You are on page 1of 9

Immunodeficiency

Darvin Febrian Hans Christian Samantha Aviska Maryline Natalia Kusumo 2012-060-135 2012-060-232 2012-060-181 2012-060-189

Immonudeficiency atau defisiensi imun adalah terganggunya salah satu komponen dari sistem imun yang dapat menimbulkan penyakit. Sistem imun yang normal berfungsi untuk melindungi tubuh dari benda-benda asing yang dapat menimbulkan bahaya seperti mikroorganisme, toksin, serta sel kanker. Sistem pertahanan tubuh ini terdiri dari dua bagian, yaitu innate immunity dan adaptive immunity. Innate immunity atau sistem imun nonspesifik melibatkan sel-sel fagosit, sel NK, sel mast eosinophil, serta protein komplemen sebagai pertahanan pertama oleh tubuh dan sifatnya tidak ditujukan untuk mikroba tertentu. Sedangkan, adaptive immunity atau sistem imun spesifik melibatkan sel T dan sel B yang merupakan sel limfosit, dan immunoglobulin atau yang biasa disebut antibodi. Secara umum, defisiensi imun dibagi menjadi dua, yaitu defisiensi imun primer atau kongenital, yaitu meningkatnya kerentanan yang terjadi pada bayi dan anak karena adanya gangguan, misalnya pada sel T dan sel B yang menyebabkan anak tersebut mudah terkena penyakit dan menderita penyakit tersebut lebih lama dari pada anak yang normal. Defisiensi imun primer ini merupakan kelainan genetik atau bawaan dari orang tua, dan tidak disebabkan oleh ingkungan sekitar, melainkan pada mutasinya gen sang anak. Beberapa anak yang menderita defisiensi imun primer memiliki saudara dengan gangguan imun yang sama. Akan tetapi, defisiensi imun primer lebih jarang terjadi dibandingkan dengan defisiensi imun sekunder. Defisiensi sekunder mengenai fungsi fagosit dan limfosit yang dapat terjadi akibat infeksi HIV malnutrisi, terapi sitotoksik dan lainnya. Defisiensi sekunder mengenai fungsi fagosit dan limfosit yang dapat terjadi akibat infeksi HIV malnutrisi, Defisiensi imun sekunder dapat meningkat kerenrtanan infeksi oportunistik.

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan defisiensi sekunder :


1. Proses penuaan infeksi meningkat , penurunan respon terhadap vaksinansi, penurunan respon sel dan B 2. Malnutrisi Malnutrisi protein-kaori dan kekurangan elemen gizi tertentu. 3. Obat sitotoksik oabt yang banyak di pakai kepada tumor., juga membunuh sel penting dari sistem imun termasuk sel induk, neutrofil dan limfosit. 4. Mikroba imunosupresif contoh malaria, virus, camapk, terutama HIV 5. Obat imunosupresif steroid 6. Tumor Efek direk dari tumor terhadap sistem imun 7. Trauma Infeksi meningkat , berhubungan dengan penglepasan molekul imunosupresif

1.Infeksi Infeksi dapat menimbulkan defisiensi imun. Malaria dan rubella dapat berhubungan dengan defisiensi antibody sedangkan campak berhunbungan dengan defek imunitas tuberculosis. Camapak dan virus-virus lain dapat menginduksi supresi DH sementara. Jumlah Sel T daalam sirkulasi dan respon limfosit terhadap antigen dan mitogen menurun. 2.Obat, trauma , tindakan kateterisasi dan bedah Obat sering menimbulkan defisiensi imun sekunder. Tindakan kateterisasi dan bedah dapat menimbulakan imunokomromais.Antibiotik dapat menekan sistem imun. Obat sitotoksis, gentamisin, amikain, tobramisin dapat menggangu kemotaksis neutrofil.Jumlah neutrofil menurun akibat pemakaian obat kemoterapi, analgesic, antihistamin, anmtitiroid, penenang, dan antibiotic. Sedangkan trauma akan kurang mampu menghadapi pathogen, kemungkinan disebabkan karena penglepasan faktor yang menekan respo imun. 3.Penyinaran Penyinaran dosis tingi menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan dosis rendah menekan aktivitas Sel Ts.

4. Penyakit berat Defisiensi imun dapat terjadi akibat penyakit yang menyrang jaringan limfoid seperti Hodgkin, mieloa multiple, leukemia dan limfosarkoma 5.Kehilangan immunoglobulin Defisiensi imnuglobulin terjadi karena tubuh kehilangan protein berlebih. Kehilangan terebut dapat terjadi pada penderita penyakit ginjal dan diare

A. Defisiensi Imun Nonspesifik


Defisiensi imun nonspesifik terdiri dari empat macam, yaitu defisiensi kompleen, defisiensi interferon dan lisozim, defisiensi sel NK, serta defisiensi sistem fagosit. Defisiensi komplemen pun terdiri dari defisiensi komplemen kongenital, komplemen fisiologik, dan defisiensi komplemen didapat. Defisiensi komplemen biasanya menimbulkan penyakit kompleks imun ataupun infeksi yang berulang. Defisiensi inhibitor esterase C1 menyebabkan permeabilitas kapilar meningkat, ,C2a dan C4a melepas histamin pada daerah edem, dan kulit serta saluran cerna dapat menyebabkan edem laring. Defisiensi C2 dan C4 dapat menyebabkan penyakit yang serupa dengan LES. Defisiensi C3 berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik, lalu C5 tidak dapat diproduksi sehingga terjadi gangguan opsonisasi. Sedangkan, defisiensi C5 menimbulkan gangguan kemotaksis. Defisiensi C6, C7, dan C8 menimbulkan kerentanan terhadap septikemi meningokok dan gonokok. Penderitanya mengalami infeksi neseria, artritis, dan sepsis. Defisiensi komplemen fisiologik hanya terdapat pada neonates oleh karena C3, C5, dan faktor B yg rendah. Defisiensi komplemen didapat disebabkan oleh depresi sintesis, contohnya sirosis hati dan malnutrisi protein. Pada defisiensi komplemen yang didapat, dibagi lagi menjadi defisiensi CIq,r,s yang berhubungan dengan autoimun, efek C1 terhadap C4 atau C2 berjalan terus-terusan sehungga terjadi edem lokal, lalu defisiensi C4 pada penderita LES, defisiensi C2 yang merupakan defisiensi yang paling sering terjadi dan tidak menimbulkan gejala, defisiensi C5-C8 yang penderitanya rentan terhadap infeksi seperti neseria, serta defisiensi C9 yang paling jarang ditemukan, penderita pun tidak menunjukkan tanda infeksi rekuren.

Defisiensi yang lain adalah defisiensi interferon dan lisozim, terdiri dari defisiensi interferon kongenital yang dapat menimbulkan infeksi mononucleosis, serta defisiensi interferon dan lisozim didapat, yang dapat ditemukan pada malnutrisi protein atau kalori. Selain itu, ada juga defisiesi sel NK yang kongenital dan didapat. Defisiensi sel NK kongenital ditemukan pada penderita osteoporosis serta IgG, IgA, dan autoantibodi meningkat. Defisiensi sel NK yang didapat, dapat terjadi karena radiasi ataupun imunosupresi. Sistem fagosit pun dapat mengalami defisiensi, yaitu defisiensi kuantitatif yang dapat disebabkan oleh autoimun akibat pemberian obat tertentu, atau akibat dari kemoterapi, leukemia, dan kondisi genetik yang mengganggu perkembangan sel progenitor, dan yang ke dua adalah defisiensi kualitatif yang dapat mengenai fungsi kemotaksis, ataupun gangguan dalam membunuh mikoba intraselular.

B. Defisiensi Imun Spesifik


Defisiensi imun juga dapat terjadi pada sistem imun spesifik manusia. Defisiensi imun spesifik dapat terjadi kongenital (bawaan lahir), fisiologik, maupun didapat. Defisiensi imun spesifik kongenital sangat jarang terjadi. Defisiensi sel B ditandai dengan infeksi terus-menerus oleh bakteri, defisiensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur, dan protozoa yang terus menerus, dan defisiensi fagosit juga ditandai dengan infeksi bakteri yang terus menerus. Defisiensi sel B dapat berupa gangguan perkembangan sel B. Akibat dari hal ini bisa berdampak terhadap perkembangan immunoglobulin (Ig). Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui defisiensi sel B antara lain analisa jumlah dan fungsi sel B, imunoelektroforesis, dan evaluasi kuantitatif. Sering diberi istilah agamaglobulinemia (tidak ada Ig sama sekali) untuk kasus ini, dimana adalah salah, karena penderita bukan tidak memiliki Ig, tetapi hanya saja Ig nya sangat terbatas dalam jumlah kecil. Oleh karena itu lebih cocok bila diberi istilah hipogamaglobulinemia. Hipogamaglobulinemia sendiri dapat dibagi menjadi 4 jenis, antara lain x-linked hypogammaglobulinemia, hipogamaglobulinemia sementara, common variable hypogammaglobulinemia, dan disgamaglobulinemia. X-linked hypogammaglobulinemia ditemukan oleh Bruton pada tahun 1952. Penyakit ini hanya ditemukan pada bayi laki-laki. Gejala mulai muncul biasanya 5-6 bulan setelah dilahirkan, karena pada waktu inilah IgG dari ibu mulai menghilang.

Kerusakan utama disebabkan karena pre-sel B tidak dapat berkembang menjadi sel B yang matang. Bayi dengan penyakit ini biasanya menderita infeksi bakteri yang berulang. Pengobatan dengan antibiotic biasanya tidak banyak membantu. Pemberian IgG secara periodic memberikan hasil yang cukup baik untuk kurang lebih 20-30 tahun. Efek jangka panjangnya buruk dan penderita biasanya meninggal karena penyakit paru kronis. Berbeda dengan x-linked hypogammaglobulinemia yang kerap kali menyebabkan kematian, hipogamaglobulinemia sementara lebih mudah untuk disembuhkan. Hipogamaglobulinemia sementara terjadi bila bayi mengalami sintesis IgG yang terlambat. Penyakit ini ditemukan pada bayi dengan usia 6-7 bulan. Bayi seringkali terkena infeksi bakteri Gram positif. Biasa keadaan bayi akan membaik sendiri pada usia 16-30 bulan. Biasanya gangguan ini bisa berlangsung sampai 2 tahun. Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan gama globulin, antibiotik, atau keduanya. Common Variable Hypogammaglobulinemia (CVH) memiliki gejala yang mirip dengan hipogamaglobulinemia Bruton. Penyakit ini tidak memiliki gangguan pada jumlah sel B maupun Ig nya, tetapi kemampuan memproduksi dan melepas Ig mengalami gangguan. Berbeda dengan hipogamaglobulinemia Bruton, CVH dapat mengenai baik pria maupun wanita dan dapat timbul setiap saat, biasanya antara 1535 tahun. Pengobatan CVH dapat dilakukan dengan memberikan Ig bila infeksi terjadi terus menerus. Beberapa penderita dapat hidup hingga 70-80 tahun. Wanita dengan CVH dapat hamil dan melahirkan dengan normal, walaupun anaknya tidak akan mendapat IgG dari sang ibu. Disgammaglobulinemia merupakan defisiensi Ig yang selektif. Kadar satu atau lebih Ig akan menurun, sedangkan Ig lainnya dalam jumlah normal atau bahkan meningkat. Defisiensi IgA selektif ditemukan pada 1 dari 700 orang, dengan gejala infeksi yang berulang dari virus maupun bakteri. Pengobatannya yaitu dengan pemberian antibiotik spektrum luas. Defisiensi IgM selektif termasuk kasus yang jarang terjadi, defisiensi IgG selektif jauh lebih jarang ditemukan lagi. Defisiensi sel T kongenital membuat penderitanya rentan terhadap infeksi virus, jamur, dan protozoa. Defisiensi sel T juga disertai dengan gangguan produksi Ig, yang menyebabkan tidak adanya respons terhadap vaksinasi. Defisiensi imun primer sel T antara lain aplasia timus kongenital (sindrom DiGeorge) dan kandidiasis mukokutan kronik. Sindrom DiGeorge merupakan defisiensi sel T dengan sebab yang

tidak diketahui, dengan jumlah sel T yang terbatas dalam darah maupun limpa. Hal ini disebabkan oleh defek dalam perkembangan embrio dari lengkung faring ke 3 dan 4. Sindrom DiGeorge merupakan penyakit yang tidak diturunkan. Meskipun sel B, sel plasma, dan kadar Ig dalam serum normal, tetapi penderita penyakit ini tidak dapat membentuk antibodi setelah vaksinasi. Pengobatannya biasanya dengan transplantasi timus fetal yang tidak lebih tua dari 14 minggu usianya. Efek jangka panjangnya biasanya buruk bila tidak segera diobati. Berbeda dengan kandidiasis mukokutan kronik (KMK), KMK merupakan infeksi jamur biasa yang nonpatogenik, disebabkan oleh gangguan fungsi sel T yang selektif. Imunitas seluler penderita terhadap mikroorganisme selain jamur kandida tetap normal. Pengobatan biasa dilakukan dengan transplantasi timus, tetapi harus diawasi karena dapat menyebabkan timbulnya penyakit Addison yang merupakan penyebab utama kematian. KMK biasanya dapat disertai dengan disfungsi berbagai kelenjar endokrin. Defisiensi juga dapat terjadi terhadap sel B dan sel T secara bersamaan, akibat dari hal ini antara lain Severe Combined Immunodeficiency Disease, sindrom Nezelof, sindrom Wiskott-Aldrich, ataksia telangiektasi, dan defisiensi adenosine deaminase. SCID adalah defisiensi sel B dan sel T yang berat. Penderita rentan terhadap infeksi virus, bakteri, jamur, maupun protozoa. Bila tidak diobati, penderita jarang dapat hidup melebihi 1 tahun. Penderita SCID tidak boleh diberi vaksinasi, karena bisa berakibat fatal. Penderita sindrom Nezelof rentan terhadap infeksi berulang oleh berbagai jenis mikroba karena defisiensi sel T dan defisiensi sel B variabel. Respons antibody terhadap antigen spesifik biasanya rendah atau bahkan tidak ada. Sindrom Wiskott-Aldrich (WAS) menunjukkan jumlah sel B normal, tetapi tidak memberikan respons terhadap antigen polisakarida, sedangkan imunitas sel T biasanya baik, tetapi mengurang seiring dengan progress penyakit. Penderita menjadi rentan terhadap leukemia, pengobatannya dengan antibiotic dan transplantasi sumsum tulang belakang. Defisiensi imun spesifik fisiologik dapat terjadi pada kehamilan, usia tahun pertama, maupun usia lanjut. Pada kehamilan, keadaan ini mungkin diperlukan untuk kelangsungan hidup fetus yang merupakan allograft dengan antigen paternal. Biasanya IgG ibu diangkut melalui plasenta oleh reseptor Fc pada akhir hamil 10 minggu. Anak usia 1-5 tahun biasanya belum memiliki sistem imun yang matang. Meskipun neonatus menunjukkan sel T yang tinggi, tetapi itu merupakan sel T naf. Pada usia awal, susu ibu merupakan sumber proteksi pada usia dini dan mencegah

infeksi paru dan saluran cerna. Bayi premature lebih rentan terhadap infeksi karena kurangnya IgG ibu yang ditransfer selama kehamilan. Manusia usia lanjut biasanya lebih rentan terhadap infeksi daripada yang muda. Hal ini diakibatkan oleh involusi timus. Jumlah sel T naf dan kualitas respons sel T makin berkurang. Jumlah sel T memori meningkat tetapi semakin sulit untuk berkembang. Pada usia 60 tahun, jaringan timus hampir seluruhnya digantikan oleh lemak dan edukasi sel T dalam timus hampir hilang, sehingga dapat berakibat pada kanker. AIDS AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV.Pda umunya AIDS disebabkan oleh HIV-1 dan beberaapa kasus di Africa oleh HIV-2. Keduanya merupakan virus lenti yang menginfeksi sel CD4 T yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV, makrofag, dan jenis sel lain. STRUKTUR HIV Struktur HIV terdiri atas 2 untaian RNA identik yang merupakan genom virus yang behubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida.Komponen tersebut diselubungi envelop membrane fosfolipid yang berasal dari sel penjamu.Protein gp120 dan gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop. RNA directed DNA polymerase adalalah polymerase DNA retro virus seperti HIV dan virus Sarkoma Rouse yang dapat digunakan RNA template untuk memproduksi hybrid DNA. Antigen p24 adalah core antigen virus HIV, petanda terdini adanya infeksi HIV-1.Antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan HIV-1 mengikat reseptor CD4.Gen envelop selring bermutasi.Hal ini menyebabkan perubahan pada jumlah CD4 perifer menurun, fungsi sel terganggu sehingga gagal memberikan respons terhadap antigen recall, aktivasi poliklonal sel B menimbulakn hipergamaglobulinemia, antibody yang daapt menetralkan antigen gp120 dan gp 41 diproduksi tetapi tidak mencegah progres penyakit karena kecepatan mutasi virus tinggi. Siklus hidup HIV. Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi ke dalam genom , ekspresi gen virus dan produksi partikel virus. Virus menginfeksi

menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 yang terutama mengikat sel CD4 dan reseptor kemokin(CXCR4 dan CCR5). Oleh karena itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisien sel CD4. Setelah virus berikatan dengan reseptor sel , membrane virus bersatu dengan membrane sel pejamu dan virus masuk ke sitoplasma.Disini envelop virus dilepas oleh protease virus dan RNA bebas.Kopi DNA bersatu dengan DNA pejamu yang disebut dengan provirus.Provirus dapat diaktifkan yang akan memproduksi RNA dan protein virus.sekarang virus dapat membentuk struktur inti , bermigrasi ke membrane sel, dan memperoleh envelop lipid dari membrane pejamu. Patogenesis Virus biasanya masuk ke dalam tubuh dengan menginfeksi sel langerhans . Virus kemudian disebar melalui viremia yang disertai dengan panas, mialgia dan artralgia. Antigen virus nukleokapsid, p24 dapat ditemuakn dalam darah selama fase ini. Fase ini kemudian dikontrol sel T CD8, dan antibody dalam sirkulasi terhadap p42 dan protein envelop gp 120 dan gp 41. Dalam folikel limfoid, Meskipun dalam kadar rendah virus diproduksi dalam fase laten, destruksi sel CD4 berjalan terus.Akhirnya jumlah CD4 dalam sirkulasi menurun.Hal ini daapt memerlukan beberapa tahun.Kemudian menyusul fase progresif kronis dimana penderita menjadi rentan terhadap penyakit. Setelah virus HIV masuk dan membentuk provirus. Provirus akan tetap laten samapai kejadian dlaam sel terinfeksi mencetuskan aktivitasnya. Walaupun CD4 berikatan dengan envelop glikoprotein HIV-1, diperlukan reseptor kedua supaya dapat masuk dan terjadi infeksi. Galur tropic sel T HIV-1 menggunakan koreseptor CXCR$, sedangkan galur tropic makrofag menggunakan CCR5. Kedua reseptor ini merupakan reseptor kemokin dan ligan normalnya dapat menghambat infeksi HIV kedalam sel.

Daftar Pustaka: 1. Baratawijaya KG & Rengganis I. Imunologi Dasar. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. 2. Children Hospital Organization. Primary Immunodeficiency - Causes, Symptoms, FAQs. [homepage on the Internet]. 2011 [cited 2013 Sep 3]. Available from: http://www.childrenshospital.org/az/Site3221/mainpageS3221P1.html 3. Greenberg S. Immunodeficiency. [homepage on the Internet]. 2011 [cited 2013 Sep 3]. Available from: http://www.utoronto.ca/kids/Immunodeficiency.htm

You might also like