Professional Documents
Culture Documents
Ketangguhan Dan Profesionalisme Pertahanan-Keamanan Indonesia - Modalitas Utama Pembangunan Berkelanjutan Di Era Globalisasi
Ketangguhan Dan Profesionalisme Pertahanan-Keamanan Indonesia - Modalitas Utama Pembangunan Berkelanjutan Di Era Globalisasi
Pertahanan-Keamanan Indonesia:
Modalitas Utama Pembangunan
Berkelanjutan di Era Globalisasi
oleh:
Masa-masa revolusi fisik itu pantas kita kenang dan kita refleksikan untuk
kembali mempertanyakan bagaimanan nasib militer kita hingga hari ini
khususnya, dan kondisi sistem pertahanan dan keamanan kita pada umumnya.
Momentum ini mengajak hati dan pikiran kami untuk menuliskan sedikit
persolaan pertahanan dan keamanan Indonesia yang dapat dibahas dalam karya
tulisa ilmiah ini. Satu i’tikad dari kami, bahwa kami menginginkan terwujudnya
Indonesia yang kuat, berwibawa, bermartabat, dan disegani negara-negara lain.
Salah satunya dengan cara memiliki sistem pertahanan dan keamanan yang
tangguh dan profesional.
Kami menyadari karya tulis ini belum sempurna dan komprehensif dalam
membahas persoalan, tetapi kami bangga karena niat dan usaha kami terwujud
dengan selesainya penulisan karya tulis ini setelah bekerja keras mengumpulkan
dan menganalisis data dari berbagai sumber. Kami bangga karena bisa
menyumbangkan sumbangan akademis, sekalipun masih sederhana. Setidaknya
kami telah berusaha untuk berkontribusi dalam perluasan wacana pembenahan
sistem pertahanan dan keamanan kita.
Kepada semua pihak yang membaca dan menilai karya ilmiah ini, kami
mengharapkan diskusi, saran, dan kritik untuk semakin membuka cakrawala
berpikir kami, di samping untuk semakin mendinamisasi wacana dalam karya tulis
ini.
BAGIAN AWAL
Kata Pengantar ................................................................................................. i
Daftar Isi …...….…………………………....………………………………… ii
Daftar Tabel........................................................................................................ iv
Ringkasan ……………...........………………………………………………... v
BAGIAN INTI
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
I.1. Latar Belakang ……....……………………………………..............….. 1
I.2. Perumusan Masalah ......……………………………......................…… 3
I.3. Tujuan dan Manfaat Tulisan ….........…………………………..………. 3
II. TELAAH PUSTAKA ........................................................................... 5
II.1. Realisme .……........………………………………........………………. 5
II.2. Pendekatan-Pendekatan terhadap Konsep Pertahanan-Keamanan ... 6
II.3. Konsep Pertahanan-Keamanan yang Tangguh ..…………....……… 7
II.4. Konsep Pertahanan-Keamanan yang Profesional …….………....… 8
III. METODE PENULISAN …………………………………....……… 11
IV. PEMBAHASAN ..................................................................................... 12
IV.1. Definisi dan Fungsi Pertahanan-Keamanan Bagi Negara-Bangsa........... 12
IV.2. Signifikansi dan Relevansi Kekuatan Pertahanan-Keamanan di Era
Globalisasi................................................................................................ 13
IV.3. Relevansi dan Signifikansi Ketangguhan dan Profesionalisme Pertahanan-
Keamanan dalam Proses Pembangunan Berkelanjutan ........................... 15
A. Pemberontakan, Separatisme, dan Terorisme ………………….....……
16
B. Bencana Alam …………………………………....………………….…
17
IV.4. Realitas Ketangguhan Pertahanan-Keamanan Indonesia......................... 18
A. Kondisi Alutsista ………………………………....…………………..... 18
B. Anggaran Pertahanan-Keamanan dalam APBN …....………..……. 20
C. SDM dan Strategi Pertahanan-Keamanan …………....……...……. 22
IV.5. Realitas Profesionalisme Pertahanan-Keamanan Indonesia .................... 23
A. Keterlibatan dalam Politik ……………………………………….....…. 25
B. Aktivitas Bisnis Militer …………………………………………......…. 26
IV.6. Solusi untuk Realitas Ketangguhan serta Profesionalisme Pertahanan-
Keamanan Indonesia................................................................................ 27
A. Solusi Taktis ……………………………………………………......….. 27
B. Solusi Strategis ..……………………………………………..........…… 31
BAGIAN AKHIR
V. PENUTUP ……………………………………………....…....……... 33
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE PENULIS
DAFTAR TABEL
Lampiran-Lampiran
PENDAHULUAN
Saat ini kita hidup di era kemajuan. Di antara berbagai kemajuan yang paling
terasa manfaatnya adalah kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebab, dengannya kemudahan demi kemudahan dirasakan oleh umat manusia.
Namun, kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan segala macam
dan bentuknya belum dapat meninggalkan sengketa dengan kekerasan senjata
antarwarga bangsa. Bahkan, salah satu pemicu terjadinya peperangan adalah
adanya kemajuan teknologi persenjataan yang makin mutakhir.
Oleh karena itu, tulisan ini ingin menjawab beberapa persoalan penting terkait
sistem pertahanan-keamanan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia. Persoalan-
persoalan yang ingin dijawab tersebut adalah sebagai berikut.
Manfaat yang diharapkan dari pembuatan karya tulis ini adalah untuk:
TELAAH PUSTAKA
II.1. Realisme
Joseph S. Nye, Jr. mengungkapkan bahwa Realisme adalah tradisi dominan dalam
memandang politik internasional. Dalam pandangan Realisme, masalah sentral
politik internasional adalah perang dan penggunaan angkatan bersenjata. Mazhab
ini lahir dari Thomas Hobbes, yang hidup di Inggris abad ke-17 ketika tengah
berlangsung perang sipil, sehingga penekanan utamanya adalah pada
ketidakamanan, angkatan bersenjata, dan keberlangsungan negara yang
dirangkum dalam istilah “state of war” (keadaan perang).
Pemikir Realisme modern antara lain adalah mantan Presiden Amerika Serikat
Richard Nixon dan Henry Kissinger. Kaum Realis menekankan kontinuitas;
kekerasan dan perang adalah bahaya kekinian yang akan selalu berulang. Prospek
perang dalam sistem anarki1 tersebut membuat negara menjaga keberadaan
tentaranya bahkan dalam waktu-waktu damai. Daniel S. Papp menambahkan
bahwa pandangan Realpolitik ini bahkan menganggap menyediakan pertahanan-
keamanan adalah tanggung jawab negara.
Secara sederhana, Realisme dapat dibedakan dari mazhab lainnya dalam Ilmu
1 Sistem anarki adalah bentuk politik dunia yang terdiri dari negara-negara yang
bersatu padu namun tidak memunyai pemerintahan yang lebih tinggi di atas mereka. Politik
internasional sekarang ini adalah sistem negara teritorial seperti sistem anarki ini, dengan
absennya kedaulatan umum dan pemimpin di atas entitas berupa sejumlah negara-bangsa.
Lihat Joseph S. Nye, Jr., Understanding International Conflict: An Introduction to Theory
and History, (United States: Longman, 1997), hlm. 2.
Hubungan Internasional dalam empat dimensi, yaitu aktor primernya yang berupa
negara-bangsa, isu primernya yang berupa keamanan nasional, metode analisisnya
yang menekankan kapabilitas negara, dan perspektifnya yang berada dalam ruang
lingkup nasional.
Salah satu contoh perumusan tersebut relevan dengan konsep Postur TNI yang
ideal menurut Connie Rahakundini Bakrie. Menurutnya,
3 Connie Rahakundini, Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia, 2007.
4 Yahya Muhaimin,
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/04/01/0038.html, diakses pada 17 Agustus
2008 14:07.
bidang-bidang sosial, politik, keterampilan dan organisasi
yang memadai untuk
ekonomi, budaya, dan
memenangkan peperangan
sebagainya karena dianggap dalam bentuk baru tersebut
sehingga kalangan militer) ikut
akan mengurangi konsentrasi
mengatasi segala ancaman
perhatian militer pada urusan nasional yang spektrumnya
amat luas itu (pertahanan
hankam, sehingga harus
keamanan sekaligus bidang-
dibebankan kepada kelompok- bidang nonhankam seperti
sosial, ekonomi, politik, dan
kelompok bukan militer (sipil)
budaya) bersama-sama dengan
kalangan sipil
Adanya dua tipe profesionalisme militer yang saling berbeda secara substansial ini
menimbulkan perdebatan tentang tipe militer manakah yang terbaik. Pada
akhirnya, profesionalisme militer konvensional (selanjutnya disebut militer
profesional) yang apolitik memenangkan perdebatan ini. Poin-poin penting yang
menyebabkan militer harus profesional, tidak memiliki wewenang
politik/pretorian adalah sebagai berikut.
2. Sifat tentara adalah sentripetal, solid, dan monolitik. Kondisi tubuh militer
menuntut serba disiplin, main komando, dan hierarki yang sangat kuat.
Dalam tradisi militer secara universal tak ditemukan musyawarah
mencapai mufakat atau kearifan dalam pengambilan keputusan. Hal itu
bertentangan dengan dunia pemerintahan yang mengedepankan
permusyawaratan perwakilan.
3. Militer memiliki organisasi yang rigid dan jelas. Mereka tidak diajarkan
pendidikan untuk berpolitik praktis, tetapi dididik dengan berbagai strategi
peperangan guna menjadi alat pertahanan-keamanan negara yang kuat.6
6 Poin ke-2 dan ke-3 disadur secara bebas dari buku Muhadjir Effendy,
Profesionalisme Militer, Profesionalisasi TNI (Malang, UMM Press: 2008).
BAB III
METODE PENULISAN
Penulisan karya tulis ilmiah ini dilakukan berdasarkan metode kualitatif, bersifat
deskriptif, dan disertai analisis. Deskriptif karena penelitian yang ada dalam karya
tulis ilmiah ini berusaha menjelaskan bahwa relevansi dan signifikansi persoalan
pertahanan-keamanan tetap berlaku sekalipun kita hidup di era globalisasi. Ia juga
berusaha menggambarkan bagaimana hubungan yang saling terkait antara sektor
pertahanan-keamanan dengan proses pembangunan di Indonesia.
Penulisan karya tulis ilmiah ini juga bersifat analitis karena berusaha melihat lebih
dalam konsepsi sebuah sistem pertahanan-keamanan yang ideal. Berpijak dari itu,
analisis dilanjutkan kepada realitas kondisi ketangguhan dan profesionalisme
sistem pertahanan-keamanan yang ada di Indonesia. Hal ini bertujuan memetakan
persoalan dan melihat seberapa ideal pertahanan-keamanan Indonesia, sehingga
dapat diperoleh rekomendasi solusinya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah
studi literatur. Data yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini meliputi data
primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah buku-buku yang
menjelaskan definisi, kriteria, ciri-ciri, dan indikator-indikator yang ada pada
sistem pertahanan-keamanan yang ideal, tangguh, dan profesional. Data sekunder
yang digunakan berupa buku-buku, jurnal, media massa, serta berbagai literatur
dari internet yang berhubungan realitas kondisi pertahanan-keamanan Indonesia.
PEMBAHASAN
Secara etimologis, konsep keamanan (security) berasal dari bahasa latin “securus”
(se + cura), artinya terbebas dari bahaya, terbebas dari ketakutan (free from
danger, free from fear). Bisa juga bermakna dari gabungan kata se (artinya tanpa
atau withouth) dan curus (artinya uneasiness). Sehingga, apabila digabungkan
akan bermakna “liberation from uneasiness, or a peaceful situation without any
risksor threats”.7
Ketika Perang Dunia (PD) I berakhir pada 1918, orang menyangka ini adalah
perang terakhir (the last war) karena tidak sanggup melihat betapa banyak
kematian dan kehancuran akibat peperangan. Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
dibentuk untuk merealisasikan tujuan tersebut. Namun, di kemudian hari terbukti
LBB tidak mampu mencegah terjadinya perang, ditandai dengan serangan Italia
terhadap Ethiopia. Pada 1939, peran LBB berakhir sama sekali ketika Jerman
menyerang Polandia. Kejadian tersebut menjadi awal meletusnya PD II.
PD II berakhir, muncul Perang Dingin. Perang ini memiliki efek domino terhadap
negara-negara lain di dunia. Munculnya perang Korea, Vietnam, dan Kamboja
tidak terlepas dari Perang Dingin. Berbagai perang dengan beragam bentuk dan
jenisnya terus berlansung hingga saat ini. Project Ploughshares, sebuah organisasi
di Kanada, mengadakan penelitian dan menemukan bahwa pada tahun 1995
terjadi 44 perang dan konflik bersenjata. Tahun 2003 berkurang menjadi 30. Jika
diperkirakan, rata-rata ada 35 perang dan konflik bersenjata setiap tahun antara
1995 dan 2003. Dalam 9 tahun, terjadi tidak kurang dari 300 perang dan konflik
bersenjata di dunia. Maka, pada hakikatnya, di planet bumi ini, adalah tempat
penuh masalah keamanan dan membahayakan kehidupan manusia dan
kelangsungan negara dan bangsa. Sekalipun, tingkat kemajuan dan kecanggihan
IPTEK berkembang pesat.
Albert Einstein, pakar ilmu fisika, pernah menyurati Sigmund Freud, pakar ilmu
psikologi, dan mengatakan bahwa semua usaha untuk meniadakan perang telah
gagal karena manusia menyimpan kesenangan membenci dan menghancurkan di
dalam dirinya. Freud setuju dan mengatakan bahwa manusia itu seperti binatang
yang memecahkan persoalan dengan menggunakan kekerasan. Freud mengatakan
bahwa manusia hanya diliputi dua insting, yaitu insting untuk tetap hidup dan
mempersatukan, serta insting menghancurkan dan membunuh. Oleh karena itu,
katanya lagi, tidak ada gunanya mengakhiri semua kecenderungan agresif
manusia.
Secara lebih spesifik, berbagai ancaman yang dihadapi di era globalisasi saat ini
dapat diklasifikasikan menjadi enam kelompok. (1) ancaman ekonomi dan sosial,
termasuk kemiskinan, penyakit menular, keterbatasan akses pada pangan, dan
degradasi lingkungan hidup; (2) konflik antarnegara (inter-state conflict).
Walaupun ancaman ini berkecendrungan menurun secara signifikan, tetapi bukan
berarti hilang sama sekali; (3) konflik internal (inte-state conflict). Ancaman ini,
berbeda dengan sebelumnya, memiliki kecenderungan meningkat, terutama sejak
berakhirnya Perang Dingin. Oleh karena itu, peran organisasi internasional,
seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), makin relevan untuk diperkuat
sebagai peace-maker dan peace-keeper; (4) ancaman penyebaran senjata nuklir,
biologi, dan kimia; (5) ancaman terorisme, di mana secara kuantitas dan kualitas
tingkat ekskalasinya meningkat; (6) ancaman yang dilakukan organisasi kejahatan
transnasional.
Dari enam klasifikasi ancaman di atas, dapat diasumsikan beberapa hal berikut.
Pertama, segala ancaman yang dihadapi tidak lagi mengenal batas tradisional
negara. Kedua, sebagian besar ancaman tersebut adalah ancaman yang
berhubungan dengan aspek militer daripada non-militer. Ketiga, berbagai
ancaman tersebut harus dihadapi dan diatasi secara simultan mulai dari tataran
global, regional, hingga nasional.
B. Bencana Alam
Dalam hal tertentu, militer kita harus dapat difungsitugaskan untuk mencegah
kemungkinan terjadinya bencana. Dalam hal lain, TNI turut serta menghadapi
akibat terjadinya bencana. Sebagai gambaran, di Amerika Serikat, ditetapkan
bahwa Dinas Zeni Angkatan Darat (AD) (corps of engineers) antara lain berfungsi
mencegah terjadinya banjir sungai (flood control)
Peran TNI dalam mengatasi akibat bencana ini sangatlah besar artinya. Sebab,
TNI dengan angkatan udaranya menyediakan helikopter dan pesawat lain untuk
mencapai daerah-daerah yang tak lagi terjangkau melalui jalur darat. Angkatan
laut dapat segera mengerahkan kapal-kapalnya untuk mendatangi kota-kota di
pinggir pantai. Terakhir, angkatan darat dapat menyediakan pasukannya untuk
membantu masyarakat mengatasi berbagai persoalannya, seperti mencari korban,
mengubur mereka yang terbukti mati, membangun kembali jalan, jembatan,
rumah, sarana belajar dan ibadah yang rusak. Serta, yang terpenting mencegah
perbuatan jahat mereka yang hendak menyalahgunakan keadaan.
Di sini terbukti sekali lagi, bahwa pengerahan kekuatan militer dengan cepat dan
efektif akan semakin mempercepat proses pembangunan yang sedang digalakkan
Indonesia, bukan sebaliknya. Maka, sepantasnyalah bidang pertahanan keamanan
ini tidak lagi diabaikan, karena mengejar pertumbuhan ekonomi dan kemantapan
politik dan demokratisasi.
Pertahanan memang tidak sekadar berurusan dengan Alat Utama Sistem Senjata
(alutsista). Namun, alutsista yang lengkap dan kuat dapat dijadikan indikator
nyata kondisi pertahanan nasional suatu negara. Angkatan perang yang kuat tentu
diimbangi dengan alutsista yang kuat pula. Dalam hal ini, bermodal semangat
11 Ungkapan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Endriartono Sutarto
(Kompas, 9/3)
"tidak takut mati membela bangsa" saja tidaklah cukup.
Kekuatan alutsista TNI AD sebagian besar masih bertumpu pada aset lama,
meliputi 1.261 unit kendaraan tempur, namun yang siap operasi 799 unit; 59.842
unit kendaraan bermotor, namun yang siap operasi 52.165 unit; 538.469 pucuk
senjata dengan berbagai jenis yang siap operasi 392.431 pucuk; dan pesawat
terbang 53 unit dari berbagai jenis yang siap operasi 27 unit. Kekuatan alutsista
Angkatan Laut (AL) meliputi unsur kapal striking force 18 unit, patrilling force
58 unit, supporting force 67 unit, dan KAL 317 unit yang siap operasi 76. Unsur
pesawat udara terdiri atas 65 unit dari berbagai jenis yang siap operasi 39.
Kendaraan tempur marinir 410 unit yang siap operasi 157 unit.
Kekuatan alutsista Angkatan Udara (AU) bertumpu pada pesawat tempur, pesawat
angkut, pesawat helikopter, dan jenis pesawat lain serta peralatan rudal dan radar
yang meliputi 234 unit pesawat berbagai jenis dengan kondisi siap operasi 57%,
radar 17 unit dengan kondisi siap operasi 88,8%, rudal QW-3 untuk operasional
Paskhas dengan kondisi siap operasi.
Sumber lain menunjukkan bahwa alutsista yang dioperasikan dan dipelihara TNI
berada di ujung tanduk serta perlu dibenahi. Kesiapan operasi alutsista yang ada$
sangat rendah, seperti dirangkum dalam tabel sebagai berikut.12
Kondisi riil alutsista TNI yang kritis ini berfokus pada dimensi persoalan tuanya
usia alutsista yang digunakan. Rendahnya kesiapan operasional di atas tak ayal
12 Lihat Majalah Angkasa No. 7 April 2008 Tahun XVIII, hlm. 17.
membawa bencana bagi tubuh TNI itu sendiri, bahkan memakan korban jiwa.
Tujuh personil Marinir tewas setelah ikut tenggelam bersama tank Amphibi dalam
latihan militer di Situbondo, Jawa Timur. Helikopter S-58T Twinpack, yang telah
digunakan TNI AU sejak 1972, jatuh di Pekanbaru pada 8 Januari 2008. Kejadian
serupa terjadi pada helikopter Bell 47G Soloy, yang telah digunakan sejak 1978,
pada 11 Maret 2008. Sebelum itu, pesawat tua OV-10 Bronco, yang telah
digunakan sejak 1979, sudah pernah dua kali jatuh dan memakan korban jiwa
pada 2005 dan 2007. Bahaya pengoperasian pesawat tua ini membuat Ketua Staf
Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Herman Prayitno pada 2007 memensiunkan
OV-10 tersebut.
Dengan populasi sekitar 234,693,997 (Juli 2007) terdiri dari 17,508 pulau dengan
panjang garis pantai 81.000 km, Indonesia adalah negara dengan luas wilayah
terbesar ke-5 setelah Amerika dan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4
setelah Amerika Serikat, serta negara maritim terbesar ke-2 di dunia setelah
Kanada.
Jika dibandingkan dengan AS, tentu angaran Indoensia tidak ada apa-apanya.
Pada tahun 2007, Kongres AS dan Gedung Putih telah menganggarkan 522 miliar
dollar untuk budget pertahanan dan militer. Anggaran militer ini merupakan
terbesar di dunia dan setara dengan 47 persen total anggaran militer dunia.
Rivalnya, Cina, Rusia, dan Inggris menggangarkan masing-masing 63 miliar, 62
miliar, dan 51 miliar dollar.
14 Kompas, 27/2/08
persoalan mendasar.15 Pertama, minimnya besaran anggaran, tidak hanya terhadap
pendapatan domestik bruto, melainkan juga secara absolut sangat kecil apabila
dilihat dari besar wilayah dan penduduk Indonesia. Lebih parah lagi, kekurangan
anggaran menjadi alasan-alasan di balik praktik-praktik off-budget dan kegiatan
bisnis militer. Kedua, masalah alokasi anggaran pertahanan yang masih
menyimpan berbagai pertanyaan tentang efektifitas dan efisiensinya karena
birokrasi yang panjang dalam institusi-institusi pertahanan. Ketiga, anggaran
belum mencerminkan suatu cara berpikir yang sistematis tentang apa yang hendak
dicapai oleh kebijakan pertahanan Indonesia dan bagaimana mencapainya.
Keempat, anggaran pertahanan masih banyak mencerminkan kekuatan eksekutif
atas legislatif karena kendala sumber daya manusia, keterbatasan informasi, dan
faktor politik.
Kondisi kekuatan personil TNI hingga saat ini mencapai 383.870 orang (0,17%)
dari sekitar 230 juta penduduk Indonesia, yang terdiri atas 298.517 orang TNI
AD, 60.963 orang TNI AL, 28.390 orang TNI AU, dan 68.647 Pegawai Negeri
Sipil TNI. Jumlah ini, jika dibandingkan dengan luas wilayah Indonesia, masih
belum seimbang.
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), Edy Prasetyono,
berpendapat bahwa penambahan anggaran berapa pun besarnya tidak berarti apa-
apa tanpa ada perubahan strategi pertahanan. Bahwa Indonesia harus segera
bergerak dari strategi pertahanan kontinental menuju strategi pertahanan maritim
dengan zona berlapis. Strategi pertahanan maritim memiliki matra terbuka,
manuver fleksibel, dan pergerakan lebih leluasa untuk penangkalan dan
penindakan. Ini sesuai dengan karakter geografis kita. Dalam strategi pertahanan
maritim, tumpuan kekuatan akan diletakkan pada kekuatan pertahanan laut dan
udara. Untuk itu, TNI AL dan TNI AU harus terus diperkuat di masa mendatang.16
Ada sebagian pihak yang berargumen mengapa matra darat mendapat proporsi
15 http://www.mail-archive.com/indo-marxist@yahoogroups.com/msg02558.html
16 Kompas, 9/3/08.
anggaran dan jumlah personil lebih dibandingkan dua matra lainnya; udara dan
laut. Alasannya adalah bahwa simbol penaklukan atau penguasaan suatu negara
atau wilayah ditandai dengan pendudukan pada daratannya, bukan laut apalagi
udara. Sepintas, argumen ini dapat diterima. Namun, jika kita melihat secara lebih
objektif, bahwa proses pendudukan daratan itu tidak serta merta melalui jalur
darat, tetapi akan lebih mudah jika memasukinya setelah menaklukkan wilayah
lautan atau udaranya terlebih dahulu. Apalagi, jika mengingat Indonesia adalah
negara kepulauan dan dua pertiga wilayahnya adalah laut, logikanya matra laut
mendapat priorotas utama dari segi jumlah personil, alutsista, dan strategi
pertahanannya guna mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Inilah strategi pertahanan yang perlu segera dibenahi.
17 Dr. Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, (Jogyakarta: Lkis, 2005), hlm. 10-11.
18 Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005, hal. 29.
Pejuang Pejuang Pejuang Pejuang
Fungsi ABRI (Fungsi Pikiran jalan tengah Pikiran Seminar AD II Paradigma Baru ABRI
tempur dan fungsi Nasution (ABRI 1966
teritorial—memegang sebagai alat
pertahanan dan pertahanan-keamanan
perlawanan rakyat) dan fungsi sosial)
Fungsi sosial adalah Fungsi pertahanan- Bergeser—fungsi
untuk membangun keamanan dan sosial sosial politik
mitra dengan kekuatan politik
a) memilih posisi
sipil (intervensi)
Politik menonjol— dan metode tidak
dengan menguasai selalu di depan
atau menduduki,
b) mengubah dari
mengontrol kekuatan
konsep
rakyat—ABRI
menduduki
sebagai alat penguasa
menjadi
memengaruhi
c) mengubah dari
cara-cara
memengaruhi
secara langsung
menjadi tidak
langsung
bersedia melakukan
berbagai peran politik
dengan mitra non-
ABRI
Sedangkan pada tingkat kabupaten pada tahun 1969 jumlah Bupati dan Walikota
di seluruh Indonesia sebanyak 271. Setelah pemilu 1971 imbangannya mencapai
dua pertiga. Sampai dengan tahun 1998, sebanyak 4000 anggota militer
menduduki posisi jabatan sipil.21 Keterlibatan militer dalam birokrasi lokal selain
melalui jabatan Bupati dan Gubernur adalah keterlibatan pimpinan militer melalui
Muspida dan Muspika yang berfungsi mengendalikan kehidupan masyarakat
daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan politik seperti mobilisasi rakyat untuk
pembangunan dan untuk Pemilihan Umum.22
19 Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan, Jakarta, Narasi, 2005, hlm. 35-47.
20 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
1999, hlm. 271-272.
21 Ibid, hlm. 272.
22 R. William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde Baru : Pasang Surut Kekuasaan Politik,
Jakarta : LP3ES, 1992, hlm. 1.
B. Aktivitas Bisnis Militer
Akan tetapi dalam realitanya praktik bisnis militer hasilnya hanya dinikmati pada
tataran perwira saja. Hampir 52 tahun bisnis militer berlangsung, akan tetapi
sekian lama bisnis itu dilakukan tanda-tanda kesejahteraahn prajurit pun tidak
menunjukan perubahan, ada kesenjangan yang amat tajam antara kesejahteraan
kopral dengan jenderal. Kesenjangan yang ada dapat jelas dilihat dari tabel di
bawah ini.24
1. Solusi Taktis
Supremasi sipil adalah pengakuan militer atas semua produk yang dibuat sipil
hasil pemilu demokratis, baik terkait regulasi militer sendiri atau tidak. Ada dua
indikator minimal dari supremasi sipil. Pertama, Dephan harus dipimpin oleh
seorang menteri pertahanan dan harus murni berasal dari sipil. Kedua, adanya
kontrol efektif dalam kebijakan pertahanan, operasional militer, dan anggaran dari
sipil. Adanya kontrol sipil ini harus tercermin dalam peran parlemen untuk
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan legislasi yang telah dilakukan
melalui alokasi anggaran negara untuk pertahanan.
Dalam konsepsi negara demokratik, kontrol sipil atas militer dalam perspektif
hubungan sipil-militer menurut Huntington ada dua bentuk. Pertama, kontrol sipil
subjektif (subjective civilian control), yaitu memaksimalkan kekuasaan sipil.
Model ini diartikan sebagai upaya meminimalisasi kekuasaan militer dan
memaksimalkan kekuasaan kelompok sipil.
Inti dari kontrol sipil objektif adalah pengakuan otonomi militer profesional,
sedangkan kontrol sipil subjektif adalah pengingkaran sebuah independensi
militer. Kontrol sipil objektif akan melahirkan hubungan sipil-militer yang sehat
dan lebih berpeluang menciptakan prinsip supremasi sipil. Sebaliknya, kontrol
subjektif membuat hubungan sipil-militer menjadi tidak sehat. Oleh sebab itu,
kontrol objektif tidak hanya sekedar meminimalisasi intervensi militer ke dalam
politik, tapi juga memerlukan keunggulan otoritas sipil yang terpilih (elected
politicians) di semua bidang politik, termasuk dalam penentuan anggaran militer,
konsep, dan strategi pertahanan nasional.
Kedua poin di atas (kepemimpinan Dephan oleh sipil dan keberadaan kontrol
efektif sipil atas militer) sudah dilakukan sejak era Presiden Abdurrahman Wahid
hingga sekarang dan harus tetap dipertahankan untuk semakin menguatkan
supremasi sipil. Jika hal tersebut diabaikan, akan berakibat kembalinya sistem
represif militer atas sipil.
Akan tetapi semua anggaran tersebut hanya mampu mendekati pagu kekuatan
Tujuan besarnya adalah untuk dapat memenuhi (1) pengeluaran rutin lembaga, di
mana termaktub di dalamnya pemenuhan kesejahteraan anggota dan personil; (2)
modernisasi dan perawatan alat utama sistem pertahanan (alutsista); dan (3)
kebutuhan operasional tempur.
Penguatan keterlibatan dan pengawasan CSO ini adalah salah satu agenda besar
dari SSR. Di mana secara umum SSR di Indonesia dimaksudkan untuk, yakni;
2. Solusi Strategis
Kekuatan TNI yang ideal yang didukung oleh kapasitas dan kapabilitas setiap
karakteristik matra pertahanan berdasarkan kebutuhan spesifik atas alutsista,
jumlah dan kemampuan personil serta special force-nya dan juga forcasting
anggaran pertahanan yang diperlukan, sebenarnya dapat diturunkan jika grand
strategy telah dirumuskan dan kebijakan yang tepat telah ditetapkan.
Program ini ditujukan untuk meningkatkan kerja sama militer dengan negara-
negara maju atau sahabat dalam rangka, di samping belajarr dan meningkatkan
strategi pertahanan dan kemanan, bisa juga untuk menciptakan kondisi keamanan
kawasan, regional, dan internasional, serta meningkatkan hubungan antarnegara.
PENUTUP
V.1. Simpulan
Sudah 63 tahun bangsa ini merdeka. Peranan militer bahkan sudah dimulai jauh
sebelum teriakan kemerdekaan dipekikkan. Militer senantiasa menjadi garda
terdepan dalam mengawal perjalanan bangsa ini. Sampai sejauh ini, peranan
militer sudah mengalami pasang surut, mulai era kemerdekaan, era pemerintahan
represif, hingga era transisi. Sejauh itu pula permasalahan demi permasalahan
menyertai internal militer.
V.2. Rekomendasi
Dengan modal pemahaman dan kesadaran ini, semua elemen bangsa, utamanya
pemerintah selaku penentu kebijakan, mengimplementasikan dalam bentuk
produk-produk kebijakan yang mengarah pada terwujudnya sistem pertahanan-
keamanan tangguh dan profesional.
Keterbatasan dan kendala yang dihadapi negeri ini tidak seharusnya membuat
pemerintah tidak melakukan apa pun. Ada satu kaidah, “apa yang tidak dapat
dilakukan seluruhnya, jangan ditinggalkan semuanya”. Artinya, perbaikan demi
perbaikan sistem pertahanan-keamanan seyogyanya dilakukan dengan grand
design dan gradual tetapi tetap konsisten dan kontinyu. Kata kuncinya terletak
pada political will dari pada pemerintah sendiri dengan didukung, tentunya, oleh
segenap elemen terkait.
40
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Baylis, John, Smith, Steve. The Globalization of World Politics: An Introduction
to International Relations. Oxford: Oxford University Press, 2001.
Chrisnandi, Yuddy. Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005.
Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
1999.
Effendy, Muhadjir. Profesionalisme Militer, Profesionalisasi TNI. Malang :
UMM Press, 2008.
Fattah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara. Jogyakarta : Lkis, 2005.
John, Smith, Steve. The Globalization of World Politics: An Introduction to
International Relations. Oxford : Oxford University Press, 2001.
Liddle, R. William. Pemilu-Pemilu Orde Baru : Pasang Surut Kekuasaan Politik.
Jakarta : LP3ES, 1992
Nye, Jr., Joseph S. Understanding International Conflict: An Introduction to
Theory and History. United States : Longman, 1997.
Rahakundini, Connie. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 2007
Tim ProPatria Institute. Mencari Format Komprehensif Sistem Pertahanan-
keamanan Negara. Jakarta : ProPatria Institute, 2006.
The RIDEF Institute, Praktik-praktik Bisnis Militer. Jakarta : 2003.
Yulianto, Dwi Pratomo. Militer dan Kekuasaan. Jakarta : Narasi, 2005.
Sumber Internet
Yahya Muhaimin,
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/04/01/0038.html
http://www.mail-archive.com/indo-marxist@yahoogroups.com/msg02558.html
antara.co.id
Sumber Majalah
Majalah Angkasa No. 7 April 2008 Tahun XVIII.
Sumber Koran
Koran Kompas
Jawa Pos
Sumber Jurnal
Helga Haftendorn. “The Security Puzzle: Theory Building and Discipline in
International Security” dalam International Studies Quarterly Vol.35. No.1,
1991.
Liota P. H. “Boomerang Effect: The Convergence of National and Human
Security” dalam Security Dialogue Vol.33. No.4, 2002.
Jurnal Wacana Edisi 17 tahun 2004. Jogjakarta : Insist Press.
42
LAMPIRAN
Lampiran 1
Peta keterlibatan militer dalam politik masa orde baru
Sumber; U.S. Military Spending vs. the World dan Center for Arms Control
and Non-Proliferation, February 22, 2008.
44
Lampiran 3
Gaji TNI – Polri data terakhir 2007 setelah mengalami penyesuaian