You are on page 1of 2

Penghargaan Sejarah Kerajaan Kutai Kepada Bangsawan Kerajaan Bugis Wajo

Piagam penganugrahan Putra Mahkota Dari Maharaja Kutai Mulawarman KABARKAMI. Kutai kartanegara ing Martapura merupakan sebuah kesultanan yang terletak di Tenggarong, kalimantan Timur. Kesultanan Kutai Kartanegara diperkirakan berdiri pada tahun 1300-an Masehi (abad 14) dan tidak bisa dipisahkan dari sejarah sebuah kerajaan tertua yakni kerajaan Kutai dengan rajanya yang terkenal, Mulawarman abad 4-5 Masehi. Kerajaan Kutai Kartanegara terletak di muara sungai Mahakam yang dikenal dengan nama kutai Lama. kutai Lama sejak dulu merupakan jalur perdagangan dan terkenal subur. Pada saat perluasan ekspansi kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, banyak diantara raja-raja dan keluarga bangsawan Bugis yang tidak mau takluk pada Sultan Hasanuddin kemudian berpindah ke Kalimantan Timur bersama-sama dengan rakyat yang setia kepadanya. Dalam perpindahan tersebut, tidak jarang menemui perselisihan dengan raja-raja di Kalimantan Timur yang berakhir dengan peperangan dan pertempuran yang pada akhirnya mempengaruhi tatanan pemerintahan kesultanan Kutai Kartanegara. Masa itu pula muncul seorang ksatria Bugis dari Wajo, Sulawesi Selatan yang menguasai perairan kawasan tersebut yakni La Madukelleng. Dalam sebuah pertikaian dengan raja Bone, ia kemudian berkelana malangmelintang di negeri orang mengukir kejayaan orang Bugis secara turun menurun.

Dengan modal ketangguhan armada lautnya, La Maddukeleng beserta para pengikutnya dan delapan orang bangsawan yang menyertainya antara lain La Mohang Daeng Mangkona, La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siareje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng Punggawa hidup berpindah-pindah dan akhirnya menetap di wilayah Kerajaan Pasir selama sepuluh tahun yang diperkirakan sejak tahun 1714. La Madukkelleng kemudian menikahi putri raja Pasir. La Madukelleng memiliki pasukan armada laut yang sangat ditakuti pihak Belanda pada abad XVII dan merajai perairan Indonesia Timur, perairan Filipina dan Selat Malaka. Ia kemudian diangkat sebagai Sultan Pasir alias Arung Pasere dan memerintah sekitar 10 tahun (1726 1736), sebelum ia kembali menjadi Arung Wajo (Raja Wajo) di kampung halamannnya (kini wilayah Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) dari tahun 1736 1740. Sementara itu, sebagian rombongan yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona kembali menuju ke tanah Kutai dan membentuk pemukiman yang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Samarinda. Pemimpin kerajaan Kutai yang pertama menggunakan gelar Sultan adalah Aji Sultan Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng. Raja Kutai inilah yang memberikan bantuan ketika rakyat Sulawesi Selatan berperang dalam invasi VOC yang kemudian meninggal di tanah Bugis. Sejarah Dinamika politik dalam sistem pemerintahan kerajaan Kutai tidak terlepas dari pengaruh dan dukungan kerajaan Bugis Wajo sampai dalam masa perkembangannya sekarang ini, kendati sistem kesultanannya telah dihapuskan dalam sistem pemerintahan pada tahun 1960. Sejak tahun 1999, Pemerintah Kutai Kertanegara sudah kembali melakukan upaya menghidupkan kembali kesultanan Kutai Kertanegara dengan berdasarkan pertimbangan inovasi pariwisata dan pelestarian cagar budayanya. Pada tahun 2001, Pemerintah Indonesia melalui keputusan presiden saat itu, Abdurrahman Wahid (Gusdur) melegalisasi kembali pendirian kesultanan Kutai Kertanegara. Dengan berdirinya kembali kesultanan kerajaan ini maka semua unsur-unsur kerajaan Kutai Kertanegara kembali mengkaji sejarahnya untuk merefleksikan warisan leluhurnya dimana dalam silsilah kerajaannya terdapat transformasi budaya dari orang-orang Bugis Wajo . Salah satu bentuk penghormatan dan penghargaan kesultanan Kutai kertanegara dengan sejarah kerajaannya maka pihak keluarga kerajaan Kutai Kertanegara melalui Maharaja Kutai Mulawarman, mengeluarkan sertifikat penganugrahan kepada salah satu bangsawan kerajaan Wajo pada tanggal 5 Januari 2013 yaitu Indra Abdul Wahab dan mematrinya dalam sebuah bentuk piagam kerajaan. Penganugrahan maharaja Kutai ini ternyata menuai polemik dikalangan para bangsawan Bugis Wajo lantaran penganugrahan putra mahkota seperti yang tertera dalam piagam tersebut belum mendapat restu dari dewan adat kerajaan Bugis Wajo. (sumber: kerajaannusantara,com, Grup Sempugi)

You might also like