You are on page 1of 29

1

CITRA PEREMPUAN DALAM KAБANTI:


TINJAUAN SOSIOFEMINIS

Naskah Publikasi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan


mencapai derajat S-2

Program Studi Ilmu Sastra


Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora

diajukan oleh
Sumiman Udu
20495/IV-4/1543/03

kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2006
2

CITRA PEREMPUAN DALAM KAБANTI :


TINJAUAN SOSIOFEMINIS

Naskah Publikasi
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana S-2 Program Ilmu Sastra
Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora

Diajukan oleh
SUMIMAN UDU

DISETUJUI UNTUK DIUJIKAN


Yogyakarta, Agustus 2006
Pembimbing,

Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno


NIP 130 235 516
3

Abstract

A research with title "Image of Women in Kaбanti: A socio-feminist analysis" has aimed to
know the image of women who represented in the texts of kaбanti. It consists of self-image of women
and their social image. Self-image of women covers their physical and psychical aspects, while social
image of women covers image of women in the family and in society. This analysis is continued to
unload the ideology that form the representation of women in texts of kaбanti. By this analysis, we
can show the potency of women that represented in the texts of kaбanti.
This research is conducted by perceived the performance of kaбanti as an introductory hymn
to lull a child. It provided also by interview. This interview is done with singers of kaбanti and some
elite figures that have a comprehensive knowledge about culture and custom of Wakatobi. The data in
this research transcribed and translated into Indonesian, and then it is analyzed by using feminist
literary criticism that focused on images of women to see the woman representation in texts of
kaбanti, including ideology that formed women existences.
Result of study indicates that self-image of women who represented in the texts of kaбanti is
still reside in tensional, desire to go forward and cultural limitation. There are psychical dynamic,
there is capable to determine hers own chance and there is not. While image of women in society and
in family that covers in the texts of kaбanti is represented as housewife, woman as a child, and woman
as host. The role representation of women in society can be seen from individual interaction to another
and individual interaction to society. Individual interaction can be seen from comments of singer
about her mother, figure of Wa Male, Wa Mondo, Wa Kalemo-Lemo and of Wa Kumoni-Koni. In this
comments, women were represented as free women and over a barrel. As a child, singer asked her
mother to go out from culture and followed conscience of her. Individual interaction to society can be
seen from comments of singer about the existence of culture and moral in society, for example
concerning marrying young, secret, gossip, falsehood, and deception. It is influenced by ideology that
formed those (women) representations. Those ideologies relate to economic activity, social cultural,
politics, education, and spiritual existence in Wakatobi societies. By this analysis, found some
potencies of woman that represented in texts of kaбanti, like open-minded women, dialogues women,
the worker women (business), and the desire of women to alter herself through education.

Keyword: image of women, Wakatobi society, kaбanti


4

1.1 Latar Belakang


Wakatobi sebagai salah satu wilayah yang ada di Nusantara tentu memiliki
ingatan kolektif yang memuat jati diri masyarakatnya. Dalam ingatan kolektif itulah
nilai-nilai budaya masyarakat Wakatobi disimpan, termasuk budaya yang
berhubungan dengan peran perempuan di dalam kehidupan masyarakat. Salah satu
ingatan kolektif masyarakat Wakatobi yang mengandung nilai-nilai budaya tersebut
adalah nyanyian rakyat yang disebut kaбanti.
Budaya masyarakat Wakatobi selama ini telah memposisikan perempuan
dalam ketegangan. Di satu sisi, budaya Wakatobi menghargai dan menghormati
perempuan, tetapi di sisi lain, budaya Wakatobi banyak membelenggu perempuan,
terutama untuk menduduki posisi-posisi tertentu dalam kehidupan bermasyarakat
(Schoorl, 2003: 211). Pandangan budaya seperti ini akan mempengaruhi keberadaan
perempuan, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan sosialnya.
Citra perempuan yang dikonstruksikan pada anak-anak akan tergantung dari
pengalaman ibunya sebagai peletak dasar kebudayaan. Cantor dan Bernay (1998:
314) mengatakan bahwa ibu berperan dalam reproduksi kepribadian seorang anak.
Hal ini disebabkan oleh adanya ikatan batin antara anak dan ibu. Oleh karena itu,
pengetahuan ibu tentang budaya yang diekspresikan dalam syair-syair kaбanti
pengantar tidur akan mempengaruhi kepribadian anak, termasuk citra perempuan
akan terkonstruksi di dalam pikiran anaknya, sehingga akan mempengaruhi
kehidupan mereka berikutnya. Hal ini sesuai dengan pandangan Fakih (2003: 10)
yang mengatakan bahwa proses sosisalisasi budaya sudah dilakukan sejak bayi
sehingga hal tersebut bukan saja berpengaruh pada perkembangan emosi, visi, dan
ideologi kaum perempuan, melainkan juga mempengaruhi perkembangan fisik dan
biologis selanjutnya. Proses sosioalisasi dan konstruksi sifat-sifat gender yang
berlangsung secara turun-temurun dan mapan itu akhirnya sangat sulit untuk
dibedakan.
Pencitraan perempuan dalam teks kaбanti sebagai pengantar tidur juga akan
mempengaruhi citra perempuan di dalam masyarakat Wakatobi, baik mengenai citra
diri maupun citra sosialnya. Untuk itu, penelitian ini akan difokuskan pada kajian
tentang citra perempuan yang direpresentasikan dalam teks-teks kaбanti pengantar
tidur sebagai bukti adanya peran perempuan dalam masyarakat Wakatobi.
Selanjutnya penelitian ini juga akan membongkar ideologi yang membentuk
representasi-representasi tersebut sehingga akhirnya akan diketahui potensi
perempuan dalam teks-teks kaбanti.
5

Untuk mengetahui citra perempuan dalam teks-teks kaбanti dan membongkar


ideologi yang membentuk representasi-representasi tersebut, maka digunakan kritik
sastra feminis yang akan berkerja sebagai sebuah pendekatan akademik yang
mengaplikasikan pemikiran feminis pada teks kaбanti (bdk. Goodman, 2001: x-xi)
yang mengatakan bahwa kritik sastra feminis merupakan pendekatan akademik yang
mengaplikasikan pemikiran feminis untuk menganalisis teks sastra, konteks
produksi, dan masyarakat. Kerja kritik inilah yang meneliti karya sastra dengan
melacak ideologi yang membentuknya dan menunjukkan perbedaan-perbedaan
antara yang dikatakan oleh karya melalui hasil pembacaan yang teliti (Ruthven,
1990: 32).

1. Citra Perempuan dalam Teks Kaбanti


1.1 Citra Diri Perempuan
Pengertian kata citra perempuan secara tersirat meliputi citra fisik dan psikis
perempuan. Oleh karena itu, pada bab ini akan diuraikan kedua citra perempuan
tersebut. Citra perempuan dalam aspek fisik dan psikis dikonkretkan dalam kerangka
bahasa sebagai tanda yang mempunyai arti (meaning) dan makna (significance)
(Priminger, dalam Prodopo, 1995: 107). Kedua pemaknaan tersebut akan
mengungkapan citra perempuan baik citra perempuan yang direpresentasikan dalam
teks kaбanti maupun citra perempuan dari hasil pembacaan yang dilakukan dengan
teliti. Dengan mengetahui citra perempuan yang direpresentasikan di dalam teks
kaбanti dan bagaimana seharusnya, akan mendorong terjadinya proses kesadaran
pada perempuan. Perempuan selama ini dicitrakan sebagai mahluk yang tidak
berdaya, mahluk yang tersubordinasi (Abdullah, 2001: 32). Dengan hasil pembacaan
yang teliti akan lahir alternatif-alternatif pembacaan yang dapat menciptakan citra
perempuan berdasarkan potensi yang dimilikinya.

1.1.1 Citra Fisik Perempuan


Dengan menggunakan perspektif feminis yang menekankan pada analisis
citra perempuan (images of women), maka citra fisik perempuan yang
direpresentasikan di dalam teks kaбanti dapat dipahami sebagai ekspresi fisik
perempuan yang diwakilinya. Dari tiga teks kaбanti yang dianalisis dalam penelitian
ini ditemukan beberapa representasi citra perempuan yang berhubungan dengan
aktivitas fisik perempuan. Dalam teks I, perempuan hanya dicitrakan sebagai perawat
anak, sedangkan dalam teks II dan III di samping direprersentasikan sebagai perawat
6

anak, juga merepresentasikan negeri impian yaitu negeri Seram. Teks I dimulai
dengan bait pembuka berikut. /E bue-bue wa paro ðia/, ‘ayun-ayun moga ia terlelap’,
/E kubanguko maka nuбangu/, ‘kubangunkan kamu baru terbangun’. Sedangkan teks
II dan III juga dimulai dengan bait, /E bue-bue бangka nusera/, ‘ayun-ayun perahu
Seram’, /E mbali бata nangkokombuno/, ‘tiangnya yang akan menjadi batang’.
Sehubungan dengan streotipe perempuan yang direpresentasikan dalam bait
ke-2 teks I tersebut di atas, pemahaman juga harus diarahkan pada cara pandang
masyarakat Wakatobi tentang ibu yang menyusui atau melahirkan. Pada saat ibu
melahirkan atau menyusui, ia dihargai dan dihormati yang ditandai dengan komba
oalu ‘bulan kedelapan’ (Munafi, 2001: 117).
Proses penciptaan citra fisik (tubuh) perempuan disaat mengandung,
melahirkan dan menyusui sebagai perempuan yang lemah merupakan suatu bentuk
kuatnya budaya patriaki yang membentuk representasi-representasi tersebut. Di sisi
yang lain, pandangan bahwa laki-laki yang tidak melayani istrinya di saat hamil dan
masa bersalin akan dihina oleh keluarga dan masyarakat. Rusaknya bentuk tubuh
seorang istri setelah melahirkan, berdampak buruk pada citra seorang suami.
Demikian juga saat hamil, kalau istrinya mengidam berarti suaminya dinyatakan
tidak tahu ilmu berkeluarga oleh keluarga perempuan dan masyarakat Wakatobi pada
umumnya1.
Dengan demikian, representasi tersebut, bukannya sebagai rintihan
ketakberdayaan, melainkan kesadaran perempuan atas fisiknya yang lemah.
Kehadiran laki-laki yang melayani dan membantu disadari masyarakat sebagai
bentuk penghargaan dan pengabdian, bukan kehinaan atau ketakberdayaan.
Masyarakat Wakatobi memiliki pemahaman bahwa perempuan yang bekerja di saat-
saat hamil, saat bersalin (semasih ada darah nifas) akan mempercepat ketuaan.
Konteks pemahaman budaya inilah yang melatari Wa Yai merepresentasikan citra
perempuan dalam bait kaбanti di atas.
Pada bait lain, penyanyi merepresentasikan citra fisik perempuan yang
memiliki kekuatan untuk dapat bekerja karena telah mempunyai kemampuan, tetapi
kemampuan tersebut masih terjebak dalam stereotipe-streotipe patriaki yang
menganggap perempuan sebagai makhluk yang harus berada di rumah (bdk.
Salomon, 1988; dalam Abdullah, 2001: 108). Telah terjadi proses sosialisasi yang
cukup lama sehingga perempuan harus tampil lemah di ruang domestik dan laki-laki
harus tampil lebih kuat (dunia publik) (Abdullah, 2001: 108-109). Sementara itu,

1
Wawancara dengan La Unga.
7

dalam kajian gender, konsep tersebut merupakan salah satu konstruksi yang bersifat
kultural, bukan biologis, (alami) Fakih (2003: 10).
Untuk itu, dalam rangka membebaskan perempuan dari ketakutan-ketakutan
atau perasaan bersalah terhadap budayanya perlu adanya kesadaran atas budaya yang
dianutnya. Perempuan harus memiliki pergaulan dan pengetahuan yang memadai,
sehingga perempuan dapat melepaskan diri dari kungkungan kemiskinan dan
ketakberdayaan (Fakih, 2003: 165). Albom Mitch (2006: 81) mengatakan bahwa
satu-satunya obat untuk keluar dari kemiskinan adalah pendidikan.

1.2.1 Citra Psikis Perempuan


Ditinjau dari aspek psikisnya, perempuan merupakan makhluk psikologis,
makhluk yang berpikir, berperasaan, dan beraspirasi (Sugihastuti, 2000: 95). Dengan
melihat dari dua aspek tersebut akan terlihat dengan jelas keutuhan individu seorang
perempuan.
Hasil penelitian yang berhubungan dengan citra psikis perempuan yang
direpresentasikan dalam teks-teks kaбanti adalah perempuan memberikan kebebasan
pada anak-anaknya dalam memilih jodoh. Konsepsi tentang pikiran dan perasaan
perempuan tersebut direpresentasikan dalam teks I bait ke-4 dan 5 berikut.
T.I (4) E te Wa ina buntu no-hoti
Pe. art. PG-ibu hanya 3sR-memberi makan
E ðikaburi na kombitia
Pe.dipasangan art. mengabdi

Ibu hanya memberi makan


Pada jodoh kita mengabdi
(5) E wa ina ane ngko-moha’a?
Pe.PG-ibu ada 2sIR-buat apa
E ara ku-mala ntelaro-su
Pe. kalau 1sR-ambil hati-1spos.

Ibu, apa yang bisa kamu perbuat?


Kalau saya mengikuti kata hatiku
Bait ke-4 di atas menggambarkan bahwa si aku lirik (perempuan)
menginginkan kebebasan dari ibunya dalam soal memilih jodoh. Bait tersebut
menunjukkan bahwa perempuan telah memiliki pikiran untuk melepaskan diri dari
jeratan adat dan budayanya. Keinginan tersebut dipertegas dalam bait kelima yang
menekankan adanya keinginan perempuan untuk bebas dari pengaruh ibu dan
budayanya.
8

Pada bait yang lain, si aku lirik (perempuan) memberi tahu ibunya untuk
menerima tindakannya dengan rasional. Hal tersebut dapat dilihat pada bait ke-15
teks I berikut.
E mai to-бawa moane-’e
Pe.mari 1pR-bawa jantan-Padv.
E na i-tondu buntu sabantara
Pe.art. 2pR-tenggelam hanya sebentar

Mari kita terima secara jantan


Yang hanya sebentar kita tenggelamkan
Citraan mengenai pikiran dan perasaan perempuan tersebut, merupakan
citraan tentang pikiran dan perasaan perempuan yang memiliki kekuatan dan
kemandirian. Perlu disadari bahwa perempuan yang memiliki kemampuan tersebut
adalah perempuan yang memiliki kemampuan finansial, harga diri, kekuatan dan
kemandirian secara ekonomi sehingga ia dapat menerima semua konsekuensi yang
diambil oleh ibunya.
Teks di atas, berangkat dari latar belakang budaya Wakatobi dan Buton pada
umumnya atau bahkan filsafat yang mengklaim bahwa laki-laki itu adalah makhluk
rasional sedangkan perempuan selalu mengedepankan perasannya (bdk. Descartes
dalam Arivia, 2003: 40). Dengan demikian, bait di atas merepresentasikan
perempuan yang berpikir rasional dalam menghadapi masalah. Ini menunjukkan
bahwa si aku lirik (perempuan) telah memiliki pandangan bahwa pikiran rasional
bukan saja milik kaum laki-laki, tetapi merupakan milik semua manusia.
Representasi citra psikis perempuan yang lain menunjukkan bahwa
perempuan belum dapat melepaskan diri dari rasa malu. Akibatnya memberi peluang
pada orang tua untuk mengintervensi dirinya dalam hal jodoh. Representasi tentang
rasa malu perempuan tersebut dapat dilihat dalam bait ke-21-22 teks I berikut.
21. E te poilu’a ngku-poilu
Pe.art. suka 1sR-suka
E Wa ku-ambanga te mpogau’a
Pe.PG 1sR-malu art. mengatakan

Kalau suka aku (tetap) suka


Tapi aku malu mengatakannya
22. E ara nu-ambanga gau-mo
Pe.kalau 2sR-malu bicara-EMPH
E la’a ku-potumpu ako-ko
Pe.nanti 1sIR-tunangkan untuk-2spos.
9

Kalau kamu malu bicaralah (bahwa kamu malu)


Nanti saya suruh orang untuk mentunangkan kamu
Representasi citra perasaan perempuan tersebut merupakan citraan mengenai
perempuan yang lemah. Perasaan malu yang bukan pada tempatnya telah membuka
peluang kepada orang tua untuk melakukan intervensi dalam kehidupan anaknya.
Dengan demikian, perempuan sudah saatnya untuk mengatakan apa yang mereka
pikirkan dan apa mereka rasakan tanpa rasa malu. Sikap tertutup dari si aku lirik
(perempuan) tersebut menyebabkan ia semakin terjebak dalam kehidupan, baik di
dalam keluarga maupun di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, keterbukaan merupakan sarana terjadinya dialog yang
dinamis (Giddens (2002: 107). Dengan dialog, perempuan dapat menyampaikan
seluruh pikiran dan perasaannya. Selanjutnya, dialog dapat menumbuhkan rasa
percaya diri bagi perempuan sehingga dialog merupakan solusi dalam pemberdayaan
perempuan.
Dalam teks III bait ke-39, perempuan direpresentasikan sebagai orang yang
mempunyai pikiran bahwa jodoh merupakan sebagai sesuatu yang tak dapat dicegah.
39. E te buri paka nte iguru
Pe.art.tulisan bukan art. diajarkan
E no-laha-laha ngkarama-no
Pe.3sR-cari-cari sendiri-3spos

Tulisan bukanlah sesuatu yang diajarkan


Dia akan mencari sendirinya
Pencitraan mengenai pikiran perempuan yang direpresentasikan pada bait ke-
39 teks III di atas merupakan pencitraan perempuan yang tunduk pada budaya
sehingga menerima konsep bahwa jodoh ada di tangan Tuhan. Dengan demikian,
banyak perempuan yang tidak dapat menghindar dari perjodohan yang dilakukan
orang tuanya.
Teks tersebut di atas, merupakan representasi pikiran dan perasaan
perempuan yang tidak memiliki kesempatan untuk mendengarkan dan mengikuti
pikiran dan kata hatinya. Inikah yang dipertanyakan oleh Abdullah (2001: 27)
mengapa perempuan mau dikalahkan atau mengapa perempuan mengalah?
Bukankah mengalah belum tentu kalah? Oleh karena itu, dalam konteks syair kaбanti
di atas, perlu juga dipertanyakan apakah perempuan tidak sanggup mencari jodoh
atau sengaja dicarikan?
Jika berpijak dari pertanyaan tentang mengapa perempuan mengalah atau
mengapa perempuan mau dijodohkan dalam syair kaбanti, dapat dipahami dari
10

pernyataan si aku lirik yang menyerahkan seluruh keputusan pada orang tuanya.
Kepasrahan tersebut bukan atas kesengajaan, sebagaimana yang dibicarakan oleh
Abdullah (2001: 27), melainkan keterpaksaan.
Di dalam bait yang lain, si aku lirik memiliki pikiran dan perasaan untuk
melupakan petunjuk atau keputusan yang diambil oleh orang tuanya.

T.III (46) E na бa'a nu-anse nu-laro


Pe.art. besar 2sR-ajakan 2sR-dalam
E ði ana mande aðari
Pe.KD anak sering menasihati

Besarnya ajakan hati


Pada anak yang sering memberi nasihati
(47) E te aðari angka wa ina
Pe.art. nasihat larangan PG ibu
E ði olo ku-molinga-ne-mo
Pe.di laut 1sR-lupa-3O-past.

Nasihat larangannya ibu


Di laut aku telah melupakannya
Bait ke-39 teks III di atas merupakan reprsentasi perempuan yang mau
dijodohkan oleh orang tuanya. Tetapi kepasrahan untuk dicarikan jodoh tersebut,
dihadapkan dengan pernyataan penyair pada bait ke-46 dan ke-47. Represeentasi
citra perempuan di atas telah melahirkan perbedaan sikap perempuan dalam hal
memilih jodoh. Di satu sisi, ia mau dijodohkan, tetapi di sisi yang lain, nasihat ibu
akan dilupakan begitu saja ketika telah berada di tengah lautan. Ini menunjukkan
bahwa perempuan mau dijodohkan ketika ia tidak memiliki kebebasan, tetapi
seandainya bebas (tengah laut) perempuan akan melupakan dan tidak mempedulikan
nasihat ibu (budayanya).
Citra pikiran perempuan dapat juga dilihat pada komitmennya untuk
menepati janji yang telah diucapkannya. Masyarakat Wakatobi memiliki pemahaman
bahwa utang dapat dibayar tetapi utang janji harus dibayar dengan tubuh dan jiwa.
Konsep inilah yang ada di dalam pikiran si aku lirik yang direpresentasikaan pada
teks III berikut.
41. E te ðosa ane nta-momea
Pe.art. utang ada 1pR--bayar
E te ðosa jandi nte orungu
Pe.art. utang janji art. badan

Utang masih bisa kita bayar


11

Utang janji adalah badan

Bait di atas, merupakan pencitraan pikiran perempuan mengenai adat dan


budayanya. Penyanyi (perempuan) juga mengungkapkan konsekuensi seadainya janji
(adat) itu dilanggar. Ini menunjukkan bahwa terjadi ketegangan antara pikiran untuk
bebas dari adat sekaligus ikatan adat yang masih membelenggu pikiran perempuan.
Mengacu pada kajian sastra feminis yang dikemukakan Ruthven (1990: 71),
solusi yang dapat ditawarkan untuk memperbaiki citra perempuan adalah (1)
perempuan harus memiliki kesadaran terhadap pontensi dirinya, (2) harus membuka
diri, (3) perempuan harus memiliki rasa percaya diri, (4) perempuan harus
mempunyai pengetahuan dan keterampilan. Dengan pencitraan yang meliputi
beberapa aspek tersebut, perempuan dapat mandiri baik secara ekonomi maupun
sosial sehingga menunjang kehidupan perempuan dalam keluarga dan masyarakat.
1.2. Citra Sosial Perempuan
1.2.1 Citra Perempuan dalam Keluarga
Di dalam keluarga, ibu berperan untuk membentuk seorang individu, ia
cukup dominan untuk membentuk karakter anak-anaknya. Peran dominan tersebut
disebabkan oleh adanya kedakatan emosional ibu terhadap anak-anaknya. Cinta
seorang ibu akan memberikan perngaruh yang besar dalam kehidupan anak-anaknya
(Cantor dan Bernay, 1998: 132-133). Dalam teks kaбanti, peran perempuan dalam
keluarga meliputi peran sebagai ibu rumah tangga, sebagai seorang anak, dan sebagai
tuan rumah.

3.2.1.1 Sebagai Ibu Rumah Tangga


Peran perempuan sebagai ibu rumah tangga merupakan peran perempuan
yang memiliki tangggung jawab ganda. Ia bertanggung jawab untuk tetap menjaga
keharmonisan keluarga di satu sisi dan di sisi yang lain perempuan harus
mempertahankan perannya di dunia publik (Santoso, 2001: 176-177). Sebagai ibu
rumah tangga, perempuan berperan untuk mendidik dan membesarkan anak-
anaknya, tetapi tidak sedikit peran perempuan sebagai ibu rumah tangga justru
memperkuat streotipe jender bagi anak-anaknya, banyak aktivitas-aktivitas dalam
keluarga yang justru mendukung lahirnya streotipe yang bias jender (Santoso, 2001:
177).
Di dalam teks kaбanti, peran perempuan sebagai ibu rumah tangga
direpresentasikan dalam bentuk aktivitas perempuan yang menidurkan anaknya.
Dalam perannya sebagai pewarat anak, perempuan didorong oleh naluri keibuannya
12

sehingga tetap menjalankan tugas itu dengan penuh ketulusan dan cinta. Representasi
citra perempuan sebagai ibu rumah tangga di dalam teks kaбanti, diekspresikan
dalam beberapa syair kaбanti berikut. /E bue-bue wamparo ðia/ ‘ayun-ayun moga ia
tertidur lelap’, /E kuбangune maka no-бangu/, ‘kubangunkan baru ia terbangun’ (T.I:
1). Teks I bait pertama tersebut merupakan ekspresi perempuan dalam menidurkan
anaknya. Sedangkan pada teks II dan III, ibu di samping bertugas untuk menidurkan
anaknya, ia juga memberikan impian pada anaknya. Hal tersebut terlihat dalam syair:
/E bue-bue бangka nu sera/ ‘ayun-ayu perahunya Seram’, /E mbali бata
nangkokombuno/ ‘tiangnya menjadi batang’.
Pada bait yang lain, perempuan juga berperan sebagai orang tua, merawat,
dan membesarkan anak-anaknya, seperti kutipan teks berikut: /E wa ina buntu nohoti
ði kaburi nangkombitia/ ‘ibu hanya memberi makan’, /E ði kaburi nangkombitia/
‘pada jodoh tempat memelihara (T.I: 4). Adapun dalam hal pengambilan keputusan
untuk mencari jodoh, campur tangan orang tua (ibu) harus dibatasi.
Harapan si aku lirik dalam syair kaбanti tersebut tentunya memiliki
kesejajaran dengan perempuan sebagai penyanyi, yaitu Wa Yai. Penyanyi menyadari
bahwa ia hanya berkewajiban untuk membesarkan anak-anaknya, tetapi ia juga harus
memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk berpikir guna mendapatkan
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan hidupnya di masa depan. Hal
tersebut dapat dilihat pada syair: /E wa ina anengkomoha’a/ ‘ibu, apa yang kamu
dapat perbuat’, /E ara kumala ntelarosu/ ‘kalau aku mengikuti kata hatiku’(T.I: 5).
Dalam teks II, citra perempuan direpresentasikan sebagai ibu rumah tangga
yang menidurkan anaknya sekaligus perempuan yang mau masuk hutan (bekerja).
Dengan demikian, sebagai ibu rumah tangga, perempuan Wakatobi memiliki fungsi
ganda, yaitu sebagai perawat anak dan sebagai pekerja. Pencitraan perempuan
tersebut dapat dilihat dalam teks II bait, 32 berikut.
32. E mbula-no ku-mempo’oli-mo
Pe.untung-3spos.1sR-kuat-past
E ku-rongo kene ngku-turumba
Pe. 1sR-rongo dan 1sR-menjunjung

Untungnya aku sudah kuat


Kurongo dan kumenjunjung
Oleh karena itu, untuk mencitrakan perempuan sebagai ibu rumah tangga,
perempuan mestinya dicitrakan seperti perempuan yang memiliki tanggung jawab
dalam kehidupan rumah tangga terutama pada keselamatan suami saat keluar rumah
dan bertanggung jawab atas kesejahteraan keluargra (Schoorl, 2003: 221). Pencitraan
13

perempuan selama ini telah melahirkan hilangnya peran perempuan di dalam


keluarga dan masyarakat (Fine & Leopold, 1993: 210 dalam Abdullah, 2001: 40).
Banyak perempuan yang tidak berdaya dalam kehidupan keluarga dan masyarakat
hanya karena streotipe yang selama ini dibangun, yakni perempuan hanyalah perawat
anak.

1.2.1.2 Sebagai Anak


Dalam perannya sebagai anak, tidak sedikit perempuan yang tidak beruntung
karena terlahir pada keluarga miskin, bodoh dan berantakan. Seorang anak yang
hidup dalam kelurga tradisional yang didominasi patriarki akan mendapatkan proses
degradasi mental sehingga anak tidak dapat mengaktualisasikan potensi dirinya
(Cantor dan Bernay, 1998: 351-352). Anak dapat berperan dengan baik dalam
keluarga dan masyarakat di masa depan apabila ia mendapatkan dukungan keluarga,
ia besar dalam cinta dan kasih sayang.
Peran perempuan sebagai orang tua di dalam teks I bait 5 memperlihatkan
adanya perubahan peran orang tua dalam keluarga tradisional yang membelenggu
anak-anaknya, menuju keluarga modern yang demokratis. Pada keluarga tradisional,
seorang anak berada di bawah pengaruh orang tua. Sedangkan pada kelurga modern
sudah terjadi demokratisasi di dalam keluarga (bdk. Anthony Giddens (2002: 107).
Dengan demikian, pengambilan keputusan bukan lagi dalam bentuk dominasi orang
tua, melainkan diambil dari hasil komunikasi yang dilakukan oleh anggota keluarga,
termasuk anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Peran perempuan sebagai anak, kembali dipertegas oleh Wa Yai dalam teks I
pada bait ke-74 dan ke-75, yaitu dialog antara anak dan orang tua. Pada kedua bait
tersebut tampak bahwa si aku lirik akan berselisih dengan ibunya dalam hal
perbedaan perasaan. Si aku lirik akan memilih laki-laki pilihan hatinya.
74. E wa ina ta-mogagai-mo
Pe.PG ibu 1pR--berselisih-past
E ta-miti-mo sampoilu’a
Pe.1pR--beda-past kesukaan

Ibu, kita akan berselisih


Kita akan berbeda pilihan
75. E wa ina ara nto-molengo
Pe.PG ibu kalau 1pR--lama
E ku-numangka-mo te mata-su
Pe.1sR-ikut-past art mata-1spos

Ibu, kalau kita lama


14

Saya akan mengikuti pilihan mataku


76. E wa ina ane ngko-mohaa’a
Pe.PG ibu bisa 2sR-buat apa
E ara ku-mala nte laro-su
Pe.kalau 1sR-pilih art. dalam-1spos

Ibu, kamu bisa berbuat apa


Kalau saya mengikuti dalamku
Seorang anak yang direpresentasikan dalam teks kaбanti di atas, adalah
seorang anak yang mandiri dan bebas, yang dapat mengambil keputusan untuk
dirinya. Pada akhir teks, penyanyi mengemukakan konsep mengenai kebebasan
dengan mengatakan bahwa jangan memaksakan diri jika tidak dengan perasaanmu.
Konsep ini merupakan bentuk ekspresi perempuan dalam keluarga ketika berhadapan
dengan anggota keluarganya, misalnya keluarga dari pihak laki-laki. Hal tersebut
dapat dilihat pada syair: /бara nuala mpakisa/ ‘jangan kamu ambil secara paksa’,
/ara paka ngkenamisi’u/ ‘kalau tidak dengan perasaanmu’.
Peran perempuan di dalam keluarga antara satu teks dengan teks lainnya
memperlihatkan adanya perbedaan. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan latar
belakang dan pengalaman hidup penyanyi. Dalam teks I yang membudayakan dialog
di dalam keluarga telah merepresentasikan citra perempuan yang lebih berdaya dan
dinamis, sedangkan di dalam teks II dan III perempuan dicitrakan sebagai perempuan
yang hanya pasrah dengan kehidupannya. Mereka menerima keinginan keluarga
tanpa perlawanan dan menganggapnya sebagai suatu keharusan. Pada teks III, si aku
lirik (perempuan sebagai anak) menyerahkan seluruh keputusannya pada keluarga,
termasuk memilih jodoh. Hal itu disebabkan oleh penyanyi (Wa Bedja) adalah
perempuan yang hidup dalam budaya masyarakat ‘ode’ yang masih didominasi oleh
budaya patriarki. Beberapa ekspresi pikiran perempuan yang direpresentasikan di
dalam teks III tersebut dapat dilihat dalam beberapa bait berikut.
38. Wa ina ðiumpa-umpa-mo?
Pe.PG ibu dimana-mana-past.
E na kaburi-su na iaku
Pe.art. jodoh-1spos art. aku

Ibu, dimanakah?
Jodohku
39. E te buri paka nte iguru
Pe.art.jodoh bukan art. diajarkan
E no-laha-laha ngkarama-no
Pe.3sR-cari-cari sendiri-3spos
15

Jodoh bukanlah yang diajarkan


Dia akan mencari sendirinya
Di samping itu, di dalam teks III citra perempuan sebagai seorang anak
direpresentasikan sebagai anak yang mewarisi kemiskinan orang tuanya.
4. E ku-бumanti-бanti ma’asi
Pe.1sIR-(akan)menyanyi-nyanyi kasihan
E no-moni’asi na ina-su
Pe.3sR-miskin art. ibu-1spos

Saya akan menyanyi-nyanyi kasihan


Karena ibuku orang miskin
5. E no-moni’asi na ina-su
Pe.3sR-miskin art. ibu-1spos
E ta’amo бara ngke ikami
Pe.semoga tidak lagi dengan kami

Ibuku orang miskin


Semoga tidak lagi dengan kami
Pemikiran seorang anak perempuan untuk tidak lagi mewarisi kemiskinan
orang tuanya tersebut merupakan salah satu pencitraan perempuan yang sudah
berpikir untuk mandiri. Sehubungan dengan itu, Sasono (1987: 40) mengatakan
bahwa kemiskinan rakyat Indonesia bukan karena persoalan lapangan kerja semata,
melainkan kemiskinan yang terjadi secara kultural. Ia juga menambahkan bahwa
secara umum masyarakat Indonesia tidak memiliki faktor-faktor kultural yang
dinamis.
Dengan demikian, citra perempuan yang direpresentasekan dalam teks
kaбanti di atas merupakan faktor internal dari kebangkitan kultural yang disuarakan
oleh perempuan. Perempuan sebagai penyanyi kaбanti telah menyadari akan adanya
bahaya kemiskinan. Oleh kerena itu, kesadaran-kesadaran perempuan sebagaimana
direpresenatasikan di atas bukan hanya ditujukan kepada kaum perempuan,
melainkan ditujukan pula kepada laki-laki dan seluruh warga negara. Kesadaran yang
terlahir dari hati rakyat itulah yang akan dapat membantu kebangkitan ekonomi
bangsa ini. Sehubungan dengan kemiskinan tersebut, citra perempuan sebagai anak
direpresentasikan sebagai anak yang mau mengubah kemiskinan ibunya dengan cara
berjualan. Hal tersebut dapat dilihat pada syair: /E Wa ina бalu te tape’a/ ‘ibu,
belilah tapis’ /E ako te lelenako-‘asu/ ‘untuk tempatku menjual’
Sebagai anak, perempuan juga direpresentasikan sebagai orang yang
dieksploitasi sejak masih kecil. Hal tersebut dapat dilihat pada teks III bait ke-47 dan
48 berikut.
16

47. E ka’asi Wa Kalemo-lemo


Pe. kasihan Wa Kalemo-lemo
E wa ku-mekarunga-runga-ngko-mo
Pe. PG 1sIR-memetik muda-2spos-past

Kasihan Wa Kalemo-lemo2
Aku sudah akan memetikmu di saat kamu masih muda
48. E wa ina na runga-runga-su
Pe. PG ibu art. muda-1spos
E te susa ku-ðumpali-ne-mo
Pe. art. susah 1sR-jumpai-3spos.-past

Ibu, aku betapa aku masih muda


Tapi susah aku telah jumpai

Representasi perempuan tersebut sekaligus protes perempuan sebagai anak


atas sikap masyarakat yang selalu memaksa mereka untuk menikah pada usia dini.
Selain itu, dalam teks kaбanti perempuan juga direpresentasikan sebagai anak tiri.
Dalam perannya sebagai anak tiri, si aku lirik memprotes sikap ibunya yang
membeda-bedakan dirinya, karena ia hanyalah seorang anak tiri. /E te wa ina
nontiða naku/ ‘ibu membedakan aku’, /E mbula kuana ngkoinako/ ‘karena aku
anak mantu’ (T.I: 71). Citra perempuan yang direpresentasikan itu merupakan cara
pandang si aku lirik dalam perannya sebagai anak tiri yang menuntuk keadilan atas
sikap ibu tirinya.
Dengan demikian, citra anak perempuan dalam teks kaбant adalah: (1) anak
yang mampu mengatakan keinginannya, (2) anak yang tidak dapat mengatakan
pikirannya, dan (3) anak yang melakukan protes atas budaya masyarakatnya.

1.2.1.3 Sebagai Tuan Rumah


Dalam perannya sebagai tuan rumah, perempuan Wakatobi memandang
pendatang sebagai tamu yang harus dihormati sekaligus sebagai orang yang harus
diwaspadai. Dalam teks I kaбanti direpresentasikan pandangan si aku lirik atas
‘dhaga’ ‘pendatang’ sebagai tamu yang harus dihargai. /E teðaga toðamba akone/
‘pendatang kita sajikan (layani)’, /E ðako nomelalo-melalo/ ‘supaya ia sering lewat’.
Bait di atas merepresentasikan strategi perempuan untuk mengikat hati tamunya
dengan harapan agar pendatang (tamu) itu sering datang. Akan tetapi, di satu sisi,
perempuan Wakatobi mempunyai kewaspadaan terhadap tamunya. Hal ini dapat
dilihat pada syair: /E teðaga atu nte kokaбi/ ‘pendatang itu adalah matakail’, /E

2
tumbuhan di pinggir pantai yang biasanya digunakan para nelayan untuk tempat berteduh
17

sasampino ði ntogonomo/ ‘sekalinya putus langsung di daerahnya. Ini menunjukkan


bahwa sebagai tuan rumah, perempuan harus tetap waspada pada tamu-tamunya.
Karena pendatang, sewaktu-waktu akan pergi dan tak akan pernah kembali.
Sebagai tuan rumah juga mengharapkan tentang kenang-kenangan dari
pendatang (tamu), dalam bait yang lain, penyanyi kaбanti merepresentasikan harapan
perempuan sebagai tuan rumah sebagai berikut. /E te laðaga ara nolangkemo/ ‘kalau
pendatang sudah berlayar (pulang)’/E takone nggala nte handu‘u/ ‘simpanlah walau
hanya handukmu’. Suatu pengharapan yang disampaikan pada pendatang (tamunya).
Dalam masyarakat Wakatobi, jika seorang laki-laki menyimpan baju atau apa
saja dari tubuhnya di rumah seorang perempuan maka dapat dimaknai bahwa laki-
laki tersebut telah melabuhkan cintanya pada perempuan itu. Oleh karena itulah pada
teks di atas, perempuan berharap bahwa kalau pendatang (laki-laki) itu sudah
berangkat, maka permintaannya adalah tinggalkan sesuatu walaupun hanya dalam
bentuk selembar baju. Pengharapan perempuan tersebut sekaligus harapan untuk
memilih pendatang (ðaga) sebagai pasangan hidupnya. Hal ini dapat dilihat pada
syair: /E kulumangke ðaga wa ina/ ‘ibu, saya akan berlayar seperti pendatang’, /E
kulumalo naбarangkasu/ ‘saya akan melewati tanah kelahiranku’ (T.I: 37-40).
Dengan demikian, kaбanti sebagai pengantar tidur juga mengajarkan tata nilai
bagi anak-anaknya. Perempuan bukan saja menidurkan anaknya tetapi lebih dari itu,
mereka mendidik anak dengan akhlak dan moral. Anak-anak dididik untuk menjadi
tuan rumah yang santun dan ramah sekaligus tetap waspada terhadap tamu.

1.2.2 Citra Perempuan dalam Masyarakat


1.2.2.1 Hubungan Antarpribadi
Dalam teks kaбanti, hubungan antrapribadi dapat dilihat dari hubungan tokoh
si aku lirik dengan tokoh-tokoh lainnya. Beberapa bait kaбanti yang
merepresentasikan hubungan antarpribadi adalah sebagai berikut.
T.I 2. E wa ina, pia bue naku
Pe. PG-ibu hati-hati ayun saya
E no-lembe na parangkai-su
Pe.3sR-tidak kuat art. pegangan-1spos.

Ibu, hati-hatilah mengayunku


Tidak kuat peganganku
3. E wa ina, alimo ka’asi!
Pe.PG-ibu jangan kasihan
E aneðo papongke morunga
Pe. masih papongke muda.
18

Ibu, jangan kasihan!


Masih papongke3 muda
Dalam teks kaбanti di atas, hubungan antarpribadi direpresentasikan dalam
bentuk hubungan antara tokoh ibu dan si aku lirik, sebagai orang tua dan anak. Dari
hubungan tersebut, terlihat bahwa si aku lirik meminta untuk disayang, meminta
kelembutan dari ibunya. Dalam dialog tersebut, masih terlihat hubungan yang tidak
imbang antara ibu dan anak. Anak dicitrakan sebagai pihak yang memohon,
walaupun permohonan tersebut merupakan gejala dialog antara keduanya. Walau
demikian, pada bait-bait selanjutnya, dialog tersebut telah memperlihatkan proses
dinamisasi yang berdialetika antara dua kepentingan.
Jika pada bait ke-2 dan ke-3 di atas, si aku lirik bermohon kepada tokoh ibu,
maka pada bait ke-5 teks I si aku lirik memperlihatkan kemandirian dirinya.
5. E wa ina ane ngko-moha’a?
Pe.PG-ibu bisa 2sIR-berbuat apa
E ara ku-mala nte laro-su
Pe. kalau 1sIR-ambil art. hati-1spos.

Ibu, apa yang bisa kamu perbuat?


Kalau saya mengikuti kata hatiku
Dengan adanya hubungan yang seimbang tersebut, menunjukkan bahwa
perempuan di dalam teks kaбanti telah memiliki kemampuan berkomunikasi dengan
mengeksplorasi seluruh potensi dirinya. Bahkan dalam dialog tersebut terlihat
adanya arogansi si aku lirik dalam dialog tersebut. Ini menunjukan bahwa dalam
hubungan antrapribadi terlihat sikap egois dari si aku lirik yang tidak
mempertimbangkan perasaan ibunya.
Selanjutnya, hubungan antarpribadi perempuan di dalam teks kaбanti
dilakukan oleh si aku lirik dengan tokoh-tokoh yang lainnya, misalnya hubungannya
dengan tokoh Wa Male, Wa Mondo, Wa Kalemo-Lemo, dan Wa Kumoni-ngkoni.
Dalam teks II, hubungan antarpribadi juga terjadi antara tokoh ibu dan si aku
lirik, sebagai ibu dan anaknya. Hal ini dapat dilihat pada bait ke-3 berikut. /E Wa ina
na moni’asi-nto/ ‘ibu betapa kasihannya kita’ /E te kambose to-popengka-ne/ ‘biji
jagung rebuspun kita harus berbagi. Hubungan tersebut merupakan representasi citra
perempuan dalam perannya sebagai pribadi di dalam masyarakat. Kemiskinannya
bukan menjadi halangan untuk membantu orang lain.

3
Papongke : jarak
19

Selanjutnya hubungan antarpribadi dalam teks II adalah hubungan antara si


aku lirik dengan Wa Ndiole. Dalam hubungan ini direpresentasikan tanggapan si aku
lirik terhadap Wa Ndiole yang dikiaskan sebagai bunga yang dipetik muda (bait ke-
7). Tanggapan tersebut merupakan representasi tanggapan si aku lirik sebagai pribadi
kepada budaya dan masyarakatnya yang mempunyai kebiasaan mengawinkan anak
gadisnya pada usia dini. Hal tersebut dapat dilihat dalam teks II bait ke-7 dan ke-8
berikut.
7 E kalawu-no na-ngkaðima-no
Pe. Kalawu 3spos. 3sIR-kadima-3spos.
E na kamba ði timpo morunga
Pe. art bunga dipetik muda

Sayangnya dan sangat disanyangkan


Bunga yang dipetik muda
8 E ka’asi mbula Wa Ndi’ole
Pe. kasihan biar PG Ndi’ole
E na metimbawa nsapaira
Pe. art memikul beban seberapa

Kasihannya Wa Ndi’ole4
Seberapa besar beban yang ia mampu pikul
Sedangkan di dalam teks III, bait-bait yang merepresentasikan hubungan
antarpribadi antara lain adalah hubungan antara tokoh ibu dan si aku lirik yang
bersifat dialogis, yakni dialog antara ibu dan anak. Sebagai seorang anak, si aku lirik
meminta kepada ibunya agar barang yang mereka miliki diberikan saja pada orang
lain. Hal tersebut dapat dilihat pada syair: /E Wa ina akoðo te mia/ ‘ibu, untuk
orang dulu’ /E ikita la’a ntololaha/ ‘untuk kita nanti dicari’. Dengan demikian,
hubungan ibu dan anak itu terjadi dalam suasana yang harmonis. Dialog merupakan
sarana diskusi yang dapat membawa anggota keluarga pada penyelesaian masalah ke
arah yang demokratis.

1.2.2.2 Hubungan Pribadi dengan Masyarakat


Dalam teks I kaбanti direpresentasikan beberapa hubungan perempuan
(pribadi) dengan lingkungan sosialnya. Si aku lirik mempertanyakan keadaan
kampung yang tidak akur dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka sudah segan
dalam pergaulan dan tidak ada lagi keterbukaan, seperti tampak pada bait-bait teks I
berikut.

4
perempuan yang tegar
20

11. E na бoha-nto salimbo


Pe.art. berat-3ppos. sekampung
E te paira na nsababu-no
Pe.art. apa art. sebab-3spos.

Beratnya kita sekampung


Apa yang menjadi penyebabnya
12. E sababu te mingku paira?
Pe. sebab art. sikap apa
E ðimai-no kua iaku
Pe.datang-3spos. bagi saya

Sikap apa yang menjadi penyebabnya?


Yang datangnya dariku
13. E no-mingku toumpa namia?
Pe.3sR-sikap bagaimana orang?
E no-awane na ngkakoбea
Pe.3sR-dapatkan art. kebenaran

Bagaimana sikapnya orang?


Mereka mendapatkan kebenaran
Dalam tiga bait kaбanti di atas tampak adanya kearifan lokal yang dilakukan
si aku lirik dalam menanggapi masalah dalam lingkungan sosialnya. Hal ini terlihat
dari sikapnya yang terlebih dahulu mengintrospeksi diri sebelum menyoroti masalah-
masalah dalam lingkungan sosialnya. Pada bait ke-12, si aku lirik mempertanyakan
kondisi sosial yang tidak lagi akur tersebut dengan menghubungkannya dengan
keberadaan dirinya.
Sementara itu, pada bait ke-13, si aku lirik mempertanyakan sikap orang lain
yang mendapatkan pengakuan masyarakat atas tindakannya. Ia mempertanyakan
tindakan yang diambil anggota masyarakat di dalam lingkungan kehidupannya.
Pertanyaan tersebut merupakan wujud keterbukaan perempuan dalam menanggapi
kehidupan di dalam masyarakat.
Pada bait lain, si aku lirik melakukan pemberontakan terhadap masyarakat
atau budayanya. Ia merespons larangan ibunya untuk memilih laki-laki pilihannya
dengan mengatakan bahwa kalau hanya tinggal ibu yang tidak setuju, nanti dapat
dibujuk dengan gambir. Dengan demikian, ada respons yang mengarah kepada
tindakan sogok atau rayuan sebagai upaya untuk membebaskan diri dari kungkungan
adat dan budayanya. Si aku lirik berpikir untuk melakukan negosiasi agar
keinginannya dapat disetujui oleh ibunya. Hal tersebut dapat dilihat pada syair: /E
21

nggala te panganta wa ina/ ‘kalau hanya tinggal ibu yang tidak suka’ /E to-hoja-ne
te ntagambiri/ ‘kita rayu dengan menggunakan gambir’.
Citra perempuan dalam masyarakat juga direpresentasikan dalam bentuk
pernyataan perempuan tentang kesamaan hak dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
teks I dikatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan sama dalam hal memilih
jodoh. Si aku lirik mengekspresikan hal ini dengan mengatakan bahwa memaksa
seseorang untuk mencintai orang yang tidak dicintainya sama dengan melarang
seseorang untuk tidak mencintai orang yang dicintainya. Hal ini dapat dilihat dalam
syair: /E wa ina buntu no-pokana/ ‘ibu hanya sama’ /E na poilu kene panganta/
‘antara suka dan tidak suka’.
Protes perempuan dalam teks kaбanti di atas merupakan citraan mengenai
peran sosial perempuan di dalam masyarakat. Penyanyi (perempuan) telah
menciptakan tanda-tanda (semiotik) yang dapat merepresentasikan perempuan yang
bebas dan setara dengan laki-laki. Dengan demikian, terdapat keinginan perempuan
Wakatobi untuk dihargai sebagai mahluk yang mandiri dan tidak terkekang oleh adat
dan budaya.
Pada teks II, si aku lirik menanggapi adanya tukang gosip yang dapat
membahayakan kehidupan bermasyarakat. Menghadapi tukang gosip tersebut, si aku
lirik meresponsnya melalui syair: /E kambea siða nte homali/ ‘ternyata betul sebuah
larangan’ /E na бawa-бawa mpotae’a/ ‘kalau (kita) menjadi tukang gosib’. Dengan
demikian, penyanyi telah mencitrakan perempuan sebagai perempuan yang memiliki
berperan sosial di dalam masyarakat. Peran sosial perempuan tersebut dapat
mengurangi ketegangan sosial yang disebabkan oleh para penggosib. Menanggapi
hal tersebut, penyanyi (perempuan) menganggapnya sebagai sesuatu yang berbahaya.
Di dalam teks II, si aku lirik memberikan tanggapan pada seorang perempuan
yang baik hati. Budi baik tidak akan dilupakan sampai kapan pun. Dengan demikian,
teks kaбanti di atas merepresentasikan suatu ajaran moral. Hal tersebut dapat dilihat
pada syair: /E ka’asi na wa Mele Laro/ ‘kasihannya Wa Mele Laro5’ /E ta-lumingane
toumpa-mo/ ‘bagaimana kita akan lupakannya’.
Pada aspek yang lain, si aku lirik merespon kehidupan masyarakat Mandati
yang sulit dipercaya. Tanggapan si aku lirik yang direpresentasikan dalam teks
kaбanti. Ungkapan tersebut terlihat pada syair: /E kambea te gau Mandati/ ‘padahal
bahasa Mandati’ /E na-ðiposale-nsale-nako/ ‘orang yang disaling ajak-mengajakan’.

5
perempuan yang senang menyapa tamunya dengan hangat
22

Bait kaбanti di atas, merupakan tanggapan atas kebohongan yang dijadikan


sebagai suatu kebenaran bersama. Dalam masyarakat Wangi-Wangi dan Wakatobi
pada umumnya terdapat ingatan kolektif atas sikap masyarakat Mandati dalam
menjalani kehidupan. Jika orang Mandati melerai orang yang berkelahi, maka akan
berkata ‘Handa’e kaolo kai’ ‘cepat jangan’, ungkapan-ungkapan seperti ini sekaligus
menjadi ciri khas orang Mandati dalam menangani masalah. Masyarakat Wangi-
Wangi mengenal istilah ‘angku-angku Mandati’ , ‘melarai ala orang Mandati’ untuk
tindakan yang tidak adil dalam penyelesaian masalah.
Kritik sosial yang sehubungan dengan kehidupan sosial masyarakatnya
adalah tanggapannya mengenai masyarakat yang pendendam. Si aku lirik berupaya
untuk menghilangkan rasa dendam tersebut dengan menghaluskan jiwa. Hal ini dapat
dilihat pada syair: /E Wa Laro ku-sonde’angko-ðo/, ‘Wa Laro ku-sonde’a6 kamu’,
/E бara ako nu-marasangka/ ‘jangan sampai kamu tersangkut-sangkut’ (T.II: 27).
Pada teks III, perempuan direpresentasikan sebagai perempuan yang memiliki
pandangan tentang moral. Si aku lirik lebih mementingkan akhlak daripada harta.
Hal itu dapat dilihat pada syair:

42. E iomo-iomo na toбa


Pe.jangan-jangan art. toбa7
E sulano te poroka nako
Pe.yang penting art. saling kagetkan KT

Tidak perlu toбa


Yang penting saling kagetkan (menyapa)
43. E Wa Ema бara ðimente
Pe.PG Ema jangan kaget
E la’a ko-hena-henai
Pe.nanti 1pR-belajar

Wa Ema8 jangan kaget


Nanti kami belajar
Pada bait ke-42 teks III di atas, si aku lirik merespons kehidupan sosial yang
sudah mengarah kepada kehidupan materialistis yang individual. Sikap masyarakat

6
tempat pembersihan benang tradisional sebelum dijadikan kain. Biasanya lakukan dengan cara merendam
kapas yang sudah dipintal. Untuk mendapatkan kain yang halus, maka kain harus disonde. Bahan sonde adalah
ubi kayu yang dicincang kemudian direbus lalu diambil sebagai pelicin/penghalus benang yang bentang.
7
toбa: (1) tempat penyimpanan barang berharga buat keluarga; (2) tempat mendudukkan seluruh proses adat
dalam masyarakat Wakatobi; (3) tempat rokok untuk orang-orang tua.
8
Ema adalah orang yang suka menyapa orang lain.
23

yang berubah tersebut menjadi pertanyaan si aku lirik. Karena dalam kehidupan
sosial masyarakat dewasa ini telah banyak mengalami pergeseran, bahkan sudah
saling mencurigai, maka si aku lirik mengatakan bahwa kalaupun keadaan sudah
tidak lagi akur, jangan dianggap sebagai sesuatu yang salah, tetapi harus dipahami
sebagai suatu proses.
Sehubungan dengan persoalan pendidikan, citra perempuan dalam teks
kaбanti direpresentasikan dalam hubungannya dengan pertimbangan memilih jodoh,
/E mou ane nambena-mbena/, ‘walau ada yang mengkilat’, /E kumetao lansumikola/
‘aku menunggu (laki-laki) yang sekolah’. Dalam persoalan memilih jodoh,
pertimbangan utama bagi orang tua adalah laki-laki dan yang mempunyai
pendidikan. Dalam teks kaбanti di atas, orang tua (yang diwakili ibu) mempunyai
keinginan untuk mempunyai seorang menantu yang berpendidikan. Harta menjadi
alternatif pilihan kedua.
1.3 Ideologi yang Membentuk Teks-Teks Kaбanti
Untuk melihat ideologi di balik representasi-representasi citra perempuan
sebagaimana disebutkan di atas, berikut ini akan diuraikan mengenai ideologi yang
membentuk teks-teks kaбanti yang meliputi; (1) bidang ekonomi, (2) bidang sosial
budaya, (3) bidang pendidikan, dan (4) dan bidang spritual.

1.3.1 Bidang Ekonomi


Ideologi yang membentuk citra perempuan dalam teks-teks kaбanti yang
berkaitan dengan aktivitas ekonomi adalah pengaruh kemiskinan yang telah terjadi
secara turun-temurun. Ideologi itu juga dipengaruhi oleh keinginan untuk tetap eksis
di atas daratan tandus kepulauan Wakatobi. Untuk itu, perempuan Wakatobi turut
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi keluarganya dengan cara berjualan,
kerja di kebun, mengikuti pendidikan, serta beberapa usaha lain untuk memiliki
kekuasaan pada beberapa aspek ekonomi, misalnya membuka industri rumah tangga,
dan sebagainya. (bdk. Abdullah, 2001: 111-112).
Dalam aktivitas sebagai pedagang, keterlibatan perempuan dalam aspek
ekonomi, khususnya jual beli telah memperlihatkan adanya dominasi perempuan
dalam proses tawar-menawar barang. Di samping itu, mereka juga terlihat sabar,
teliti, ulet, dan mampu memberikan pelayanan yang menarik pembeli.
Keterlibatan perempuan dalam dunia bisnis atau dunia kerja membuat
perempuan Wakatobi dewasa ini bukan saja membuat mereka terbebas tetapi juga
menciptakan suatu kondisi dimana laki-laki dapat merasakan bagaimana merawat
24

anak dan menjaga toko yang ditinggalkan. Kondisi ini membantu pemahaman dan
kesadaran kedua belah pihak dalam menghadapi hari-hari mereka. Laki-laki akan
memahami tanggung jawab sebagai perawat anak, dan perempuan akan memahami
dunia luar. Mereka akan saling memahami atas peranan mereka masing-masing.
Lebih jauh perempuan akan memiliki akses dalam pengambilan keputusan ekonomi
keluarga.

1.3.2 Bidang Sosial-Budaya


Ideologi yang membentuk representasi citra perempuan dalam teks kaбanti
yang berkaitan dengan sosial budaya masyarakat adalah pandangan masyarakat
Wakatobi tentang kehidupan berumah tangga. Ibu sebagai representasi perempuan,
dibebani tugas sebagai perawat dan pendidik bagi anak-anaknya. Di samping itu, ia
juga terlibat sebagai pekerja. Akan tetapi, perempuan dalam kapasitasnya sebagai
anak direpresentasikan sebagai orang yang penurut pada pilihan orang tuanya
sebagai hasil konstruksi budaya. Sedangkan pada syair yang lain, ia juga
direpresentasikan sebagai orang berusaha untuk memberontak dari budayanya.
Sebagai perawat dan pendidik anak, ibu telah dikonstruksi oleh keadaan
sosial budaya masyarakat wakatobi yang bersifat patriarki. Menurut pandangan ini,
orang yang berhak melanjutkan keturunan adalah anak laki-laki. Oleh karena itulah,
masyarakat Wakatobi dan Buton secara umum akan lebih memilih dititiskan sebagai
laki-laki (Schoorl, 2003: 229).
Konstruksi sosial budaya yang mencitrakan perempuan sebagai pekerja
disebabkan oleh kondisi alam yang tandus. Kondisi ini mendorong perempuan dalam
masyarakat Wakatobi untuk tetap bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya.
Ideologi yang membentuk citra perempuan dalam kaбanti sebagai anak yang
penurut adalah adanya budaya “ode” dalam masyarakat Wakatobi yang menganggap
bahwa anak harus berbakti kepada orang tua. Budaya ini mengkonstruksi pikiran
anak bahwa bila ia tidak berbakti kepada orang tua maka ia akan kena bala
(kutukan). Sementara citra perempuan sebagai anak yang memberontak dipengaruhi
oleh adanya perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya sebagai akibat dari kontak
budaya yang dilakukan oleh masyarakat Wakatobi.

1.3.3 Bidang Pendidikan


Sebagai ibu rumah tangga, perempuan direpresentasikan sebagai perawan dan
pendidik bagi anak-anaknya. Sebagai pendidik, perempuan memberikan suatu
impian kepada anak-anaknya. Sedangkan di dalam kehidupan masyarakat perempuan
25

direpresentasikan sebagai perempuan yang mempunyai pandangan untuk memilih


laki-laki yang berpendidikan untuk menjadi jodohnya.
Representasi perempuan tersebut di atas merupakan refleksi dari adanya
perubahan orientasi hidup masyarakat. Saat ini, masyarakat Wakatobi dan dunia pada
umumnya memiliki pemahaman bahwa pendidikanlah yang banyak berpengaruh
dalam meningkatkan harkat dan martabat kehidupan seseorang, termasuk
perempuan.
Perubahan orientasi sosial masyarakat Wakatobi yang lebih memilih laki-laki
atau perempuan yang berpendidikan dari pada laki-laki yang berdagang atau polisi
dan tentara, karena adanya realitas di dalam masyarakat Wakatobi dewasa ini bahwa
yang menguasai perekonomian adalah pendatang baru yang berlatar belakang
sarjana. Mereka yang tidak berpendidikan pelan-pelan mulai tergusur, terhempas
oleh persaingan yang semakin ketat. Hal ini disebabkan oleh semakian tingginya
persaingan dalam kehidupan masyarakat, serta realitas yang menuntut penguasaan
teknologi yang semakin canggih.
Asalasan selanjutnya adalah munculnya anak-anak muda Wakatobi yang
berasal dari keluarga miskin dan berjuang untuk melanjutkan pendidikan telah
membuka mata masyarakat Wakatobi bahwa pendidikan bukanlah milik orang kaya
saja. Kehadiran anak-anak muda yang berpendidikan ini telah mendorong terjadinya
perubahan kesejahteraan keluarganya. Prestise-prestise dan adanya dorongan
ekonomi dan teknologi itulah yang membuat orientasi masyarakat Wakatobi berubah
dari orientasi ekonomi ke pendidikan.

1.3.4 Bidang Politik


Ideologi yang membentuk citra perempuan dalam teks-teks kaбanti yang
berkaitan dengan bidang politik adalah perempuan yang mampu dan tidak mampu
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.
Pencitraan perempuan dalam teks-teks kaбanti sebagai orang yang mampu
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dipengaruhi oleh beberapa hal-hal yang
bersifat politis yang ada dalam masyarakat. Hal-hal tersebut berkaitan dengan
keberadaan perempuan sebagai berikut: (i) perempuan yang terbuka (open-minded),
(ii) perempuan yang memiliki pemahaman tentang pendidikan, dan (iii) perempuan
yang memiliki kemampuan ekonomi.
Sedangkan pencitraan perempuan dalam teks kaбanti sebagai orang yang
tidak mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dipengaruhi kondisi politik
yang ada dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai: (i) perempuan
26

yang tidak mampu mengungkapkan pikirannya, (ii) perempuan yang tidak


mempunyai wawasan yang luas, dan (iii) perempuan yang mempunyai
ketergantungan secara ekonomi (miskin).

1.3.5 Bidang Spritual


Ideologi yang membentuk citra perempuan dalam teks-teks kaбanti yang
berkaitan dengan keadaan spiritual adalah pengaruh faham Islam yang masih
bercampur dengan kebudayaan masyarakat sebelum Islam masuk ke daerah Buton,
khususnya ke daerah Wakatobi. Dalam faham tersebut, perempuan diberi tanggung
jawab untuk menjaga keselamatan suami dan keluarganya di saat suami berada di
luar rumah. Hal tersebut dilakukan melalui proses amala (meditasi) dengan
menggunakan ilmu-ilmu kebatinan. Oleh karena itu, perempuan Wakatobi sebelum
menikah diajari tentang ilmu-ilmu tersebut melalui proses sombo’a yang dianggap
sakral.
Tingginya nilai-nilai kasih sayang yang ada dalam teks-teks kaбanti
merupakan refleksi dari kehidupan spritual mistitisme masyarakat Buton yang
menitikberatkan kehidupan cinta kasih dalam keluarga dan masyarakat. Mereka
menganggap bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai model hal lain
ciptaan Tuhan. Hubungan kasih sayang antara ayah dan ibu dalam proses lahirnya
manusia adalah hubungan yang mengarah kepada penyatuan kepada Tuhan (Schoorl,
2003: 227-228). Dengan demikian, dilihat dari aspek spritual yang membentuk teks-
teks kaбanti banyak dipegaruhi oleh paham mistisme (sufisme) yang ada dalam
masyarakat Buton.
Di samping itu, ideologi yang membentuk citra perempuan yang ada dalam
kaбanti adalah perempuan yang telah memahami agama melalui berbagai referensi,
termasuk melalui pendidikan formal.
Kemajuan teknologi dan banyak informasi yang di dapatkan oleh seseorang
menyebabkan terjadinya perubahan sikap termasuk dalam memandang agama dan
kepercayaannya. Kalau dulu nilai-nilai itu dominan diturunkan dari orang tua, maka
sekarang telah banyak alternatif untuk mendapatkan informasi tersebut. Bait di atas,
juga sekaligus memperlihatkan terkikisnya nilai-nilai penghargaan anak pada orang
tuanya. Di dalam agama Islam, penghargaan terhadap orang tua merupakan hal yang
utama untuk dilakukan oleh seorang anak.
Selanjutnya pada bait yang lain, si aku lirik lebih memilih laki-laki yang
berpendidikan karena orang yang berpendidikan itu akan mengkaji isi Al Quran (teks
I bait 26-30). Ini menunjukkan betapa kuatnya ajaran Islam di dalam masyarakat
27

Wakatobi. Pemikiran perempuan telah berubah, pendidikanlah yang akan


mengantarkan dirinya dalam memahami agama.

1.4 Potensi Perempuan dalam Teks-Teks Kaбanti


Peran perempuan dalam keluarga yang direpresentasikan dalam teks kaбanti
meliputi (1) peran perempuan sebagai ibu, (2) peran perempuan sebagai anak, dan
(3) peran perempuan sebagai tuan rumah. Dari peran-peran tersebut, peran
perempuan sebagai ibu mempunyai pontensi yang dapat membentuk mental dan
karakter anak-anaknya. Potensi perempuan sebagai ibu tersebut, mengandung
kekuasaan dalam mengontrol kehidupan keluarga.
Dari aspek ekonomi, perempuan direpresentasikan di dalam teks kaбanti
sebagai: (1) perempuan yang dapat bekerja di berbagai bidang kehidupan dalam
mewujudkan kesejahteraan keluarganya, (2) keahlian perempuan dalam dunia bisnis
merupakan potensi perempuan yang dapat mendukung peran perempuan dalam
keluarga maupun dalam masyarakat.
Representasi citra perempuan dalam teks-teks kaбanti yang berhubungan
dengan aspek sosial budaya adalah sikap interaksi perempuan dalam keluarga dan
masyarakat yang kritis sehingga memacu ia untuk berdialog. Rasa kritis perempuan
tersebut merupakan potensi yang dimiliki perempuan untuk melakukan dialog yang
terus-menerus guna mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih demokratis dan
terbuka.
Adanya keberpihakan perempuan pada laki-laki yang berpendidikan
merupakan pilihan sekaligus keputusan perempuan untuk memilih pendidikan
sebagai sarana untuk mengubah kehidupannya. Kemiskinan dapat berubah dengan
mengubah hal fundamental dalam kehidupan perempuan, diantaranya memilih untuk
mengikuti pendidikan. Oleh karena itu, cukup beralasan kalau pencitraan tentang
perempuan dapat dilihat dari sudut pandang pemberdayaan perempuan terutama
dalam menciptakan sumberdaya manusia yang memiliki daya kritis, analisis, skill,
etos kerja yang dapat mendinamisasi kehidupan keluarga dan masyarakat.

1.5 Penutup
Kaбanti pengatar tidur sebagai salah satu media pencitraan perempuan yang
digunakan untuk mewariskan nilai-nilai budaya, adat istiadat, nasihat, pikiran,
perasaan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang ada dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat kecamatan Wangi-Wangi kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara.
Sebagai sarana pencitraan, kaбanti merepresentasikan citra diri dan citra sosial
perempuan. Citra diri perempuan meliputi: citra fisik dan citra psikisnya, sedangkan
28

citra sosial perempuan meliputi citra perempuan dalam kelurga dan citra perempuan
dalam masyarakat. Di samping itu, kajian tentang citra perempuan dalam kaбanti
dapat membongkar ideologi yang membentuk representasi-representasi dalam teks-
teks kaбanti. Dengan demikian, potensi perempuan yang terdapat dalam teks-teks
kaбanti, yang sesuai dengan budaya masyarakat akan terungkap sehingga
keterlibatan perempuan dalam pembangunan dapat dimaksimalkan.
Mengingat besarnya peranan perempuan dalam pembangunan, maka upaya-
upaya penelusuran citra perempuan melalui penelitian ilmiah yang dilakukan secara
luas dan mendalam dalam berbagai ingatan kolektif masyarakat seperti kaбanti perlu
dilakukan. Penelitian ilmiah lanjutan tersebut dapat dilakukan dengan memperluas
cakupan data dan memperdalam analisis. Dengan demikian, diharapkan akan
mendapatkan potensi perempuan Wakatobi yang berasal dari nilai-nilai budaya
tradisional masyarakatnya.

Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta:
Tarawang Press.
Albom, Mitch. 2006. Selasa Bersama Morrie. Diterjemahkan oleh Alex Tri
Kontjono Widodo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan (YJP).
Cantor. Dorothy W., dan Bernay, Toni. 1998. Women in Power: Kiprah Wanita
dalam Dunia Politik. Diterjemahkan oleh J. Dwi Helly Purnomo
(editor). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fakih, Mansour. 2003. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Goodman, Lizbeth. 2001. Literature and Gender. New York: The Open University.
Giddens, Anthony. 2002. Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakata: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Munafi, La Ode Abdul. 2001. Langke dalam Kehidupan Orang Buton di Sulawesi
Tenggara (Kajian Strukturalisme tentang Pranata Migrasi. Bandung :
Tesis Program Pascasarjana Universitas Padjajaran.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ruthven, K.K. 1984. Feminist Literary Studies. Cambridge: Cambridge University
Press.
Schoorl, Pim. 2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan,
KITLV.
29

Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty.


Bandung: Nuansa.
Sasono, Edi 1987. “Masalah Kemiskinan dan Fatalisme”. Dalam Sri edi Swasono
(penyunting). Sekitar Kemiskinan dan Keadilan: dari Cendekiawan
Kita tentang Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Santoso, Widjajanti, M. 2001. “Keluarga Perempuan dan Anak dalam Kotak Kaca
yang Terlewatkan”. Dalam Muhamad Hisyam (editor) Indonesia
Menapak Abad Dua Satu dalam Kajian Sosial dan Budaya. Jakarta:
Peradaban.

You might also like