You are on page 1of 3

Ada tiga ekor ikan gabus bersaudara yang tertua bernama Nangga Widuta, yang menengah bernama Pradyumenantaka

dan yang terkecil bernama Bawisiati. Mereka hidup dikolam Alpasara dengan bahagianya tidak kekurangan makanan karena kolamnya luas dan dalam. Sudah bertahun-tahun mereka merasakan kenikmatan dikolam itu. Pada suatu ketika terjadi perubahan musim, hampir setahun tidak pernah hujan. Air kolam sudah sangat menyusut. Batu-batu dasar sungai sudah mulai kelihatan. Tanda-tanda akan datangnya hujan sama sekali tidak ada. Nangga Widuta lalu berkata kepada adiknya : Adikku apa akal kita sekarang. Rupa-rupanya dewa kematian sebentar lagi akan datang. Adapun sebabnya kanda berkata demikian karena kenyataannya air kolam ini makin hari makin surut. Coba perhatikan tonggak kayu yang dahulu biasanya selalu terbenam oleh air, sekarang sudah tampak sampai ke pangkalnya. Disamping itu suara burung Kelik-kelik yang tidak berkeputusan sebagai tanda kehausan mengharap-harap jatuhnya hujan. Kalau air kolam ini kering, maka tidak urung, orang akan datang kemari menangkap kita dengan jala. Oleh karena itu menurut pertimbangan kanda sebaiknya kita pergi dari sini segera. Kita mengikuti aliran air yang menuju ke

sungai untuk selanjutnya kita terus ke selatan menuju lautan. Disana tentu kita tidak akan kekurangan air. Pradyumanantaka lalu menjawab : Kanda Nangga Widuta, harap kanda memaafkan saya, karena berani menentang pendapat kanda. Menurut pendapat saya, sebaiknya kita menunggu beberapa hari lagi, siapa tahu besok ada hujan. Kalau dalam beberapa hari ini juga tidak turun hujan barulah kita bersiap-siap untuk pergi. Banisiati menimpali : Apa lagi yang perlu dibicarakan? Bagi saya, saya tidak mau pergi kemana-mana. Di kolam ini saya lahir biarlah disini saya mati. Disini saya mendapat kesenangan, biarlah di sini pula saya menderita. Andaikata karena alasan air kolam surut maka saya pergi meninggalkan tempat kelahiran, meninggalkan leluhur, alangkah hinanya saya. Tidak urung saya akan mendapatkan papa neraka. Saya lahir disini biarlah saya mati disini juga. Kalau sudah takdir kemanapun pergi kematian itu akan datang. Takdir itu telah diatur oleh Ida Sanghyang Widhi sesuai dengan karma kita yang lampau. Demikianlah ketiga ekor ikan itu saling berbeda pendapat. Mereka masing-masing menjalankan kebenarannya sendiri-sendiri. Nangga Widuta segera melompat kealiran sungai yang menuju kehilir, akhirnya sampai kesungai yang besar. Adapun kolam Alpasara airnya sudah sangat susut. Keadaan semacam ini mengundang kedatangan para penangkap ikan, mereka sudah membawa peralatan yang lengkap turun ke dalam kolam. Pradyumenantaka menyadari keadaan sudah begitu gawat, dia lalu

meloncat ke pinggir kolam, tetapi kandas dipasir. Para penangkap ikan segera menangkapnya dan memasukkannya ke dalam tempat ikan. Bawisiati berlari pontang-panting kesana kemari, bersembunyi dibalik daun yang membusuk didalam kolam. Akhirnya Bawisiati tertangkap dan dipenggal kepalanya dengan parang. Para penangkap ikan kembali pulang dengan masing-masing membawa ikan dalam jumlah yang cukup banyak. Setelah sampai disungai, para penangkap ikan itu ingin mandi membersihkan lumpur yang melekat pada tubuhnya. Sesudah itu mereka membersihkan ikan yang baru mereka tangkap. Kesempatan ini dipergunakan oleh Pradyumenantaka untuk melompat ke sungai. Si penangkap ikan sama sekali tidak menyangka masih ada ikan yang hidup, sebab itu dia tidak waspada. Pradyumenantaka akhirnya selamat dapat lari mengikuti aliran sungai.

Orang boleh menempuh jalan yang berbeda menurut kebenaran masing-masing tetapi sebagai manusia yang mempunyai pikiran dan kemampuan untuk berusaha tidak boleh menyerah dengan alasan nasib.

You might also like