You are on page 1of 5

Teori Metafor-Metonimi dan Afasia oleh Roman Jakobson

I. Afasia Sebagai Gangguan Bahasa Bahasa merupakan suatu sistem yang paling penting dan kompleks yang dimiliki oleh manusia, dan setiap manusia menggunakan bahasa. Bahasa melibatkan memori, belajar, ketrampilan, proses penerimaan pesan dan memproduksi pesan sebagai ekspresi. Dalam penggunaan bahasa seseorang tidak dapat terlepas dari elemen bahasa itu sendiri seperti berbicara, memperoleh kata-kata yang tepat, memahami sesuatu, membaca, menulis, dan melakukan isyarat. Ketika satu atau lebih dari elemen bahasa tidak lagi berfungsi dengan baik, maka kondisi tersebut dinamakan Afasia; A (= tidak), fasia (= bicara) berarti seseorang tidak dapat lagi mengungkapkan apa yang dia inginkan. Afasia merupakan gangguan pada otak yang disebabkan oleh faktor-faktor medis seperti cacat, cedera dan penyakit yang mempengaruhi sistem bahasa. Seorang pasien Afasia mengalami kesulitan dalam menerima dan memproduksi bahasa secara tepat dan teratur.1 Roman Jakobson dalam bukunya menjelaskan Afasia merupakan gangguan fungsi otak yang secara langsung mengganggu fungsi bahasa seseorang. Jakobson memandang perlu bahwa istilah Afasia harus dideskripsikan dengan tepat yaitu dengan mengajukan suatu pertanyaan; aspek-aspek apa saja dalam bahasa yang dipengaruhi oleh Afasia? 2 Jakobson menguraikan pendekatan-pendekatan yang dilakukan para ahli linguistik dan ahli medis dalam memahami lebih jauh bagaimana Afasia mempengaruhi sistem bahasa seseorang. Ada dua klasifikasi gangguan bahasa yang dipengaruhi oleh Afasia.
1. Gangguan Penerimaan

Merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan dalam menerima apa yang dikatakan oleh orang lain. Seseorang tidak mampu memahami suatu penjelasan bahkan yang paling sederhana sekalipun.
2. Gangguan Ekspresi

Kondisi dimana seseorang mengalami kesulitan dalam memproduksi, memformulasikan, dan menggunakan bahasa secara lisan. Ia memiliki keterbatasan vocabulary dan mengandalkan hanya pada beberapa inti kata. Afasia menurut para Ahli Pengertian tentang Afasia dijelaskan oleh para ahli dengan memberikan batasan berbeda-beda tetapi pada intinya sama;
1. Wood mengatakan bahwa Afasia merupakan parsial or complete loss of

ability to speak or to comprehend the spoken word due to injury, disease, or maldevelopment of brain. (kehilangan kemampuan untuk bicara atau untuk memahami sebagian atau keseluruhan yang diucapkan oleh orang lain, yang diakibatkan karena adanya gangguan pada otak).3 2. Wiig dan Semel menjelaskan bahwa Afasia as involving those who have acquired a language disorder because of brain damage resulting in impairment of language comprehension formulation, and use . (mereka yang mengalami gangguan pada perolehan bahasa yang disebabkan karena kerusakan otak yang mengakibatkan ketidakmampuan dalam meformulasikan

pemahaman bahasa dan penggunaan bahasa).4 Jadi pengertian Afasia secara umum berkaitan dengan gangguan pada otak yang mempengaruhi sistem ketatabahasaan seseorang. II. Dua Karakter Bahasa Jakobson menjelaskan suatu proses sederhana dari penggunaan bahasa dimana seseorang memilih kata dan menggabungkannya ke dalam kalimat menurut sistem sintaksis bahasa yang sedang ia gunakan, dan pada gilirannya kalimat-kalimat itu digabungkan menjadi ucapan baik dalam menerima dan memproduksi bahasa .5 Kreatifitas kebahasaan seseorang sangat bergantung kepada dua model pengaturan bahasa yang dapat digunakan secara bersamaan atau hanya menggunakan salah satu dari padanya.
1. Seleksi dan substitusi

Sebuah pilihan diantara berbagai alternatif kata yang kemungkinan saling menggantikan satu sama lain, tetapi tetap setara dengan pilihan kata pertama dalam bentuk yang berbeda. Seleksi dan substitusi juga merupakan ikatan sistem dalam bahasa yang tak dapat dipisahkan. Contoh seleksi-substitusi: Seorang pengguna bahasa wajib memiliki kemampuan dalam menyeleksi setiap kata yang akan digunakan sehingga setiap kata tersebut menjadi tepat sasaran dan maksud dari penutur tersampaikan kepada pendengar. Begitu pula ketika seseorang berupaya memfungsikan kreatifitasnya dalam mengganti satu kata dengan kata yang lain yang memiliki arti dan fungsi yang sama/mirip. Hal ini juga berlaku dalam proses penerimaan, seseorang wajib mengetahui dan memahami kata yang diganti/disubstitusi oleh si penutur.
2. Kombinasi dan komposisi

Kata-kata terdiri dari kata-kata konstituen (pendukung struktur) dan atau terjadi hanya dalam kombinasi dengan kata-kata lain.6 Hal ini berarti bahwa setiap satuan bahasa (kalimat) pada saat yang sama berfungsi sebagai konteks untuk unit sederhana dan atau menemukan konteksnya di unit bahasa yang lebih kompleks. Oleh karena itu, setiap pengelompokan unit bahasa sebenarnya mengikat mereka ke dalam sebuah unit yang unggul/utama: Kombinasi dan komposisi adalah dua sistem yang bekerja secara bersamaan. Contoh kombinasi-komposisi: seseorang akan berupaya merangkai satu kalimat dengan mempersiapkan kata-kata dari gudang kata dan mengkombinasikan kata-kata tersebut dalam sebuah komposisi kata yang teratur, jelas dan dapat di pahami. Begitu pula dalam penerimaan seseorang akan berupaya mendengar dan memahami kalimat dengan mengkaji setiap kata berdasarkan kombinasi dan komposisi kata sang penutur. III. Dua Jenis Kecenderungan Afasia Dua kecenderungan dasar Afasia yang berhubungan dengan dua karakter bahasa di atas tergantung pada; apakah kekurangan utama terletak pada seleksi dan substitusi, dengan relatif stabilnya kombinasi dan komposisi, atau sebaliknya; kekurangan dalam kombinasi dan komposisi dengan relatif stabil dan normalnya seleksi dan substitusi.

1. Afasia

Emisif/Broca (defisiensi seleksi); Lemah pada seleksi dan substitusi dengan relatif stabilnya kemampuan kombinasi dan komposisi. Penderita ini memiliki keterbatasan pemilihan kata karena mengalami loss memory, bahkan untuk afasia global mengalami hilangnya semua fungsi seleksi-substitusi kata. Penderita cenderung tidak dapat mengingat dan mengucapkan kata yang hendak di sampaikan. Tetapi ketika penderita disodorkan potongan-potongan kata atau kalimat, hanya beberapa penderita yang dapat melengkapinya. Ucapannya hanyalah reaksi spontan tetapi tetap terkesan sulit berbicara. Awalnya penderita dengan mudah masuk dalam percakapan, tetapi mengalami kesulitan untuk memulai dialog, penderita mampu membalas pembicaraan hanya ketika dia menjadi pendengar atau hanya membayangkan menjadi seorang pendengar. Hal ini sangat sulit baginya untuk melakukan atau bahkan memahami suatu wacana tertutup seperti monolog. Konteks akan sangat menolong ketika penderita hendak menyelesaikan pembicaraannya. Penderita merasa tidak mampu mengucapkan kalimat untuk merespon baik dengan isyarat dari lawan bicaranya, juga dengan situasi aktual. Contoh kalimat hujan tidak dapat diproduksi kecuali dia melihat bahwa memang sekarang sedang hujan. Semakin dalam ucapan yang tertanam dalam konteks verbal/nonverbal, semakin tinggi kemungkinan penderita untuk berhasil dalam memproduksi ucapan dengan tepat. 7 Reseptif/Wernicke (defisiensi kombinasi); Lemah pada kombinasi dan komposisi dengan relative stabil dan normalnya seleksi dan substitusi. Penderita afasia ini lancar dalam berbahasa, namun kata-katanya sulit dipahami karena banyak perkataan yang tidak sesuai maknanya antara perkataan sebelum dan sesudahnya. Hal ini dikarenakan penderita sering salah dalam mengkomposisikan suatu kata, misalnya kata fair diucap chair, kata carrot diucap parrot, dan sebagainya. Begitu pula dalam menyusun kata-kata menjadi sebuah kalimat, pasien dengan mudahnya menyampaikan kalimat-kalimat, tetapi kalimat tersebut sangatlah berantakan dan tidak dapat di mengerti. Penderita relatif mudah dalam mengingat dan memilih kata tetapi tidak mampu menganalisa benar/salahnya fonem dan kombinasi. Penderita afasia ini juga mengalami gangguan dalam pemahaman lisan. Mereka tidak dapat memahami perkataan lawan bicara dengan mudah kecuali ketika pembicara berupaya mengekspresikan kode-kode tertentu yang berhubungan dengan konteks pembicaraan. 8

2. Afasia

Kedua Afasia tersebut memilki dampak klinis dan linguistik yang berbeda dengan tingkat keparahan yang berbeda pula. Dari sisi linguistik atau kebahasaan, Afasia berimplikasi langsung pada proses berbahasa, baik itu proses produktif maupun reseptif. Afasia dapat menyebabkan penderitanya susah berbicara atau menyusun kata-kata dan dapat pula menyebabkan penderitanya sulit memahami perkataan orang lain. Sehingga dengan demikian afasia menyebabkan proses produktif dan reseptif berbahasa terganggu atau tidak berjalan dengan maksimal. Namun tidak semua afasia memiliki dampak pada kedua proses berbahasa tersebut secara signifikan. Ada kalanya hanya berdampak pada proses produktif, atau pun sebaliknya.

III. Gangguan Persamaan (Similarity Disorder) Dalam pola seleksi dan substitusi, pengguna bahasa tentunya wajib memiliki kemampuan dalam memahami kesamaan antara kata yang satu dengan kata yang lain, pola ini biasanya difungsikan ketika seseorang ingin memvariasikan bahasa yang digunakannya, agar terkesan kaya bahasa dan terdengar nyaman di telinga. Jika kita mengaitkan Similarity Disorder dengan penderita afasia emisif, maka akan tampak dengan jelas bagaimana seorang penderita afasia emisif mengalami kesulitan dalam mengingat, menyeleksi dan mensubstitusikan setiap kata. Penderita afasia emisif tidak dapat mengingat dan memahami persamaan kata sehingga ia akan gagal jika berupaya mensinonimkan sebuah kata. Penderita akan tampak bingung ketika mendengarkan suatu penjelasan jika sang penutur menggunakan ragam sinonim yang intinya mengacu kepada konteks yang sama. Penutur harus lebih berhati-hati ketika sedang berbicara dengan penderita afasia emisif, penutur wajib menekankan konteks pembicaraan dan wajib menghindari penggunaan ragam kata. Contoh: Ketika penutur merubah kalimat Hans adalah seorang lajang dengan hans adalah seorang bujang, sebenarnya kedua kalimat tersebut memiliki arti yang sama, tetapi penderita afasia emisif tidak dapat memahami kalimat kedua atau ketika kata lajang berubah menjadi bujang. Jadi penderita afasia emisif cenderung mengalami masalah dalam menerima atau mendengar dan mengalami masalah dalam penggunaan variasi bahasa. IV. Gangguan Kedekatan (Contiguity Disorder) Jakobson dengan jelas mengaitkan Afasia reseptif dengan gangguan contiguity. Penderita afasia reseptif mengalami masalah dengan Contiguity atau masalah memahami kedekatan arti kata. Penderita afasia reseptif cenderung mengalami kegagalan dalam mencari kedekatan arti antara satu jenis kata dengan kata yang lain. Ketika penderita mencoba mengganti satu kata tertentu, maka kata tersebut merupakan kata yang tidak memiliki kedekatan arti dengan kata yang gagal di ucapkan sehingga ucapannya tidak dapat di pahami. Penderita afasia reseptif umumnya berhasil dalam penggunaan metafora (nya sendiri), dimana penderita akan merasa lebih mudah untuk mensubtitusi kata dengan pola pikir yang unik dan aneh, meskipun pendengar tetap tidak dapat memahami maksud sang penderita. Contoh: Dalam sebuah kasus yang terjadi ketika penderita gagal mengucapkan kata Hitam dalam kalimat saya punya kucing berwarna hitam, maka penderita akan berusaha mencari sesuatu yang berhubungan dengan hitam. Penderita akan mulai berpikir; Kapan seseorang memakai hitam? Penderita akan membayangkan kalau hitam itu dipakai pada saat acara kematian, jadi hitam itu adalah mati, maka penderita akan langsung mengucapkan kalimat saya punya kucing berwarna mati. Penderita tidak akan menggunakan kata coklat atau gelap. Padahal kata coklat atau gelap lebih memiliki kedekatan dengan kata hitam dari pada kata mati. V. Pola-Pola Metafora Dan Metonimi
1. Afasia Emisif dan Pola Metafora

Metafora merupakan pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Contoh: tulang punggung dalam kalimat pemuda adalah tulang punggung negara 9

Seperti yang telah di terangkan di atas bahwa penderita afasia yang pertama yaitu afasia emisif memiliki keterbatasan dalam memahami kesamaan antar kata. Ketika penderita disodorkan dengan sebuah bahasa metafora, maka penderita tidak dapat menangkap maksud metafora tersebut. Contoh: Penderita mengalami kesulitan dalam menangkap maksud pemuda adalah tulang punggung negara Penderita sulit menemukan kesamaan figuratif dalam kalimat tersebut. Penderita akan mengartikannya secara harafiah. (Gagal dalam memadankan tulang punggung sebagai generasi penerus) 10 Penderita afasia emisif akan cenderung memakai pola metonimi.
2. Afasia Reseptif dan Pola Metonimi

Metonimi merupakan majas yang berupa pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan langsung dengan orang, barang, atau hal sebagai penggantinya. Contoh: menelaah Edward Said (karyanya), mengendarai kijang (mobil kijang).11 Penderita afasia reseptif mengalami masalah dalam memahami hubungan kedekatan antar kata, bahkan pada tingkat yang lebih parah, pasien cenderung menghindari pola metonimi karena gagal dalam memahami kata yang ditautkan langsung dalam sebuah kalimat. Contoh: Penderita akan mengalami kesalahan dalam memahami kalimat saya naik kijang. Penderita akan mulai membayangkan bahwa sang penutur sedang berada di atas seekor kijang. Padahal yang dimaksudkan adalah mobil kijang. (gagal dalam menghubungkan kijang sebagai mobil)12 Penderita afasia reseptif akan menggunakan pola metafora dan cenderung memahaminya. Sumber:
1 Harsono ed. Kapita Selekta Neurologi, 2009, Hal.16 2 Jacobson Roman, Fundamental Of Language, 1956. Hal. 55 3-4 http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved= 0CCgQFjAA&url=http%3A%2F%2Ffile.upi. 5 Jacobson Roman, Fundamental Of Language, 1956. Hal. 58 6 Jacobson Roman, Fundamental Of Language, 1956. Hal. 59 7 Jacobson Roman, Fundamental Of Language, 1956. Hal. 64 8 Jacobson Roman, Fundamental Of Language, 1956. Hal. 72 9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia . 10 Jacobson Roman, Fundamental Of Language, 1956. Hal. 69 11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia . 12 Jacobson Roman, Fundamental Of Language, 1956. Hal. 72

You might also like