You are on page 1of 34

PRESENTASI KASUS DAN REFERAT BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

Pembimbing : dr. Tri Budiyanto, Sp.U Disusun Oleh: Alfian Tagar A.P G4A013039 Bunga W.S.P. G4A013040

SMF BEDAH RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2013

HALAMAN PENGESAHAN Telah dipresentasikan serta disetujui presentasi kasus dan referat dengan judul : BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

Diajukan untuk memenuhi salah satu ujian kepanitraan klinik dokter muda SMF Bedah RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh: Alfian Tagar A.P Bunga W.S.P. G4A013039 G4A013040

Purwokerto,

Oktober 2013

Mengetahui, Dokter Pembimbing,

dr. Tri Budiyanto, Sp.U

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan karuniaNya, sehingga dapat menyelesaikan presentasi kasus ini. Presentasi kasus yang berjudul Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) ini merupakan salah satu syarat ujian kepanitraan klinik dokter muda SMF Bedah RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Tri Budiyanto, Sp.U sebagai pembimbing atas waktu yang diluangkan, bimbingan, dan saran yang sifatnya membangun dalam penyusunan presentasi kasus ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan presentasi kasus ini masih belum sempurna serta banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik membangun dari pembimbing serta seluruh pihak.

Purwokerto,

Oktober 2013

Penulis

I. KASUS A. IDENTITAS PASIEN a. Nama b. Umur c. Jenis kelamin d. Pekerjaan e. Agama f. Alamat g. Tanggal masuk h. Tanggal periksa B. ANAMNESIS a. Keluhan Utama Merasa kesulitan untuk buang air kecil b. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh merasa kesulitan untuk buang air kecil sejak 2 bulan yang lalu. Pasien harus menunggu pada permulaan buang air kecil, mengedan pada saat buang air kecil, alirannya terputus-putus, pancaran air kencing lemah dan menetes pada akhir kencing. Pasien juga merasa tidak puas setelah buang air kecil sehingga sering kencing terutama pada malam hari terbangun untuk kencing. Selain itu, pasien merasakan rasa nyeri pada ujung penis dan batang penis saat buang air kecil. Selama pasien melakukan buang air kecil, pasien tidak pernah mengeluh mengeluarkan batu saat kencing. Air kencing tidak pernah dikerumuni semut. Pasien juga tidak pernah mengalami operasi sebelumnya. Pasien juga tidak pernah mengeluarkan darah pada saat buang air kecil, nyeri punggung tidak ada, perasaan baal/kesemutan tidak ada, kelemahan anggota gerak bawah tidak ada, buang air besar lancar. Pasien sebelumnya sudah berobat di : Tn. DK : 55 tahun : Laki-laki : Petani : Islam : Kemangkon, Purbalingga : 30 September 2013 : 30 September 2013

Puskesmas sekitar 2 minggu yang lalu kemudian dipasang selang untuk mengeluarkan urin. c. Riwayat Penyakit Dahulu 1. Memiliki riwayat hipertensi 2. Riwayat diabetes mellitus disangkal 3. Riwayat sakit jantung disangkal 4. Riwayat trauma pada daerah perut disangkal 5. Riwayat penyakit ginjal disangkal 6. Riwayat alergi obat disangkal d. Riwayat Penyakit Keluarga 1. Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama 2. Riwayat sakit kencing manis disangkal 3. Riwayat sakit darah tinggi disangkal 4. Riwayat sakit batu saluran kencing disangkal C. PEMERIKSAAN FISIK a. Keadaan umum b. Kesadaran c. Vital Sign Tekanan darah Nadi Respirasi Suhu d. Status Generalis 1. Kepala 2. Mata 3. Hidung 4. Telinga 5. Mulut 6. Leher : mesochepal, rambut hitam, distribusi rambut merata, rambut tidak mudah dicabut. : konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+) normal. : deviasi septum (-), discharge (-) : simetris, discharge (-) : bibir tidak sianosis, lidah tidak kotor dan hiperemis : kelenjar limfe tidak membesar : 150/90 mmHg : 90 x/menit : 20 x/menit : 36,7 0C : Baik : Composmentis

7. Thorax Pulmo Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Cor Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus cordis tidak tampak : ictus cordis tidak kuat angkat : kiri atas SIC II LPSS, kiri bawah SIC IV LMCS : kanan atas SIC II LPSD, kanan bawah SIC IV LPSD Auskultasi 8. Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi 9. Ekstrimitas Superior Inferior e. Status lokalis Regio Suprapubik a) Inspeksi : Datar, tidak tampak massa b) Palpasi : Nyeri tekan (+), tidak teraba massa c) Perkusi : Timpani Regio Genitalia Eksterna a) Inspeksi pembesaran b) Palpasi : : Tidak scrotum, Nyeri tekan tampak masa, tidak douwer tidak teraba tampak cateter, masa, terpasang tidak ada, : akral hangat, edema -/-, sianosis -/-, deformitas -/: akral hangat, edema -/-, sianosis -/-, deformitas -/: datar, tidak ada sikatriks dan tidak ada massa. : bising usus (+) normal : timpani (+), nyeri ketok kostovertebra (-/-) : supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-) : simetris, jejas (-) ketinggalan gerak (-), retraksi (-) : vokal fremitus kanan sama dengan kiri : sonor seluruh lapang paru : SD vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)

produksinya ada, urin berwarna kuning jernih tidak teraba pengerasan pada bagian ventral penis.

Regio Anal a) Inspeksi : Tidak tampak massa b) Palpasi : Nyeri tekan tidak ada c) Rectal cukup, toucher ampula recti : tidak Tonus kolaps, sfingter mukosa ani rectum

licin, Prostat: teraba membesar, sulcus medianus mendatar, sulcus lateralis tidak teraba, kenyal, permukaan licin. d) Sarung tangan : Feses tidak ada, darah tidak ada, lendir tidak ada D. RESUME a. Anamnesis Pasien mengeluh merasa kesulitan untuk buang air kecil sejak 2 bulan yang lalu. Pasien harus menunggu pada permulaan buang air kecil, mengedan pada saat buang air kecil, alirannya terputus-putus, pancaran air kencing lemah dan menetes pada akhir kencing. Pasien juga merasa tidak puas setelah buang air kecil sehingga sering kencing terutama pada malam hari terbangun untuk kencing. Selain itu, pasien merasakan rasa nyeri pada ujung penis dan batang penis saat buang air kecil. Selama pasien melakukan buang air kecil, pasien tidak pernah mengeluh mengeluarkan batu saat kencing. Air kencing tidak pernah dikerumuni semut. Pasien juga tidak pernah mengalami operasi sebelumnya. Pasien juga tidak pernah mengeluarkan darah pada saat buang air kecil, nyeri punggung tidak ada, perasaan baal/kesemutan tidak ada, kelemahan anggota gerak bawah tidak ada, buang air besar lancar. Pasien sebelumnya sudah berobat di Puskesmas sekitar 2 minggu yang lalu kemudian dipasang selang untuk mengeluarkan urin.

b. Pemeriksaan Fisik Vital sign Status generalis Status lokalis Regio Anal 1) Inspeksi : Tidak tampak massa 2) Palpasi : Nyeri tekan tidak ada 3) Rectal cukup, licin, dapat toucher ampula Prostat: diraba, : recti teraba sulcus Feses : tidak Tonus kolaps, membesar, medianus tidak sfingter mukosa pole atas mendatar, ada, ani rectum tidak sulcus darah : TD 150/90 mmHg (Hipertensi) : dalam batas normal :

lateralis tidak teraba, kenyal, permukaan licin. 4) Sarungtangan tidak ada, lendir tidak ada E. DIAGNOSIS KERJA Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) F. DIAGNOSA BANDING 1. Karsinoma prostat 2. Tumor VU 3. Vesicolithiasis G. USULAN PEMERIKSAAN 1. Pemeriksaan Radiologi a) Cystografi b) USG abdomen c) Pyelografi intravena (IVP) 2. Pemeriksaan Laboratorium a) Darah : Hemoglobin, Hematokrit, Angka Leukosit, Angka Trombosit, Angka Eritrosit, Hitung Jenis Leukosit, LED, Elektrolit Darah, Faal Ginjal, Gula Darah.

b) Urine : Makroskopik: Warna, Berat Jenis, pH Mikroskopik : Eritrosit, Leukosit, Epitel, Kristal, Bakteri, Jamur c) Pemeriksaan Prostat Specific Antigen (PSA) H. TERAPI Farmakologis a) b) c) d) Amlodipin 5 mg Ketorolac 1 amp Cefotaxim 2 x 1 Rantin 2x1

Non-Farmakologis Pasang kateter Operatif TURP I. PROGNOSIS Ad vitam Ad sanationam Ad fungsionam : bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pendahuluan Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Pada tahap usia tertentu banyak pria mengalami pembesaran prostat yang disertai gangguan buang air kecil. Gejala ini merupakan tanda awal Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Penyakit BPH ini biasa terjadi pada kaum pria dengan usia di atas 40 tahun. Ini dilihat dari frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerika secara umum dan di Indonesia secara khususnya. Di dunia, diperkirakan bilangan penderita BPH adalah sebanyak 30 juta orang. Jika dilihat secara epidemiologinya di dunia, dapat dilihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang itu menderita penyakit ini sebesar 40%, dan setelah meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persentasenya mencapai 90%. Penyakit ini menempati urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih di Indonesia, dan jika dilihat secara umum, diperkirakan hampir 50 % pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, menderita penyakit BPH ini. Berdasarkan data yang ada, sedikitnya gejala yang timbul pada BPH berhubungan dengan umur, pada umur 55 tahun 25% gejala berkaitan dengan obtruksi yaitu susah untuk buang air kecil. Pada umur 75 tahun, 50% lakilaki mengeluh kekuatan dan pancaran urine berkurang. B. Anatomi Prostat Kelenjar prostat adalah suatu kelenjar fibromuskular yang melingkar pada leher vesika urinaria dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara histopatologik, kelenjar prostat terdiri atas kelenjar dan stroma. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblast, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyanggah lain (Purnomo, 2011).

Batas prostat bersambung dengan leher bladder atau kandung kemih dan di dalam prostat didapati uretra. Sedangkan batas bawah prostat yakni ujung prostat bermuara ke eksternal spinkter bladder yang terbentang diantara lapisan peritoneal (Presti et al., 2004).

Gambar 1. Anatomi Saluran Reproduksi Pria (Ohio State Medical University, 2013)

Gambar 2. Anatomi Prostat (Ohio State Medical University, 2013)

Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian : a. b. c. Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya. Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatus zone Di sekitar uretra disebut periuretral gland. Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Menurut Mc Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional, segmen anterior dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada uretra prostatika, di bagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh selaput epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid (Purnomo, 2011)

Gambar 3. Zona-Zona Prostat (Presti et al., 2004). C. Fisiologi Prostat Kelenjar prostat memproduksi cairan prostat, cairan encer sedikit asam (mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, dan profibrinolisin) yang berkontribusi sekitar 20-30 % dari volume cairan semen. Sekret prostat ini juga mengandung seminalplasmin, yang dapat membantu mencegah terjadinya infeksi saluran kemih pada pria. Sekret tersebut dikeluarkan ke

prostatic urethra melalui kontraksi peristaltik dari dinding otot prostat (Martini & Nath, 2008). D. Definisi BPH Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi kondisi normal, yang biasanya dialami laki-laki berusia diatas 50 tahun (Purnomo, 2011).

Gambar 4. Prostat Normal dan Prostat yang Membesar (Ohio State Medical University, 2013) E. Etiologi Etiologi BPH tidak sepenuhnya dapat dipahami, tetapi dikontrol oleh pengaruh multifaktorial dan endokrin (Presti et al., 2004). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat, yaitu: 1. Teori dihidrotestosteron Merupakan metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Terbentuk dari testosteron di dalam prostat yang diubah oleh enzim 5 reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telat terbentuk akan berikatan dengan reseptor androgen membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel, dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2011). 2. Ketidakseimbangan antara estrogen dan testostesteron Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone semakin menurun, dan kadar esterogen cenderung tetap. Estrogen dalam prostat berperan

menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostate dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormone androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hal tersebut menyebabkan rangsanagan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, dan sel-sel yang telah ada menjadi berumur panjang, sehingga massa prostat bertambah (Purnomo, 2011). 3. Interaksi stroma-epitel Prostat terdiri dari 2 elemen stromal dan elemen ephitelial. Baik kedua elemen maupun hanya 1 elemen dapat meningkatkan nodul hiperplastik dan gejala yang berhubungan dengan BPH. Setiap elemen tersebut menjadi target dalam skema manajemen medis (Presti et al., 2004). Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth tertentu). Setelah stimulasi sel stroma dari DHT dan estradiol, sel stroma mensintesis growth factor tersebut yang mempengaruhi sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin, dan mempengaruhi sel epitel secara parakrin. Stimulasi ini menyebabkan proliferasi sel epitel dan stroma (Purnomo, 2011). 4. Berkurangnya kematian sel prostat Apoptosis pada sel prostat merupakan mekanisme fisiologik untutk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada jaringan normal, terjadi keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat (Purnomo, 2011). 5. Teori stem sel Penggantian sel yang mengalami apoptosis selalu digantikan dengan pembentukkan sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan proliferasi sangat ekstensif.

Keberlangsungan sel ini sangat bergantung terhadap keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone ini menurun, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi berlebihan sel stroma dan sel epitel (Purnomo, 2011). F. Insidensi BPH adalah tumor jinak yang paling sering ditemukan pada pria , dan insiden terjadinya BPH berhubungan dengan usia. Prevalensi BPH secara histologis dalam studi otopsi, sekitar 20% terjadi pada pria berusia 41-50, 50% pada pria berusia 51-60 , dan > 90 % pada pria yang lebih tua dari 80 (Presti et al., 2004). Meskipun bukti klinis penyakit lebih jarang terjadi, gejala obstruksi prostat juga berhubungan dengan usia. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria melaporkan gejala obstruktif dalam berkemih. Pada usia 75 tahun, 50 % dari pria mengeluhkan penurunan dalam kekuatan dalam pancaran kencing (Presti et al., 2004). G. Patofisiologi Pembesaran prostat terjadi secara perlahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, terjadi retensi pada leher vesika urinaria dan daerah prostat meningkat, serta otot detrussor menebal dan meregang, fase ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Produksi urin terus terjadi, sehingga menyebabkan vesika urinaria tidak mampu menampung urin, kemudian tekanan intravesika meningkat. Apabila tekanan intravesika lebih tinggi daripada tekanan sfingter, menyebabkan inkontinensia paradox (Syamsuhidayat & de Jong, 2004) Gejala pada BPH dapat berupa gejala obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena otot detrusor gagal berkontraksi sehingga kontraksi

terputus dan involunter, menyebabkan gejala urgensi dan disuria. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna saat miksi, sehingga terjadi rangsangan pada vesika urinaria. Otot detrussor yang lelah akan membutuhkan waktu yang lama untuk melawan resistensi uretra, sehingga terjadi hesistensi. Otot detrusor tidak dapat mengatasi resistensi hingga akhir miksi sehingga terjadi intermitensi. Retensi urin menyebabkan penurunan kekuatan dan caliber aliran yang merupakan gejala awal dan menetap pada BPH. Retensi urin yang berlanjut akan menyebabkan jumlah residu urin banyak di vesika urinaria sehingga menimbulkan gejala terminal dribbling dan rasa tidak puas saat miksi. Jumlah residu urin yang semakin banyak menyebabkan pengosongan tidak lengkap pada akhir miksi sehingga jarak antar miksi menjadi pendek, dan menimbulkan gejala frekuensi. Frekuensi berkemih banyak terjadi pada malam hari terjadi karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter serta uretra menurun selama tidur, sehingga menimbulkan gejala norkturia (Purnomo, 2011; Presti et al., 2004). H. Temuan Klinis 1. Gejala Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi (gejala Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) Obstruksi Pancaran miksi lemah Intermitensi BAK tidak puas Terminal dribbling (menetes) Volume urine menurun Mengejan saat berkemih Iritasi Frekuensi Nokturi Urgensi Disuria Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter. Tabel 1. Gejala Obstruksi dan Iritasi BPH (Ramon, 2006)

Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot VU untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot VU mengalami kepayahan (fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut (Ramon, 2006).

Timbulnya dekompensasi VU ini didahului oleh beberapa faktor pencetus antara lain sebagai berikut. 1) Volume VU tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan yang mengandung diuretikum, minum terlalu banyak) 2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/infeksi prostat) 3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic-) Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA). Sistem skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski. Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat (Presti et al., 2004).

5. Seberapa sering anda merasa susah untuk menunda kencing anda?

Tabel 2. Skoring IPSS (Presti et al., 2004)

Tabel 3. Skoring Madsen-Iversen (Ramon, 2006)

Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaanpertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif. Total skor dapat berkisar antara 0-29. Skor <> 20 berat. Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak menilai sendiri derajat keluhannya (Ramon, 2006). 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE ) Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat memberikan gambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan sebagai berikut (Presti et al., 2004). a. b. c. Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal Adakah asimetri Adakah nodul pada prostat

Gambar 5. Pemeriksaan Colok Dubur Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal atau normal (tidak ada korelasi antara besar prostat dengan obstruksi yang ditimbulkan), permukaan licin dan konsistensi kenyal (Presti et al., 2004).

3. Pemeriksaan Penunjang 3. Pemeriksaan Lab 1) Urinalisis Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi, hematuri atau inflamasi pada saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit, bakteri, protein atau glukosa (Tanagho, 2008). 2) Faal ginjal Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas. Pengukuran kadar elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk menilai fungsi ginjal dari pasien (Tanagho, 2008). 3) Glukosa Darah Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada VU (Tanagho, 2008). 4) Penanda tumor PSA (Prostat Specific Antigen) Jika curiga adanya keganasan prostat. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih buruk, dan (c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua (Tanagho, 2008). 4. Pemeriksaan PA BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan stroma di prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot hampir murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola fibroadenomyomatous hyperplasia (Tanagho, 2008).

Gambar 6. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis BPH 5. Pemeriksaan Pencitraan 1) Foto polos abdomen (BNO) Dari foto polos dapat dilihat kemungkinan adanya batu pada traktus urinarius. Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk mengetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat. 2) Pielografi Intravena (IVP) Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish). Dapat pula mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit (trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli buli). Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin. 3) Sistoskopi Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui pembukaan urethra di dalam penis. Tabung ini berisi lensa dan sistem cahaya yang membantu dokter melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih. Tes ini memungkinkan dokter untuk menentukan ukuran kelenjar dan mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.

Gambar 7. Gambaran sistoskopi BPH 4) Transrektal Ultrasonografi (TRUS) adalah USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di prostat. Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari kelenjar prostat pada layar tampilan. Untuk menentukan apakah suatu daerah yang abnormal tampak memang tumor, digunakan probe dan gambar USG untuk memandu jarum biopsi untuk tumor yang dicurigai. Jarum mengumpulkan beberapa potong jaringan prostat untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Biopsy terutama dilakukan untuk pasien yang dicurigai memiliki keganasan prostat.

Gambar 8. TransRectal Ultrasound 5) USG Transabdominal a) Gambaran sonografi BPH menunjukan pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic dibanding zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung menekan zona central dan

perifer. Batas yang memisahkan hyperplasia dengan zona perifer adalah surgical capsule. b) USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.

Gambar 9. Gambaran USG Prostat normal

Gambar 10. Gambaran Sonografi BPH 6) Sistografi Buli

Gambar 11. Gambaran Elevasi Dasar VU karena BPH

I.

Differensial Diagnosis 1. Striktur uretra a. Riwayat instrumentasi uretra b. urethritis c. trauma 2. Kontraktur leher vesika urinaria a. Riwayat instrumentasi uretra b. urethritis c. trauma 3. Batu vesika urianaria a. Hematuria b. nyeri 4. Carsinoma Prostat Dapat diketahui dengan colok dubur atau meningkatnya kadar PSA 5. Infeksi saluran kemih Dapat diidentifikasi dengan urinalisis dan kultur urin 6. Gangguan neurogenik vesika urinaria Riwayat penyakit saraf, stroke, diabetes mellitus, cedera tulang belakang, Pemeriksaan fisik menunjukkan menurunnya sensasi perineum atau ekstremitas bawah, serta perubahan tonus sfingter atau reflex bulbokavernosus. Selain itu, memungkinkan terjadinya gangguan fungsi usus seperti sembelit, karena masih satu asal neurologis (Presti et al., 2004).

J.

Penatalaksanaan Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja. Namun ada pula yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah.

Tujuan terapi BPH adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urine setelah miksi, dan (6) mencegah progrefitas penyakit. Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan teknologi yang canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi bedah minimal invasif yang memerlukan teknologi canggih serta tingkat keterampilan yang tinggi (Presti et al., 2004). Watchful Waiting Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi VU (kopi/cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama (Presti et al., 2004). Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain (Presti et al., 2004). Medikamentosa Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi resistansi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi

infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa blocker) dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5-reduktase. 1. Penghambat reseptor adrenergik . Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang membantu untuk meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh pembesaran prostat di BPH. Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan. Umumnya digunakan adalah tamsulozin (Flomax), alfuzosin (Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti terazosin (Hytrin) atau doxazosin (Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan pancaran urin dan mengakibatkan perbaikan gejala dalam beberapa minggu dan tidak berpengaruh pada ukuran prostat (Gunawan, 2008). Contoh Obat : a. b. Terazosin 5 mg / 10 mg per hari Doxazosin 4 mg / 8 mg per hari ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan

2. Penghambat 5 reduktase Obat dihidrotestosteron (DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun. Pembesaran prostat di BPH secara langsung tergantung pada DHT, sehingga obat ini menyebabkan pengurangan 25% perkiraan ukuran prostat lebih dari 6 sampai 12 bulan (Gunawan, 2008).

Gambar 12. Model Aksi Penghambat 5 reduktase

Contoh obat penghambat 5 -reduktase berdasarkan tipenya : a) Avodart (dutasteride) - pada tipe 1 dan 2 5ARI 0,5 mg/hari b) Proscar (finasteride) - hanya pada tipe 2 5ARI 5 mg/hari Terapi Pembedahan Konservatif Transurethral resection of the prostate (TURP) Sembilan puluh lima persen prostatektomi sederhana dapat dilakukan secara endoskopi. Sebagian besar prosedur ini menggunakan teknik anestesi spinal dan memerlukan 1-2 hari perawatan di rumah sakit. Skor keluhan dan perbaikan laju aliran urine lebih baik dibandingkan terapi lain yang bersifat minimal invasive. Risiko TURP meliputi ejakulasi retrograd (75%), impotensi (5-10%), dan inkontinensia (<1%) (Presti et al., 2004). TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga 100% (Presti et al., 2004).

Gambar 13. (a) alat TURP, (b) cara melakukan TURP, (c) uretra prostatika pasca TURP

Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) Pria dengan keluhan sedang sampai berat dan ukuran prostat yang kecil sering didapatkan adanya hyperplasia komisura posterior (terangkatnya leher kandung kemih). Pasien tersebut biasanya lebih baik dilakukan insisi prostat.

Gambar 14. Prosedur Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) Prosedur TUIP lebih cepat dan morbiditasnya lebih rendah dibandingkan TURP. Teknik TUIP meliputi insisi dengan pisau Collin pada posisi jam 5 dan 7 (Presti et al., 2004). Terapi Pembedahan Terbuka Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak dapat digunakan, operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal, dapat digunakan. Open surgery sering dilakukan ketika kelenjar sangat membesar (>100 gram), ketika ada komplikasi, atau ketika kandung kemih telah rusak dan perlu diperbaiki. Prostatektomi terbuka dilakukan melalui pendekatan

suprarubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin). Penyulit yang dapat terjadi adalah inkontinensia uirn (3%), impotensia (510%), ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur leher VU (305%). Perbaikan gejala klinis 85-100% (Presti et al., 2004). Prostatektomi Terbuka Sederhana Ketika ukuran prostat terlalu besar untuk direseksi secara endoskopi, enukleasi terbuka dapat dilakukan. Kelenjar prostat yang lebih dari 100 g biasanya merupakan indikasi enukleasi terbuka. Prostatektomi terbuka juga dilakukan pada pasien dengan disertai divertikulum atau batu buli atau jika posisi litotomi tidak mungkin dilakukan (Presti et al., 2004). Terapi Invasif Minimal Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap pembedahan. Microwave thermotherapy transurethral (TUMT) Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang menggunakan gelombang mikro untuk memanaskan dan menghancurkan jaringan prostat yang berlebih. Dalam prosedur yang disebut microwave thermotherapy transurethral (TUMT), perangkat mengirim gelombang mikro melalui kateter untuk memanaskan bagian prostat dipilih untuk setidaknya 111 derajat Fahrenheit. Sebuah sistem pendingin melindungi saluran kemih selama prosedur. Prosedur ini memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat dilakukan secara rawat jalan tanpa anestesi umum. TUMT belum dilaporkan menyebabkan disfungsi ereksi atau inkontinensia. Meskipun terapi microwave tidak menyembuhkan BPH, tapi mengurangi gejala frekuensi kencing, urgensi, tegang, dan intermitensi (Presti et al., 2004).

Gambar 15. Microwave Transurethral Transurethral jarum ablasi (TUNA) Juga pada tahun 1996, FDA menyetujui transurethral jarum ablasi invasif minimal (TUNA) sistem untuk pengobatan BPH. Sistem TUNA memberikan energi radiofrekuensi tingkat rendah melalui jarum kembar untuk region prostat yang membesar. Pelindung melindungi uretra dari kerusakan akibat panas. Sistem TUNA meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala dengan efek samping yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan reseksi transurethral dari prostat (TURP) (Presti et al., 2004).

Gambar 16. Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal Operasi Laser Kelenjar prostat pada suhu 60-65 C akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 100 oC mengalami vaporasi. Teknik laser menimbulkan lebih sedikit komplikasi sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk

pemeriksaan patologi, sering banyak menimbulkan disuri pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan. Serat laser melalui uretra ke dalam prostat menggunakan cystoscope dan kemudian memberikan beberapa semburan energi yang berlangsung 30 sampai 60 detik. Energi laser menghancurkan jaringan prostat dan menyebabkan penyusutan.

Gambar 17. Operasi laser pada prostat


K. Komplikasi

Apabila VU menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin. Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat VU tidak mampu menampung urin sehingga tekanan intra-vesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam VU. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapatmenyebabkan hernia atau hemoroid. Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, BPH dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut: a) b) c) d) e) f) g) Inkontinensia Paradoks Batu Kandung Kemih Hematuria Sistitis Pielonefritis Retensi Urin Akut Atau Kronik Refluks Vesiko-Ureter

h) i) j)

Hidroureter Hidronefrosis Gagal Ginjal

L. Prognosis Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru. BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita. M. Pencegahan 1. Menghindari obesitas Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola obesitas pada laki-laki biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen, bentuk tubuh yang membesar di bagian pinggang dengan perut buncit, seperti buah apel yang akan membuat gangguan pada prostat (Bain, 2006). Berat badan, indeks massa tubuh (BMI), dan lingkar pinggang menunjukkan hubungan linear dengan kecilnya volume prostat (yaitu semakin besar berat badan, BMI, atau lingkar pinggang, semakin besar volume prostat), dengan demikian, penurunan berat badan dapat mengurangi risiko BPH (Elsevier, 2013). 2. Kebiasaan merokok Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar testosterone (NKUDIC, 2006) 3. Kebiasaan minum-minuman beralkohol

Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin B6 yang penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting untuk kelenjar prostat. Prostat menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan dengan organ yang lain. Zink membantu mengurangi kandungan prolaktin di dalam darah. Prolaktin meningkatkan penukaran hormone testosteron kepada DHT (Gass, 2002). 4. Olahraga Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang lebih sedikit mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Dengan aktif olahraga, kadar dihidrotestosteron dapat diturunkan sehingga dapat memperkecil risiko gangguan prostat. Olahraga yang dianjurkan adalah jenis yang berdampak ringan dan dapat memperkuat otot sekitar pinggul dan organ seksual. Olahraga yang baik apabila dilakukan 3 kali dalam seminggu dalam waktu 30 menit setiap berolahraga, olahraga yang dilakukan kurang dari 3 kali dalam seminggu terdapat sedikit sekali perubahan pada kebugaran fisik tetapi tidak ada tambahan keuntungan yang berarti bila latihan dilakukan lebih dari 5 kali dalam seminggu (NKUDIC, 2006)

DAFTAR PUSTAKA Bain, Bridge Sophie. Obesity and Diabetes Increase Risk For BPH . Atlanta, GA. 2006. URL : http://www.auanet.org. Diakses 2 Oktober 2013. Elsevier. 2013. Benign Prostatic Hyperplasia. URL:https://www.clinicalkey.com/topics/urology/benign-prostatichyperplasia.html. Diakses tanggal 2 Oktober 2013. Gass R.. BPH : The opposite effects of alcohol and coffe intake. BJU Internasional, 90, 649-654. 2002. Gunawan, Sulistia. 2008. Farmakologi dan Terapi. FKUI : Jakarta. Martini & Nath. 2008. Fundamentals of Anatomy & Physiology. Pearson : San Francisco. National Kidney and Urologic Diseases Informatioan Clearinghouse (NKUDIC). Prostat Enlargement : Benign Prostatic Hiperplasia . NIH. 2006. URL : http://www.kidney.niddk.nih.sor. Diakses 2 Oktober 2013. Ohio State Medical University. 2013. URL: http://medicalcenter.osu.edu/patientcare/healthcare_services/prostate_health /anatomy_prostate_gland/Pages/index.aspx. Diakses tanggal 2 Oktober 2013.

Presti, Joseph C., Christopher J. Kane, Katsuto Shinohara, & Peter R. Carroll. 2004. Neoplasms of the Prostate Gland. Smiths General Urology.7th Edition. The McGraw-Hill Companies : USA Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto. Sjamsuhidayat, R. & Wim de Jong, 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2, Jakarta : EGC. Tanagho. 2008. Smiths General Urology 17th edition . The McGraw-Hill Companies : USA.

You might also like