You are on page 1of 6

Nama : Arip Prahmanto Klas : A Nim : 040610308 TTD.........................

PENERAPAN TARIF SEBAGAI USAHA UNTUK MELINDUNGI INDUSTRI DALAN NEGERI

Hampir tidak ada negara di dunia yang tidak melindungi industri dalam negerinya, apalagi itu menyangkut industri kunci. Pada awal pembangunan industri di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis mereka melakukan berbagai macam proteksi.Banyak industri di Asia seperti India, Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Malaysia mengikuti kebijakan yang mirip dengan itu (Chang dan Grabel, 2004). Bukti-bukti empiris membuktikan bahwa keberhasilan negara industri tersebut bukan karena perdagangan bebas melainkan sebaliknya. Banayk para ahli yang meragukan kesimpulan bahwa semakin terbuka pasar suatu negara maka pertumbuhan semakin pesat. Pertumbuhan ekonomi India dan Cina tumbuh lebih cepat pada waktu negara tersebut belum membuka pasarnya secara luas dan memproteksi industri ( Chang dan grabel 2004; Akyuz, 2003; Akyuz, 2004). Baru-baru ini menyampaikan bahwa faktor utama yang membedakan negara berkembang yang telah tumbuh dalam tahun-tahun belakangan ini dengan negara-negara berkembang lainnya adalah kemampuan mereka untuk menerobos pasar bagi produk manufaktur. Dalam hal ini di sektor-sektor industri menjadi dasar dari pertumbuhan.

Dalam beberapa tahun terakhir, eksportir produk primer dari negara berkembang telah secara progresif meningkatkan ekspor produk non-pertanian. Saat ini

sedikitnya 70% dari ekspor negara berkembang terdiri dari produk manufaktur. Tekstil dan pakaian jadi (12%) menjadi semakin besar peranannya dibandingkan perdagangan produk pertanian (sekitar 10% dari perdagangan total oleh negara berkembang).

Putaran Uruguay telah memberikan peluang baru bagi negara berkembang. Statistik WTO memperlihatkan bahwa negara berkembang mencapai hampir separuh ($47 milyar) dari sekitar $100 milyar dalam pertumbuhan perdagangan pertanian antara tahun 1993-1998. Pertumbuhan ekspor negara-negara tersebut mencapai 72% dalam periode tersebut, dari $120 milyar menjadi $167 milyar. UE merupakan sumber utama dari pertumbuhan ini.

Sejak diselesaikannya Putaran Uruguay, impor produk pertanian UE dari negara berkembang memperlihatkan pertumbuhan yang meningkat, dengan pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 5% selama periode 1996-2001 dibandingkan 3% selama tahun 1990-1995. Dalam WTO, negara berkembang diperbolehkan untuk mempertahankan tingkat tarif proteksi yang signifikan. Semua negara anggota WTO setuju untuk mengikat tarif mereka setelah Putaran Uruguay. Hal tersebut merupakan prinsip dasar GATT yang memberikan kepastian bagi semua eksportir dan membantu dalam mencegah perang dagang.

Tarif yang diikat oleh negara berkembang untuk produk pertanian sangat tinggi. Angka tersebut rata-rata melebihi 100% bagi India dan Tunisia; lebih dari 80% bagi Colombia, Bangladesh dan Romania; dan lebih dari 30% bagi Argentina dan Brazil yang memiliki daya saing tinggi bagi produk pertanian. Hal ini memberikan mereka marjin yang luas untuk mengatur siasat, bahkan jika mereka menerapkan tarif yang lebih rendah, mereka selalu akan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan tarif pada tingkat tarif konsolidasi. Tarif efektif yang diterapkan dari negara berkembang lebih rendah daripada yang mereka ikat, tetapi pada kenyataannya sangat tinggi, dibandingkan di negara-negara industri yang rata-rata 65% di Mesir, 32% di Thailand dan lebih dari 25% di Mali atau Bangladesh.

Berkaitan dengan bantuan domestik di bidang pertanian, Putaran Uruguay memberikan garansi fleksibilitas bagi negara berkembang untuk memberikan

subsidi bagi sektor pertanian. Perjanjian menetapkan "ceiling" dimana subsidi dilindungi dari penurunan. Subsidi-subsidi ini dapat berjumlah sampai 10% dari nilai produksi, dua kali dari tingkat aplikasi di negara-negara industri. Sampai pada tingkat tersebut, bantuan tidak menjadi bahan pertentangan di WTO.

Perundingan saat ini dilanksanakan berdasarkan tingkat tarif yang diikat, yang menjadikan negara berkembang dalam posisi yang diuntungkan, dimana mereka dapat mengkonsolidasikan pada tarif mereka yang tinggi.

Food security merupakan masalah struktural di banyak negara berkembang, yang bukan saja diambil dari praktek perdagangan yang tidak adil, tetapi hal tersebut mula-mula berasal dari kemiskinan dan kurangnya sumberdaya. Perdagangan akan memberikan kontribusi yang positif atau negatif, tergantung dari kondisi yang berlaku di setiap negara dan pada berapa jauh peraturan multilateral mengambil isu ini sebagai pertimbangan. Oleh karena itu, membawa isu food security dalam Doha Development Agenda merupakan suatu hal yang sangat penting.

Menyadari adanya keinginan fleksibilitas yang lebih besar dari negara berkembang, Komisi mengajukan diciptakannya security box yang akan memperbolehkan negara berkembang untuk: melakukan liberalisasi pasar yang cakupannya lebih sempit dan dalam waktu yang lebih lambat ( less market liberalisation and at a slower pace). Waktu implementasi dapat 10 tahun bagi negara berkembang dan enam tahun bagi negara maju. Melindungi pasar mereka bagi produk sensitive dengan menggunakan instrument safeguard khusus dan diperbolehkan lebih fleksibel untuk membantu sektor pertanian dengan alasan food security atau pembangunan.

Hambatan perdagangan ada dua kelompok yaitu hambatan tarif dan hambatan non tarif. Kedua hambatan tersebut sama-sama dapat mempengaruhi aliran barang dan jasa, sekaligus dapat melindungi industri dalam negeri dari persaingan yang tidak sehat atau mendorong indutri bayi. Hambatan tarif dianggap sebagai perlindungan yang sangat transparan danmenjadi sumber penerimaan buat pemerintah suatu negara. Akan tetapi banyak negara

berkembang seperti Indonesia sulit melindungi industri dalam negeri dengan hambatan tarif. Semakin tinggi tingkat tarif maka semakin besar insentif buat penyelundupan dan semakin sulit memberantas KKN. Untuk itu Indonesia sebaiknya mempertimbangkan efektivitas dan kemampuan dalam melaksanakan kebijakan perlindingan yang sederhana, fleksibel, bukan harus pasrah memilih sesuai dengan buku teks. Pada waktu itu Indonesia menerapkan tinkat tarif moderat pada beras, teryata kurang efektif dan banyak penyelundupan. Akibatnya banyak petani yang menjerit, harga gabah jatuh dibawah harga pembelian pemerintah (HIPP) meluas dan berlangsung sepanjang tahun. Pemerintah kemudian melarang impor beras dalam bulan panen raya sejak tahun 2004. Sejak pertengahan tahun 2004, pola musiman pergerakan harga mulai tertib kembali.Kebijakn pelarangan impor tersebut tampaknya tidak sejalan di era perdagangan multirateral, maka ditentukan kebijakn lain di antaranya dalah : Tariff rate Quota ( TRQ) TRQ adalah bentuk hambatan perdagangan, tetapi relatif lebih transparan, dan bukan sebagai quantitative restriction. Alasanya, TRQ masih membuka pasar dan menerapkan tarif yaitu tarif diterapkan lebih rendah dalam kuota (in-quota) dan lebih tinggi di luarnya (out-quota) sehinggaTRQ diangap lebih transparan dan tidak menutup pasar. Tarif kuota umumnya banyak dimanfaatkan oleh negara maju maupun oleh negara berkembang untuk melindungi industri domestik mereka.Misalnya Polandia yang menetapkan 109 tarif yang memperoleh TRQ, Thailand (23 pos tarif), Venezuela (61), Afrika Selatan (53), dan Amerika Serikat (54) (lihat WTO, 2004). Pada umumnya TRQ digunakan untuk melindungi industri/komunitas sayur dan buah, juga untuk komuditas pangan, seperti serealia, susu dan oilseeds (WTO,2001) Perlindungan (safeguard) dan perlindungan khusus (speciality safeguard) Safeguard merupakan perlindungan sementara guna mengatasi serbuan impor. Kadang-kadang safeguard disebut juga sebagai pasal pengecualian (escape clause), pengecualian dari kewajiban (obligation) dalm keadaan khusus. Perlindungan ini dapat dilakukan dengan meningkatkan tarif lebih dari yang telah dicatat (bound tariff) atau membatasi impor (import retriction).

Perlindungan sementara untuk produk pertanian selain mengacu pada Agreement on safeguard, juga mendapat perlindungan khusus yang disebut special safeguards (SSG). Perlindungan melalui SSG dan Agreement on safeguard ternyata sulit diimplikasikan oleh negara berkembang karena memerlukan waktu yang lama serta biaya yang besar untuk pembuktian adanya injury. State Trading Enterprise (STE) STE adalah perusahaan yang mendapat perlakuan khusus dari pemerintah.Perusahaan ini tidak terbatas perusahaan Negara, tetapi juga swasta/korporasi atau producer marketing boards. STE dapat juga digunakan pemerintah untuk mengelola impor beras, menjaga syok pangan nasional serta stabilisasi harag beras dalam negeri. Pemerintah negara berkembang dan negara maju menggunakan STE untuk mengimplementasikan kebijakn dukungan pendapatan (income support) atau jaminan harga produsen. STE pertanian di negara berkembang pada umumnya untuk melaksanakn kebijakan stabilitas harga. Negara berkembang di Asia yang memiliki STE adalah Cina, India, Filipina, Malaysia, Thailand, Bangladesh, Maldives, Fiji, Papua Timur (PNG), Vietnam, Kamboja,dan Laos. Sedangkan STE di negara maju dijumpai di negara Jepang, Korea Selatan, Swiss, Norwegia, Kanada, AS, Australia, dan Selandia Baru. Tabor (2002) meperkirakan keberadaan STE di masa mendatang seperti berikut: (i) diskriminasi perdagangan yang diberikan kepada STE pertanian seperi hak monopoli impor diperkirakan akn semakin berkurang. STE akan mengarah pada pemegang kuota buat komoditas pertanian penting. (ii) Sepak terjang SPE akan diawasi dan dikontrol lebih ketat, terutema dal aspek pendanaan dan pengadaan barang.

KESIMPULAN
Pemerintah sebaiknya tidak lagi ke hambatan import restriction untuk melindugi beras dalam negeri.Yaitu dengan menerapkan instrumen TRQ dan melibatkan STE serta swasta. Impor hanya diperbolehkan pada bulan Nopember dan Desember dengan tingkat kuota yang telah ditetapkan. Hal tersebut merupakan bentuk perlindungan yang lebih realistis untuk negara yang masih lemah dalam penegak hukum dan pemberantasan KKN.

DAFTAR PUSTAKA

Sawit, Husein Melindunggi industri padi: menerapkan tarif kuota dan memerankan STE Google (up date 16 oktober 2008) Angraini, Sodang UE dan Perdagangan Produk Pertanian Google (up date 25 oktober).

You might also like