You are on page 1of 36

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr Wb Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan referat Karsinoma Nasofaring Kami ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada pembimbing, Dr. Effy Huriyati, Sp. THT-KL atas bimbingan yang diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan referat ini. Kami menyusun referat ini sebagai salah satu tugas dalam mengikuti kepaniteraan klinik THT di RSUPDr. M. Djamil Padang Sumatera Barat. Kami sangat menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan baik mengenai isi, tata bahasa maupun informasi ilmiah yang terdapat di dalamnya. Semoga referat ini bermanfaat bagi pembacanya. Wassalamualaikum Wr Wb.

Padang, September 2013

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia.Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%) , laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1,2 Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7.000 - 8.000 kasus per tahun di seluruh Indonesia. Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, Rs. Hasan Sadikin Bandung rata rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi.1,2 Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai sat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat.2 Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan yakni kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi.2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

ANATOMI Nasofaring merupakan tabung fibromuskular yang terletak di belakang hidung pada

faring bagian atas. Batas superior nasofaring adalah dasar sinus sphenoid dan clivus, anterior dibatasi choanae, inferior dibatasi orofaring, posterior dibatas muskulature prevertebral dan sebelah lateralnya oleh spasium parapharyngeal.3 Dinding lateral meliputi tuba eustachius, torus tubarius dan fossa Rosemuller. Secara anatomis, nasofaring berhubungan dengan cavum nasi dan berperan sebagai saluran udara saat pernapasan, karena strukturnya yang dibangun dari tulang, nasofaring bersifat paten dalam keadaan normal KNF merupakan karsinoma sel skuamosa yang berasal dari epitel nasofaring. Neoplasma ini dapat berasal dari semua bagian nasofaring. Biasanya KNF dimulai dari fossa Rosenmuller.4,5 Fossa Rosenmuller atau resessus pharyngeus lateral terletak superior dan posterior dari torus tubarius. Konfigurasi J terbalik dari torus tubarius menjadi dasar mengapa fossa Rosenmller tampak posterior pada potongan axial dan superior pada koronal dari orifisium tuba eustachius. Tuba eustachius masuk ke nasofaring melalui sinus Morgagni, sebuah defek pada fascia pharyngobasilar yang merupakan perluasan kranial dari muskulus konstriktor superior. Spasium parapharyngeal memisahkan spasium viseral nasofaringeal dari spasium mastikasi. KNF biasanya meluas menyeberangi Spasium parapharyngeal sehingga dapat menginfiltrasi otot mastikasi dan menyebar perineural ke nervus mandibular dan kavum intrakranial. Selain itu dalam spasium parapharyngeal retrostyloid juga terdapat spasium karotid yang juga dapat diinvasi KNF.3 Faring menerima aliran darah dari sistem arteri karotis eksterna terutama arteri pharyngeal ascendens. Vena dari faring akan mengalir ke vena jugularis interna. Persarafan dari otot dan mukosa faring didapatkan dari pleksus pharyngeal yang menerima serat dari nervus glossopharyngeal dan nervus vagus. Plexus itu sendiri terletak diluar dari otot konstriktor pharyngeus medius 6.

Antara nasofaring dengan corpus vertebra terdapat spasium retrofaring dan spasium prevertebralis. Di dalam spasium retropharyngeal ada nodus retropharyngeal lateral Rouviere. Nodus ini merupakan nodus pertama pada aliran limfatik nasofarik dan dapat diidentifikasi sebagai nodul berukuran 3-5 mm akan tetapi, pada 35% pasien dengan KNF, limfadenopati servikal dapat ditemukan tanpa adanya pembesaran nodus retropharyngeal lateral. 3

Gambar 1. Anatomi Nasofaring(dikutip dari kepustakaan nomor 7) Aliran limfatik dari nasofaring mengalir dalam arah anteroposterior menuju ke basis krani dimana nervus IX dan XII berada. Jalur aliran limfatik lainnya meliputi drainase ke limfonodus servikal posterior dan jugulodigastrik. 4 Foramen laserum dan ovale merupakan jalur yang potensial untuk penyebaran tumor ke intrakranial. Foramen laserum terletak superolateral dari fossa Rosenmller dan terletak pada perlekatan fascia pharyngobasilar pada basis cranii. Kartilago mengisi bagian inferior foramen laserum dan foramen ovale terletak di lateral dari perlekatan fascia pharyngobasilar terhadap basis cranii.3 Hal yang perlu diketahui berikutnya adalah jenis epitel pada mukosa nasofaring. Mukosa nasofaring terdiri dari beberapa baris epotel bersilia dan berbeda dari orofaring dan hipofaring yang tersusun dari epitel skuamosa non keratinisasi bertingkat 6

2.2.

DEFINISI Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma sel skuamosa yang terjadipada lapisan

epitel di nasofaring. Tumor ini menunjukkan derajat diferensiasi yangbervariasi dan sering tampak pada pharyngeal recess (fossa Rosenmullers) (Wei danSham, 2005). Karsinoma nasofaring termasuk karsinoma sel skuamosa kepala dan leheryang unik. Insiden terjadinya secara geografis menunjukkan gambaran yang bervariasi.Walaupun KNF jarang terjadi di

seluruh dunia, tumor ini merupakan salah satu tumorganas yang sering terjadi di negara-negara Asia Tenggara maupun di China, dimanainsidennya dari 20 sampai 50 per 100.000 penduduk (Krishna et al, 2004)

2.3.

EPIDEMIOLOGI Setiap tahunnya diperkirakan terdapat 11.000 kasus karsinoma nasofaring baru dengan

rasio pria berbanding wanita 2,5 : 1. Lebih banyak ditemukan di bagian selatan China3,4 KNF biasanya menyerang anak dan orang dewasa namun sering ditemukan pada usia menengah menurut pemaparan Seow et al di tahun 20043 Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan dengan insidensi kurang dari 1 per 100.000 orang pada orang kulit putih
3,5

Penyakit ini banyak ditemukan di Alaska dan China

terutama bagian selatan dengan insidensi mencapai 15-30 kasus per 100.000 orang3 Bahkan menurut Parkin et al tahun 1997, insidensi KNF dapat mencapai 50 per 100.000 penduduk di selatan China dan Hongkong, serta Singapura dan China-Amerika. Insidensi yang lebih rendah ditemukan pada suku Eskimo, Polinesia dan Afrika Utara3. KNF juga ditemukan pada etnis Afrika Timur8 Namun hal yang perlu diperhatikan adalah insidensi KNF tetap tinggi pada etnis China yang berpindah ke Asia Tenggara atau ke Amerika Utara namun lebih rendah pada etnis China yang lahir di Amerika Utara. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh genetik, etnis dan faktor lingkungan dalam etiologi penyakit ini.5 Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
5

pathology based). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 2002. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relatif sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainnya.1

2.4.

ETIOLOGI Ada tiga faktor yang memungkinkan terjadinya KNF yakni faktor genetik, lingkungan

dan, Epstein Barr Virus3 Pengaruh lingkungan yang dapat menyebabkan KNF dapat berupa zat zat kimia atau bahan makanan yang biasa dimakan. Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring yaitu9 a) b) c) d) e) f) g) Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin4,9 gas kimia asap industri asap kayu beberapa ekstrak tumbuhan ramuan herbal cina Merokok4 Konsumsi ikan asin merupakan salah satu faktor penyebab KNF yang sering disebutkan. Hal ini tampaknya berhubungan dengan komponen karsinogenik, nitrosamin yang banyak ditemukan pada ikan asin. Sebuah studi case control menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi ikan asin dalam jumlah sering dimulai saat belum mencapai usia 10 tahun dengan peningkatan resiko KNF5 Seperti halnya kanker pada kepala dan leher, merokok juga berhubungan dengan insidensi KNF yang tinggi terutama pada pria ras Kaukasia4 Epstein-Barr virus (EBV) juga diduga berperan dalam proses onkogenik tumor ini, karena genom EBV sering dideteksi pada spesimen biopsi KNF. Namun karena EBV sering

ditemukan dalam jumlah banyak pada populasi manusia maka peran EBV dalam menimbulkan KNF masih diragukan.5 Pada pasien dengan riwayat keluarga KNF memiliki resiko terkena KNF sebesar 6 kali lipat yang memberikan gambaran bahwa peran genetik ada dalam patogenesis timbulnya KNF. 5 Ada dugaan bahwa predisposisi genetik pada keluarga lini pertama pada peranakan China Amerika lebih tinggi daripada Kaukasia Amerika dan yang diduga berperan dalam proses ini adalah Human Leucocyte Antigen terutama HLA-BW46, and HLA-B174Dalam studi lebih lanjut ditemukan alterasi pada berbagai kromosom misalnya delesi area 14q, 16p, 1p, dan amplifikas 12q dan 4q. Gen tumor supresif diketahui berada pada kromosom 14q5

2.5.

PATOFISIOLOGI Karsinoma Nasofaring merupakan keganasan berupa tumor yang berasal dari sel-sel

epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya karsinoma nasofaring adalah pada fosa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya. Penyebaran KNF dapat berupa : 1. Penyebaran ke atas Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus, fosa kranii media dan fosa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N.I N. VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal (parese N. II-N.VI).10 2. Penyebaran ke belakang Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia faringobasilaris yaitu sepanjang fosa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll), di mana di dalamnya terdapat N. IX XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu N. VII N. XII beserta nervus
7

simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada N. IX N. XII disebut Sindrom Retroparotidean/Sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tinggi dalam sistem anatomi tubuh.4

3. Penyebaran ke kelenjar getah bening Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada karsinoma nasofaring, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening pada lapisan submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu Nodus Rouvierre. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter. 10

4. Metastasis jauh Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.10 Pertumbuhan KNF dapat bersifat eksofitik dimana massa dapat memenuhi seluruh area post nasal dan ditandai dengan ulserasi dan pendarahan kontak. Namun pada 10% pasien dengan KNF lesi dapat bersifat submukosa sehingga pada pemeriksaan nasofaring, mukosa dapat terlihat normal dan hanya tampak permukaan yang iregular. Pertumbuhan ini disebut sebagai endofitik. Selain itu pertumbuhan endofitik juga biasanya hanya ditandai dengan perubahan warna mukosa menjadi kemerahan. Pada suatu kajian, pertumbuhan endofitik cenderung lebih agresif dibandingkan eksofitik11
8

2.6.

HISTOPATOLOGI Sel epitel malignan dari KNF adalah sel poligonal raksasa dengan karakter yang khas.

Nukleusnya bulat atau oval dengan kromatin yang tebal dan nukleoli yang dapat dibedakan. Sel biasanya ditemukan bersama dengan sel limfoid sehingga terkadang timbul istilah limfoepitelioma. Studi mikroskop elektron menunjukkan asal sel ini dari sel skuamosa, termasuk pada karsinoma tidak berdiferensiasi.5 Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi 3 tipe, yaitu: 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Ditemukan jembatan interseluler dan tampak serupa dengan saluran aerodigestif atas5 Tampak diferensiasi skuamosa dan tidak berkaitan dengan EBV, prognosis lebih buruk dan kurang sensitif terhadap radiasi 12 2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-Keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini ada maturasi namun tidak dijumpai diferensiasi squamosa yang jelas5 tipe ini berkaitan dengan EBV, prognosis lebih baik dan sensitif terhadap radiasi12

Gambar 2. KNF Tipe I (dikutip dari kepustakaan nomor 5)

Gambar 3. KNF Tipe II (dikutip dari kepustakaan nomor 5) 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Tipe ini meliputi limfoepitelioma, anaplastik dan varian clear cell. Tampak tepi sel yang berbatas tegas dengan stroma limfositik. Biasa ditemukan nuklei hiperkormatik. Tipe ini berkaitan dengan EBV, sensitif terhadap radiasi.12

Gambar 4. KNF Tipe III (dikutip dari kepustakaan nomor 5) Beberapa tipe jarang lain juga ditemukan antara lain, karsinoma adenoid kistik, plasmasitoma, melanoma, rhabdomyosarkoma. Limfoma, adenokarsinoma, myeloma sel plasma, dan silindroma. 4,12
10

Di Amerika Utara sekitar 25% pasien memiliki tipe nomor 1, 12% pada tipe nomor 2, 63% tipe nomor 3. Pada pasien dengan ras Cina Selatan, penyebaran histologi berturut turut adalah 3%, 2%, dan 95%5 Klasifikasi alternatif lainnya dibagi menjadi dua jenis tipe histologis yakni squamous cell carcinoma dan undifferentiated carcinomasof the nasopharyngeal type (UCNT). Klasifikasi berhubungan erat dengan kadar serology EBV. Pasien dengan SCC memiliki titer EBV yang rendah dan sebaliknya pada UCNT5

2.7.

DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. 2.7.1 Anamnesis Anamnesis dan gambaran klinis , yang terdiri dari : Penegakan diagnosis didasarkan pada anamnesis dimana pasien datang berbagai gejala yang dikeluhkan sesuai dengan penjalaran kanker. Gejala-gejala dan tanda dari karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 2 macam berdasarkan metastasenya, yaitu:10 1. Gejala dini/gejala setempat, adalah gejala-gejala yang dapat timbul di waktu tumor masih tumbuh dalam batas-batas nasofaring, dapat berupa:
a. Gejala hidung:

a. Epistaksis Dinding tumor biasanya rapuh sehingga apabila terjadi iritasi ringan dapatterjadi perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang,

biasanyajumlahnya sedikit bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merahjambu. b. Sumbatan hidung Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor kedalamrongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis,kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya inguskental (Sudyartono dan Wiratno, 1996).
b. Gejala telinga:

a. Kataralis / oklusi tuba eustakhius


11

Pada umumnya tumor bermula di fosa Rosenmuller dan pertumbuhannyadapat menyebabkan penyumbatan muara tuba. Pasien mengeluh rasa penuhditelinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguanpendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dari karsinomanasofaring. Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbultanpa penyebab yang jelas. b. Otitis media serosa sampai perforasi dengan gangguan pendengaran16 Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untukpenyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya rinitis kronis,sinusitis dan lainlainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak-anak yangsedang menderita radang. Namun jika keluhan ini timbul berulang kali, tanpapenyebab yang jelas atau menetap walaupun telah diberikan pengobatan, kitaharus waspada dan segera melakukan pemeriksaan yang lebih tinggi terhadaprongga nasofaring, sampai terbukti bahwa bukan karsinoma nasofaringpenyebabnya

2. Gejala lanjut/gejala pertumbuhan atau penyebaran tumor, dapat berupa: a. Gejala mata: diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV (N. Trochlearis) dan N. VI (N. Abducens). Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan. b. Gejala tumor: Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe leher dan tertahan di sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama agar sel-sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasiendatang ke dokter.14, 16 c. Gejala kranial, terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis, antara lain:

12

Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen.

Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang. Kesukaran pada waktu menelan Afoni Sindrom Jugular Jackson atau sindrom retroparotidean Sindrom retroparotidian terjadi akibat kelumpuhan n.IX,X,XI, dan XII.Manifestasi kelumpuhan ialah : o n.IX o n.X o n.XI
o

:Kesulitan

menelan

karena

hemiparesis

otot

konstriktor

superiorserta gangguan pengecap pada sepertiga belakang lidah. :Hiper/hipo/anastesi mukosa palatum mole, faring dan

laringdisertai gangguan respirasi. :Kelumpuhan atau atropi otot-otot

trapezius,sternokleidomastoideus, serta hemiparesis palatum mole. n.XII :Hemiparalisis dan atropi sebelah lidah.Biasanya beberapa saraf otak terkena secara unilateral, tetapi padabeberapa kasus pernah ditemukan bilateral. Nervus VII dan VIII, karena letaknyaagak tinggi serta terletak dalam kanalis tulang, sangat jarang terkena tumor.10, 16 d. Gejala akibat metastase jauh Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran getah bening ataudarah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang seringialah tulang (femur), hati dan paru. Hal ini merupakan stadium akhir danprognosis sangat buruk.14, 16

2.7.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik , yang dapat dilakukan yaitu :11 Inspeksi dan palpasi : tampak benjolan pada leher (lateral) dengan berbagai ukuran, biasanya berada di level II-III dengan permukaan rata, terfiksir dan tidak nyeri tekan.Tampak massa di dinding nasofaring berwarna kemerahan dengan permukaan tidak rata yang tampak dengan pemeriksaan rinoskopi posterior.Untuk mengetahui keadaan membran timpani dilakukan pemeriksaan otoskopi sedangkan untuk mengetahui adanya penurunan pendengaran dapat dilakukan tes garpu tala. Untuk mengetahui keadaan kavum nasi, keadaan konka inferior, konka

13

media serta sekret bila ada dapat dilakukan pemeriksaan rinoskopi anterior.Pemeriksaan saraf kranial untuk mengetahui adanya perluasan tumor ke jaringan sekitarnya.

Gambar 5. Tampak benjolan pada leher. Pada pasien ini ditemukan pembesaran limfonodus servikal(Dikutip dari kepustakaan nomor 11) 2.7.3. Pemeriksaan nasofaring Nasofaring merupakan daerah yang tersembunyiatau daerah buta. Karsinoma nasofaring biasanya berasal dari lapisan epitel fossa Rosenmuller,biasanya bersembunyi di dekat muara tuba eustakhius12 a. Pemeriksaan nasofaring secara konvensional adalah dengan menggunakan kaca rinoskopi posterior, dengan atau tanpa menggunakan kateter Pemeriksaan yang lebih sempurna adalah dengan menggunakan nasofaringoskopi baik yang fleksibel maupun yang kaku13. b. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan Kateter pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dewasa yang tidak sensitif. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah12,14. c. Rinoskopi posterior menggunakan kateter Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter terebut dijepit denganpinset dan ditarik keluar selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujungkateter yang lainnya. Kedua ujung ini ditarik dengan kuat agar palatum moleterangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikuncidengan klem. Dengan kaca besar (kaca laring), rongga

14

nasofaringtampakdengan jelas. Adanya kelainan yang minimal akan mudah tampak. Selanjutnyadengan tang biopsi, daerah yang dicurigai diambil12, 14, 15.

d. Nasofaringoskopi 1. Nasofaringoskopi kaku Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu sudut 0,30, dan 70 derajat dan tang biopsi yang membuka ke kanan atau ke kiri15. Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan caratransnasal (teleskopdimasukkan melalui hidung) dan transoral (teleskop dimasukkan melaluirongga mulut). 2. Nasofaringoskopi lentur Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya dilengkapi alat biopsi. Biopsi massatumor dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran13.

2.7.4. Laboratorium Hitung darah lengkap dan fungsi hati juga harus dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan metastasis. Titer EBV perlu diperiksa karena pada tumor nasofaring juga dapat meningkat4.Virus Epstein-Barr tergolong dalam herpes virus dan antigen spesifik EBV dapat digolongkan menjadi antigen replikatif, fase laten, dan antigen fase lanjutan. Pada pasien dengan KNF, imunoglobulin A (IgA) berespon terhadap antigen awal dan viral capsid antigen (VCA) dapat dijadikan dasar untuk diagnostik. IgA anti VCA lebih sensitif tapi kurang spesifik dibandingkan IgA anti EA. Pada orang sehat yang terdeteksi IgA anti VCA dapat memiliki KNF subklinis dan deteksi KNF dapat mencapai 30 kali lebih tinggi dari populasi normal. 5 Immunoglobulin IgA anti-VCA dianggap berhubungan dengan tahapan stadium penyakit dan kadarnya dapat berkurang dengan pemberian terapi, sehingga dapat bernilai sebagai tumor marker dan deteksi rekurensi. Selain itu DNA EBV juga dapat digunakan sebagai tumor makrker namun sensitivitasnya sedang. 5

15

2.7.5. Pemeriksaan Penunjang Biopsi Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan hasil biopsi.Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.11

Gambar 6. Endoskopi nasal, tampak massa yang masuk diantara palatum molle dan dinding posterior faring (kiri) dan massa dilihat dari cavum nasi(Dikutip dari kepustakaan 6) Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas.Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan analgesia topikal dan dalam keadaan tertentu dapat dilakukan dengan anestesi general.11

Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan CT Scan sangat membantu untuk menentukan lokasi dan perluasan tumor. MRI juga dilakukan untuk mengevaluasi kepala dan leher. Foto thorax, Pemeriksaan PET Scan dan bone scan juga dilakukan untuk melihat apakah ada tanda metastasis. Endoskopi juga dapat dipertimbangkan4
16

Gambar 7. KNF pada fossa rosenmuller ( gambaran MRI) (dikutip dari kepustakaan nomor 3) Modalitas radiologi dapat dilakukan untuk menilai invasi tumor ke ruangan sekitarnya. Invasi yang dapat terjadi meliputi invasi ruang orbita

Gambar 8. Modalitas CT scan menunjukkan invasi tumor ke fossa pterygopalatina dextra (kiri) fissura orbitalis inferior dextra( tengah) dan cavung orbita dextra (kanan) (dikutip dari kepustakaan nomor (3)

17

Gambar 9. Dengan CT scan kontras potongan axial menunjukkan adanya gambaran tumor (*) dengan penyebaran ke spasium retrofaring dan otot prevertebral (kiri) dan extensi tumor pada dinding faring kanan (kanan) (Dikutip dari kepustakaan nomor 3) Hal yang paling penting diketahui adalah apakah terdapat penyebaran ke daerah yang lebih jauh misalnya ke intrakranial. Modalitas radiologi juga dapat membantu mengungkapkan hal tersebut.

Gambar 10. Dengan MRI (kiri) ditemukan invasi ke otot prevertebral (panah hitam) dan spasium karotid kiri (panah putih) dan fossa cranial posterior (*) pada gambar kanan ditemukan penyebaran tumor melalui foramen magnum ke fossa posterior. (dikutip dari kepustakaan nomor 3)

18

2.8.

PENENTUAN STADIUM

Stadium ini berdasarkan kriteria dari American Joint Committee On Cancer (AJCC 2002) T = Tumor primer T0 - Tidak tampak tumor. Tis Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan. T1- Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain- lain). T2 - Tumor yang sudah meluas kedalam jaringan lunak dari rongga tenggorokan. T3 - Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring dsb). T4 - Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak. TX - Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap. N = Nodule N - Pembesaran kelenjar getah bening regional . NX - Pembesaran kelenjar reginol tidak dapat dinilai N0 - Tidak ada pembesaran. N1 - Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan tumor dalam kelenjar limfe berukuran 6 cm atau lebih kecil. N2 - Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dengan ukuran tumor 6 cm atau lebih kecil. N3 - Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm atau tumor telah ditemukan didalam kelenjar limfe pada regio segitiga leher N3A Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm. N3B Tumor ditemukan diluar segitiga leher M = Metastasis M = Metastasis jauh M0 - Tidak ada metastesis jauh. M1 Terdapat Metastesis jauh .

19

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium 0 Stadium I Stadium Iia Stadium Iib Tis T1 T2a T1 T2a T2b Stadium III T1 T2a,T2b T3 Stadium Iva T4 Semua T Semua T Tis : Carcinoma in situ Stadium 0 : No No No N1 N1 No, N1 N2 N2 N2 No, N1, N2 N3 Semua N Mo Mo Mo Mo Mo Mo Mo Mo Mo Mo Mo M1

20

Stadium I :

Stadium IIA :

21

Stadium IIB :

Stadium III :

22

Stadium IVA :

Stadium IVB :

Stadium IVC :

23

2.9.

PENATALAKSANAAN Prinsip pengobatan karsinoma nasofaring meliputi terapi antara lain :

Radioterapi, Kemoterapi, Kombinasi, Operasi, dan Terapi Gen Dan Imunoterapi. Protokol penanganan KNF sebagai berikut :17

Stadium I : Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi profilaktik di daerah leher Stadium Il : 1. 2. Kemo- radioterapi, atau Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi profilaktik di leher Stadium III: 1. 2. Kemo- radioterapi, atau Radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan kelenjar leher bilateral (bila ada) 3. Diseksi leher mungkin dapat dikerjakan misalnya pada tumor leher persisten atau rekuren asalkan tumor primer di nasofaring sudah terkontrol. Stadium IV : 1. 2. Kemo- radioterapi, atau Radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan kelenjar leher bilateral (klinis positip) 3. Diseksi leher dapat dikerjakan bila tumor leher persisten atau rekuren asalkan tumor primer di nasofaring sudah terkontrol. 4. Kemoterapi untuk KNF stadium IV C

Pada diskusi panel para pakar THT-KL di Brunei Darussalam (10 Th ASEAN ORL Head & Neck Surgery Congress) terjadi perdebatan seru mengenai cara terbaik menangani KNF loko- regional lanjut Menurut Chan dari HongKong, yang terbaik adalah kemo- radioterapi konkuren . Menurut Prasad dari Malaysia yang terbaik adalah

24

radioterapi yang dilanjutkan dengan kemoterapi adiuvan. Sedangkan menurut Lee dan Teo dari HongKong yang terbaik adalah kemo-radioterapi konkuren yang kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvan. disepakati sebaiknya menggunakan Mengenai kemoterapi yang digunakan telah kombinasi Cisplatin dan 5 -Fluorouracil.

Dianjurkan radioterapi menggunakan pesawat radioterapi generasi paling baru. Menurut Teoradioterapi KNF yang paling baik dengan IMRT, disusul kemudian 3 DRT lalu 2 DRT18

Radioterapi Karena sulitnya menentukan batas operasi, maka terapi utama untuk KNF adalah terapi radiasi terutama pada stadium awal. Cakupan radiasi meliputi leher bilateral dan nodus supraklavikular juga nodus retrofaringeal. Dosis profilaksis adalah 5040 cGy yang diberikan ke area nodus dan 20003000 cGy ke tumor primer dan nodus yang terlibat4 Seiring dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhirini dan didukung oleh hasil penelitian dari para ahli, sekarang telah ditemukanbeberapa cara meningkatkan kontrol tumor pada pasien KNF,yaitu :13,17,18 Radioterapi konvensional (2 DRT) dengan teknik fraksinasi yang

dipercepat(accelerated fractination radiotherapy) Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa repopulasi kankerdapat dicegah ata u diatasi dengan pemberian radioterapi yang lebihagresif yang disebut accelerated fractionated radiotherapy. Radiasi dengan cara ini diberikan dengan dosis 300 cGy atau lebih per fraksi, 5kali / minggu sehingga didapat hari pengobatan yang singkat (3-4minggu). Teknik lainnya yaitu accelarated hyperfractionated radiotherapy. Disini diberikan radiasi dosis 160 -180 cGy per fraksi, 2kali sehari sehingga hari pengobatan menjadi lebih pendek lagi. Meskipun teknik ini cukup efektif mencegah repopulasi tumor, dilaporkan terjadinya peningkatan efek samping radiasi. Pemberian radioterapi dengan teknik dipercepat yang dikombinasi dengan kemoterapi dilaporkan dapat meningkatkan respon sel tumor terhadap radiasi. Pemberian accelerated radiotherapy yang di kombinasi dengan kemoterapi (Cisplatin 60 mg / m2 dilanjutkan infiis 5-FU 750 mg / m2per hari sesuai skedul) pada 34 kasus kanker kepala-leher (4 kasus diantaranya
25

KNF) stadium lanjut.

Sebanyak 27 kasus (82%) didapatkan respons lengkap,

acturial regional control pada 3 tahun didapatkan angka sebesar 73% tetapi acturial 3 year survival probability hanya 38%.

Peningkatandosis,

misalnya

dengan

stereotactic

radiotherapy,

intracavitaryBrachytherapy KNF termasuk tumor yang sangat radiosensitif dan biasanya memberi gambaran jelas perluasan tumor primernya (CT scan). Pemberian stereotactic radiotherapy boost dapat meningkatkan kontrol lokal, misalnya untuk tumor di sinus kavernosus atau dasar tengkorak yang biasanya sulit diatasi dengan radiasi eksterna konvensional. Pemberian radioterapi dengan cara ini efektif dan sangat akurat karena dibantu CT scan dan ko mputer canggih. Pemberian brakhiterapi intrakaviter sangat baik untuk tumor yang letaknya disekitar nasofaring, dibagian posterior kavum nasi dan dekat fisura pterigopalatina. Dengan cara ini dapat diberikan radiasi pengion dosis tinggi, langsung pada tumor kecil di nasofaring. Brakhiterapi terutama di indikasikan untuk non bulky primary recurrence (rT1, rT2). Sejak tahun 1995, brakhiterapi intrakaviter diberikan dengan metode high dose rate (HDR) afterloaded technique

menggunakan cuff endotracheal tubes. Pemberian radiasi dosis tinggi dengan akurasi tinggi yang diberikan secara lokal langsung di (dekat) tumornya, dilaporkan dapat meningkatkan kontrol local.

Three

Dimensional

Radiation

Therapy

(3

DRT),

IMRT

(Intensity

ModulatedRadiation Therapy) Dengan diketemukannya CT scan generasi baru (tahun 1990-an) yang dapat menunjukkan perluasan tumor secara teliti dalam 3 dimensi, alat ini digunakan dalam perencanan radioterapi yang disebut 3 Dimensional computerized treatment planning system . Pemberian radioterapi pada KNF stadium dini dengan menggunakan 3 Dimensional Conformal Radiotherapy (3 DCRT) di HongKong didapatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 80%. KNF dini (T 1) yang di terapi dengan stereotactic radiosurge r y (SRS) diperoleh hasil yang sangat baik yaitu response rate
26

sebesar 96%. Disimpulkan, SRS secara signifikan dapat meningkatkan kontrol lokal dibandingkan radioterapi konvensional. Kontrol lokal dengan menggunakan 3 DRT lebih baik daripada 2 DRT. Perkembangan terakhir dalam penatalaksanaan KNF yaitu pemberian radioterapi yang disebut sebagat Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT). Radioterapi KNF dengan IMRT memberikan hasil kontrol lokal yang lebih baik daripada 3 DCRT. Sedangkan kontrol lokal menggunakan 3 DCRT lebih baik daripada 2 Dimensional Radiotherapy (2 DRT). Pada 10th ASEAN ORL Head & Neck Surgery Congress di Brunei Darussalam, mengusulkan terapi KNF sebagai berikut: a. T1, T2a, N0 diberikan IMRT brakhiterapi intrakaviter b. T1 , T2a, N1-N3 diberikan kemoterapi IMRT (dilanjutkan dengan

kemoterapi adjuvan) brakhiterapi intrakaviter c. T2b, T3, T4, N0 -N3 diberikan kemo terapi -IMRT (dilanjutkan dengan kem oterapi adjuvan) Stereotactic Radiosurgery / Stereotactic RT boost

Kombinasi kemoterapi dan radioterapi (2 DRT / 3 DRT / IMRT) Respons tumor terhadap radiasi umumnya meningkat bila dikombinasi dengan kemoterapi seperti Cisplatin, 5 -FU, Hydroxyurea dan Mytomkin C. Respon tumor terhadap kemoterapi kombinasi (multiple agents) lebih tinggi daripada kemoterapi tunggal (single agent). Meskipun response rate dilaporkan lebih meningkat, efek samping akibat pemberian multi modalitas terapi kanker ini juga semakin berat. Indikasi pemberian kemoterapi pada karsinoma nasofaring antara lain stadium lanjut lokoregional, disertai atau dicurigai adanya metastasis jauh, tumor persisten dan rekuren. Kemoterapi biasanya diberikan pada kasus rekuren atau yang telah mengalamimetastasis jauh sebagai alteraatif terapi terakhir yang sudah diakui sebagai indikasi standar. Obat anti kanker yang paling sering digunakan dan diteliti adalah kombinasi Cisplatin dan 5-Fl uorouracil. Pemberian kedua obat ini bersamaan denga radioterapi pada KNF loko - regional lanjut didapatkan overall response rate yang tinggi yaitu 80% - 93%, dan RL 54%, bahkan pada stadium metastasis didapatkan ORR sebesar 30 - 35%. Kemoterapi neoadjuvan (induksi) pada kasus keganasan kepala dan leher
27

yang baru dengan menggunakan kombinasi Cisplatin dan 5- FU didapatkan average overall response 85% dan CR 35%, sedangkan kombinasi Carboplatin dan 5 - FU didapatkan 79% dan 28%. Beberapa sitostatika telah mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika) untuk termasuk karsinoma digunakan pada keganasan didaerah kepala dan leher nasofaring yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-

Fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide, Docetaxel, Mitomycin- C, Vincristine dan Paclitaxel.

Pembedahan pada tumor yang rekuren Beberapa peneliti melaporkan melakukan nasofaringektomi pada penderita KNF. Nasofaringektomi pada 31 kasus KNF rekuren dengan perincian T 1 : 7 penderita, T2 : 13 penderita, T3 : 2 penderita dan T4: 9 penderita. Didapatkan 2.4 year disease free survival rate sebesar 58%. Beberapa peneliti lain mendapatkan 5 year disease free survival rate sekitar 42% - 44%. Nasofaringektomi terutama di indikasikan untuk KNF stadium dini yang persisten atau mengalami kekambuhan (rekuren) setelah menjalani radioterapi dosis lengkap. Untuk menanganitumor kecil di nasofaring, pemasangan (implant) radioactive gold grains langsung di tumornya melalui pendekatan palatum (split palate approach). Dari 109 penderita yang

dilakukan penanganan seperti ini didapatkan 5 - year acturial local control sebesar 85% untuk tumor persisten, dan 63% untuk tumor rekuren. Bila tumor rekuren di nasofaring meluas keparanasopharyngeal space atau bila pemasangan gold grains sulit dilakukan, maka sebaiknya dila kukan operasi. Sejak tahun 1989-2002, dengan pendekatan antero-laterai (maxillary swing Curative resection didapatkan pada 75%

dilakukan nasofaringektomi approach)

terhadap 109 penderita.

penderita. Dengan median follow up 34 bulan, didapatkan 5 -year acturial local control sebesar 62%, dan 5 -year survival rate sebesar 49%. Komplikasi yang sering dijumpai yaitu trismus (80%) dan fistula palatum (25%). Dikatakan,

nasofaringektomi dengan pendekatan anterolateral secara teknis tidak terlalu sulit dan morbiditas akibat operasi masih dapat diterima (accept able). Akhir-akhir ini mulai dikembangkan pengangkatan tumor nasofaring dengan menggunakan skalpel dan diatermi melalui pendekatan endoskopik. Kelemahan
28

nasofaringektomi endoskopik antara lain visual field yang sempit, sul it mengatasi perdarahan profus dan sulit memperoleh daerah bebas tumor (free margin) terutama dibagian lateral (oleh karena dekat A. Karotis Interna). Untuk meningkatkan keamanan dari nasofaringektomi, pembed ahan sebaiknya dilakukan dengan atau teknologi stereotactic navigation

menggunakan image guidance sy stem

guidance. Pembedahan berupa diseksi leher radikal (RND) dapat dilakukan bila dijumpai tumor persisten atau rekurensi di kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor primer di nasofaring sudah terkontrol. Survival penderita yang dilakukan RND lebih tinggi (40%-80%) daripada penderita yang tidak dilakukan RND (19%-28%) Brachytherapy (radiasi interna) Radiasi interna pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosistinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Indikasinya adalah sebagaibooster bila masih ditemukan residu dan sebagai pengobatan kasus kambuh.13 Selain itu, paska radioterapi cukup sering dijumpai metastase jauh dan komplikasiakibat lokasi tumor yang sangat dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasiterbatas seperti batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise-hipotalamus, lobustemporalis, mata, telinga tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis.13, 17Komplikasi radiasi yang dapat timbul adalah xerostomia, otitis externa kronik, otitis media, gangguan pendengaran, gangguan gigi geligi, disfungsi pituitari, trismus dan nekrosis jaringan lunak atau tulang4

Kemoterapi Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum. Kombinasi kemoradioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang bersifat Radiosensitisizer10 Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran, dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus. 10

29

Kontraindikasi kemoterapi: a. Kontraindikasi absolut: mendekati meninggal (stadium terminal), hamil (trimester I), septikemia, koma. b. Kontraindikasi relatif : bayi di bawah 3 bulan, usia lanjut ( terutama bila tumor tumbuh lambat atau kurang sensitif terhadap kemoterapi), keadaan umum buruk (karnofsky kurang dari 40, pasien sangat lemah), gangguan organ tertentu seperti ginjal, hati, jantung, sumsum tulang, metastase ke otak, demensia, resisten terhadap obat anti kanker yang diberikan (Armiyanto,1993)

Kombinasi Studi acak terbaru menunjukkan pada stadium lanjut T3 dan T4 dapat dilakukan pemberian radiasi dan kemoterapi. Regimen kemoterapi meliputi cisplatin tiga siklus (100 mg/m2) selama radiasi dan tiga siklus cisplatin (80 mg/m2) dan 5-FU (1000 mg/m2) setelah radiasi telah lengkap. Pada KNF yang rekuren, pemberian radiasi 6000 cGy memberikan angka kesuksesan hingga 40%4

Operasi Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring dilakukan untuk kasus rekurensi lokal dan regional. Tiga keadaan kontraindikasi operasi adalah keterlibatan arteri karotis interna, erosi basis krani dan keterlibatan intrakranial. Pendekatan operasi meliputi tindakan transnasal, transmaksila, midfasial atau transpalatal. Untuk penyakit dengan keterlibatan regional biasanya dilakukan diseksi leher baik radikal ataupun modifikasi.(cumming)

30

Gambar 11: Teknik operasi pendekatan lateral rhinotomy (kiri) dan pendekatan swing maxilla (kanan)(dikutip dari kepustakaan nomor 11)

Terapi Gen dan Imunoterapi Karena KNF berhubungan erat dengan Virus Epstein-Barr virus maka terbuka suatu kesempatan untuk melakukan terapi molekuler. Terapi Gen menggunakan vektor defisien replikasi adenovirus untuk meningkatkan sitotoksisitas melalui induksi apoptosis. Imunoterapi pada KNF difokuskan pada peningkatan respon sel limfosit T sitotoksis walapun perlu dilakukan studi lebih lanjut5 2.10. DIAGNOSIS BANDING Hiperplasia adenoid Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa.Pada anak anak hiperplasia ini terjadi karena infeksi berulang.Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring, umumnya berbatas tegas dan simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda tanda infiltrasi seperti pada KNF.9

Angiofibroma Juvenilis Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF yakni epsitaksis dan obstruksi nasal. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasanya tidak
31

infiltratif. Tumor ini memiliki lokasi tipikal yang terletak di nasal choana dan di nasofaring dan fossa pterygopalatina. Pada foto polos akan didapatkan suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma.Walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang melainkan hanya erosi saja karena penekanan tumor misalnya pada fossa subtemporal. Biasanya aliran darah berasal dari arteri pharyngea ascendens. Karena tumor ini kaya akan dinding vaskuler maka arteriografi karotis eksterna sangat diperlukan sebab gambarnya sangat karakteristik.11

2.11. KOMPLIKASI

Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang bermanifestasi dalam bentuk : 1. Petrosphenoid sindrom Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan kelainan : a. Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus. b. Ptosis palpebra ( N. III ) c. Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI ) 2. Retroparidean sindrom Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :
32

a. N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah. b. N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan respirasi dan saliva. c. N XI : kelumpuhan / atrofi otot trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum mole d. N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah. Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis. Penyebaran tumor ke anterior dan inferior dapat menyebabkan obstruksi nasi. Penyebaran ke superior dapat mendestruksi sinus sphenoid hingga destruksi basis cranii. Gangguan pendengaran terutama tuli konduktif merupakan komplikasi yang dapat timbul pada pasien dengan KNF.11

2.12. PROGNOSIS Prognosis keseluruhan tidak baik dan angka survival 5 tahunnya hanya 30%. Hal ini biasa terjadi karena terlambat menegakkan diagnosis. Dengan pengenalan tanda dan gejala sedini mungkin maka prognosis dapat membaik8 Stadium T1 dan T2 memiliki angka kontrol lokoregional yang tinggi (> 95%) 5-year locoregional control rates. Angka survival dapat mencapai 7075%. Pada stadium lanjut T3 dan T4, angka kontrol lokoregional mencapai secara berturut-turut 70% dan 50%. Angka survival 5 tahun pasien dengan stadium lanjut yang ditangani kemoterapi adalah 66% dan dengan radiasi 76%.4

33

BAB 3 PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan dan menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas di tubuh. 2. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu a) Adanya infeksi EBV b) Faktor lingkungan c) Genetik 3. Karsinoma nasofaring banyak ditemukan pada ras mongoloid, termasuk di Indonesia

3.2.

SARAN

1. Hindari factor resiko seperti paparan bahan kimia berbahaya, ikan asin, makanan yang
diawetkan, asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan, ramuan herbal cina dan Merokok.

2. Deteksi awal yang cermat terhadap gejala karsinoma nasofaring sangatlah diperlukan walaupun sulit, karena seringkalai penderita KNF terdeteksi pada stadium lanjut.

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, EA. Telinga hidung tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. 2. Asroel, HA. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma Nasofaring. Available: 10 Januari 2013. 3. Chong VFH, Neoplasm of the nasopharynxIn.Hermans R. Head and neck cancer imaging. Springer 2006; p.143-62. 4. Lalwani AK. Chapter 22 benign and malignant lesions of the oral cavity, oropharynx and nasopharynx In. Current diagnosis and treatment otolaryngology.The McGraw-Hill Companies. 2007; p.22.1-16. 5. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Chapter 117 nasopharyngeal cancer in Head &neck surgery - otolaryngology, 4th edition. William Lipincot. 2006; p.1657-71. 6. Probst R, Grevers G, Iro H. Anatomy, physiology and immunology of the pharynx and esophagus In. Basic otorhinolaryngology. Thieme 2006; p 98-103. 7. Yokochi, Rohen, Decrof. Color atlas of anatomy 4th edition. Thieme 2005; p 140.. 8. Bull TR. The pharynx and larynx In Color atlas of ENT diagnosis. Thieme 2003; p 166-235. 9. Dhilon RS, East CA. Neoplasia of the nasopharynx In Ear and nose and throat and head and neck surgery, an illustrated colour text. Churcil Livingstone 1999; p.108-9. 10. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi kelima. Jakarta: FKUI. Hal.146-50. 11. Tan L, Loh T. Chapter 99 Benign and malignant tumors of the nasopharynx In. Flint PW, Haughey BH, Lund VJ. Cummings otolaryngology head and neck surgery 5th ed. Mosby Elsevier 2010; p.1348-61. 12. Mulyarjo, Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring, Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor Ganas THT-KL, pp.149-55. 13. Wei WI & Sham JST, Cancer of the Nasopharynx, Cancer of the Head and FK UNAIR. Surabaya. 2002;

Neck.Philadelphia, 3 ed, 1996; pp. 277-91.

35

14. Ahmad A, Diagnosis dan Tindakan Operatif Pada Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring, Simposium Perkembangan Multimodalitas Penatalaksanaan KankerNasofaring Dan

Pengobatan Suportif, Hotel Millenium. 2002; Jakarta. 15. Chew CT, Nasopharynx (the Postnasal Space), Scott-Browns Otolaryngology, 6th edition, Butterworth-Heinemann, Great Britain, vol 5, 1997; pp. 5/13/1-30. 16. Sudyartono T & Wiratno, Manifestasi Klinik Sebagai Dasar Diagnosis Karsinoma Nasofaring, Kumpulan Naskah Ilmiah, Batu-Malang.1996; pp 841-60. 17. Kentjono WA, Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring,Naskah Lengkap Simposium Bedah Kepala Leher, .2003; FKUNAIR, Jakarta. 18. Cottrill CP& Nutting CM, Tumours of the Nasopharynx, Evans PHR, Montgomery PQ, Gullane PJ, ed. Principle and Practice of Head and Neck Oncology, London, Martin Dunitz. 2003; pp. 193-218.

36

You might also like