You are on page 1of 8

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sistem kekebalan tubuh sangat mendasar peranannya bagi kesehatan, tentunya harus disertai dengan pola makan sehat, cukup berolahraga, dan terhindar dari masuknya senyawa beracun ke dalam tubuh. Sekali senyawa beracun hadir dalam tubuh, maka harus segera dikeluarkan. Kondisi sistem kekebalan tubuh menentukan kualitas hidup. Dalam tubuh yang sehat terdapat sistem kekebalan tubuh yang kuat sehingga daya tahan tubuh terhadap penyakit juga prima. Pola hidup modern menuntut segala sesuatu dilakukan serba cepat dan instan. Hal ini berdampak juga pada pola makan. Sarapan di dalam kendaraan, makan siang serba tergesa, dan malam karena kelelahan tidak ada nafsu makan. Belum lagi kualitas makanan yang dikonsumsi, polusi udara, kurang berolahraga, dan stres. Apabila terus berlanjut, daya tahan tubuh akan menurun, lesu, cepat lelah, dan mudah terserang penyakit. Karena itu, banyak orang yang masih muda mengidap penyakit degeneratif.

1.2 Rumusan Masalah Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka beberapa masalah yang dapat kami rumuskan dan akan dibahas dalam makalah ini adalah : 1. Apa pengertian dari hipersensitivitas? 2. Apa penyebab hipersentivitas tipe 3? 3. Bagaimana mekanisme hipersentivitas tipe 3? 4. Apa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hipersentivitas tipe 3? 5. Apa penyakit yang ditimbulkan oleh hipersentivitas tipe 3?

1.3 Tujuan 1. Mengetahui pengertian dari hipersensitivitas. 2. Mengetahui penyebab hipersentivitas tipe 3. 3. Mengetahui mekanisme hipersentivitas tipe 3. 4. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hipersentivitas tipe 3. 5. Mengetahui penyakit yang ditimbulkan oleh hipersentivitas tipe 3.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hipersentivitas Reaksi hipersensitif merujuk kepada reaksi berlebihan , tidak diinginkan (menimbulkan ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell dan Coombs ada 4 tipe reaksi hipersensitif yaitu : 1. Reaksi hipersensitif tipe I atau reaksi anafilaktik. 2. Reaksi hipersensitif tipe II atau sitotoksik. 3. Reaksi hipersensitif tipe III atau kompleks imun. 4. Reaksi hipersensitif tipe IV atau reaksi yang diperantarai sel. Berdasarkan kecepatan reaksinya, tipe I, II dan III termasuk tipe cepat karena diperantarai oleh respon humoral (melibatkan antibodi) dan tipe IV termasuk tipe lambat. Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis komplekskompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.

2.2 Penyebab hipersensitivitas 3 Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari : 1. Infeksi persisten Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal. 2. Autoimunitas Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah. 3. Ekstrinsik Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah paru. .Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-faktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granulagranula polimorf yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein polikationik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui

mekanisme mastolitik atau histamin bebas. Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan. Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan iskemia setempat. Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut : 1. Aktivasi komplemen 2. Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas histamine 3. Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan

polimorf yang melepas enzim proteolitik dan enzim polikationik 4. Menimbulkan agregasi trombosit 5. Menimbulkan mikrotrombi 6. Melepas amin vasoaktif 7. Mengaktifkan makrofag 8. Melepas IL-1 dan produk lainnya

Pada reaksi hipersensitivitas tipe III terdapat dua bentuk reaksi, yaitu : 1. Reaksi Arthus Maurice Arthus menemukan bahwa penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada kelinci yang telah dibuat hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan menghasilkan reaksi eritema dan edema, yang mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian menghilang. Lesi bercirikan adanya peningkatan infiltrasi leukositleukosit PMN. Hal ini disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun. Reaksi Arthus di dinding bronkus atau

alveoli diduga dapat menimbulkan reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi antigen. Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan memebentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan C5a yang terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah menjadi edema. Komponen lain yang bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif.

2.

Reaksi serum sickness Istilah ini berasal dari pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar digunakan untuk bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini biasanya akan menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari setelah penyuntikan. Pada keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu, pembengkakan kelenjarkelenjar limpa, ruam urtika yang tersebar luas, sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara. Pada berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian memberikan reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal. Hal ini kemudian yang menimbulkan reaksi disertai dengan komplek imun. Contoh dari reaksi ini adalah : 1. Demam reuma

Infeksi streptococ golongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung, sendi, dan ginjal. Berbagai antigen dalam membran streptococ bereaksi silang dengan antigen dari otot jantung, tulang rawan, dan membran glomerulus. Diduga antibodi terhadap streptococ mengikat antigen jaringan normal tersebut dan mengakibatkan inflamasi. 2. Artritis rheumatoid Kompleks yang dibentuk dari ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang berupa IgM) dengan Fc dari IgG akan menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas. 3. Infeksi lain Pada beberapa penyakit infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen mengikat Ig dan membentuk kompleks imun yang ditimbun di beberapa tempat. 4. Farmers lung Pada orang yang rentan, pajanan terhadap jerami yang mengandung banyak spora actinomycete termofilik dapat menimbulkan gangguan pernafasan pneumonitis yang terjadi 68 jam setelah pajanan. Pada tubuh orang tersebut, diproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actynomycete termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru-paru.

2.4. Faktor-faktor yang Berpengaruh 1. Ukuran Komplek Imun Untuk menimbulkan kerusakan atau penytakit, kompleks imun harus mempunyai ukuran yang sesuai. Kompleks imun yang berukuran besar biasanya dapat disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa menit, tetapi kompleks imun

berukuran kecil dapat beredar dalam sirkulasi untuk beberapa waktu. Ada dugaan bahwa

You might also like