tua 'broken home' misalnya, nanti akan terjadi sesuatu perubahan pada diri anaknya seperti pengaruh pada pembentukan psikologi, etika, bahasa dan sebagainya. Bahkan orang-orang yang 'the have' atau orang yang sudah mapan saja, kalau tidak hati-hati, anak-anak mereka belum tentu bisa mengikuti jejak mereka.

Besan dari salah satu

Menteri

Presiden RI Kelima (2001-2004)Kabinet Gotong Royong dan kakek dari 8 cucu ini sangat prihatin melihat anak-anak bangsa ini yang kini sepertinya lebih banyak mengidolakan orang luar, padahal menurutnya bangsa ini juga punya pakar-pakar yang hebat seperti Ki Hajar Dewantoro dan sebagainya. Dan yang jelas adalah bahwa nenek moyang bangsa ini sejak dulu sudah memegang identitas sendiri. Jadi menurut mantan Dirjen RTF 1983-87 ini, permasalahannya adalah kesadaran kita sebagai bangsa. Tidak harus anti terhadap kebudayaan asing, tetapi hendaknya diimbangi dengan nilainilai budaya sendiri. Kalau tidak demikian identitas bangsa ini akan hilang. Namun budaya disebut sebagai parameter identitas nasional harus didefinisikan sebagai totalitas dari segala sikap, tingkah laku, perbuatan manusia. Kalau budaya hanya diartikan sempit seolaholah budaya itu hanya berkesenian saja maka menjadi tidak tepat. Dan disebut totalitas yang

benar bukan sekedar apa yang kita lihat di televisi atau di jalan seperti

desainerfashion, rambut dan lainnya, tapi adalah bagaimana citra kita sebagai bangsa. Teler narkoba bukan merupakan budaya kita, tawuran bukan budaya kita, korupsi juga, katanya. Sebagai salah seorang pakar di Lemhannas, yaitu pakar kelompok kerja sosial budaya sejak tahun 1987, membuatnya peka melihat hal-hal yang menyangkut sosial budaya. Misalnya jika ada 'gawean', karena memang masih ada ikatan kekeluargaan, maka para undangan biasanya selalu bawa beras, yang kemudian dicatat pihak yang punya gawean tentang siapa undangan yang bawa beras dan berapa banyak. Harus dicatat karena jika sebaliknya, apabila si tamu di kemudian hari ada gawean maka si tuan rumah tadi harus bawa beras sebanyak yang diterimanya juga. Jadi selalu berbalasan. Gotong royong masih nampak sekali saat itu. Bikin panggung dan segala macamnya semuanya di gotong-royongkan. Tapi sekarang akibat pembauran yang begitu terbuka sehingga di desa-desa juga sudah seperti di kota, individualisme sudah mulai muncul.

Walaupun memang belum semua seperti itu, karena masih banyak desa yang original namun, sudah banyak juga yang sudah berubah. Jadi marilah kita temukan kembali identitas diri kita, identitas nasional. Bukankah puncakpuncak budaya daerah itu merupakan budaya nasional, himbau mantan Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika tahun 1990-1997 ini. Kedua, mengenai pembangunan integritas nasional (national integrity). Berdasarkan data yang ada, bangsa kita ini memiliki 17.506 pulau setelah dikurangi pulau Sipadan dan Ligitan. Sedangkan suku bangsa ada 318 suku. Dan 524 bahasa-bahasa daerah atau dialek yang sangat berbeda. Permasalahannya adalah sadarkah kita bahwa keragaman suku, budaya, bahasa, pulau dan lainnya itu merupakan kekayaan yang tidak terhingga dan sesungguhnya harus merupakan suatu potensi persatuan dan kesatuan. Bahkan menurutnya bisa diekspor kalau dipoles bagus. Anak-anak bangsa ini hebat, penari-penari yang anak-anak desa itu saya kirim ke luar negeri. Ada yang pernah ke Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Hongkong, Jepang, Australia, maupun Selandia Baru. Kadang 26-28 orang yang terdiri dari penari dan penabuh gamelan. Mereka itu sudah barang tentu sebagai duta-duta kesenian kita dalam program pertukaran budaya. Mereka itu memang anak desa tapi begitu di panggung, luar biasa, katanya menyebutkan anak-anak yang tergabung dalam Yayasan Budaya Sunyaragi. Lebih lanjut dikatakannya, alasan mengapa terjadi kasus yang di Kalimantan Tengah,

Kalimantan Barat,

Maluku, Irian jaya, Aceh, di desa-desa terjadi tawuran dan segala macam. Itu semua karena bangsa ini sudah kehilangan integritas nasional sehingga diperlukan adanya pola pikir yang sama, semua elemen bangsa harus bertemu pada satu titik sebagai satu bangsa. Waktu yang paling tepat dan momentum yang sangat bagus untuk itu, menurutnya, adalah tanggal 28 Oktober sebab tanggal

tersebut sangat strategis dari nilai historisnya (bukan seremonialnya). Dengan demikian anakanak dan cucu bangsa ini tidak sampai kehilangan jejak. Banyak sebenarnya nilai-nilai integritas yang dulu pernah diukir pelaku-pelaku sejarah negeri ini, kalau direnungkan dan dilanjutkan akan menjadikan bangsa ini bangsa besar sehingga disegani karena memiliki integritas yang menyatu. Walaupun dulunya, terpecah-pecah dimana ada Yong Java, Yong Sumatera, Yong Ambon dan sebagainya namun kemudian bisa bersatu di bawah satu ikatan batin yaitu Bangsa Indonesia. Ketiga, pembangunan kredibilitas nasional (national credibility). Mengenai hal ini dikatakannya, walaupun identitas dan integritas sudah dimiliki suatu bangsa, tapi kalau kredibilitas tidak ada, itu sama saja tak berarti. Maka, menurutnya, kalau bicara agar para investor masuk ke republik ini tidak bisa hanya mengundang atau keliling ke beberapa negara dengan mengatakan 'silahkan investasi di negara kami'. Tapi semuanya harus dimulai dari dalam negeri sendiri. Buktikan dulu bahwa negara ini stabil, potensial, tidak ada KKN, tidak ada hal-hal yang membuat 'high cost' ekonomi, walau sekecil apapun. Dan harus dibuktikan bahwa usaha kecil menengah dan

Presiden RI Pertama (1945-1956)koperasilah jadi idola perekonomian bangsa ini. Dengan begitu, menurutnya, investor akan tertarik dan masuk dengan sendirinya ke negeri ini. Jadi pakai ilmu laron sajalah dimana kalau ada pelita atau cahaya, tanpa diundang pun laronlaron akan datang semua. Jadi kita harus bisa seperti cahaya itu, katanya. Aturan Main Menyinggung mengenai keadaan negeri ini, sebagai Konsultan Ahli Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ini mengatakan, bahwa kini banyak orang yang tidak mematuhi aturan main,

saking sembrautnya era global ini sehingga diibaratkannya dengan pertandingan sepakbola, terkadang wasit pun ikut menendang bola atau hakim garis tidak menyemprit padahal bola sudah keluar. Akibatnya, penonton yang merasa punya hak juga ikut melempar botol minuman ke tengah lapangan. Seharusnya, katanya, 'The rule of the game'. Aturan main harus disetujui bersama dulu. Jangan lantas main dan aturannya sambil dibikin. Kalau aturannya belum ada tetapi sudah langsung main, bisa saja nanti seperti kesebelasan tidak sebelas lagi tapi menjadi 16 atau malah menjadi 9. Namun yang sering terjadi sekarang ini, menurutnya, adalah dimana aturan sudah dibuat tapi tidak diterapkan sebagaimana mestinya sehingga aturan atau undang-undang tersebut menjadi sia-sia dan hanya menjadi slogan saja. Menurutnya, sebagus atau sehebat apa pun suatu undangundang kalau tidak diterapkan dengan baik akan sia-sia saja. Undang-undang yang bagus dan penerapan yang benar merupakan dua hal yang harus sejalan. Dicontohkannya, UU Lalu-lintas yang sudah diperjuangkan sejak tahun 90-an kemudian diundangkan tahun 1992 dan diberlakukan sejak tahun 1993. Namun bila dilihat dalam prakteknya sehari-hari, tidak ada bedanya antara sebelum dan sesudah diberlakukannya UU tersebut. Padahal isi UU tersebut sangat bagus sekali. Contoh lain, seperti undang-undang 'Money Laundering' (pencucian uang). UU tentang pencucian uang itu sudah dibuat tahun 2002 yaitu UU No. 15 Tahun 2002. Tapi dalam salah satu poinnya menyebutkan bahwa hanya Rp.500 juta ke atas yang masuk kejahatan money laundering. Akibatnya, mereka yang bergabung dalam sebuah forum internasional FATF (The Financial Action Task Force on Money Laundering), forum yang menilai di suatu negara terjadi money laundering, keberatan. Menurut Subrata, sebenarnya kenapa harus membatasi, kalau indikasinya ada, berapa pun jumlahnya sudah termasuk money laundering. Kemudian tahun 2003 UU tersebut direvisi, ada 89 butir poin yang diperbaiki. Dengan harapan terhindar dari black list sebagai negara tempat pencucian uang. Namun walaupun sudah direvisi, tapi masih diberi waktu membuktikan apakah UU itu benar diimplementasikan atau tidak. Jadi solusi dari semua permasalahan bangsa dan negara ini adalah kembali kepada identitas nasional, integritas nasional, dan kredibilitas nasional tadi. Artinya, jangan sekali-kali kita menari di gendang orang lain. Kita jangan terlampau banyak mendengar dan mengikuti ucapan dan tindakan orang luar, kita harus menentukan sendiri siapa kita. This is Indonesia, You are what You are. Kita sudah punya Bhinneka Tunggal Ika, jadi jangan hanya melulu mendengarkan orang luar, katanya. Berbicara tentang dunia komunikasi, dialah orang yang pas. Menurutnya fungsi sebuah media massa juga sebagai alat untuk menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa. Misalnya apakah acaraacara yang ditampilkan di televisi sudah mencerminkan budaya bangsa, dan sekaligus menunjukkan jatidiri sebagai bangsa Indonesia.

Subrata punya pengalaman menarik tentang itu. dia mempunyai seorang paman di kampung yang usianya sekitar 70-an. Suatu hari, ketika ia mudik, pamannya mengatakan dirinya merasa iri dengan orang kota. Sebab apa? Karena begitu mudahnya orang kota mendapat uang dari kuis berhadiah melalui telepon. Puluhan kuis kini muncul di televisi, hadiahnya mulai puluhan ribu sampai miliaran rupiah, seperti Who Wants to be a Millionare. Pesertanya berlimpah, semua orang kota. Dalam kaitan ini ia mengingatkan bahwa orang-orang semacam pamannya itu justru yang tinggal di hampir 80% wilayah Nusantara ini. Mereka adalah orang-orang desa yang hidupnya paspasan, jauh dari keramaian. Jika mereka melihat bagaimana orang kota begitu gampangnya meraup jutaan rupiah dalam waktu singkat, tentu akan timbul rasa iri hati. Jika hal ini dibiarkan, akan memunculkan kecemburuan sosial yang jika tidak dipecahkan akan menimbulkan gejolak sosial. Membangun bangsa ini, yang penduduknya lebih dari 220 juta, yang tersebar di 17.506 pulau bukan hal mudah. Lebih dari 300 suku bangsa dengan ratusan bahasa lokal, tentu memerlukan satu konsep pembangunan yang lain dengan bangsa-bangsa lainnya. Ia mengharapkan agar para pakar dan ahli, baik dalam ceramah maupun tulisan mereka jangan terlalu sering membandingkan Indonesia dengan Amerika atau negara maju lainnya. Sedikitsedikit bicara Amerika. Amerika sangat beda dengan Indonesia, dan konsep pembangunan kita tidak sama dengan negara-negara maju, katanya. Pemahaman seperti ini sering dia ungkapkan dalam berbagai diskusi atau ceramah di berbagai seminar maupun di Lemhannas. Maklum Subrata mulai 1987 hingga kini masuk dalam pakar kelompok kerja sosial budaya Lemhannas. Atur Lorielcide - Marjuka

You might also like