You are on page 1of 5

Budaya Spiritual Jawa

(Tinjauan selayang pandang relevansi & perannya bagi Indonesia) Penyaji: Ki Sondong Mandali I Banyak anggapan bahwa lakubudaya spiritual dan ritual Jawa sebagai klenik, gugon tuhon, dan primitif penuh ketahayulan. Anggapan yang demikian sesungguhnya terlalu tergesa-gesa dan lebih berdasarkan keengganan untuk melakukan kajian mendalam tentang sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup Jawa yang melandasi adanya lakubudaya spiritual dan berbagai ritual Jawa. Setiap bangsa manusia tercipta dengan diberi kelengkapan wiji spiritual yang azali adi kodrati (build-in) dan sesuai (jumbuh, jw.) untuk menjalani hidup pada keadaan habitat (lingkungan alam mukim)-nya masing-masing. Kenyataannya, bahwa ada perbedaan situasi dan kondisi alam (termasuk nuansa spiritual-nya) pada bagian-bagian bumi. Dengan kata lain, dunia terbagi menjadi banyak gugus spiritual yang membedakan ras-ras manusia secara fisik, bahasa, dan wiji spiritual-nya. Interaksi wiji spiritual dengan keadaan habitat alam lingkungan menumbuh kembangkan cipta rasa karsa masing-masing bangsa. Dari cipta rasa karsa masing-masing, setiap bangsa melahirkan budaya dan peradabannya. Pada budaya dan peradaban setiap bangsa terkandung unsur-unsur budaya: sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup masingmasing bangsa tersebut yang azali adi kodrati. Universal atau tidak sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup suatu bangsa sifatnya relatif. Permasalahannya, ada pengaruh kondisi habitat lingkungan alam semesta setiap bangsa tersebut mukim. Bahwa Jawa merupakan bagian bumi yang tropis, vulkanis, maritim (bahari), subur makmur lengkap flora dan fauna (plasma nutfah)-nya, tetapi penuh dengan bencana alam. Situasi dan kondisi alam semesta Jawa yang demikian tersebut mendasari sistim religi, spiritualisme, filsafat hidup, tata kehidupan, lakubudaya (tradisi/adat), bahasa, sistim ilmu pengetahuan, seni, kriya, sastra, dan karakter dasar bangsa Jawa. Kesuburan bumi Jawa dengan ragam plasma nutfah yang lengkap menjadikan orang Jawa tercukupi kesediaan bahan pangannya. Maka tidak ada konflik dan persaingan mendasar untuk berebut pangan. Ketersediaan bahan pangan oleh habitat alam melahirkan mata pencaharian utama wong Jawa pada bidang pertanian dan kebaharian. Jenis pekerjaan yang butuh kerjasama banyak orang sehingga menjadikan hubungan antar manusia menjadi berkeadaban dengan pijakan nilai rukun dan selaras, gotongroyong. Banyaknya bencana alam, menjadikan wong Jawa sadar dan paham akan pekerti alamnya. Juga melahirkan pemahaman adanya hubungan kosmis-magis manusia dengan alam semesta (jagad raya) berikut segala isinya. Kesadaran adanya hubungan kosmis-magis menjadikan karakter wong Jawa bersahabat dengan alam. Dari sini lahir ritual dan budaya spiritual Jawa yang berhubungan dengan alam dan seluruh isinya. Olah cipta rasa karsa pada wong Jawa melahirkan pemahaman adanya maha kekuatan yang murba wasesa (mengatur dan menguasai) seluruh jagad raya. Maka lahir kesadaran hakiki tentang adanya realitas tertinggi untuk disembah yang disebut Kang Murbeng Dumadi yang tan kena kinayangapa. Kesadaran ini melahirkan ritual dan budaya spiritual panembah kepada sesembahan. Dengan alur pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, maka bisa kita pahami bahwa ritual dan budaya spiritual Jawa mengandung unsur-unsur hakiki: sebagai panembah kepada Sesembahan, sebagai hubungan kosmis-magis dengan alam semesta dengan seluruh isinya, dan sebagai ekspresi berkeadabannya manusia.
1

II Sejarah panjang Jawa membuktikan keberadaannya sudah dikenal oleh bangsa-bangsa lain sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan oleh catatan kesaksian sejarah bangsabangsa lain sebagaimana disebutkan Bambang Noorsena pada makalahnya Pancadharma Ksatria Indonesia dalam Sarasehan Budaya Refleksi dan Laku Spiritualitas Kebangsaan yang diselenggarakan BAWANA (Bangun Jiwa Nusantara) di Hotel DCokro Yogyakarta Tgl. 17 Mei 2008: 1. Kesaksian sejarah para penulis Romawi dan Yunani abad II M., yaitu: Strabo, Plinius dan Claudius Ptolemaus. Strabo dan Plinius menyebut wilayah berdaulat di sebelah timur India sebagai Chryse (Tanjung Emas), sebuah sebutan yang lazim untuk pulau Sumatra. Sedangkan Ptolemaus menyebut beberapa pulau dari gugus Indonesia antara lain: labadiou (Jawadwipa), Sabadeibei dan Barousai (Sabadiwpa dan Barus, keduanya ada di Sumatra). 2. Sumber-sumber sejarah India, khususnya Srimad Valmiki Ramayana (Maharshi Valmiki, 150 M.) dalam bahasa asli Sanskerta dalam parwa perintah Sri Rama kepada Hanoman ketiga menyuruh mencari Dewi Shinta yang diculik Rahwana telah menyebut wilayah kedaulatan Nusantara yang membentang dari Sumatra, Jawa, Bali ke arah timur sampai Papua: Yatnavanto Yavadwipam, Saptarajpasohitam, Suvarna-rupyakapwipam, Suvarnakamanditam yang artinya: Jelajahilah tanah Jawa, dan tujuh wilayah kerajaan menjadi hiasan Nusa Merah Putih, tanah Sumatra yang berlambang emas. 3. Sumber-sumber India lain, kitab Vayu Purana menyebut tujuh pulau yang dikelilingi tujuh samudra yang tidak lain menunjuk wilayah Nusantara yang didalamnya: Yawadwipa (pulau Jawa), Keserumat (semenanjung Sumatra). Masih banyak sumber India antara abad V-VI M. (Aryabhata, Suryasiddanta, dan Manjustri Mulakalpa) yang menyebut: Yawa (Jawa), Bali, Warusuka (Barus), dan Nadikera (Nusa Tenggara). Bahkan Suryasiddanta mengagumi Yawakoti (Jawa dan Kutai) yang disebutnya memiliki gerbang yang terbuat dari emas. 4. Dokumen Gereja Purba, Didascalia Apostolorum (Konstitusi Apostolik, edisi bahasa Arab: Kitab Talim ar-Rusul), yang diedit oleh St. Hypolitus di akhir abad II Masehi, menyebut diutusnya St. Thomas Rasul ke wilayah India besar dan negeri di kepulauan jauh. Tidak diragukan bahwa negeri di pulau-pulau yang jauh adalah tanah Nusantara. 5. Sumber-sumber sejarah Cina (I Tsing, Chau Ju Kua, dan Ma Huan) banyak menyebut Sriwijaya. Sedangkan sejarah Arab-Islam dapat dibaca dari laporan perjalanan Ibnu Batutah dalam bukunya Tuhfat an-Nuzar fi Graraib al Amsar wa Ajaib alAsfar , yang menyebut wilayah Sumatra. Selanjutnya, ahli hukum dunia Hugo Grotius (1625) menuklis dalam bahasa Latin :puta Javae, taprobanae, parties maximae Moluccarum (pulau Jawa, Sumatra dan kepulauan Maluku). Disamping catatan Bambang Noorsena tersebut, perlu dikemukakan catatan sejarah Berita Tionghoa yang ditulis N.J. Krom dan dibahas oleh Purbacaraka dalam buku Kepustakaan Jawa: Hwui-ning di abad 7 Masehi berguru agama Buddha kepada Jnanabadra (Johna-potolo, ejaan Cina) di Jawa Tengah. Catatan-catatan sejarah Bambang Noorsena sebagaimana dikemukakan serta tambahan dari penelitian Prof. Dr. I. Wayan Mertasutedja tentang hubungan budaya Jawa dengan budaya bangsa Indian Maya di Amerika Selatan yang berdasar adanya kembaran Candi Sukuh di Mexico, membuktikan bahwa jauh sebelum masuknya budaya dan peradaban Hindu/Buddha ke Jawa, sudah ada budaya dan peradaban asli Jawa yang dikenal di banyak penjuru dunia. Dalam hal ini menarik untuk dikaji dan ditelisik kemungkinan pengaruh budaya dan peradaban Jawa ke banyak bangsa yang mengenalnya tersebut di jaman kuno.

Landasan berpikirnya, bahwa bangsa Nusantara (termasuk Jawa) adalah bangsa bahari yang mampu berkelana melalui samudra, sementara banyak bangsa yang menulis Jawa dalam catatan sejarahnya bukan bangsa pelaut. Wacana pemikiran bahwa bangsa Jawa di jaman kuno memiliki kedaulatan penting artinya untuk melakukan tinjauan mendalam tentang sistim religi, spiritualisme dan filsafat hidup Jawa guna menelisik Laku Budaya Spiritual Jawa yang sejati. Bagaimanapun, secara logika, dikenalnya Jawa oleh bangsa-bangsa lain di banyak penjuru dunia, merupakan bukti ada yang lebih pada budaya dan peradaban Jawa yang sejati tersebut. Kelebihan tersebut kemudian mengundang bangsa-bangsa lain migrasi ke Jawa dan seluruh penjuru Nusantara. Dengan logika pula, ketika alat transportasi laut dikuasai bangsa Nusantara, maka pendatang yang migrasi ke Nusantara (termasuk Jawa) adalah para penumpang perahu-perahu dari Nusantara. Dengan demikian jumlah imigran jaman kuno bisa diperkirakan tidak signifikan pengaruhnya terhadap budaya dan peradaban Jawa. Namun demikian, ada nilainilai budaya kaum pendatang yang beradaptasi dan bersinergi dengan nilai-nilai budaya Jawa. Sinergi tersebut lebih berperan kepada pengayaan nilai-nilai yang sudah dimiliki secara azali adi kodrati. Sinergi pengayaan itupun melalui proses memilih dan memilah untuk mengambil yang cocok. Dalam hal ini, menarik dikedepankan pendapat Prof. Dr. Timbul Haryono, MSc. Dalam sarasehan budaya yang diselenggarakan Yayasan Sekar Jagad di PPG Kesenian Yogyakarta, 3 September 2005: Penerimaan Jawa terhadap nilai-nilai Hindu dan Buddha diposisikan sebagai baju, isinya tetap utuh Jawa. Maka ada perbedaan signifikan antara Hindu Jawa dan Buddha Jawa dengan yang asli di India. III Menelisik sejarah Jawa yang menjadi tempat untuk didatangi bangsa-bangsa lain, dan kemudian menjadi tempat penyebaran dan tumbuh kembangnya agama-agama besar dunia, maka membuktikan bahwa budaya dan peradaban Jawa ramah dan toleran terhadap budaya dan peradaban lain. Bahkan kemudian bersedia untuk bersinergi dan sampaipun ke masalah laku budaya spirituil. Sinergi yang menghasilkan sinkretisme ini yang kemudian menjadikan para peneliti Jawa dan ke-Jawa-an menganggap budaya dan peradaban Jawa adalah hasil meniru dan menurun dari budaya dan peradaban bangsa lain. Namun demikian, ada yang terlewatkan (atau sengaja dikesampingkan) oleh para peneliti tersebut. Diantaranya, dalam masalah ritual-ritual Jawa di-gebyah uyah dan dianggap sebagai pemujaan terhadap sesembahan. Maka kemudian Jawa sebelum masuknya agama-agama diposisikan sebagai animisme dan menyembah arwah leluhur. Malahan ada yang kemudian menganggap lakubudaya spiritual Jawa sebagai upaya menggapai kesaktian semata. Tak kurang pula yang menganggap lakubudaya spiritual Jawa sebagai ritual bersekutu dengan setan untuk mendapatkan kesaktian tersebut. Salah paham yang demikian perlu diklarifikasi dengan mengemukakan aras dasar (landasan) utama lakubudaya spiritual Jawa yang sejati. Sebagaimana telah dikemukakan pada bab I, bahwa budaya dan peradaban Jawa merupakan hasil olah cipta rasa karsa yang sumbernya berasal dari interaksi antara wiji spiritual Jawa dengan kondisi (lahiriah dan rohaniah) alam semesta Jawa. Interaksi inilah yang kemudian melahirkan pemahaman-pemahaman tentang: 1. Adanya Tuhan sebagai Kang Murbeng Dumadi yang maknanya dijelaskan dalam kawruh Sangkan paraning dumadi dan melahirkan lakubudaya spiritual sebagai ritual panembah.

2. Adanya alam semesta dan seluruh isinya yang saling berhubungan secara kosmismagis yang penjabarannya ada pada kawruh (filosofi) Panunggalan dan melahirkan lakubudaya spiritual sebagai ritual panunggalan (jumbuhing jagad cilik lan jagad gedhe). 3. Adanya sesamaning titah manungsa yang saling berhubungan secara berkeadaban lahiriah dan rohaniah yang melahirkan Piwulang Kautaman sebagai landasan tata pergaulan antar umat manusia cara Jawa. Ketiga hal pemahaman tersebut merupakan naluri dasar alamiah wong Jawa yang mijil dari wiji spiritual yang telah berinteraksi dengan situasi dan kondisi alam semesta Jawa dengan segala plasma nutfah-nya. Wiji spiritual maupun alam semesta Jawa samasama pemberian Tuhan yang bersifat azali adi kodrati. IV Tinjauan empiris membuktikan bahwa dunia terbagi dalam gugus budaya yang saling berbeda antara satu gugus dengan gugus yang lain. Pada pemetaan gugus budaya ini, maka Nusantara (Indonesia) merupakan satu gugus budaya yang memiliki kekhasan. Namun demikian, gugus budaya Nusantara pada perjalanan sejarahnya sering berubah batas-batas wilayahnya. Hal ini disebabkan oleh adanya negara (kerajaan) yang berdiri di wilayah gugus budaya Nusantara. Sebagaimana disebutkan dalam catatan-catatan sejarah yang dikemukakan Bambang Noorsena, maka membuktikan bahwa jauh sebelum berdirinya Kerajaan Sriwijaya, Jawa dan Nusantara sudah pernah memiliki negara yang berdaulat. Demikian pula penyebutan Sumatra sebagai semenanjung dan Jawa selalu dengan sebutan Yawadwipa (pulau Jawa), maka bisa ditarik pengertian bahwa di jaman kuno Sumatra merupakan bagian dari Asia daratan, sementara Jawa dan pulau-pulau lain sebagai gugus kepulauan di sebelah timurnya. Dengan demikian, gugus Nusantara bisa dianggap meliputi daratan Asia Tenggara dan kepulauankepulauan di sekitar Asia Tenggara tersebut. Bahwa di wilayah satu gugus budaya pada kenyataannya ada bangsa-bangsa dan suku bangsa yang berbeda budaya dan peradabannya. Namun demikian masih bisa dianggap sebagai serumpun dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Berdasar kajian sejarah, maka hubungan antar etnis dan sub etnis di gugus budaya Nusantara berubah-ubah secara dinamis yang disebabkan oleh perubahan wilayah kekuasaan negara (kerajaan) yang ada. Ketika gugus Nusantara dikuasai Sriwijaya, maka budaya dan peradaban Melayu menjadi dominan di gugus budaya Nusantara. Namun perlu dicatat bahwa di masa jayanya Sriwijaya, Jawa tidak termasuk dalam wilayah kekuasaannya. Maka pengaruh budaya dan bahasa Melayu kepada Jawa tidak signifikan. Ketika jayanya kekuasaan Majapahit, budaya dan peradaban Kawi (Jawa Kuno) yang dominan. Namun perlu dicatat, bahwa wilayah Pasundan secara kultural tidak menerima kekuasaan Majapahit yang disebabkan oleh peristiwa Perang Bubat. Tersebarnya agama Islam di Nusantara dan disusul runtuhnya Majapahit, membuat perubahan peta kerajaan-kerajaan di Nusantara. Pada masa ini, Jawa yang telah menerima Islam menjadi terpecah-pecah dalam banyak kultur. Wilayah pesisir utara dari Banten sampai ke Brang Wetan yang lebih banyak mencerap nilai-nilai budaya dan peradaban Islam berkultur Santri. Di pedalaman bagian selatan berkultur Mataram (Islam-Kejawen), sedang di pedalaman Jawa Barat berkultur Sunda Kawitan dan Baduy. Di bagian lain Nusantara terbagi-bagi dalam berbagai kultur. Berbagai kesultanan Islam berkuasa, namun di wilayahnya banyak kantong-kantong kultur asli yang tetap eksis. Artinya, bahwa semenjak

runtuhnya Majapahit, Nusantara terisi serpihan berbagai kultur yang boleh dikatakan tidak ada yang berdaulat penuh. Maka ketika NKRI sebagai negara yang berdiri di gugus budaya Nusantara, berbagai serpihan budaya dan peradaban yang tidak berdaulat tersebut disatukan dalam realitas baru, negara baru, dan bangsa baru yang berdaulat, yaitu negara dan bangsa Indonesia. V Sampailah kajian kita terhadap relevansi dan peran Budaya Spiritual Jawa bagi Indonesia. Untuk itu, perlu dipahami bahwa proses meng-Indonesia pada seluruh unsurunsurnya (termasuk Jawa) belum selesai. Masih terjadi kerancuan pemahaman membangun jatidiri Indonesia dengan penguatan identitas unsur-unsur. Dalam hal berkaitan dengan Jawa, maka terjadi pergumulan nilai-nilai untuk meng-Indonesia dan penguatan identitas Jawa. Bahkan pergumulan nilai-nilai tersebut bertambah muyeg (rumit dinamis?) dengan masuknya nilai-nilai budaya dan peradaban dari agama yang dipeluk, serta nilai-nilai budaya dan peradaban modern Barat. Maka diperlukan suatu kecermatan, kehati-hatian, dan kearifan dalam mengangkat wacana-wacana Jawa dan ke-Jawa-an. Dengan demikian tidak mengganggu proses meng-Indonesia secara tuntas. Budaya Spiritual Jawa melekat erat pada SDM wong Jawa karena bersumber dari wiji spiritual yang azali adikodrati pemberiaan Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula, sepanjang sejarah Nusantara, budaya spiritual Jawa selalu relevan terhadap eksistensi negaranegara (kerajaan) yang pernah ada. Bahkan mempunyai peran positif menjadikan jaya kerajaan-kerajaan tersebut. Bukti empirisnya berupa peninggalan monumen bangunan berupa candi-candi (Hindu dan Buddha) di Jawa yang lebih dibanding peninggalan di tempat agama Hindu dan Buddha berasal. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa budaya spiritual Jawa memiliki karakter: ngemot, momong, dan mangkat (meninggikan derajat hingga berjaya) semua kerajaan yang ada meskipun berbeda budaya dan peradaban. Karena azali adikodrati, maka meskipun telah dan akan bersinggungan, bersinergi, dan bersinkretisme dengan banyak budaya spiritual yang lain, budaya spiritual Jawa masih tetap eksis tidak banyak berubah. Persoalan utamanya, bahwa budaya spiritual Jawa tetap memiliki aras dasar kuat pada kesadaran: ber-Tuhan, kesemestaan, dan keberadaban. Ketiga aras kesadaran tersebut merupakan dasar universalitas budaya spiritual Jawa. Di banyak bagian dunia, konflik antar manusia lebih disebabkan oleh perbedaan sistim religi yang terperangkap kepada sikap primordial sempit para pemeluknya. Adalah sistim religi Jawa yang menyatakan Tuhan tan kena kinayangapa dan tidak mempersoalkan berbagai bentuk ritual panembah menjadi tali perekat persatuan antar manusia yang berbeda-beda. Benarlah kiranya pernyataan Mpu Tantular (wong Jawa jaman Majapahit): Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa. Demikian, dan kurang lebihnya mohon berkenan legawa menerima wacana pemikiran saya ini. Swuhn.
Makalah ini disajikan pada: 1. TEMU AGUNG KEBATINAN DAN DIALOG KEBANGSAAN di HENING GRIYA Baturaden Purwokerto Tgl. 24/25 Juli 2008, Penyelenggara: KEUSKUPAN PURWOKERTO 2. Lokakarya Kebudayaan Jawa di Benteng Willem Ungaran Tgl. 3 Agustus 2008 yang diselenggarakan oleh Paguyuban Insan Nyawidji Semarang. Ki Sondong Mandali adalah nama lain dari Totok Djoko Winarto Ketua Yayasan Sekar Jagad tinggal di Jl. Keruing II/111 Banyumanik Semarang Tilp: (024) 7477292; HP: 08157611019; e-mail: kisondongmandali@yahoo.com

You might also like