You are on page 1of 10

NAMA : ANGGRAENI PARWATI NIM : 0961050036 FK UKI

TUGAS
1. Dermatosis vesikobulosa kronik: a. Pemfigus Bentuk : pemphigus vulgaris, pemphigus eritematosus, pemphigus follaseus, pemphigus vegetans Pemfigus vulgaris Etiologi : autoimun Sifat khas : o Akantolisis (hilangnya kohesi sel-sel epidermis) o Adanya antibody IgG terhadap antigen pada permkaan keratinosit yang berdifernsiasi. Gejala klinis : Keadaan umum pada umumnya buruk; 60 % diawali dengan lesi erosi disertai krusta pada scalp selama berbulan-bulan sampai timbul bula generalisata; semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang. Bula berdinding kendur, mudah pecah dan menimbulkan krusta yang bertahan lama. Terdapat tanda Nikolskiy (pada penekanan bula meluas). Jarang terjadi pruritus, namun penderita sering mengeluh nyeri pada kulit yang terkelupas. Saat penyembuhan meninggalkan hipopigmentasi/hiperpigmentasi tanpa jaringan parut. Pengobatan : Sistemik dapat diberikan kortikosteroid (prednisone) 60 150 mg/hari atau 3 mg/kgBB/hari untuk pemphigus berat. Jika belum ada perbaikan 5 7 hari dengan dosis inisial, maka dosis dinaikkan 50%. Pemberian prednisone > 40 mg/hari harus disertai antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid, dapat dikombinasikan dengan sitostatik (azatioprin) dengan dosis 50 150 mg/hari atau 1 3 mg/kgBB, dengan indikasi dosis prednisone mencapai 60 mg/hari. Topical dapat diberikan silver sulfadiazine sebagai antiseptic dan astringen. Pada lesi pemphigus yang sedikit dapat diobati dengan kortikosteroid intradermal dengan triamsinolon asetonid. Pemphigus eritematosus

Gejala klinis : keadaan umum baik. Dapat disertai remisi. Kelainan kulit berupa bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama dan krusta di muka menyerupai kupu-kupu. Dapat berubah menjadi penfigus vulgaris atau foliaseus. Pengobatan : kortikosteroid (prednisone) 60 mg/hari. Bila perlu dapat diberikan obat sitostatik. Pemphigus foliaseus

Gejala klinis : umumnya pada orang dewasa (40 50 tahun). Perjalanan penyakit kkronik, remisi terjadi temporer. Yang khas adalah terdapatnya eritema yang menyeluruh disertai banyak skuama yang kasar, bula berdinding kendu sedikit, agak berbau. Pengobatan : sama dengan pemphigus eritematosus. Pemphigus vegetans

Tipe Neumann : menyerupai pemphigus vulgaris. Predileksi pada muka, aksila, genitalia eksterna, dan daerah intertigo yang lain. Yang khas, bula-bula yang kednur menjadi erosi dan kemudia menjadi vegetative dan proliferative papilomatosa terutama di daerah intertigo. Tipe Hallopeau : kronik, dapat seperti pemphigus vulgaris dan fatal. Lesi primer ialah pustule-pustul yang bersatu, meluas ke perifer, menjadi vegetative dan menutupi daerah yang luas di aksila dan perineum. Pengobatan : seperti pemphigus vulgaris. b. Pemfigoid bulosa Etiologi : autoimunitas. Gejala klinis : keadaan umum baik. Bula bercampur vesikel, berdinding tegang, sering disertai eritema. Tempat predileksi ialah di ketiakm lengan fleksor dan lipat paha. Pengobatan : prednisone 40 60 mg/hari, tapering off. Dapat dikombinasikan dengan obat sitostatik. Obat lainnya DDS 200 300 mg/hari, tetrasiklin (3x500 mg/hari) dikombinasikan dengan niasinamid (3x500 mg/hari) atau eritromisin. c. Dermatitis herpetiformis (Morbus Duhring) Penyakit menahun dan residif. Ruam bersifat polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan sistemik serta disertai rasa sangat gatal. Gejala klinis : biasanya pada decade ketiga. Keadaan umum baik. Sangat gatal. Predileksinya di punggung, daerah sacrum, bokong, daerah ekstensor lengan atas, sekitar siku, dan lutut. Ruam berupa eritema, papulo-vesikel, dan vesikel/bula yang berkelompok dan sistemik. 1/3 kasus disertai stetorea. Pemeriksaan lab : hipereosinofilia >40%.

Pengobatan : DDS (diaminodifenilsulfon) 200 300 mg/hari. Pilihan kedua yaitu sulfapiridin dengan dosis 1 4 gram/hari, namun efek toksiknya banyak. Diet rendah gluten. d. Chronic bullous disease of childhood (C.B.D.C) C.B.D.C ialah dermatosis autoimun yang biasanya mengenai anak <5tahun ditandai dengan adanya bula dan terdapatnya deposit IgA lineal yang homogeny pada epidermal basement membrane. Gejala klinis : keadaan umum baik. Tidak begitu gatal. Kelainan kulit berupa vesikel atau bula, berdinding tegang di atas kulit yang normal atau eritematosa, cenderung bergerombol dan generalisata. Lesi sering tersusun anular disebut cluster of jewels configuration. Pengobatan : sulfonamide (sulfapiridin) 150 mg/kgBB/hari. DDS atau kortikosteroid atau kombinasi. e. Pemfigoid sikatrisial Gejala klinis : keadaan umum baik. Banyak pada mukosa, 10-30% pada kulit yaitu di daerah inguinal dan ekstremitas. Bula umumnya tegang, lesi biasanya terlihat sebagai erosi. Pengobatan : prednisone 60 mg. f. Pemfigoid gestationis Dermatosis autoimun dengan ruam polimorf yang berkelompok dan gatal, timbul pada masa kehamilan dan masa pascapartus. Gejala klinis : gejala prodromal yaitu demam, malese, mual, nyeri kepala dan rasa panas dingin. Sebelum timbul erupsi dapat didahului dengan perasaam sangat gatal seperti terbakar. Terlihat banyak papulo-vesikel yang sangat gatal dan berkelompok. Polimorf terdiri atas eritema, papul, edema dan bula tegang. Saat timbul serangan paling sering pada trimester kedua (5-6 bulan). Pengobatan : prednisone 20 40 mg/hari. Antihistamin dan steroid topical juga dapat diberikan.

2. Pioderma : Penyakit kulit yang purulen Infeksi kulit oleh bakteri Etiologi: Pyogenes-cocci, Staphylococcus aureus & Streptococcus b. hemolyticus Lesi kulit dibagi dalam: o Infeksi kulit primer o Infeksi kulit sekunder (Mis: orang digigit nyamuk bernanah) a. Impetigo Impetigo krustosa

Etiologi : Streptococcs hemolyticus Gejala klinis : tidak disertai gejala umum, hanya terdapat pad aanak. Predileksi pada muka (sekitar lubang hidung dan mulut). Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat pecah. Bila berobat yang terlihat ialah krusta tebal berwarna kuning seperti madu, jika dilepaskan tampak erosi di bawahnya.

Impetigo bulosa Etiologi : Staphylococcus aureus Gejala klinis : keadaan umum tidak dipengaruhi. Predileksi pada ketiak, dada, punggung,. Terdapat pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula dan bula hipopion. Apabila bula sudah pecah tampak koleret dan dasarnya eritematosa.

Impetigo neonatorum Varian impetigo bulosa pada neonatus, disertai demam. Predileksi : generalisata. Terjadinya impetigo pada area yang sebelumnya terkena penyakit kulit yang lain

Impetiginization :

b. Folikulitis Folikulitis superfisialis Gejala klinis : predileksi di tingkai bawah. Kelainan berupa papul atau pustule yang eritematosa dan di tengahnya terdapat rambut, biasanya multiple. Folikulitis profunda Gejala klinis : sama seperti folikulitis superfisialis, hanya teraba infiltrate di subkutan. c. Furunkel/karbunkel Etiologi : Staphylococcus aureus Gejala klinis : keluhannya nyeri. Kelainan berupa nodus eritematosa berbentuk kerucut, di tengahnya terdapat pustule, melunak menjadi abses yang berisi pus dan jaringan nekrotik, lalu memecah membentuk fistel. Predileksi pada aksila dan bokong. d. Ektima Etiologi :Streptococcus haemolyticus grup A Gejala klinis : ulkus superfisial dengan krusta berwarna kuning di atasnya yang biasanya di tungkai bawah. Jika krusta diangkat tamoak ulkus yang dangkal. e. Pionikia Etiologi : Staphylococcus aureus dan/atau Streptococcus haemolyticus

f.

g.

h.

i. j.

k.

l.

Gejala klinis : didahului trauma. Mulainya infeksi pada lipatan kuku, terlihat tanda radang, kemudian ke plate kuku dan terbentuk abses subungual. Erysipelas Etiologi : Streptococcus haemolyticus grup A Gejala klinis : demam, malese. Didahului trauma, biasanya di tungkai bawah. Kelainan kulit yang utama ialah eritema, berbatas tegas, pinggirnya meninggi dengan tanda-tanda radang akut. Dapat disertai edema, vesikel dan bula. Dapat menjalar ke proksimal dan sekitarnya Selulitis Etiologi, gejala konstitusi, tempat predileksi, kelainan pemeriksaan laboratorik, dan terapinya sama dengan erysipelas. Kelainan kulit berupa infiltrate yang difus di subkutan dengan tanda-tanda randang akut. Flegmon Ialah selulitis yang mengalami supurasi. Terapi seperti selulitis ditambah insisi. Ulkus piogenik Ulkus yang gambaran klinisnya tidak khas disertai pus di atasnya. Abses multiple kelenjar keringat Etiologi : Staphylococcus aureus Gejala klinis : pada anak. Nodus eritematosa, multiple, tidak nyeri, berbentuk kubah, dan lama memecah. Lokasi pada tempat yang banyak keringat. Hidraadenitis Etiologi : Staphylococcus aureus Gejala klinis : terjadi pada kelenjar apokrin. Didahului oleh trauma/mikrotrauma. Desertai demam,malese. Ruam berupa nodus dengan kelima tanda radang akut. Kemudian dapat melunak menjadi abses, dan memecah membentuk fistel yang disebut hidraadenitis supurativa Staphylococcal scalded skin syndrome (S.S.S.S) Etiologi : Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55, dan/atau faga 71. Gejala klinis : demam tinggi disertai ISPA. Pertama timbul eritema yang timbul mendadak pada muka, leher, ketiak, dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam. 24-48 jam timbul bula-bula besar berdinding kendur. Tanda Nikolskiy positif. Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tampak daerah-daerah erosive. Akibat epidermolisis tersebut, gambarannya mirip kombustio. Daerah-daerah tersebut mongering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi pada daerah yang tidak eritematosa yang tidak mengelupas terjadi dalam waktu 10 hari. Meskipun bibir sering dikenai, tetapi mukosa jarang diserang. Penyembuhan penyakit terjadi setelah 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.

Pengobatan : kortikosteroid tidak diberikan. Antibiotic seperti kloksasilin 3x250 mg/hari untuk orang dewasa. Pada neonates dosisnya 3x50 mg/hari. Yang lain dapat diberikan yaitu klindamisin dan sefalosporin generasi I. topical yang diberikan sufratulle atau kirm antibiotic.

3. Indikasi antibiotic topical : Eritromisin Eritromisin termasuk antibiotika golongan makrolid dan efektif baik untuk kuman gram positif maupun gram negatif. Antibiotika ini dihasilkan oleh Streptomyces erythreus dan digunakan untuk pengobatan akne. Eritromisin berikatan dengan ribosom 50S bakteri dan menghalangi translokasi molekul peptidil-tRNA dari akseptor ke pihak donor, bersamaan dengan pembentukan rantai polipepetida dan menghambat sintesis protein. Eritromisin juga memiliki efek anti-inflamasi yang membuatnya memiliki kegunaan khusus dalam pengobatan akne. Eritromisin tersedia dalam sediaan solusio, gel, pledgets dan salep 1,5 %- 2% sebagai bahan tunggal. Juga tersedia dalam sediaan kombinasi dengan benzoil peroksida, yang dapat menghambat resistensi antibiotika terhadap eritromisin. Kombinasi zinc asetat 1,2% dengan eritromisin 4% lebih efektif daripada dengan Clindamisin. Clindamisin Clindamisin adalah antibiotika linkosamid semisintetik yang diturunkan dari linkomisin. Mekanisme kerja antibiotika ini serupa dengan eritromisin, dengan mengikat ribosom 50S dan menekan sintesis protein bakteri. Clindamisin digunakan secara topikal dalam sediaan gel, solusio, dan suspensi (lotio) 1% serta terutama untuk pengobatan akne. Juga tersedia dalam kombinasi dengan benzoil peroksida yang dapat menghambat resistensi antibiotika terhadap clindamisin. Efek samping berupa kolitis pseudomembran jarang dilaporkan pada pemakaian clindamisin secara topikal. Metronidazol Metronidazol, suatu topikal nitroimidazol, saat ini tersedia dalam bentuk gel, lotio, dan krim 0,75%, serta sebagai krim 1% untuk pengobatan topikal pada rosasea. Pada konsentrasi ringan, obat dipakai 2 kali sehari, sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi obat dipakai sekali sehari. Metronidazol oral memiliki aktifitasbroad-spectrum untuk berbagai organisme protozoa dan organisme anaerob. Mekanisme kerja metronidazol topikal di kulit belum diketahui; diduga efek antirosasea berhubungan dengan kemampuan obat sebagai antibiotika, antioksidan dan antiinflamasi. Asam Azelaic Asam Azelaic adalah suatu asam dikarboksilik yang ditemukan pada makanan (sereal wholegrain dan hasil hewan). Secara normal terdapat pada plasma manusia (20-80 ng/mL), dan pemakaian topikal tidak mempengaruhi angka ini secara bermakna. Mekanisme kerja obat ini adalah menormalisasi proses keratinisasi (menurunkan ketebalan stratum korneum, menurunkan

jumlah dan ukuran granul keratohialin, dan menurunkan jumlah filagrin. Dilaporkan bahwa secara in vitro, terdapat aktifitas terhadap Propionibacterium acnes danStaphylococcus epidermidis, yang mungkin berhubungan dengan inhibisi sintesis protein bakteri (tempat yang pasti sampai saat ini belum diketahui). Pada organisme aerobik terdapat inhibisi enzim oksidoreduktif. Pada bakteri anaerobik terdapat inhibisi pada enzim oksidoreduksi (seperti tyrosinase, mitochondrial enzymes of the respiratory chain, 5-alpha reductase, dan DNA polymerase). Pada bakteri anaerob, terdapat gangguan proses glikolisis. Asam Azelaic digunakan terutama untuk pengobatan akne vulgaris, dan ada yang menyarankan digunakan untuk hiperpigmentasi (misalnya melasma), meskipun FDA tidak menyetujui indikasi ini. Asam Azelaic tersedia dalam sediaan krim 20%. Infeksi bakteri superfisial Mupirosin Mupirosin, yang dahulu dikenal sebagai asam pseudomonik A adalah antibiotika yang diturunkan dari Pseudomonas fluorescens. Obat ini secara reversibel mengikat sintetase isoleusil-tRNA dan menghambat sintesis protein bakteri. Aktifitas mupirosin terbatas terhadap bakteri gram positif, khususnyastaphylococcus dan streptococcus. Aktifitas obat ini meningkatkan suasana asam. Mupirosin sensitif terhadap perubahan suhu, sehingga tidak boleh terpapar dengan suhu tinggi. Salep mupirosin 2% dioleskan 3 kali sehari dan terutama diindiskasi-kan untuk pengobatan impetigo dengan lesi terbatas, yang disebabkan oleh S. aureus dan Streptococcus pyogenes. Tetapi, pada penderitaimmunocompromised terapi yang diberikan harus secara sistemik untuk mencegah komplikasi yang lebih serius. Pada tahun 1987 dilaporkan resistensi bakteri terhadap mupirosin yang pertama kali. Setelah itu terdapat beberapa laporan resistensi mupirosin karena pemakaian antibiotika topikal untukmethicillin-resistant S. aureus (MRSA). Penelitian terakhir di Tennessee Veterans Affairs Hospital menunjukkan bahwa penggunaan jangka panjang salep mupirosin untuk mengontrol MRSA, khususnya pada penderita ulkus dekubitus, meningkatkan resistensi yang bermakna. Lebih lanjut, peneliti Jepang menemukan bahwa mupirosin konsentrasi rendah dicapai setelah aplikasi intranasal dan dipostulasikan bahwa mungkin ini menjelaskan resistensi terhadap mupirosin pada strain S. aureus. Suatu studi percobaan menggunakan salep antibiotika kombinasi yang mengandung basitrasin, polimiksin B, dan gramisidin berhasil menghambat kolonisasi pada 80% (9 dari 11) penderita yang setelah di-follow-up selama 2 bulan tetap menunjukkan dekolonisasi. Semua kasus (6 dari 6) terhadap mupirosin-sensitive MRSA dieradikasi, sedangkan 3 dari 5 kasus terhadap mupirosin-sensitive MRSA dieliminasi. Formulasi baru yang menggunakan asam kalsium (kalsium membantu dalam stabilisasi bahan kimia) tersedia untuk penggunaan intranasal dalam bentuk salep 2% dan krim 2%. Basitrasin Basitrasin adalah antibiotika polipeptida topikal yang berasal dari isolasi strainTracy-I Bacillus subtilis, yang dikultur dari penderita dengan fraktur compound yang terkontaminasi tanah. Basi ini diturunkan dari Bacillus, dan trasin berasal dari penderita yang mengalami fraktur

compound (Tracy). Basitrasin adalah antibiotika polipeptida siklik dengan komponen multipel (A,B dan C). Basitrasin A adalah komponen utama dari produk komersial dan yang sering digunakan sebagai garam zinc. Basitrasin mengganggu sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat atau menghambat .defosforilasi suatu ikatan membran lipid pirofosfat, pada kokus gram positif seperti stafilokokus dan streptokokus. Kebanyakan organisme gram negatif dan jamur resisten terhadap obat ini. Sediaan tersedia dalam bentuk salep basitrasin dan sebagai basitrasin zinc, mengandung 400 sampai 500 unit per gram. Basitrasin topikal efektif untuk pengobatan infeksi bakteri superfisial pada kulit seperti impetigo, furunkolosis, dan pioderma. Obat ini juga sering dikombinasikan dengan polimiksin B dan neomisin sebagai salep antibiotika tripel yang dipakai beberapa kali sehari untuk pengobatan dermatitis atopi, numularis, atau stasis yang disertai dengan infeksi sekunder. Sayangnya, aplikasi basitrasin topikal memiliki resiko untuk timbulnya sensitisasi kontak alergi dan meski jarang dapat menimbulkan syok anafilaktik. Polimiksin B Polimiksin B adalah antibiotika topikal yang diturunkan dari B.polymyxa, yang asalnya diisolasi dari contoh tanah di Jepang. Polimiksin B adalah campuran dari polimiksin B1 dan B2, keduanya merupakan polipeptida siklik. Fungsinya adalah sebagai detergen kationik yang berinteraksi secara kuat dengan fosfolipid membran sel bakteri, sehingga menghambat intergritas sel membran. Polimiksin B aktif melawan organisme gram negatif secara luas termasuk P .aeruginosa, Enterobacter, dan Escherichia coli. Polimiksin B tersedia dalam bentuk salep (5000-10000 unit per gram) dalam kombinasi dengan basitrasin atau neomisin. Cara pemakaiannya dioleskan sekali sampai tiga kali sehari. Neomisin Neomisin sulfat, aminoglikosida yang sering digunakan secara topical adalah hasil fermentasi Strep. faridae. Neomisin yang tersedia di pasaran adalah campuran neomisin B dan C , sedangkan framisetin yang digunakan di Eropa dan Canada adalah neomisin B murni. Neomisin sulfat memiliki efek mematikan bakteri gram negatif dan sering digunakan sebagai profilaksis infeksi yang disebabkan oleh abrasi superfisial, terluka, atau luka bakar. Tersedia dalam bentuk salep (3,5 mg/g) dan dikemas dalam bentuk kombinasi dengan antibiotika lain seperti basitrasin, polimiksin dan gramisidin. Bahan lain yang sering dikombinasikan dengan neomisin adalah lidokain, pramoksin, atau hidrokortison. Neomisin tidak direkomendasikan oleh banyak ahli kulit karena dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak karena pemakaian neomisin memiliki angka prevalensi yang tinggi, dan pada 6 8 % penderita yang dilakukan patch test memberi hasil positif. Neomisin sulfat (20%) dalam petrolatum digunakan untuk menilai alergi kontak. Gentamisin Gentamisin sulfat diturunkan dari hasil fermentasi Micromonospora purpurea. Tersedia dalam bentuk topikal krim atau salep 0,1%. Antibiotika ini banyak digunakan oleh ahli bedah kulit

ketika melakukan operasi telinga , terutama pada penderita diabet atau keadaan immunocompromised lain, sebagai profilaksis terhadap otitis eksterna maligna akibat P. Aeruginosa. Paromomisin Paromomisin berhubungan erat dengan neomisin dan memiliki efek antiparasit. Sediaan topikal terdiri dari paramomisin sulfat dan metilbenzetonium klorida yang digunakan di Israel untuk mengobati leismaniasis kutaneus. Gramisidin Gramisidin adalah antibiotika topikal yang merupakan derivat B. brevis. Gramisidin adalah peptida linier yang membentuk stationary ion channels pada bakteri yang sesuai. Aktifitas antibiotika gramisidin terbatas pada bakteri gram positif. Kloramfenikol Kloramfenikol di Amerika Serikat penggunaannya terbatas untuk pengobatan infeksi kulit yang ringan. Kloramfenikol pertama kali diisolasi dari Strep. venezuela, tetapi saat ini disintesis karena struktur kimianya sederhana. Mekanisme kerjanya hampir mirip dengan eritromisin dan klindamisin, yaitu menghambat ribosom 50Smemblokade translokasi peptidil tRNA dari akseptor ke penerima. Kloramfenikol tersedia dalam krim 1 %. Obat ini jarang digunakan karena dapat menyebabkan anemia aplastik yang fatal atau supresi sum-sum tulang. Sulfonamida Struktur sulfonamida mirip dengan para-aminobenzoic acid (PABA) dan bersaing dengan zat tersebut selama sintesis asam folat. Sulfonamida jarang digunakan secara topikal, kecuali krim silver sulfadiazine (Silvaden) dan krim mafenid asetat. Silver sulfadiazine melepas silver secara perlahan-lahan. Silver memberi efek pada membran dan dinding sel bakteri. Mekanisme kerja mefenid tidak sama dengan sulfonamid karena tidak ada reaksi antagonis terhadap PABA. Mafenid asetat yang digunakan untuk lesi yang luas pada kulit dapat menyebabkan asidosis metabolik dan dapat menyebabkan rasa nyeri. Golongan ini adalah antibiotika broadspectrum dan digunakan untuk luka bakar. Superinfeksi olehCandida dapat terjadi karena pemakaian krim mafenid. Clioquinol / Iodochlorhydroxiquin Clioquinol adalah antibakteri dan antijamur yang di-indikasi-kan untuk pengobatan kelainan kulit yang disertai peradangan dan tinea pedis serta infeksi bakteri minor. Clioquinol adalah sintetik hydroxyquinoline yang mekanisme kerjanya belum diketahui. Kerugian clioquinol adalah mengotori pakaian, kulit, rambut dan kuku serta potensial menyebabkan iritasi. Clioquinol mempengaruhi penilaian fungsi tiroid (efek ini dapat berlangsung hingga 3 bulan setelah pemakaian ). Tetapi clioquinol tidak mempengaruhi hasil tes untuk pemeriksaan T3 dan T4. Nitrofurazone Nitrofurazone (Furacin) adalah derivat nitrofuran yang digunakan untuk pengobatan luka bakar. Mekanisme kerjanya adalah inhibisi enzim bakteri pada degradasi glukosa dan piruvat secara aerob maupun anaerob. Nitrofurazone tersedia dalam krim , solusio atau kompres soluble 0,2%,

dan aktifitas spektrum obat ini meliputistaphylococcus, streptococcus, E. coli, Clostridium perfringens, Aerobacter enterogenes, dan Proteus sp. Asam Fusidat Asam fusidat adalah sediaan topikal yang tidak tersedia di Amerika Serikat, tetapi terdapat di Kanada dan Eropa sebagai antibakteri dalam bentuk krim, salep,impregnated gauze. Asam fusidat adalah antibiotika steroidal dengan mekanisme kerja mempengaruhi fungsi faktor elongasi (EF-G) dengan menstabilkan EF-G-GDP-ribosome complex, mencegah translokasi ribosom dan daur ulang bentuk EF-G.

You might also like