You are on page 1of 16

LAPORAN PENDAHULUAN SECTIO CESAREA Disusun guna memenuhi tugas Profesi Ners Keperawatan Maternitas Dosen Pengampu : Emi

Nurlaela Skep, Mkep, Sp. Mat

Disusun Oleh : Dewi Ika Hartanti (13.0143.N)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN 2013

SECTIO CESAREA

A. DEFINISI Sectio cesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina, atau sectio cesarea adalah suatu histeretomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim. (Mochtar, 1999 : 117). Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. (Sarwono , 2005). Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat badan diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh (Gulardi &Wiknjosastro, 2006). B. ETIOLOGI 1. Indikasi Ibu a. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion) Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal (Kasdu, 2003). b. Placenta previa Plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. c. Ruptur uteri

d. Partus Lama e. Ketuban Pecah Dini (KPD) Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Pecahnya kantung ketuban pada kehamilan seringkali tidak disadari penyebabnya. Namun, biasanya hal ini terjadi sesudah trauma. Misalnya, setelah terjatuh, perut terbentur sesuatu, atau sesudah senggama. Dengan adanya hal ini dokter akan mempercepat persalinan karena khawatir akan terjadi infeksi pada ibu dan janinnya (Kasdu, 2003). f. Pre Eklampsia Berat (PEB) Gejala pre-eklamsi berat menurut (Manuaba, 1998) dapat diketahui dengan pemeriksaan pada tekanan darah mencapai 160/110 mmHg, oliguria urin kurang 400 cc/24 jam, proteinuria lebih dari 3 gr/liter. Pada keluhan subjektif pasien mengeluh nyeri epigastrium, gangguan penglihatan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan di dapat kadar enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina dan trombosit kurang dari 100.000/mm. Pada ibu penderita pre-eklamsi berat, timbul konvulsi yang dapat diikuti oleh koma. Mencegah timbulnya eklamsi jauh lebih penting dari mengobatinya, karena sekali ibu mendapat serangan, maka prognosa akan jauh lebih buruk. Penatalaksanaan eklamsi bertujuan untuk menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan melakukan sectio caesarea yang aman agar mengurangi trauma pada janin seminimal mungkin (Mochtar, 1998). 2. Indikasi Janin a. Kelainan Letak 1) Letak lintang Bila terjadi kesempitan panggul, maka sectio caesarea adalah jalan/cara yang terbaik dalam melahirkan janin dengan segala letak lintang yang janinnya hidup dan besarnya biasa. Semua primigravida dengan letak lintang harus ditolong dengan sectio caesarea walaupun

tidak ada perkiraan panggul sempit. Multipara dengan letak lintang dapat lebih dulu ditolong dengan cara lain. 2) Letak belakang Sectio caesarea disarankan atau dianjurkan pada letak belakang bila panggul sempit, primigravida, janin besar dan berharga. b. Gawat Janin Keadaan gawat janin pada tahap persalinan, memungkinkan dokter memutuskan untuk segera melakukan operasi. Apalagi jika ditunjang oleh kondisi ibu yang kurang menguntungkan. c. Janin Besar (makrosemia) Makrosomia atau janin besar adalah taksiran berat janin diatas 4.000 gram. Untuk mencegah trauma lahir, maka bedah sesar elektif harus ditawarkan pada wanita penderita diabetes dengan taksiran berat janin lebih dari 4500 gram dan pada wanita nondiabetes dengan taksiran berat janin lebih dari 5000 gram (Glance, 2006). Namun, bisa saja janin dengan ukuran kurang dari 4.000 gram dilahirkan dengan operasi. Dengan berat janin yang diperkirakan sama, tetapi terjadi pada ibu yang berbeda maka tindakan persalinan yang dilakukan juga berbeda. Misalnya untuk panggul ibu yang terlalu sempit, berat badan janin 3 kg sudah dianggap besar karena bayi tidak dapat lewat jalan lahir. Demikian pula pada posisi sungsang dengan berat janin lebih dari 3,6 kg sudah bisa dianggap besar sehingga perlu dilakukan kelahiran dengan operasi. Keadaan ini yang disebut bayi besar relatif (Kasdu, 2003). d. Bayi kembar (gemeli) Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal. C. PATOFISIOLOGI

Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea (SC). Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan diri. Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah resiko infeksi. D. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis sectio caesarea menurut Doengoes (2001) antara lain : 1. Nyeri akibat ada luka pembedahan 2. Adanya luka insisi pada bagian abdomen 3. Fundus uterus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus 4. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan (lokhea tidak banyak) 5. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600 800ml

6. Emosi

labil

perubahan

emosional

dengan

mengekspresikan

ketidakmampuan menghadapi situasi baru 7. Pengaruh anestesi dapat menimbulkan mual dan muntah E. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan. 2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi 3. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah 4. Urinalisis / kultur urine 5. Pemeriksaan elektrolit F. PENATALAKSANAAN 1. Pemberian cairan Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan. 2. Diet Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh. 3. Mobilisasi Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi : a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin setelah sadar

c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semifowler) e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi 4. Kateterisasi Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita. 5. Pemberian obat-obatan a. Antibiotik Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap institusi b. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan 1) Supositoria : ketopropen sup 2x/24 jam 2) Oral 3) Injeksi : tramadol tiap 6 jam atau paracetamol : penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu

c. Obat-obatan lain Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C 6. Perawatan luka Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah harus dibuka dan diganti. 7. Perawatan rutin Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan darah, nadi,dan pernafasan.

8. Perawatan payudara Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa nyeri. G. KOMPLIKASI Kemungkinan yang timbul setelah dilakukan operasi ini menurut Mochtar, 1998 antara lain: 1. a. b. sedikit kembung. c. Berat Dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering dijumpai pada partus terlantar dimana sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartum karena ketuban yang telah pecah terlalu lama. 2. a. b. c. 3. 4. mendatang. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik. Perdarahan, disebabkan karena: Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka. Atonia uteri. Perdarahan pada placental bled. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila reperitonialisasi terlalu tinggi. Kemungkinan ruptura uteri spontan pada kehamilan Infeksi Puerperal (Nifas) Ringan Dengan kenaikan suhu beberapa hari saja. Sedang Dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi, disertai dehidrasi dan perut

H. KLASIFIKASI 1. Abdomen (SC Abdominalis) a. Sectio Caesarea Transperitonealis Sectio caesarea klasik atau corporal : dengan insisi memanjang pada corpus uteri y a n g m e m p u n y a i k e l e b i h a n m e n g e l u a r k a n j a n i n l e b i h c e p a t , tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik, dan sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal . Sedangkan kekurangan dari cara ini adalah infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealisasi yang baik danuntuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi ruptura uteri spontan. b. Sectio caesarea profunda Dengan insisi pada segmen bawah rahim dengan kelebihan penjahitan luka lebih mudah, penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik, perdarahan kurang dan kemungkinan rupture uteri spontan kurang/lebih kecil. Dan memiliki kekurangan luka dapat melebar kekiri, bawah, dan kanan sehingga mengakibtakan pendarahan yang banyak serta keluhan pada kandung kemih. c. Sectio caesarea ekstraperitonealis Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis dan dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis. 2. Vagina (sectio caesarea vaginalis) Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan apabila : a. Sayatan memanjang (longitudinal) b. Sayatan melintang (tranversal) c. Sayatan huruf T (T Insisian) 3. Sectio Caesarea Klasik (korporal) Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10cm. Kelebihan : a. Mengeluarkan janin lebih memanjang

b. Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik c. Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal Kekurangan : a. Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada reperitonial yang baik. b. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan. c. Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering terjadi dibandingkan dengan luka SC profunda. Ruptur uteri karena luka bekas SC klasik sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan, sedangkan pada luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi dalam persalinan. d. Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan supaya ibu yang telah mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi. Sekurang -kurangnya dapat istirahat selama 2 tahun. Rasionalnya adalah memberikan kesempatan luka sembuh dengan baik. Untuk tujuan ini maka dipasang akor sebelum menutup luka rahim. 4. Sectio Caesarea (Ismika Profunda) Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim kira-kira 10cm Kelebihan : a. Penjahitan luka lebih mudah b. Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik c. Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi uterus ke rongga perineum d. Perdarahan kurang e. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri spontan lebih kecil Kekurangan : a. Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat menyebabkan arteri uteri putus yang akan menyebabkan perdarahan yang banyak. b. Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.

I. PENGKAJIAN FOKUS 1. Identitas klien dan penanggung jawab Meliputi nama, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agam, alamat, status perkawinan, ruang rawat, nomor medical record, diagnosa medik, yang mengirim, cara masuk, alasan masuk, keadaan umum tanda vital. 2. Keluhan utama 3. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi klien multipara 4. Data Riwayat penyakit a. Riwayat kesehatan sekarang Meliputi keluhan atau yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit dirasakan saat ini dan keluhan yang dirasakan setelah pasien operasi. b. Riwayat Kesehatan Dahulu Meliputi penyakit yang lain yang dapat mempengaruhi penyakit sekarang, Maksudnya apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama (Plasenta previa) c. Riwayat Kesehatan Keluarga Meliputi penyakit yang diderita pasien dan apakah keluarga pasien ada juga mempunyai riwayat persalinan plasenta previa. 5. Keadaan klien meliputi : a. Sirkulasi Perhatikan riwayat masalah jantung, udema pulmonal, penyakit vaskuler perifer atau statis vaskuler (peningkatan resiko pembentukan thrombus). b. Integritas Ego Perasaan cemas, takut, marah, apatis, serta adanya faktor-faktor stress multiple seperti financial, hubungan, gaya hidup dengan tanda-tanda tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan, dan stimulasi simpatis. c. Makanan / Cairan Kaji kondisi malnutrisi, membrane mukosa yang kering. Lakukan pembatasan pra operasi insuisiensi pancreas atau DM karena merupakan predisposisi untuk terjadi hipoglikemia / ketoasidosis.

d. Pernafasan Kaji adanya infeksi, kondisi yang kronik / batuk, merokok. e. Keamanan Kaji adanya alergi atau sensitive terhadap obat, makanan, plester dan larutan, defisiensi imun, munculnya kanker atau adanya terapi kanker, riwayat keluarga tentang hipertermia malignan / reaksi anestesi, riwayat penyakit hepatic, riwayat transfusi darah, dan tanda munculnya proses infeksi. J. FOKUS INTERVENSI 1. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin, prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea) b. Intoleransi aktivitas b/d tindakan anestesi, kelemahan, penurunan sirkulasi c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka kering bekas operasi d. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur pembedahan, penyembuhan dan perawatan post operasi. e. Inkontinensia urine berhubungan dengan penurunan sensitivias uretra dan sensasi kandung kemih 2. Intervensi Keperawatan a. Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin, prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea) NOC : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri klien berkurang / terkontrol yang dibuktikan oleh : 1) Mengungkapkan nyeri dan tegang di perutnya berkurang

2) Skala nyeri 0-1 ( dari 0 10 ) 3) TTV dalam batas normal ; Suhu : 36-37 0 C, TD : 120/80 mmHg, RR : 18-20x/menit Nadi : 80-100 x/menit 4) Wajah tidak tampak meringis 5) Klien tampak rileks, dapat berisitirahat, dan beraktivitas sesuai kemampuan NIC : 1) Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi. 2) Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan (misalnya wajah meringis) terutama ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif. 3) Kaji efek pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup (ex: beraktivitas, tidur, istirahat, rileks, kognisi, perasaan, dan hubungan sosial) 4) Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi, latihan napas dalam,, sentuhan terapeutik, distraksi.) 5) Kontrol faktor - faktor lingkungan yang yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan (ruangan, suhu, cahaya, dan suara) 6) Kolaborasi untuk penggunaan kontrol analgetik, jika perlu. b. Intoleransi aktivitas b/d tindakan anestesi, kelemahan, penurunan sirkulasi NOC : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan klien dapat melakukan aktivitas tanpa adanya komplikasi yang dibuktikan oleh : 1) klien mampu melakukan aktivitasnya secara mandiri NIC : 1) Kaji tingkat kemampuan klien untuk beraktivitas

2) Kaji pengaruh aktivitas terhadap kondisi luka dan kondisi tubuh umum 3) Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari 4) Bantu klien untuk melakukan tindakan sesuai dengan kemampuan /kondisi klien 5) Evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktivitas c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka kering bekas operasi NOC : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan klien tidak mengalami infeksi yang dibuktikan oleh : 1) Tidak terjadi tanda - tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesea) 2) Suhu dan nadi dalam batas normal ( suhu = 36,5 -37,50 C, frekuensi nadi = 60 -100x/ menit) 3) WBC dalam batas normal (4,10-10,9 10^3 / uL) NIC : 1) Tinjau ulang kondisi dasar / faktor risiko yang ada sebelumnya. Catat waktu pecah ketuban. 2) Kaji adanya tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesa) 3) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic 4) Inspeksi balutan abdominal terhadap eksudat / rembesan. Lepaskan balutan sesuai indikasi 5) Anjurkan klien dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum / sesudah menyentuh luka 6) Pantau peningkatan suhu, nadi, dan pemeriksaan laboratorium jumlah WBC / sel darah putih 7) Kolaborasi untuk pemeriksaan Hb dan Ht. Catat perkiraan kehilangan darah selama prosedur pembedahan 8) Anjurkan intake nutrisi yang cukup

9) Kolaborasi penggunaan antibiotik sesuai indikasi

d. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur pembedahan, penyembuhan dan perawatan post operasi. NIC : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan ansietas klien berkurang yang dibuktikan oleh : 1) Klien terlihat lebih tenang dan tidak gelisah 2) Klien mengungkapkan bahwa ansietasnya berkurang NOC : 1) Kaji respon psikologis terhadap kejadian dan ketersediaan sistem pendukung 2) Tetap bersama klien, bersikap tenang dan menunjukkan rasa empati 3) Observasi respon nonverbal klien (misalnya: gelisah) berkaitan dengan ansietas yang dirasakan 4) Dukung dan arahkan kembali mekanisme koping 5) Berikan informasi yang benar mengenai prosedur pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi. 6) Diskusikan pengalaman / harapan kelahiran anak pada masa lalu 7) Evaluasi perubahan ansietas yang dialami klien secara verbal e. Inkontinensia urine berhubungan dengan penurunan sensitivias uretra dan sensasi kandung kemih NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24jam diharapkan menunjukkan kontinensia urine dibuktikan dengan indikator sebagai berikut : 1) Mampu berkemih secara mandiri 2) Mampu memperkirakan pola untuk mengeluarkan NIC :

1) Identifikasi penyebab inkontinensia multifaktorial 2) Pantau eliminasi urine, termasuk frekuensi, konsistensi, bau, volume dan warna 3) Ajarkan pasien rutinitas berkemih tepat waktu 4) Bersihkan area kulit genital dengan interval yang teratur K. PATHWAYS Terlampir L. DAFTAR PUSTAKA Carpenito, I.J. 2001. Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC Doengoes, Marylinn. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal / Bayi. Jakarta : EGC Manuaba, I.B. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta : EGC Manuaba, I.B. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Dokter Umum. Jakarta : EGC Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2. Jakarta : EGC Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT Gramedi Susanti. 2011. Diagnosa keperawatan aplikasi Nanda, Nic dan Noc . Yogyakarta : Modyakarya

You might also like