You are on page 1of 0

1

Bahasa Pergaulan/ Bahasa Alay dan Pengaruhnya terhadap


Kemampuan Berbahasa Indonesia Mahasiswa
Oleh: Rs. Kurni Setyawati

Komunikasi berbasis teknologi melalui jejaring sosial kian merebak dan mendominasi
sebagian orang. Tak jarang undangan rapat (bahkan formal) mengandalkan SMS dan BBM.
Penyampaian tugas kuliah oleh dosen melalui Facebook ataupun Blog; diskusi dan
menyelesaikan tugas penyususnan makalah melalui SMS, Blog, BBM maupun Facebook. Di
sana sini tentu saja menggunakan bahasa pergaulan atau bahasa Alay.
Alay diartikan oleh sebagian orang sebagai Anak Lebay, Anak Layangan, Anak Layu
atau Anak Kelayapan. Bahasa ini lebih dikategorikan sebagai bahasa gaul, yang konon banyak
digemari anak usia SLTP dan SLTA, bahkan anak SD sekalipun. Sedangkan bahasa Alay adalah
bahasa yang digunakan dalam pergaulan anak-anak remaja dengan mencampuradukkan antara
huruf, gambar dan simbul. Tatanan yang digunakanpun bersifat manasuka, tidak ada
kebersisteman dan ketentuan yang jelas, misalnya dalam penggunaan huruf besar dan kecil,
penggunaan tanda baca, bentukan kalimat, singkatan maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan
tata bentukan maupun tata kalimat.
Bentuk yang ringkas, unik dan manasuka ini cenderung disukai orang muda sekarang dan
secara marak digunakan dalam komunikasi melalui jejaring sosial seperti dalam SMS atau
layanan pesan singkat. Sesuai namanya unsur yang dipergunakan jadi serba singkat dan terbatas.
Awalnya memang hanya serba menyingkat. Kemudian huruf-huruf mulai diganti dengan angka,
lalu aneka simbul atau bahkan juga diganti dengan huruf lain yang jika dibaca kurang lebih
menghasilkan bunyi yang mirip. Anehnya, pada umumnya kaum muda mengakui gaya ini
sebagai gaya yang norak dan tidak seharusnya. Mereka cenderung menolak bila dikategorikan
sebagai pemakai bahasa Alay.
Keberadaan bahasa alay dianggap kaum muda sebagai alat komunikasi dalam pergaulan
sehari-hari, baik lisan maupun tulisan. Bahasa ini dianggap sebagai media komunikasi yang up
to date dan sarana ekspresi yang pas untuk selera mereka. Persoalannya adalah apakah gaya
2

bahasa ini bisa membawa pengaruh terhadap penggunaan bahasa Indonesia secara umum. Hal
ini mengingat penggunaan bahasa alay merambah ke berbagai bidang yang cukup luas dalam
kehidupan remaja. J angan sampai terjadi, kebiasaan penggunaan bahasa alay secara luas ini akan
mengancam eksistensi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Hal ini karena adanya
perbedaan yang cukup jauh dan luas antara kebiasaan/ketentuan dalam bahasa alay dengan
kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa yang baik dan benar.
Ditengarai munculnya bahasa Alay juga merupakan sinyal ancaman yang cukup serius
terhadap bahasa Indonesia dan akan berpengaruh pula terhadap pola pikir termasuk dalam
berkorespondensi.

Kaitan Bahasa Pergaulan/Alay terhadap Kemampuan Berbahasa Indonesia Mahasiswa
Bahasa pergaulan/Alay yang cenderung ringkas membawa implikasi besar dalam
kehidupan manusia karena tingkat keseringan penggunaan yang terlalu tinggi dan ranah
kehidupan yang dimasuki juga teramat luas. Pada dasarnya setiap orang terutama remaja akan
senantiasa peka dan terpengaruh apabila setiap hari dan dalam berbagai kesempatan dibeberi
dengan ragam ringkas yang dapat diikuti dalam pergaulan maupun melalui media massa, lisan
maupun tulisan. Ragam ringkas tersebut dapat didengar, dialami dan dibaca melalui beberapa
koran dan majalah serta tayangan televisi dan film. Artinya, hampir setiap saat mereka melihat,
mendengar dan terlibat dalam penggunaan bahasa ringkas tersebut, termasuk yang berbasis
teknologi melalui jejaring sosial seperti: Facebook, Twitter, SMS, Blog, dan BBM. Ledakan
peran teknologi menyebabkan bahasa ringkas turut masuk dalam keseharian kita. Merebaknya
penggunaan bahasa ringkas secara leluasa tanpa hambatan, mengakibatkan orang malas untuk
mempelajari bahasa yang baik dan benar, malas untuk bertutur kata mengikuti tatanan yang
seharusnya.
Bukan hal yang spesial kalau kita acap menjumpai seorang mahasiswa mengalami
kesulitan dalam membahasakan gagasannya. Kesulitan yang dialami bukan sekedar dalam logika
bahasa, tetapi juga tata kalimat dan pilihan kata. Seolah begitu terbatas jumlah perbendaharaan
kata yang ia miliki. Atau begitu sedikit kalimat yang pernah didengar, dibaca atau dihasilkannya.
Tentu saja hal ini tidak mengindikasikan bahwa pada umumnya mahasiswa kita kurang pandai
3

berkomunikasi. J ustru mereka lebih terbuka dan lebih leluasa dalam melakukan komunikasi
dengan siapapun dan di manapun. Namun manakala mereka dihadapkan dengan situasi yang
mengharuskannya berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar,
mereka sertamerta mengalami kendala.
Kendala penggunaan bahasa Indonesia, tidak hanya dalam komunikasi lisan, namun juga
tertulis. Dalam hal ini, kendala tidak hanya dari tiga aspek seperti telah disebut, tetapi juga
dalam hal penerapan tanda baca. Bisa dikatakan, bagi mereka, hal tanda baca seolah hanyalah
satu hal kecil yang cenederung dianggap tidak penting dan hanya ngribeti saja (istilah
mereka).
Di sisi lain, bahasa ragam tulis seperti dalam korespondensi, bahkan makalah terpengaruh
gaya gaul yang ringkas tersebut. Sering dijumpai mahasiswa mengalami kesulitan
membahasakan gagasan secara runtut, logis dan benar. Pada umumnya cenderung menggunakan
bahasa lisan yang ditulis. Padahal ada perbedaan yang tegas antara bahasa lisan dan bahasa tulis.
Hal ini sangat dipengaruhi dengan penggunaan bahasa Alay yang mencampur aduk antara
tulisan, lisan, dan gambar, dan simbul-simbul. Kadang peletakan gambar dimaksudkan mewakili
emosi saat menulis, senyum simpul, sedih, tertawa terbahak-bahak, dan sebagainya. Dalam hal
ini justru terjadi keanehan karena bahasa yang kacau dan campur aduk tersebut justru dianggap
sebagai kreativitas bagi para penggunanya.
Dari segi pilihan kata/diksi merupakan hal yang sering dikeluhkan oleh mahasiswa. Tak
jarang mereka mengatakan: Maksudnya ngerti, tapi ngomongnya susah. Atau Kami susah
memilih dan menemukan kata-kata yang pas untuk menyampaikan pesan. Mengapa hal ini
terjadi, padahal jumlah kosakata yang pada umumnya dimiliki oleh seorang mahasiswa sudah
cukup banyak? Kalimat yang mereka dengar dan baca juga sudah tak terhitung jumlahnya?
Persoalan apa yang sesungguhnya mereka hadapi? Dari bincang-bincang non-formal, sedikit
banyak dapat diketahui dari pengalaman keseharian bahwa mereka jarang menggunakan bahasa
Indonesia yang lengkap dan formal. Penyampaian gagasan biasa dilakukan secara ringkas
dengan bantuan gambar, simbol dan berlaku hukum tahu sama tahu. Sering juga dijumpai
penggunaan kata sifat yang dipertukarkan secara sembarangan, misalnya menggunakan kata
yang mewakili pengertian bagus secara asal saja, bisa dikatakan cantik, molek, indah, elok,
4

cakep tanpa memperhatikan nuansa yang ada di balik kata-kata tersebut. Mereka memilihnya
secara acak dan sesuai selera.
Dari segi penerapan ejaan dan tandabaca juga mengalami persoalan dan hambatan.
Komunikasi melalui jejaring sosial seperti: Facebook, Twitter, SMS, Blog, dan BBM, tidak
memperhatikan unsur penerapan ejaan dan tanda baca yang benar. Bisa dikatakan justru
mengacaukan penggunaan tanda baca yang baik dan benar. Melalui media itu dikacaukan hal
penggunaan huruf. Huruf besar maupun kecil digunakan tanpa mengindahkan kaidah. Begitu
juga penerapan tanda baca dan pembuatan singkatan. Tanda titik, koma, tanda seru , tanya dan
tanda-tanda yang lain dipergunakan secara sembarangan. Demikian juga dalam membuat
singkatan, kaidah penyingkatan kata sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Sebagai contoh,
hati-hati di jalan menjadi ttdj (identik dengan nama salah satu penyanyi Titi DJ ) tempat
disingkat dengan t4, yang mencampuadukkan antara huruf dan angka. Selain itu, hal penyerapan
kata asing juga dipergunakan dengan sembarangan, seperti: B4 =Before, Cm =Call me. Seolah
ada pemahaman bahwa semakin aneh, semakin kacau, justru semakin seru dan menarik. Kondisi
ini menyebabkan mahasiswa mengalami kendala dalam penerapan ejaan dan tanda baca.
Dari segi penyusunan kalimat dan paragraph juga terkendala. Kebiasaan menggunakan
bahasa ringkas melalui jejaring sosial menghambat mereka bernalar secara teratur dengan
menggunakan kalimat yang lengkap. Menyusun kalimat dengan pola subjek-predikat (objek)-
keterangan menjadi kesulitan tersendiri. Yang terjadi justru ide yang saling berkaitan dan
digabungkan begitu saja dalam kalimat yang panjang dan kompleks. Bila diurai kalimat panjang
tersebut sesungguhnya berasal dari dua atau tiga kalimat tunggal. Kesulitan dialami juga dalam
penyusunan paragraph. Selain kesulitan menata kalimat secara logis dan sitematis, juga
menentukan apakah satuan kalimat sudah merupakan satu paragraph yang mandiri.
Dalam kondisi seperti itu, katanya, Indonesia justru sangat tertinggal dalam kosakata baru
dalam istilah teknologi informasi, sehingga orang mengambil bahasa aslinya seperti komputer,
online, download, upload, website. Memang sudah diupayakan download diterjemahkan dengan
unduh atau website dengan laman, tapi hal itu kalah cepat, sehingga hal itu tidak begitu beterima.
5

Sedangkan dampak negatifnya adalah penggunaan bahasa Alay dapat mempersulit


penggunanya untuk berbaha Indonesia dengan baik dan benar. Padahal di sekolah atau di tempat
kerja, kita diharuskan untuk selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar. Tidak mungkin
jika pekerjaan kantor, ujian, makalah dikerjakan dengan menggunakan bahasa Alay. Karena,
bahasa Alay tidak masuk ke dalam tatanan bahasa akademis. Begitu juga di kantor, laporan yang
kita buat tidak diperkenankan menggunakan bahasa Alay.
Dampak negatif lainnya, bahasa Alay dapat mengganggu siapapun yang membaca dan
mendengar kata-kata yang termaksud di dalamnya. Karena, tidak semua orang mengerti akan
maksud dari kata-kata Alay tersebut. Terlebih lagi dalam bentuk tulisan, sangat memusingkan
dan memerlukan waktu yang lebih banyak untuk memahaminya.
Dapat disampaikan bahwa bahasa alay bisa saja mengusik tatanan Bahasa Indonesia,
namun dengan demikian keberadaan bahasa Indonesia juga bisa teruji dengan hal-hal yang baru
sehingga bisa lebih menguatkan Bahasa Indonesia. Sudah seharusnya, kita diharapkan dapat
menggunakan bahasa Indonesia sesuai kebutuhan dan tuntutan. Hal ini mengisyaratkan bahwa
sebaiknya kita bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan memerhatikan kaidah, peserta
komunikasi, situasi, kondisi dan tujuan komunikasi. Dengan demikian memang ada pembedaan
antara bahasa Indonesia yang baik dan bahasa Indonesia yang benar.

KEPUSTAKAAN
Buku Mini: Bahasaku Indonesia, Stemmare, dalam Seminar Potret Buram Sumpah Pemuda
1928: Digitalisasi Bahasa Indonesia, J akarta, 9 Oktober 2010
Keraf, Gorys. 1993. Komposisi. Cetakan IX. Ende Flores: Nusa Inda
_____ . 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Cet.Keenam belas. J akarta: Gramedia.
Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.
J akarta: Balai Pustaka.
Kurni Setyawati, Rs. Dan Tulusharyono, F.X. 2006. Korespondensi Indonesia: Panduan Lengkap
bagi Mahasiswa Akademi Sekretari, Sekretaris dan Pelaku Bisnis/Organisasi. J akarta: Mega
Media Abadi.

You might also like