You are on page 1of 11

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan kata legalisir dalam dunia pendidikan akademik masih sering ditemui.

Kata ini biasanya digunakan manakala seorang pelajar/mahasiswa baru memerlukan ijazah yang resmi sebagai persyaratan untuk pendaftaran sekolah/perguruan tinggi tertentu, sehingga istilah ijazah yang sudah dilegalisir menjadi marak dijumpai. Hal ini dapat merupakan akibat dari pungutan bahasa asing dalam penggunaan bahasa ilmiah, bahasa Indonesia baku yang baik dan benar. Walaupun sebenarnya kata legalisir tidak dapat ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi masih sering digunakan terutama di kalangan pendidikan akademik. Fenomena yang banyak terjadi di masyarakat tersebut cukup menggelitik mengingat suatu institusi pendidikan seharusnya dapat menerapkan penggunaan bahasa ilmiah yang baik dan benar. Kata legalisir yang tidak baku ini apabila terus-menerus digunakan dapat menjadi sebuah kebiasaan yang sulit hilang. Membuat para penggunanya mengalami pergeseran pemahaman tentang bahasa ilmiah yang baik dan benar. Seseorang menjadi beranggapan bahwa kesalahan penggunaan kata tersebut lumrah saja, terjadi pembiaran yang berkelanjutan. Akibatnya akan terjadi kebingungan tatkala ia dihadapkan pada sebuah kondisi yang mengharuskan dirinya menggunakan tata bahasa Indonesia yang baku, seperti dalam forum-forum resmi atau ilmiah, misalnya. Hal ini menandakan bahwa bahasa Indonesia memberikan kesempatan pada latar belakang bahasa lain untuk berkembang menurut habitatnya, sehingga dapat menjadi bahasa yang kaya, dimana pengguna bahasa maupun pendengar/pembaca yang diajak berkomunikasi dapat memahami makna kata legalisir tersebut, meskipun salah/tidak baku. Awal mula penggunaan kata legalisir ini akibat pengaruh bahasa Belanda, yaitu legaliseeren. Namun kata legaliseeren ini merupakan bentuk kata benda, bukan bentuk kata kerja seperti yang kita gunakan selama ini pada kata legalisir. Sehingga kata legalisir ini tidak bisa dianggap sebagai sebuah bentuk kata serapan untuk legaliseeren karena memiliki bentuk kata yang berbeda. Hal ini terus terjadi hingga hal yang salah kaprah terus berlanjut. Kebingungan dan kesalahan bahasa yang terjadi pada masyarakat turut diperparah dengan penggunaan bahasa Indonesia yang digunakan oleh media massa, baik cetak maupun elektronik. Memang tidak mudah mengubah pemakaian kata-kata yang selama ini dianggap benar, karena sering dipakai dalam media massa atau bahkan oleh para pejabat di kalangan institusi pendidikan akademik. Namun sudah waktunya untuk selalu melestarikan pemakaian bahasa Indonesia yang baku dan benar di kalangan masyarakat luas. Semangat ini hendaknya bersumber dari kesadaran individu untuk melepaskan pengaruh budaya asing demi terwujudnya keteguhan jati diri sebagai bangsa Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah 1. Apakah bahasa asing mempengaruhi penggunaan kata legalisir dalam dunia pendidikan akademik? 2. Bagaimana bahasa asing mempengaruhi penggunaan kata legalisir dalam dunia pendidikan akademik? 3. Mengapa bahasa asing dapat mempengaruhi penggunaan kata legalisir dalam dunia pendidikan akademik? 1.3. Tujuan Menjelaskan penyebab penggunaan kata legalisir dalam dunia pendidikan akademik masih sering ditemui. 1.4. Manfaat Apabila telah terungkap penyebab penggunaan kata legalisir dalam dunia pendidikan akademik, manfaat yang kita dapat adalah kita akan memiliki kesadaran untuk selalu berusaha melestarikan penggunaan bahasa ilmiah dalam rangka pendidikan akademik dengan tepat.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Legalisir : Bukan Bagian dari Bahasa Ilmiah Legalisir diduga merupakan kata serapan dari bahasa asing (Belanda), yaitu legaliseeren. Tetapi, kata legaliseren bukan kata benda melainkan kata kerja yang artinya mengesahkan atau membenarkan. Jadi, kalau kata legalisir yang sudah berarti mengesahkan diberi awalan memenjadi melegalisir, arti yang dikandung menjadi janggal, yaitu memengesahkan, atau kalau diberi awalan di- arti yang dikandung akan menjadi dimengesahkan. Menurut Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, penggunaan kata legalisir itu masih tidak tepat dan tidak dibenarkan, karena menggunakan kata yang tidak baku. Seharusnya, pembenaran yang tepat dan sesuai menurut kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah kata legalisasi. Pemakaian kata legalisir sangat produktif dan sering kita temui dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari. Padahal dalam bahasa Indonesia baku, akhiran yang tepat untuk padanan kata akhiran ir pada kata legalisir adalah asi atau isasi dan menjadi legalisasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, adapun pengertian kata legal yaitu menurut undang-undang ; sah. Serta pengertian kata legalisasi yaitu pengesahan (sesuai dengan undang-undang atau hukum). Tidak dijumpai adanya kata legalisir. Legalisir sebetulnya tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal ini berarti bahwa kata legalisir bukanlah kata baku bahasa Indonesia. Bahasa yang sebaiknya digunakan adalah bahasa ilmiah. Bahasa ilmiah yang dimaksud adalah bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan. Bahasa yang digunakan ini sebaiknya dapat secara tepat untuk mengungkapkan hasil pemikiran logis, mencerminkan ketelitian yang objektif. 2.2. Sejarah Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Ilmiah Bahasa Indonesia yang kini dipakai sebagai bahasa resmi di Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Hal ini ditandaskan dalam Kongres Bahasa Indonesia di Medan 1954. Pada hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, diresmikan suatu bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Nama baru ini bersifat politis, sejalan dengan nama negara yang diidam-idamkan. Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia tidak terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi mengalami proses pertumbuhan secara perlahan dengan perjuangan yang sangat keras. Beberapa faktor yang memungkinkan diangkatnya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan menurut Prof. Dr. Slamet Mulyana adalah sebagai berikut. 1. Sejarah telah membantu penyebaran bahasa Melayu. Bahasa Melayu merupakan lingua franca (bahasa perhubungan / perdagangan) di Indonesia. Malaka pada masa jayanya menjadi pusat perdagangan dan pengembangan agama Islam. Dengan bantuan para pedagang, bahasa Melayu

disebarkan ke seluruh pantai Nusantara terutama di kota-kota pelabuhan. Bahasa Melayu menjadi bahasa perhubungan antar individu. Karena bahasa Melayu itu sudah tersebar dan boleh dikatakan sudah menjadi bahasa sebagian penduduk, Gubernur Jenderal Rochusen kemudian menetapkan bahwa bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di sekolah untuk mendidik calon pegawai negeri bangsa bumi putera. 2. Bahasa Melayu mempunyai sistem yang sangat sederhana ditinjau dari segi fonologi, morfologi, dan sintaksis. Karena sistemnya yang sederhana itu, bahasa Melayu mudah dipelajari. Dalam bahasa ini tidak dikenal gradasi (tingkatan) bahasa seperti dalam bahasa Jawa atau bahasa Sunda dan Bali, atau pemakaian bahasa kasar dan bahasa halus. 3. Faktor psikologi, yaitu bahwa suku Jawa dan Sunda telah dengan sukarela menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, semata-mata karena didasarkan kepada keinsafan akan manfaatnya segera ditetapkan bahasa nasional untuk seluruh kepulauan Indonesia. 4. Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti luas. Untuk mengikuti pertumbuhan bahasa Indonesia dari awal, terdapat fakta-fakta historis hingga sekarang sebagai berikut. A. Sebelum Masa Kolonial Bahasa Melayu dipakai oleh kerajaan Sriwijaya pada abad VII. Hal ini terbukti dengan adanya empat buah batu bertulis peninggalan kerajaan Sriwijaya. Keempat batu bersurat itu ditemukan di Kedukan Bukit (680), di Talang Tuwo (dekat Palembang) (684), di Kota Kapur (Bangka Barat) (686), di Karang Berahi (Jambi) (688). Bukti lain ditemukan di Pulau Jawa yaitu di Kedu. Di situ ditemukan sebuah prasasti yang terkenal bernama inskripsi Gandasuli (832) Berdasarkan penyelidikan Dr. J.G. De Casparis dinyatakan bahwa bahasanya adalah bahasa Melayu kuno dengan adanya dialek Melayu Ambon, Timor, Manado, dsb. B. Masa Kolonial Ketika orang-orang barat sampai di Indonesia pada abad XVII, mereka menghadapi suatu kenyataan bahwa bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi dalam pergaulan dan bahasa perantara dalam perdagangan. Ketika bangsa Portugis maupun bangsa Belanda mendirikan sekolah-sekolah, mereka terbentur dalam soal bahasa pengantar. Usaha menerapkan bahasa Portugis dan Belanda sebagai bahasa pengantar mengalami kegagalan. Demikian pengakuan Belanda Dancerta tahun 1631. Ia mengatakan bahwa kebanyakan sekolah di Maluku memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. C. Masa Pergerakan Kebangsaan

Pada waktu timbulnya pergerakan kebangsaan terasa perlu adanya suatu bahasa nasional, untuk mengikat bermacam-macam suku bangsa di Indonesia. Suatu pergerakan yang besar dan hebat hanya dapat berhasil kalau semua rakyat diikutsertakan. Untuk itu, mereka mencari bahasa yang dapat dipahami dan dipakai oleh semua orang. Pada mulanya agak sulit untuk menentukan bahasa mana yang akan menjadi bahasa persatuan., tetapi mengingat kesulitan-kesulitan untuk mempersatukan berbagai suku bangsa akhirnya pada 1926 Yong Java mengakui dan memilih bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. 2.3. Pengaruh Bahasa Asing terhadap Bahasa Ilmiah Bahasa Indonesia menurut Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 berkedudukan sebagai bahasa nasional, sedangkan menurut UUD 1945, bab XV, pasal 36 berkedudukan sebagai bahasa negara. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan kebangsaan; (2) lambang identitas nasional; (3) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia; dan (4) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya (Halim, 1980:24). Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang mengemban fungsi di atas telah banyak mengalami perkembangan kosakata yang diserap dari bahasa asing, terutama dari bahasa Inggris dan Belanda. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penggunaan bahasa pada media massa, baik cetak maupun elektronik, seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Perkembangan kosakata bahasa Indonesia dari serapan asing memang diperlukan dalam rangka menjadikan bahasa Indonesia mampu menyelimuti budaya modern dengan segala perkembangan ilmu dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutan Takdir Alisyahbana melalui Sumardi (1982:24) di bawah ini: Kebudayaan Indonesia modern mesti lebih dekat kepada kebudayaan modern seluruh dunia, yang dikuasai oleh nilai-nilai ilmu dan ekonomi yang bersama-sama melahirkan teknologi yang tidak dapat disumbangkan oleh bahasa daerah. Sebab itu, untuk pengertian modern yang tidak ada dalam bahasa Indonesia, lebih baik mengambil kata modern yang internasional, yang berpokok pada bahasa Yunani, karena bahasa Inggris adalah bahasa yang paling bersifat internasional, tentulah bahasa itu yang menjadi sumber perkembangan bahasa Indonesia yang baik.

Di atas sudah dijelaskan bahwa pemakaian kosakata serapan asing banyak dijumpai dalam pemberitaan surat kabar dan majalah. Hal tersebut tentu saja dapat mempercepat proses pemahaman masyarakat secara umum. Oleh karena itu, secara tidak langsung surat kabar dan majalah menjadi sarana pembinaan bahasa. Kekuatannya terletak pada kesanggupan menggunakan bahasa secara terampil dalam penyampaian informasi, opini, bahkan hiburan. Sarana yang dipakai dalam surat kabar dan majalah sebagai alat komunikasi adalah bahasa tulis (Badudu, 1985:135). Pemakaian bahasa dalam surat kabar dan majalah yang berhubungan dengan perkembangan bahasa Indonesia hingga saat ini dipandang sangat menunjang, tetapi ada juga yang justru dianggap merusak. Surat kabar dan majalah dianggap menunjang karena berperan, antara lain, menyebarkan

penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan masyarakat dalam berkomunikasi dan pemekaran kosakata baru bahasa Indonesia. Akan tetapi, surat kabar dan majalah dianggap merusak perkembangan bahasa Indonesia apabila bahasa yang dipakai dalam media komunikasi itu mengandung banyak kesalahan, baik menyangkut keslaahan ejaan, kosakata, morfologi, maupun sintaksis (Mohamad, 1974; Anwar, 1983; Halim dan Yayah, 1983; Harmoko, 1980; dan Gina, 1989).
Belanda mendatangi Nusantara pada awal abad ke-17 ketika ia mengusir Portugis dari Maluku pada tahun 1606, kemudian ia menuju ke pulau Jawa dan daerah lain di sebelah barat. Sejak itulah, secara bertahap Belanda menguasai banyak daerah di Indonesia. Bahasa Belanda tidak sepenuhnya dapat menggeser kedudukan bahasa Portugis karena pada dasarnya bahasa Belanda lebih sukar untuk dipelajari, lagipula orang-orang Belanda sendiri tidak suka membuka diri bagi orang-orang yang ingin mempelajari kebudayaan Belanda, termasuk bahasanya. Hanya saja pendudukannya semakin luas meliputi hampir di seluruh negeri dalam kurun waktu yang lama (350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia). Belanda juga merupakan sumber utama untuk menimba ilmu bagi kaum pergerakan. Maka itu, komunikasi gagasan kenegaraan pada saat negara Indonesia didirikan banyak mengacu pada bahasa Belanda. Kata-kata serapan dari bahasa Belanda seperti abonemen, bangkrut, dongkrak, ember, formulir, dan tekor. 2.3. Pendidikan Akademik Pendidikan akademik adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada penguasaan dan pengembangan disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni tertentu, yang mencakup program pendidikan sarjana, magister, dan doktor. Pendidikan akademik merupakan jenis pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan dengan kompetensi dalam penguasaan, pengembangan, dan/atau penemuan di bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia; untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi dalam segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang menguasai ilmu, teknologi, dan seni, mandiri, kritis, inovatif, kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional; untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan diperlukan pendidikan tinggi untuk mengembangkan ilmu, teknologi, dan/atau seni, bagi kemajuan, kemandirian, dan daya saing bangsa. Pendidikan Tinggi berasaskan: a. kebenaran ilmiah; b. otonomi keilmuan; c. kebebasan akademik; d. kejujuran; dan e. keadilan. Pendidikan Tinggi bertujuan: a. mengembangkan potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia; b. menghasilkan lulusan yang menguasai bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang dipelajari serta mampu mengaplikasikan dalam peningkatan daya saing bangsa serta memiliki sikap toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan nasional; dan c. menghasilkan karya penelitian dalam bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang bermanfaat bagi kemaslahatan bangsa, negara, dan umat manusia.

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

BAB 4 PEMBAHASAN

Sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Atas dasar kebangsaan ini, bahasa Indonesia kita pelihara dan kita kembangkan, dan rasa kebanggaan memakainya senantiasa kita bina. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia kita junjung di samping bendera dan lambang negara kita. Bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya hanya apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sehingga terhindar dari unsur-unsur bahasa lain yang tidak diperlukan. Sebagai alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antar suku bangsa, bahasa Indonesia dipakai untuk berhubungan antar suku bangsa di Indonesia sehingga kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang sosial, budaya, dan bahasa tidak perlu terjadi. Di samping ketiga fungsi di atas, bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai alat yang memungkinkan terlaksananya penyatuan berbagai suku bangsa yang memiliki latar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda-beda ke dalam satu kesatuan kebangsaan yang bulat. Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai-bagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilainilai social budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Dengan bahasa nasional, kita dapat meletakkan kepentingan nasional di atas kepentingan daerah atau golongan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara memiliki beberapa fungsi, yaitu: 1. Bahasa resmi kenegaraan 2. Bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan 3. Alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan 4. Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa Indonesia dipakai antara lain: di dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan serta surat-surat yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di lembagalembaga pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi di seluruh Indonesia Berangkat dari landasan pendidikan tinggi yang menjunjung kebenaran ilmiah, seorang peserta didik yang menapakkan kakinya di jenjang pendidikan tinggi diharapkan mampu menempatkan segala sesuatu berdasarkan proporsinya, selaras dengan keilmuan yang ia miliki. Para peseta didik seharusnya dapat menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah yang tepat, sesuai dengan tempat dan waktu dimana ia menggunakannya, yaitu di institusi pendidikan.

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kata legalisir masih sering ditemui dalam dunia pendidikan akademik. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh bahasa asing yang mempengaruhi bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa ilmiah. Meskipun kata legalisir tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi penggunaannya masih sering ditemui. Beberapa menyadari namun melakukan pembiaran terhadap kesalahan yang dilakukannya, beberapa mungkin memang betul-betul tidak menyadari bahwa legalisir bukanlah suatu kata baku. 5.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan, dkk (2003): Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta, PT Balai Pustaka. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Diknas RI. (2001): Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta,Balai Pustaka. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Diknas RI. (2003): Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta, Balai Pustaka.

You might also like