You are on page 1of 48

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK RUMAH SAKIT ISLAM UNISMA

UPAYA PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA TERHADAP An.A DALAM MENANGANI PERMASALAHAN PENYAKIT TYPHOID FEVER Disusun untuk Memenuhi Tugas Clerkship

Oleh: Alfiani Rosyida Arisanti, S.Ked. (209.121.0013)

Pembimbing: dr. Dina Mariyati

KEPANITERAAN KLINIK MADYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga Laporan Studi Kasus Stase Anak yang berjudul Upaya Pendekatan Kedokteran Keluarga terhadap An.A dalam Menangani Permasalahan Penyakit Typhoid Fever ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana yang diharapkan. Tujuan penyusunan laporan ini adalah sebagai ujian kasus guna memenuhi tugas Clerkship serta melatih keterampilan klinis dan komunikasi dalam menangani kasus kedokteran keluarga secara holistik dan komprehensif. Penyusun menyadari bahwa laporan makalah ini belumlah sempurna. Untuk itu, saran dan kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan ini. Atas saran dan kritik dosen dan pembaca, penyusun ucapkan terima kasih. Semoga Laporan Studi Kasus ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca serta rekan-rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran.

Penyusun

Alfiani Rosyida Arisanti, S.Ked.

DAFTAR ISI 1. 2. 3. 4. Judul Kata Pengantar ................................................................................................. i Daftar Isi ......................................................................................................... ii BAB I : Pendahuluan Latar Belakang ...........................................................................................1 Tujuan ........................................................................................................1 Manfaat ......................................................................................................1 5. BAB II : Status Penderita Identitas Penderita ......................................................................................2 Anamnesa ...................................................................................................2 Anamnesa Sistem .......................................................................................5 Pemeriksaan Fisik ......................................................................................6 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................8 Resume .......................................................................................................9 Diagnosis Holistik ......................................................................................9 Penatalaksanaan Holistik .........................................................................10 Follow Up dan Flow Sheet.......................................................................14 6. BAB III : Tinjauan Pustaka Demam Tifoid ..........................................................................................16 Profil Keluarga .........................................................................................12 Identifikasi Fungsi-Fungsi dalam Keluarga .............................................15 7. BAB IV : Pembahasan Dasar Penegakan Diagnosa ......................................................................24 Dasar Rencana Penatlaksanaan ................................................................31 8. BAB V : Pembahasan Aspek Kedokteran Keluarga Identifikasi Keluarga ................................................................................33 Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan ....................40 Daftar Masalah .........................................................................................41 9. BAB VI : Penutup Kesimpulan Holistik ................................................................................44 Saran ........................................................................................................44 10. Daftar Pustaka .................................................................................................45

ii

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akibat infeksi bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Demam tifoid masih termasuk salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia, penyakit akut ini merupakan penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah.
1

Insiden demam tifoid di Indonesia termasuk

tinggi yaitu berkisar 352 - 810 kasus per 100.000 penduduk per tahun atau 600.000 1.500.000 kasus per tahun. Angka kematian diperkirakan 2,5 6% atau 50.000 orang per tahun. 2 Penyakit ini menyerang semua usia tetapi sebagian besar terjadi pada anak-anak usia 5-9 tahun dengan perbandingan pria dan wanita adalah 2:1.
3

Oleh karena itu, kasus demam

tifoid termasuk dalam kasus dengan area kompetensi empat, dimana dokter umum atau dokter pada tingkat layanan primer harus mampu membuat diagnosa klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan serta mampu memutuskan dan menangani kasus tersebut secara mandiri hingga tuntas. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat kasus ini sebagai pembelajaran dalam upaya pendekatan kedokteran keluarga terhadap penanganan permasalahan penyakit demam tifoid (typhoid fever). 1.2 TUJUAN Tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk melatih keterampilan klinis dan komunikasi dalam menangani kasus pada anak, khususnya demam tifoid yang terjadi pada An.A, dengan upaya pendekatan kedokteran keluarga yang bersifat holistik dan komprehensif.

1.3 MANFAAT Manfaat penyusunan laporan ini adalah sebagai media pembelajaran dan evaluasi terhadap aspek kedokteran keluarga dalam penanganan serta pencegahan kasus infeksi khususnya kasus demam tifoid.

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PENDERITA Nama TTL/Usia Jenis Kelamin Alamat Tanggal Periksa : An.A : Malang, 26-01-2009 / 4 tahun 9 bulan : Laki-laki : Desa Pendem, Malang : 28 September 2013

Anak ke-/jumlah saudara : 1 / Nomor Rekam Medis Orang Tua Nama Ayah Umur Ayah Pekerjaan Ayah Nama Ibu Umur Ibu Pekerjaan Ibu Suku Agama Alamat : Tn.M : 29 tahun : wiraswasta (pedagang kayu) : Ny.K : 29 tahun : ibu rumah tangga : Jawa : Islam : Desa Pendem, Malang : 07-76-76

2.2 ANAMNESIS (Alloanamnesa) 1. Keluhan utama Harapan Kekhawatiran : Demam : Segera sembuh dan tidak kambuh : Demam semakin tinggi dan tidak sembuh. Ibu khawatir anak mengalami kejang. 2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien An.A datang ke IGD RS diantar oleh orang tua dan neneknya. Ibu mengeluh bahwa An.A demam sudah sejak 5 hari yang lalu. Demam bersifat naik turun, naik ketika menjelang sore dan turun ketika bangun tidur. Selain itu, ibu pasien juga mengeluh perut An.A kembung, batuk, lemas, mual, dan muntah tetapi hanya sekali. Ibu pasien sempat mengukur suhu axila An.A sebelum dibawa ke RS dan menunjukkan hasil 39,5oC. 2

Sebelum demam, An.A mengeluh lemas, telapak kaki dan telapak tangan dingin. Ketika demam, ibu An.A memberikan obat penurun demam yang biasa dikonsumsi ketika pasien sakit tetapi demam tidak kunjung turun. Sebelumnya, pasien sering mengalami demam dan membaik setelah diberi obat tersebut. Tiga hari setelah demam, An.A mengeluh pilek, hidung terasa buntu saat istirahat, serta demam yang semakin memberat. Ketika dilakukan penggalian informasi, An.A mengaku sempat

mengkonsumsi makanan yang dibeli di sekolahnya sehari sebelum keluhan datang. 3. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat mondok Riwayat hipertensi Riwayat DM Riwayat gout Riwayat penyakit jantung :+ :::: Riwayat demam kejang : + Riwayat morbili Riwayat difteri Riwayat pertusis Riwayat parotitis Riwayat varicela Riwayat tetanus Riwayat malaria Riwayat asma ::::::::-

Riwayat alergi obat/makanan : -/+ Riwayat dengue fever :-

Riwayat radang tenggorokan : + Riwayat demam tifoid :-

Keterangan: Pasien sering mengalami demam dan radang tenggorokan, tetapi membaik setelah diberikan obat. 4. Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat keluarga dengan penyakit serupa : tidak ada Riwayat Hipertensi Riwayat DM : Ayah, ibu, kedua nenek, dan kedua kakek : Ayah, ibu, kedua nenek, dan kedua kakek

5. Riwayat Kehamilan Ibu Keluhan Usia ibu hamil Kontrol : ibu mengeluh pusing dan lemas saat memasuki trimester ketiga : 24 tahun : rutin setiap bulan ke dokter

Kelainan kehamilan : didiagnosa hipertensi (TD 190 mmHg) saat bulan ke-5 kehamilan dan tanpa terapi obat antihipertensi 6. Riwayat Kelahiran Persalinan BB PB lahir : operasi (SC) oleh dokter spesialis kandungan

Usia kehamilan : 9 bulan : 2800 gram 3

Kondisi lahir

: cacat (-), anus (+), ketuban jernih, APGAR 1 menit = 7 (ada depresi sistem syaraf), APGAR 5 menit = 5 (resiko tinggi sistem syaraf lanjutan dan disfungsi sistem organ lain)

Kelainan kelahiran: Sehari setelah lahir An.A kejang, stomatitis, tangis merintih, minum tidak adekuat, sianosis. 7. Riwayat Imunisasi Ibu Anak : TT (+) : DTP (+) BCG (+) Campak (+) Hepatitis B (+) Polio (+) 8. Riwayat Gizi ASI: An. A mengkonsumsi ASI hanya sampai usia 3 bulan karena ASI sudah tidak bisa keluar lagi dan digantikan dengan susu instan. Makanan sehari-hari: Selama sakit, nafsu makan An.A menurun. Sebelum sakit, biasanya An.A makan 2 kali sehari, nafsu makan baik, suka konsumsi buah dan sayur. Tetapi An.A sensitif terhadap makanan atau jajanan luar, dan An.A biasanya mengeluh sakit tenggorokan jika mengkonsumsinya. Ketika dilakukan penggalian informasi, An.A mengaku sempat mengkonsumsi makanan yang dibeli di sekolahnya sehari sebelum keluhan datang. 9. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Pertumbuhan: Normal Tumbuh gigi mulai usia 6 bulan Pertumbuhan BB Usia 1 bln 3 bln 4 bln 13 bln BB 4 kg 6,4 kg 7 kg 9 kg jumlah: 4 kali jumlah: 1 kali jumlah: 1 kali jumlah: 3 kali jumlah: 5 kali usia: 2, 4, 6 bulan dan 2 tahun usia: 2 bulan usia: 9 bulan usia: 0, 1, 6 bulan usia: 0, 2, 4, 6 bulan dan 3 tahun

Perkembangan: Mulai bicara usia 9 bulan (1 kata) Mulai berjalan usia 1 tahun Mulai bisa membaca usia 4 tahun Ada kehendak BAK usia 2 tahun Mulai bisa menulis usia 4,5 tahun Perkembangan normal 4 kemampuan sosial kemampuan motorik halus kemampuan bahasa kemampuan motorik kasar

10. Riwayat Kebiasaan Pasien dan Keluarga: Riwayat merokok Riwayat minum alkohol Riwayat olahraga Riwayat bepergian jauh : Ayah An. A merokok tetapi tidak di dalam rumah dan tidak saat bersama anaknya. ::: tidak pernah bepergian ke luar Jawa

Riwayat pengisisan waktu luang : An. A jarang bermain di luar rumah. An.A mengisi waktu luang biasanya dengan bermain game. 11. Riwayat Sosial Ekonomi : An. A jarang bertemu dengan orang tuanya karena kuliah. An. A juga jarang bermain dengan teman dan tetangganya karena jarak rumahnya jauh dan dekat dengan jalan raya. An.A lebih dekat dengan neneknya. Orang tua An.A jarang berinteraksi dengan tetangga karena jarak rumahnya jauh dan sibuk kuliah. Review of Sistem 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kulit Kepala Mata Hidung Telinga Mulut : kulit gatal (-), bintik merah di kulit (-) : sakit kepala (+), pusing (+), rambut rontok (-), luka (-), benjolan (-) : merah (-/-) : tersumbat (+/+), mimisan (-/-), sekret/rhinorrea (+/+) : cairan (-/-), nyeri (-/-) : Sariawan (-), mulut hiperemis (-)

Tenggorokan: Sakit menelan (+), serak (+), ada rasa tersendat (-) Pernafasan : Sesak nafas (-), batuk (+), mengi (-) Kardiovaskuler : Berdebar-debar (-), nyeri dada (-),

10. Gastrointestinal : Mual (+), muntah (+), diare (-), nafsu makan menurun, nyeri perut (+), BAB sehari sekali tetapi sedikit 11. Genitourinaria 12. Neurologic : BAK normal : Kejang (-), lumpuh (-), kaki kesemutan (-)

13. Muskuluskeletal : Kaku sendi (-), nyeri sendi (-), nyeri otot (+) 14. Ekstremitas : a. Atas kanan : bengkak (-), sakit (-), hangat (+), pucat (+), luka (-) b. Atas kiri : bengkak (-), sakit (-), hangat (+), pucat (+), luka (-)

c. Bawah kanan : bengkak (-), sakit (-), hangat (+), pucat (+), luka (-) d. Bawah kiri : bengkak (-), sakit (-), hangat (+), pucat (+), luka (-) 5

2.3 PEMERIKSAAN FISIK 1. Keadaan umum : tampak lemas dan sakit sedang, kesadaran composmentis (GCS E4V5M6) 2. Atropometri BB TB : 17 kg : 110 cm

Status gizi kesan: normal batas bawah 3. Tanda Vital TD Nadi RR : 110/70 mmHg : 96 x/menit : 31 x/menit

Suhu : 38,3 oC : distribusi pertumbuhan rambut rata dan lebat, warna rambut hitam

4. Rambut

5. Kepala dan wajah : bentuk kepala mesocephal, wajah simetris, luka (-), kelainan mimik wajah/bells palsy (-), warna kulit sawo matang, turgor baik, sianosis (-), pucat (+), papul (-), nodul (-), makula (-), pustul (-) 6. Mata : conjungtiva anemis (+/+), radang (-/-), eksoftalmus (-), strabismus (-), mata cekung (-) 7. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), rhinorrhea (+/+), epistaksis (-/-), deformitas hidung (-/-) 8. Mulut : mukosa bibir pucat (+/+), sianosis bibir (-/-), bibir kering (+/+), lidah kotor (+), tepi lidah hiperemis (+), gigi banyak caries 9. Telinga : otorrhea (-/-), kedua cuping telinga normal

10. Tenggorokan : tonsil membesar (-/-), pharing hiperemis (+) 11. Leher 12. Thorax : lesi kulit (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran KGB (-) : normochest, simetris : ictus cordis tampak

Cor : Inspeksi Palpasi Perkusi

: ictus cordis kuat angkat : batas kiri atas Batas kanan atas Batas kiri bawah : SIC II LPSS : SIC II LPSD : SIC V 1 cm lateral LMCS

Batas kanan bawah : SIC IV LPSD Batas jantung kesan tidak melebar 6

Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular Pulmo : Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri Palpasi : fremitus taktil kiri sama dengan kanan Perkusi : sonor di seluruh lapang paru Auskultasi : + + wheezing ronkhi basah & kering - - -

suara dasar vesikuler + + + 13. Abdomen : Inspeksi Palpasi Perkusi : sejajar dinding dada

: supel, nyeri epigastrium (+) : hipertimpani seluruh lapangan perut (meteorismus)

Auskultasi : bising usus menurun 14. Sistem Collumna Vertebralis : Inspeksi : skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)

15. Ekstremitas : palmar eritem (-) Akral hangat + + + + Oedem -

L : deformitas (-), luka (-) F : nyeri tekan (-), krepitasi (-) M: normal 16. Pemeriksaan neurologik : Kesadaran Fungsi sensorik : GCS 456 composmentis N N Fungsi motorik 5 5 5 5 N N N N
Tonus

N N

N N

N N

Kekuatan

Ref.Fisiologis

Ref.Patologis

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG Tabel 1. Pemeriksaan Darah Lengkap (tanggal 28 dan 29 September 2013)
Pemeriksaan Hematologi Hb HCT Leukosit Trombosit Eritrosit Index MCV MCH MCHC Differential Basofil Eosinofil Limfosit Monosit Netrofil Jumlah total sel Limfosit Basofil Monosit Eosinofil Neutrofil Hasil 28 September 29 September 11,6 34,5 10,75 181 4,25 81,0 27,3 33,7 0,3 0,5 21,8 17,5 59,9 2,34 0,03 1,88 0,05 6,43 12,5 36,6 9,30 197 4,55 80,4 27,4 34,1 0,6 0,6 42,0 3,91 0,06 0,06 Unit g/dl % Ribu/ul Ribu/ul Juta/ul Fl Pg % % % % % % Ribu/ul Ribu/ul Ribu/ul Ribu/ul Ribu/ul Nilai Normal 11,5-13,5 34-40 5,0-14,5 150-440 3,95-5,26 75-87 24-30 31-37 0-1 1-6 30-45 2-8 50-70

Keterangan: darah lengkap (DL) Tabel 2. Urinalisis (tanggal 29 September 2013)


Pemeriksaan Warna PH/Berat jenis Albumin Reduksi Bilirubin Urobilin Keton Nitrit Erytrosit Leukosit Epithel Kristal Bakteri Hasil Kuning tua 6,5/1,015 +2 Negatif Negatif Negatif + Negatif 0-1 1-2 0-1 Negatif Negatif

: normal

Nilai Normal

Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 0-2 0-4 0-1

Keterangan: urine lengkap (UL)

: normal

Tabel 3. Serologi Darah (tanggal 28, 30 September 2013)


Pemeriksaan Thypi O Thypi H Parathypi OA Parathypi OB CRP Ig G dengue Ig M dengue Hasil 28 September 30 September Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif + 48 + 48 Negatif Negatif Negatif Negatif Nilai Normal Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif < 6 mg/L Negatif Negatif

Keterangan: Tes Widal

CRP

: positif 48 : negatif (28 September 2013)

Well Felix Ig M Salmonella

: positif 4 (30 September 2013)

2.5 RESUME a) Anamnesis : Demam sejak 5 hari yang lalu. Demam naik turun, naik ketika sore hari dan turun ketika bangun tidur. Keluhan lain: perut kembung, batuk, mual, muntah satu kali, lemas dan tiga hari setelah demam An.A mengeluh pilek, hidung terasa buntu saat istirahat. Riwayat mondok (+), memiliki alergi terhadap makanan atau jajanan luar, radang tergorokan, serta kejang demam. Keluarga (ayah, ibu, nenek, dan kakek) memiliki riwayat hipertensi dan DM. Jarang bertemu dengan orang tuanya karena orang tua sibuk kuliah. Demam (suhu: 38,3oC), lemas, anemis, rhinorrea, bibir kering, lidah kotor, radang tenggorokan, meteorismus, bising usus menurun, nyeri epigastrium. c) Pemeriksaan Penunjang : CRP Well Felix Ig M Salmonella 2.6. DIAGNOSA HOLISTIK 1. Diagnosis dari segi biologis : Working diagnostic : Typhoid fever : positif 48 : positif 4

b) Pemeriksaan Fisik : -

Differential diagnostic: Dengue Fever Dengue Hemoragic Fever Malaria 9

2. Diagnosis dari segi psikologis : Hubungan An.A dengan anggota keluarga kurang baik, karena ayah dan ibu An.A sedang kuliah, sehingga kurang memiliki waktu luang untuk anaknya dan komunikasi dalam keluarga kurang berjalan efektif. Tetapi nenek dan kakek An.A memberikan perhatian yang baik terhadap An.A sehingga komunikasi dengan nenek dan kakeknya berjalan baik. 3. Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi : Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena jaraknya yang jauh. Dalam mengisi waktu luang, An.A lebih sering bermain game dan jarang bermain dengan temannya. Dalam segi ekonomi, keluarga Tn.M tergolong cukup mampu. 2.7 PENATALAKSANAAN HOLISTIK Non Farmakoterapi: KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi): o Menjaga kebersihan serta kesehatan diri dan lingkungan, khusunya menjaga kebersihan kamar mandi rumah An.A yang posisinya dekat dengan dapur. o Menjaga higienitas makanan dan asupan cairan dan nutrisi yang sehat dan cukup. o Memberikan informasi dan pemahaman kepada orang tua An.A, mengenai demam tifoid (pencegahan, pengenalan tanda dan gejala klinis, kondisi kegawatan, penanganan dini atau rujukan, dan komplikasi). o Istirahat dan perawatan yang intensif untuk mempercepat pemulihan dan mencegah komplikasi. o Memberikan pengertian kepada orang tua An.A akan pentingnya komunikasi dan perhatian dalam pengawasan dan penyelesaian masalah yang dihadapi An.A. o Deteksi dini terhadap potensi terjadinya hipertensi dan diabetes mellitus pada An.A. o Memberikan saran agar An.A lebih aktif dalam kegiatan di sekolahnya untuk tujuan pembelajaran bersosialisasi. Analisa dan Pola Pengaturan Gizi : Perhitungan BMR dengan rumus Harris Benedict 66+(13,7xBB) + (5xTB) - (6,8xU) = 66 + (13,7x17) + (5x110) (6,8x4,75) = 881,2 kkal Kebutuhan kalori terkait aktivitas dan stress: Aktifitas istirahat di tempat tidur (faktor: 1,2) 10

Trauma stress ringan: demam (faktor 1,4) Kalori = BMR x faktor aktifitas x faktor stress = 881,2 x 1,2 x 1,4 = 1480,4 kkal

Kalori ini dibagi dalam 3 porsi besar dan 2 porsi tambahan, yakni: 1. Makan pagi 20% = 296,08 kalori 2. Makan siang 30% = 444,12 kalori 3. Makan malam 25% = 370,1 kalori 4. Asupan di sela makan pagi dan siang 10% = 148,04 kalori 5. Asupan di sela makan siang dan malam 15% = 222,06 kalori Menu khusus penderita demam tifoid:

Makanan lunak dan rendah serat Tabel 4. Distribusi makanan setiap waktu makan: Waktu makan Pagi Siang Malam Karbohidrat 65% 192,5 kalori 288,7 kalori 240,6 kalori Protein 25% 74 kalori 111 kalori 92,5 kalori Lemak 10% 29,6 kalori 44,4 kalori 37 kalori Total 296,08 kalori 444,12 kalori 370,1 kalori

Farmakoterapi: R/ Cloramphenicol 4 x 400 mg po Indikasi Antibiotik spektrum luas, bersifat bakteriostatik anti mikroba. Diindikasikan untuk demam tifus dan paratifus. Infeksi berat yang disebabkan oleh Salmonella, H. influenzae (terutama infeksi meningeal), Rickettsia, limfogranulomapsitakosis dan bakteri Gram negatif yang menyebabkan meningitis bakterial. Kontra Indikasi - Hipersensitif. - Gangguan fungsi hati dan ginjal. - Tidak dianjurkan untuk pencegahan. Efek Samping Depresi sumsum tulang, anemia aplastis, Gray syndrome pada bayi, kemerahan pada kulit, biduran/kaligata, gangguan saluran pencernaan, enterokolitis.

11

Dosis - Dewasa dan anak berusia lebih dari 2 minggu : 50 mg/kg berat badan/hari dibagi menjadi 3-4 kali pemberian. - Anak berusia kurang dari 2 minggu dan bayi prematur : 25 mg/kg berat badan/hari dibagi menjadi 4 kali pemberian. 3 x 1/2 cth

R/ Tremenza syr Indikasi

Meringankan gejala-gejala flu karena alergi pada saluran pernapasan bagian atas yang memerlukan dekongestan nasal dan antihistamin. Komposisi Tiap 5 ml (1 sendok takar) Tremenza Sirup mengandung Pseudoephedrine HCl 30 mg dan Triprolidine HCl 1,25 mg. Pseudoephedrine adalah suatu dekongestan, berfungsi memperkecil saluran darah sehingga saluran pernapasan menjadi lebih lebar. Sedangkan triprolidin merupakan sautu antihistamin. Berfungsi mengurangi reaksi alergi (gatal di tenggorokan, sesak nafas, dan lain-lain karena flu) dengan cara menetralkan histamin. Histamin adalah zat amin vasoaktif yang dihasilkan karena terpicu reaksi ikatan alergen dengan Imunoglobin E. Kontra Indikasi - Pengobatan penyakit saluran pernapasan bagian bawah (termasuk ASMA) - Penderita yang hipersensitif atau alergi terhadap Tremenza atau komponen obat ini, - Penderita dengan gejala hipertensi, glaukoma, diabetes, penyakit arteri koroner dan penderita yang mendapat terapi dengan penghambat monoamin oksidase (MAO). Efek Samping Mulut, hidung dan tenggorokan kering, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, tremor, insomnia, halusinasi, tinitus. Antihistamin dapat menyebabkan pusing, rasa kantuk, mulut kering, penglihatan kabur, rasa letih, mual, sakit kepala atau gelisah pada beberapa penderita. Dosis - Dewasa dan anak di atas 12 tahun : 10 ml, 3 4 kali sehari. - Anak-anak 6 12 tahun : 5 ml, 3-4 kali sehari. - Anak-anak 2 5 tahun : 2,5 ml, 3-4 kali sehari. Dapat diminum dengan atau tanpa makanan.

12

R/ Sanmol syr Indikasi:

3 x 11/2 cth

Meringankan rasa sakit pada keadaan sakit kepala, sakit gigi, menurunkan demam yang menyertai influenza dan demam setelah imunisasi. Kontra Indikasi: Penderita dengan gangguan fungsi hati yang berat Hipersensitif terhadap paracetamol Komposisi: Tiap 5 ml mengandung Paracetamol 120mg. Farmakologi: Analgesik yang bekerja dengan meningkatkan ambang rangsang rasa sakit dan sebagai antipiretik, bekerja langsung dengan cara menghambat sintesis prostaglandin pada pusat penghantar panas yaitu hipotalamus, efek anti inflamasi (-). Efek Samping: - Penggunaan jangka lama dan dosis besar dapat menyebabkan kerusakan hati. - Reaksi hipersensitivitas. Dosis: 1 - 2 tahun: 5 ml, 3 - 4 kali sehari. 2 - 6 tahun: 5 - 10 ml, 3 - 4 kali sehari. 6 - 9 tahun: 10 - 15 ml, 3 - 4 kali sehari. 9 - 12 tahun: 15 - 20 ml, 3 - 4 kali sehari.

Infus KA-EN 3B Indikasi:

1350 cc / 24 jam

Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam) Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B Tiap liter isi mengandung: - sodium klorida 1,75g, - potasium klorida 1,5g, - sodium laktat 2,24g, - anhydrous dekstros 27g. 13

- Elektrolit (mEq/L) : a. Na+ 50, b. K+ 20, c. Cl- 50, d. laktat- 20, e. glukosa 27 g/L. f. kcal/L. 108

Rumus dosis maintenance cairan: Berat badan anak dibagi menjadi tiga bagian : 10 Kg I = 100 10 Kg II = 50 10 Kg III (Sisa KgBB) = 20 Terapi An.A: 10 x 100 = 1000 cc 7 x 50 = 350 cc Total Kebutuhan Cairan = 1350 cc (1350 cc x 15 tetes) / 1440 menit = 14 tetes/menit 2.8 FOLLOW UP DAN FLOW SHEET Nama Diagnosis : An.A : Typhoid Fever

Tabel 5. Flow Sheet No Tanggal S


1. 28/9/2013 Demam sejak 5 hari yang lalu dan naik turun (naik ketika sore hari dan turun ketika bangun tidur), perut kembung, batuk, mual, muntah 1x, lemas, 3 hari setelah demam An.A mengeluh pilek, hidung terasa buntu saat istirahat.

O
KU cukup, compos mentis GCS 456, gizi kesan normal batas bawah Vital sign: TD: 110/70 mmHg, RR: 31 x/menit, HR: 96 x/menit T: 38,3 oC Lemas, anemis, rhinorrea, bibir kering, lidah kotor, meteorismus,bising usus menurun, nyeri epigastrium. DL (normal), Widal test (-), CRP (+48) KU cukup, compos mentis

P
Planning terapi: R/ Cloramphenicol 4 x 400 mg po R/ Tremenza syr 3 x 1/2 cth R/ Sanmol syr 3 x 11/2 cth Infus KAEN 3B 1350 cc / 24 jam Diet: Bubur tim Planning pemeriksaan penunjang: Urine lengkap (UL), Darah lengkap (DL) Planning terapi:

Observasi febris e.c suspect Typhoid fever DD: Dengue Hemoragic Fever, Dengue Fever, Malaria

2.

29/9/2013

Ibu pasien

14

mengatakan An.A sudah tidak demam, tetapi malam hari pilek Nyeri perut berkurang, batuk (+)

GCS 456 Vital sign: TD: - mmHg RR: 34 x/menit HR: 102 x/menit T: 36,4oC Cor Pulmo (N), akral hangat, nafsu makan & minum baik, BAK & BAB baik, badan dan keempat ekstremitas berkeringat, meteorismus menurun Observasi febris e.c suspect Typhoid fever DD: Dengue Hemoragic Fever, Dengue Fever, Malaria

R/ Cloramphenicol 4 x 400 mg po R/ Tremenza syr 3 x 1/2 cth R/ Sanmol syr 3 x 11/2 cth Infus KAEN 3B 1350 cc / 24 jam Diet: Bubur tim Planning pemeriksaan penunjang: Serologi darah (Ig M & Ig G dengue, CRP, Typhi A,H, Paratyphi OA,OB) Planning terapi: R/ Cloramphenicol 4 x 400 mg po R/ Tremenza syr 3 x 1/2 cth R/ Sanmol syr 3 x 11/2 cth Diet: Bubur kasar

3.

30/9/2013

Demam (-) Ibu mengatakan nafsu makan An.A baik, batuk ringan

KU cukup, compos mentis GCS 456 Vital sign: TD: - mmHg RR: 34 x/menit HR: 110 x/menit T: 36,4oC Cor Pulmo (N), abdomen supel, meteorismus (-) CRP (+48), Well Felix Ig M Salmonella (+4) KU cukup, compos mentis GCS 456, gizi kesan normal Nadi = 100x/menit Lemas (-), batuk (-), demam (-), turgor baik Evaluasi kurang lengkap karena dokter tidak dapat dihubungi Typhoid fever

Typhoid fever

4.

1/10/2013

Pasien meminta pulang paksa. Ibu pasien mengatakan tidak ada keluhan demam dan batuk (-).

Planning terapi: R/ Cloramphenicol 4 x 400 mg po Pasien pulang

15

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


3.1 DEMAM TIFOID (Typhoid Fever) 3.1.1 Anatomi dan Fisiologi Small Intestinal Anatomi Usus halus (Small intestinal): 8 Small intestinal adalah bagian sistem gastrointestinal yang terletak di antara gaster dan colon. Dinding intestinal kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zatzat yang diserap ke hepar melalui vena porta. Dinding intestinal melepaskan lendir (yang melumasi isi intestinal) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding intestinal juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, glukosa dan lipid. Lapisan small intestine: lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot sirkuler, lapisan otot longitudinal atau memanjang dan lapisan serosa (sebelah luar)

Gambar 3.1 Small Intestine Small intestine terdiri dari tiga bagian yaitu: 1. Duodenum Bagian dari usus halus yang terletak setelah gaster dan menghubungkannya ke jejunum. Bagian duodenum merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz. Duodenum merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada duodenum terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu.

16

Gaster melepaskan makanan (chime) ke dalam duodenum dan masuk melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal pada gaster untuk berhenti mengalirkan makanan.

Gambar 3.2 Struktur Small Intestine 2. Jejunum Jejunum adalah bagian kedua dari usus halus, di antara duodenum dan ileum. Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian jejunum. Jejunum dan ileum digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam jejunum berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan duodenum, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan ileum, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan jejunum dan ileum secara makroskopis. 3. Illeum Ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ileum memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh apendiks. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.

Fisiologi Suatu lubang pada dinding duodenum menghubungkan duodenum dengan saluran getah pancreas dan saluran empedu. Saluran dari pankreas ke duodenum disebut 17

duktus wirsungi, sedangkan dari duktus biliaris disebut duktus santorini, dan keduanya bermuara pada sfingter odii. Pankreas menghasilkan enzim tripsin, amilase, dan lipase yang disalurkan menuju duodenum. Tripsin berfungsi merombak protein menjadi asam amino. Amilase mengubah amilum menjadi maltosa. Lipase mengubah lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Getah empedu dihasilkan oleh hepar dan ditampung dalam kantung empedu. Getah empedu disalurkan ke duodenum. Getah empedu berfungsi untuk menguraikan lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Selanjutnya pencernaan makanan dilanjutkan di jejunum. Pada bagian ini terjadi pencernaan terakhir sebelum zat-zat makanan diserap. Zat-zat makanan setelah melalui jejunum menjadi bentuk yang siap diserap. Penyerapan zat-zat makanan terjadi di ileum. Glukosa, vitamin yang larut dalam air, asam amino, dan mineral setelah diserap oleh vili usus halus; akan dibawa oleh pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh. Asam lemak, gliserol, dan vitamin yang larut dalam lemak setelah diserap oleh vili usus halus; akan dibawa oleh pembuluh getah bening dan akhirnya masuk ke dalam pembuluh darah. 9

3.1.2 Definisi dan Epidemiologi Demam Tifoid Salah satu penyakit infeksi sistemik akut yang banyak dijumpai di berbagai belahan dunia hingga saat ini adalah demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun. Daerah endemik demam tifoid tersebar di berbagai benua, mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. Sebagain besar kasus (80%) ditemukan di negara-negara berkembang, seperti Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan termasuk Indonesia. Indonesia merupakan salah satu wilayah endemis demam tifoid dengan mayoritas angka kejadian terjadi pada kelompok umur 3-19 tahun (91% kasus).1,3,4 Munculnya daerah endemik demam tifoid dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, peningkatan urbanisasi, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan, kurangnya suplai air, buruknya sanitasi, dan tingkat resistensi antibiotik yang sensitif untuk bakteri Salmonella typhi, seperti kloramfenikol, ampisilin, trimetoprim, dan ciprofloxcacin.1

18

3.1.3 Etiologi dan Morfologi Demam tifoid dapat disebabkan oleh beberapa tipe Salmonella, tetapi yang terpenting adalah Salmonella typhi yang masuk dalam golongan bakteri batang gramnegatif enterik (Enterobacteriaceae). Penularan Salmonella typhi terutama terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi (fecal-oral). Selain itu, transmisi Salmonella typhi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke bayinya.4 Pergerakan bakeri ini menggunakan flagel peritrika. Salmonella mudah tumbuh pada perbenihan biasa, dapat hidup di dalam air beku untuk jangka waktu yang cukup lama. Proses biokimia pada bakteri ini adalah dengan cara meragikan glukosa dan manosa (tanpa membentuk gas) dan menghasilkan H2S. Antigen bakteri ini adalah antigen O, antigen H, dan antigen K (Vi). Organisme dapat kehilangan antigen H dan menjadi tidak bergerak. Hilangnya antigen O menyebabkan perubahan koloni dari bentuk halus menjadi bentuk kasar. Antigen Vi dapat hilang sebagian atau seluruhnya. Antigen dapat diperoleh atau hilang dalam proses transduksi. 7

Gambar 3.3 Struktur Bakteri Salmonella 3.1.4 Patofisiologi Demam Tifoid Masuknya bakteri Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan atau minuman yang telah terkontaminasi oleh produk hewan atau manusia. Bagi manusia, dosis infektif rata-rata Salmonella untuk menimbulkan infeksi klinik atau

19

sub klinik adalah 105-108 bakteri (tapi cukup dengan 103 organisme S typhi). Faktor inang yang ikut berperan dalam resistensi terhadap infeksi bakteri ini adalah keasaman gaster, flora normal intestine, dan daya tahan intestine setempat. Setelah bakteri masuk dalam pencernaan, sebagian akan dimusnahkan dalam gaster dan sebagian lain lolos masuk ke dalam intestine dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (Ig A) intestine kurang baik, maka bakteri akan menembus sel-sel eppitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Pada lamina propia, bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Bakteri ini dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika, selanjutnya menuju duktus torasikus. Bakteri yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemi pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotellial tubuh terutama hepar dan limpa. Pada organ-organ ini, bakteri akan meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid. Kemudian akan kembali masuk ke dalam sirkulasi darah sehingga mengakibatkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan disertai gejala dan tanda-tanda penyakit infeksi sistemik. Fase ini timbul setelah masa inkubasi selama 10-14 hari. Di dalam hepar, bateri masuk ke dalam kandung empedu, berkembangbiak, dan bersama cairan empedu disekresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama akan terulang kembali. Berhubung makrofag telah teraktifasi dan hiperaktif, maka saat fagositosis bakteri salmonella, terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjut akan akan menimbulkan gejala inflamasi sistemik seperti demam , malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi. Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.typhii intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia organ, dan nekrosis jaringan). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang biak hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat

20

timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.
Makanan terkontaminasi Salmonella Ke usus halus karena gaster gagal mengeliminasi Salmonella berkembang biak karena IgA kurang baik Menembus sel epitel (sel-M) & berkembangbiak di lamina propia

KGB mesenterika Duc.torasikus Bakteriemi 1 (asimptomatik ) gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, gangguan organ lainnya

Dibawa ke plague peyeri distal

Difagosit oleh makrofag, dan berkembangbiak di makrofag

Menyebar ke organ RE terutama hepar & limpa

Meninggalkan sel fagosit

Endotoksin menempel di reseptor sel endotel kapiler

Bakteriemia 2 (tanda sistemik)

Berkembangbiak di ekstraseluler organ atau sinusoid

Ke Hepar

Makrofag yg sudah teraktivasi menjadi hiperaktif

Berkembang biak di kandung empedu Dikeluarkan ke usus Keluar lewat feses

Sitokin reaksi inflamasi sistemik shg timbul gejala Reaksi hipersensitivitas tipe lambat

Menembus lumen usus lagi

Reaksi hiperplasi & nekrosis plague peyeri Erosi pemb.darah Proses berjalan terus Perdarahan sal cerna Menembus lapisan mukosa & otot intestine Akumulasi MN di lokasi peradangan Perforasi

3.1.5 Diagnosa Banding Dengue Fever Dengue Hemoragic Fever Malaria

3.1.6 Prognosis Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia penderita, keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab dan ada tidaknya komplikasi. Di 21

negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitasnya < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak diobati dengan antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi anti mikroba yang tepat, manifestasi klinis relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian antibiotik dan menyerupai penyakit akut namun biasanya lebih ringan dan lebih pendek. Individu yang mengekskresi S. thypi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insiden penyakit saluran empedu (traktus biliaris) lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. 3.1.7 Komplikasi Komplikasi demam tifoid terbagi menjadi: 1. Komplikasi intestinal a. Perdarahan usus b. Perforasi usus c. Ileus paralitik 2. Komplikasi ekstraintestinal a. Komplikasi kardio vaskuler b. Kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, thrombosis dan tromboflebitis

Komplikasi darah Anemia hemolitik,trombositopeni dan atau koagulasi intravaskuler

diseminata, dan sindrom uremia hemoliktik c. Komplikasi paru d. e. f. Pneumonia, empiema dan pleuritis.

Komplikasi hepar dan kandung empedu Hepatitis dan kolelitiasis.

Komplikasi tulang Osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.

Komplikasi ginjal Glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis. 22

g.

Komplikasi neuropsikiatrik Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom GuillainBarre, psikosis dan sindrom katatonia.

Pada anak-anak dengan paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.

23

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB IV PEMBAHASAN

1.1 DASAR PENEGAKAN DIAGNOSA Metode Diagnostik Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh. A. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare atau konstipasi yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus. Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah 24

mendapatkan

terapi

antibiotika

sebelum

masuk

rumah

sakit

serta

tanpa

memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%). Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%).9 Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.3 Angka kejadian komplikasi adalah kejang (0.3%), ensefalopati (11%), syok (10%), karditis(0.2%), pneumonia (12%), ileus (3%), melena (0.7%), ikterus (0.7%).10

B. Pemeriksaan Laboratorium Penunjang Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler. 1. Pemeriksaan Darah Tepi Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.11 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid. Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%). 2. Identifikasi Kuman Melalui Isolasi / Biakan Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose 25

spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah. Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian 26

pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang. Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. 3. Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologis Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik. Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). 3.1 Uji Widal Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan 27

digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%. Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita. 3.2 Tes Tubex Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) 28

mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.1Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.

3.3 Metode Enzyme Immunoassay (Eia) Dot Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik. Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%. Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat. Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana 29

biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

3.4

Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (Elisa) Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

3.5 Pemeriksaan Dipstik Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20 Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 30

Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.21,22 4. Identifikasi Kuman Secara Molekuler Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%). Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.

1.2 DASAR RENCANA PENATALAKSANAAN Sampai saat ini masih digunakan trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu : 5 1. Pemberian antibiotik untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan : a. Kloramfenikol. Dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg diberikan selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 x 25 mg selama 5 hari kemudian. b. Ampisilin/Amoksisilin. Dosis 50 150 mg/kg BB, diberikan selama 2 minggu. 31

c. Kotrimoksazol, 2x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu. d. Sefalosporin generasi II dan III. Di subbagian Penyakit Tropis dan Infeksi, pemberian sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan baik. Demam pada umumnya mereda pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. Regimen yang dipakai adalah: a. Ceftriaxone 4 gr / hari selama 3 hari b. Norfloxacin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari. c. Ciprofloxacin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari d. Ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari e. Pefloxacin 400 mg/hari selama 7 hari f. Fleroxacin 400 mg/hari selama 7 hari 2. Istirahat dan perawatan profesional, bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga higiene perseorangan, kebersihan tempat tidur, pakaian dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Paien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin. 3. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif). Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan optimal. 4. Pada kasus perforasi dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada renjatan septik. Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan di atas.

32

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB V PEMBAHASAN ASPEK KEDOKTERAN KELUARGA


5.1 IDENTIFIKASI KELUARGA 5.1.1 Profil Keluarga Karakteristik Demografi Keluarga Tanggal kunjungan pertama kali Nama kepala keluarga Alamat Bentuk Keluarga Struktur Komposisi Keluarga : Tabel 6. Daftar anggota keluarga No Nama 1 Tn. M Kedudukan L/P Umur Kepala keluarga Ibu L 29 tahun 29 tahun Pendidikan Pekerjaan S1 Wiraswasta (pedagang kayu) Ibu rumah tangga Pasien Ket. klinik Tidak Riwayat hipertensi dan DM Tidak Riwayat hipertensi dan DM Ya Typhoid Fever : 28 April 2013 : Tn. M : Desa Pendem, Malang : nuclear family

Ny. K

S1

4 tahun, 9 bulan Sumber: data primer, 30 September 2013

An. A

Anak

TK

Kesimpulan : Keluarga Tn.M adalah nuclear family yang terdiri atas 3 orang dan tinggal dalam satu rumah. Terdapat satu orang yang sakit yaitu An.A (anak tunggal) usia 4 tahun 9 bulan dengan diagnosa awal observasi febris e.c demam tifoid. Setelah menjalani beberapa pemeriksaan penunjang, An.A didiagnosis menderita penyakit demam tifoid. Dalam hal ini, pembiayaan kesehatan An.A bersifat mandiri tanpa jaminan kesehatan atau asuransi. A. Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup a. Lingkungan tempat tinggal Tabel 7. Lingkungan tempat tinggal
Status kepemilikan rumah : menumpang/kontrak/hibah/milik sendiri Daerah perumahan : kumuh/padat bersih/berjauhan/mewah

33

Karakteristik Rumah dan Lingkungan Luas tanah : 10 x 8 m , luas bangunan: 15 x 12 m Jumlah penghuni dalam satu rumah : 3 orang Jarak antar rumah : 9m (depan), 3m (samping), 2m (belakang) Tidak bertingkat Lantai rumah: berubin Dinding rumah: tembok bata, tinggi, dicat Jamban keluarga : ada (WC) Kamar mandi : ada, sebanyak 1, layak Dapur : bersih, tapi terlalu dekat dengan kamar mandi (jarak 1,5 meter) Tempat bermain : ada (teras depan rumah) Penerangan listrik : lampu @ 25 watt x 5 buah lampu = 125 watt Pencahayaan cukup (tiap ruangan terdapat 2 jendela kaca yang dapat dibuka, dan terdapat lubang angin-angin di tembok atas) Ketersediaan air bersih : PDAM (untuk keperluan mandi, masak, dan mencuci) Kondisi umum rumah : kondisi rumah Tn.M bersih dan sehat, tetapi jarak antar rumah masih terlalu jauh. Di bagian depan rumah terdapat jalan raya dan sekolahan, sehingga mempersulit An.A dan orang tuanya untuk berinteraksi dengan tetangganya. Jarak antara dapur dengan kamar mandi juga terlalu dekat dan berpotensi terhadap kontaminasi kuman pada makanan. Tempat pembuangan sampah : ada, di belakang dan depan rumah
2 2

Kesimpulan Pasien tinggal di rumah milik sendiri yang cukup dari standar rumah sehat, tetapi jarak antara dapur dan kamar mandi masih terlalu dekat dan perlu interaksi dengan tetangga yang lebih baik.

b. Denah rumah keluarga Ny.S :


8m Halaman depan & taman Teras

Keterangan: = tempat pembuangan sampah = pintu

Kamar tidur 1 10 m

Ruang tamu

= jendela

Kamar tidur 1

Ruang keluarga

Dapur KM/WC 1,5 m

34

c. Kepemilikan barang-barang berharga : - Dua buah motor - Satu buah sepeda - Tiga buah telepon seluler - Dua buah laptop - Satu buah tablet - Enam buah kursi tamu dan satu meja tamu - Satu buah televisi - Satu buah kompor gas - Dua buah tempat tidur B. Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga Jenis tempat berobat : RSI UM Asuransi / jaminan kesehatan : tidak menggunakan, secara mandiri (out of pocket) Jarak layanan kesehatan tempet berobat : jauh C. Sarana Pelayanan Kesehatan Tabel 8. Pelayanan kesehatan
Faktor Cara mencapai pusat pelayanan kesehatan Keterangan Kesimpulan Jalan kaki Jarak cukup jauh, tetapi Angkot pasien merasa puas dengan pelayanan klinik Kendaraan pribadi Tarif pelayanan kesehatan Sangat mahal Pasien jarang periksa karena Mahal jaraknya jauh dan tanpa asuransi Terjangkau Murah Gratis Kualitas pelayanan kesehatan Sangat Memuaskan Memuaskan Cukup Memuaskan Tidak memuaskan

D. Pola Konsumsi Makanan Keluarga a. Kebiasaan makan: Sebelum sakit, biasanya An.A makan 2 kali sehari, nafsu makan baik, suka konsumsi buah dan sayur. Selama sakit, nafsu makan An.A menurun. Tetapi An.A sensitif terhadap makanan atau jajanan luar, dan An.A biasanya mengeluh sakit tenggorokan jika mengkonsumsinya. Ketika dilakukan penggalian informasi, An.A mengaku sempat mengkonsumsi makanan yang dibeli di sekolahnya sehari sebelum keluhan datang. b. Penerapan pola gizi seimbang: keluarga Tn.M biasa makan dua sampai tiga kali sehari dengan porsi sedang. Menu makan pasien dan keluarga sering dengan nasi, 35

sayur, tahu tempe, ayam, daging, sayur dan buah. Ny. K selalu memasak sendiri untuk keperluan makan anggota keluarganya sehari-hari. Ny.K juga mengerti dengan pola makan gizi seimbang sehingga menerapkannya sehari-hari. E. Pola Dukungan Keluarga a. Faktor pendukung terselesaikannya masalah dalam keluarga: Orang tua An.A termasuk dalam keluarga yang berpendidikan tinggi dan dengan tingkat ekonomi yang cukup. Sehingga dalam menyelesaikan masalah ekonomi dan kebutuhan sehari-hari serta pelayanan kesehatan masih mudah untuk dijangkau. Nenek dan kakek An.A juga memberikan perhatian yang baik terhadap An.A sehingga komunikasi dengan nenek dan kakeknya berjalan baik. b. Faktor penghambat terselesaikannya masalah dalam keluarga: Ayah dan ibu An.A sedang menyelesaikan tahap pendidikan S1, sehingga kurang memiliki waktu luang untuk anaknya dan komunikasi dalam keluarga kurang berjalan efektif.

5.1.2 Identifikasi Fungsi-Fungsi dalam Keluarga A. 1. Fungsi Holistik Fungsi biologis Keluarga ini terdiri dari 3 orang anggota keluarga. An.A adalah anak tunggal. An.A menderita demam seak 5 hari yang lalu dan tak kunjung sembuh. An.A juga terlihat lemas, batuk, mual, serta muntah, sehingga ibunya khawatir dan segera memeriksakan An.A ke rumah sakit. 2. Fungsi Psikologis Hubungan An.A dengan anggota keluarga kurang baik, karena ayah dan ibu An.A sedang kuliah, sehingga kurang memiliki waktu luang untuk anaknya dan komunikasi dalam keluarga kurang berjalan efektif. Tetapi nenek dan kakek An.A memberikan perhatian yang baik terhadap An.A sehingga komunikasi dengan nenek dan kakeknya berjalan baik. 3. Fungsi Sosial dan Ekonomi Keluarga ini tidak mempunyai kedudukan sosial di masyarakat. Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena jaraknya yang jauh. Dalam segi ekonomi, keluarga Tn.M tergolong cukup mampu. Meskipun demikian, Tn.M dan Ny.K tetap mengikuti perkumpulan. Dalam mengisi waktu luang, An.A lebih sering bermain game dan jarang bermain dengan temannya. 36

B.

Fungsi Fisiologis dengan APGAR Score Adaptation : kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi dengan anggota keluarga yang lain, serta penerimaan, dukungan, dan saran dari anggota keluarga yang lain. Partnership : menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga tersebut Growth : menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang dilakukan anggota keluarga tersebut Affection : menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar anggota keluarga Resolve : menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan dan waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain. Penilaian : o Hampir selalu o Kadang kadang o Hampir tak pernah Penyimpulan : o Nilai rata-rata < 5 o Nilai rata-rata 6-7 o Nilai rata-rata 8-10 : kurang : cukup/sedang : baik : 2 poin : 1 poin : 0 poin

Tabel 9. APGAR score Tn.M (29 tahun)


APGAR Ny. S terhadap keluarga A P G A R Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila menghadapi masalah Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama 2 1 0

Untuk Tn.M APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Adaptation : Tn.M puas terhadap dukungan dan saran yang diberikan keluarganya jika menghadapi masalah 37

2. Partnership : komunikasi Tn.M dengan keluarganya kurang berjalan baik, kurangnya waktu untuk saling berbagi dan bertukar pikiran antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami 3. Growth : keluarga Tn.M, khususnya istri, tidak terlalu memberi batasan terhadap segala aktifitas Tn.M baik pekerjaan atau kegiatan-kegiatan 4. Affection : Tn.M puas dengan kasih sayang dan perhatian yang diberikan keluarganya 5. Resolve : Tn.M merasa kurang puas dengan waktu luang yang diberikan anggota keluarganya untuk bisa berkumpul dan berbagi waktu bersama Total APGAR score Ny.S = 8

Tabel 10. APGAR score Ny.K (29 tahun)


APGAR Ny. S terhadap keluarga A P G A R Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila menghadapi masalah Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama 2 1 0

Untuk Ny.K APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Adaptation : Ny.K puas terhadap dukungan dan saran suaminya jika menghadapi masalah 2. Partnership : komunikasi Ny.K dengan keluarganya kurang berjalan baik, kurangnya waktu untuk saling berbagi dan bertukar pikiran antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami 3. Growth : keluarga Ny.K, khususnya suami, tidak terlalu memberi batasan terhadap segala aktifitas Tn.M baik pekerjaan atau kegiatan-kegiatan 4. Affection : Ny.K puas dengan kasih sayang dan perhatian yang diberikan keluarganya 5. Resolve : Ny.K merasa kurang puas dengan waktu luang yang diberikan anggota keluarganya untuk bisa berkumpul dan berbagi waktu bersama Total APGAR score Ny.K = 8 Total APGAR score keluarga Ny.S = (8+8) : 2 = 8 Kesimpulan : Fungsi fisiologis keluarga Ny.S baik C. Fungsi Patologis dengan Alat SCREEM Score Fungsi patologis keluarga An.A dinilai menggunakan alat S.C.R.E.E.M sebagai berikut: 38

Tabel 11. SCREEM keluarga An.A


Sumber Social Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena jaraknya yang jauh. Meskipun demikian, Tn.M dan Ny.K tetap mengikuti perkumpulan. Dalam mengisi waktu luang, An.A lebih sering bermain game dan jarang bermain dengan temannya. Menggunakan adat-istiadat Jawa, bahasa Jawa, serta bahasa Indonesia secara sopan dengan sesama anggota keluarga dan orang lain dikehidupan sehari-hari. Anggota keluarga juga telah mengikuti perubahan zaman dan tergolong modern. Anggota keluarga menjalankan sholat 5 waktu di rumah dan sering mengikuti pengajian. Penghasilan keluarga yang relatif cukup dan tergolong menengah ke atas. Tingkat pendidikan keluarga cukup, pendidikan terakhir orang tua An.A adalah S1. An.A juga masih menjalani pendidikan taman kanak-kanak. Dalam mencari pelayanan kesehatan, keluarga An.A pergi ke RSI UM dan hanya pada saat tidak bisa menangani permasalahan kesehatan sendiri. Orang tua An.A termasuk keluarga dengan tingkat ekonomi yang cukup, sehingga dalam membiayai pelayanan kesehatan masih mudah untuk dijangkau dan bisa dibayar secara mandiri. Patologis +

Culture

Religious Economic Educational Medical

Kesimpulan : Keluarga An.A mempunyai fungsi patologis di bidang sosial. Keluarga ini tidak mempunyai kedudukan sosial di masyarakat. Hubungan dengan tetangga dan temanteman An.A kurang berjalan lancar karena jaraknya yang jauh. Meskipun demikian, Tn.M dan Ny.K tetap mengikuti perkumpulan. Dalam mengisi waktu luang, An.A lebih sering bermain game dan jarang bermain dengan temannya.
Ayah & ibu Ny.K memiliki riwayat hipertensi & DM

D. Genogram dalam Keluarga


Ayah & ibu Tn.M memiliki riwayat hipertensi & DM Ayah & ibu An.A memiliki riwayat hipertensi & DM Tn.M

Ny.K

Tn.D Saudara Ny.K memiliki riwayat hipertensi & DM

Pasien: An.A

Keterangan: = laki-laki = perempuan Kesimpulan : Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus ditemukan pada anggota keluarga lain yaitu kakek, nenek, ayah, ibu, dan paman An.A. Tetapi tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan pasien. 39 = tinggal dalam satu rumah

E. Informasi Pola Interaksi Keluarga


Tn.M Ny. K

An.A

Keterangan: : hubungan baik : hubungan kurang baik : laki-laki : perempuan

Kesimpulan : Hubungan antara An.A dengan keluarganya kurang berjalan baik.

5.2 IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN 5.2.1 Identifikasi Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga 5.2.1.1 Faktor Perilaku Keluarga a. Pengetahuan Keluarga memiliki pengetahuan cukup tentang kesehatan karena memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Menurut pendapat semua anggota keluarga, yang dimaksud kondisi sehat dimana seseorang tidak menderita penyakit sehingga bisa melakukan aktivitas dengan baik. Tapi, keluarga kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu tidak segera membawa An.A ke rumah sakit. Ibu An.A menangani sendiri keluhan An.A, baru setelah 5 hari keluhan An.A kemudian diperiksakan ke rumah sakit. b. Sikap Keluarga cukup peduli terhadap kesehatan An.A maupun anggota keluarga yang lain. Tapi masih kurang dalam memberikan waktu luang. Selain itu, karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan orang tua, An.A tidak segera diperiksakan ke rumah sakit. c. Tindakan Keluarga An.A kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.A tidak segera membawa An.A ke rumah sakit. Ibu An.A menangani sendiri keluhan An.A, baru setelah 5 hari keluhan An.A kemudian diperiksakan ke rumah sakit. 5.2.1.2 Faktor Non Perilaku a. Lingkungan Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.A terlalu dekat. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.A memungkinkan An.A untuk

mengkonsumsinya, padahal An.A sensitif terhadap jajanan atau makanan luar. 40

b.

Pelayanan kesehatan Dalam mencari pelayanan kesehatan, keluarga An.A pergi ke RSI UM dan hanya pada

saat tidak bisa menangani permasalahan kesehatan sendiri. Orang tua An.A termasuk keluarga dengan tingkat ekonomi yang cukup, sehingga dalam membiayai pelayanan kesehatan masih mudah untuk dijangkau dan bisa dibayar secara mandiri. c. Keturunan, Jenis Kelamin, dan Usia An.A, usia 4 tahun 9 bulan, merupakan kelompok gender dan usia risiko tinggi terhadap terjangkitnya penyakit demam tifoid (typhoid fever). Selain itu, An.A juga berpotensi menderita hipertensi dan diabetes mellitus karena adanya faktor resiko keturunan dari kedua orang tua dan kakek nenek. 5.2.1.3 Diagram Faktor Perilaku dan Non Perilaku
Faktor Perilaku Pengetahuan: keluarga An.A kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.A tidak segera membawa An.A ke rumah sakit. Ibu An.A menangani sendiri keluhan An.A, baru setelah 5 hari keluhan An.A kemudian diperiksakan ke rumah sakit. Faktor Non-Perilaku Lingkungan: Jarak antara kamar mandi & dapur terlalu dekat. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.A memungkinkan An.A untuk mengkonsumsinya, padahal An.A sensitif terhadap jajanan atau makanan luar.

Sikap: Keluarga cukup peduli terhadap kesehatan An.A maupun anggota keluarga yang lain. Tapi masih kurang dalam memberikan waktu luang.

An.A dan Keluarga

Tindakan: Keluarga An.A krg mengetahui ttg penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.A tidak segera membawa An.A ke rumah sakit. Ibu An.A menangani sendiri keluhan An.A, baru setelah 5 hari keluhan An.A kemudian diperiksakan ke rumah sakit.

Pelayanan kesehatan: Pasien teap RSI UM, tetapi hanya saat tdk bisa menangani permasalahan kesehatan sendiri. Orang tua An.A termasuk keluarga dg tingkat ekonomi yg cukup, shg dlm membiayai pelayanan kesehatan masih mudah untuk dijangkau secara mandiri

5.3 DAFTAR MASALAH 5.3.1 Masalah Medis 1. An.A didiagnosis dengan penyakit Typhoid Fever

Keturunan: An.A, usia 4 tahun 9 bulan kelmpk gender & usia risiko tinggi demam tifoid. An.A berpotensi menderita HT&DM karena adanya faktor resiko keturunan dari kedua orang tua dan kakek nenek.

2. An.A berpotensi menderita hipertensi dan diabetes mellitus karena adanya faktor resiko keturunan. 5.3.2 Masalah Non Medis 1. Komunikasi dan perhatian orang tua terhadap An.A kurang berjalan lancar, sehingga pengawasan juga kurang intensif 2. Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.A terlalu dekat

41

3. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.A memungkinkan An.A untuk mengkonsumsinya, padahal An.A sensitif terhadap jajanan atau makanan luar. 4. Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena jaraknya yang jauh. 5. Meskipun tingkat pendidikan orang tua An.A baik, namun orang tua An.A kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.A tidak segera membawa An.A ke rumah sakit. 5.3.3 Diagram Permasalahan Keluarga
1. Komunikasi dan perhatian orang tua terhadap An.A kurang berjalan lancar, sehingga pengawasan juga kurang intensif. 4. Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena jaraknya yang jauh.

2. Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.A terlalu dekat

An.A usia 4 tahun 9 bulan, dengan Typhoid Fever & berpotensi menderita hipertensi & DM

3. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.A memungkinkan An.A untuk mengkonsumsinya, padahal An.A sensitif terhadap jajanan atau makanan luar.

5. Meskipun tingkat pendidikan orang tua An.A baik, namun orang tua An.A kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.A tidak segera membawa An.A ke rumah sakit.

5.3.4 Matrikulasi Masalah Prioritas masalah ini ditentukan melalui teknik kriteria matriks. (Azrul, 1996)
No. 1. Daftar Masalah An.A berpotensi menderita hipertensi dan diabetes mellitus karena adanya faktor resiko keturunan Komunikasi dan perhatian orang tua terhadap An.A kurang berjalan lancar, sehingga pengawasan juga kurang intensif Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.A terlalu dekat Banyak penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah P 3 I S 5 T SB 3 5 Mn 3 R Mo 3 Jumlah IxTxR 6.075

Ma 3

2.

32.000

2.100

30.000

42

An.A memungkinkan An.A untuk mengkonsumsinya, padahal An.A sensitif terhadap jajanan atau makanan luar. Orang tua An.A kurang memahami tentang penyakit demam tifoid, sehingga An.A tidak segera dibawa ke rumah sakit. Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena jaraknya yang jauh

11.520

1.728

Keterangan : I : Importancy (pentingnya masalah) T : Technology (teknologi yang tersedia) R : Resources (sumber daya yang tersedia) P : Prevalence (besarnya masalah) S : Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah) SB : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah) Mn : Man (tenaga yang tersedia) Mo : Money (biaya yang tersedia) Ma : Material (sarana yang tersedia) Kriteria penilaian : 1 2 3 4 5 : tidak penting : agak penting : cukup penting : penting : sangat penting

Berdasarkan kriteria matriks diatas, maka urutan prioritas masalah keluarga An.A adalah: 1. Komunikasi dan perhatian orang tua terhadap An.A kurang berjalan lancar, sehingga pengawasan juga kurang intensif. 2. Banyaknya penjual makanan di sekitar lingkungan sekolah An.A memungkinkan An.A untuk mengkonsumsinya, padahal An.A sensitif terhadap jajanan luar. 3. Meskipun tingkat pendidikan orang tua An.A baik, namun orang tua An.A kurang mengetahui tentang penyakit demam tifoid, sehingga ibu An.A tidak segera membawa An.A ke rumah sakit. 4. An.A berpotensi menderita hipertensi dan diabetes mellitus karena adanya faktor resiko keturunan. 5. Jarak antara kamar mandi dan dapur di rumah An.A terlalu dekat. 6. Hubungan dengan tetangga dan teman-teman An.A kurang berjalan lancar karena jaraknya yang jauh.

43

LAPORAN STUDI KASUS STASE ANAK

BAB VI PENUTUP
A. KESIMPULAN HOLISTIK - Diagnosis dari segi biologis: Working diagnostic Differential diagnostic : Typhoid fever : Dengue Fever Dengue Hemoragic Fever Malaria - Diagnosis dari segi psikologis: Hubungan An.A dengan anggota keluarga kurang baik, karena ayah dan ibu An.A sedang kuliah, sehingga kurang memiliki waktu luang untuk anaknya dan komunikasi dalam keluarga kurang berjalan efektif. Tetapi nenek dan kakeknya memberikan perhatian yang baik terhadap An.A. - Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi : Hubungan An.A dengan tetangga dan teman-teman kurang berjalan lancar karena jarak rumahnya yang jauh. An.A lebih sering bermain game untuk mengisi waktu luang. Dalam segi ekonomi, keluarga Tn.M tergolong cukup mampu. B. SARAN KOMPREHENSIF a. Menjaga kebersihan serta kesehatan diri dan lingkungan, khusunya menjaga kebersihan kamar mandi rumah An.A yang posisinya dekat dengan dapur. b. Menjaga higienitas makanan dan asupan cairan dan nutrisi yang sehat dan cukup. c. Memberikan informasi dan pemahaman kepada orang tua An.A, mengenai demam tifoid (pencegahan, pengenalan tanda dan gejala klinis, kondisi kegawatan, penanganan dini atau rujukan, dan komplikasi). d. Istirahat dan perawatan yang intensif untuk mempercepat pemulihan dan mencegah komplikasi. e. Memberikan pengertian kepada orang tua An.A akan pentingnya komunikasi dan perhatian dalam pengawasan dan penyelesaian masalah yang dihadapi An.A. f. Deteksi dini terhadap potensi terjadinya hipertensi dan diabetes mellitus pada An.A. g. Memberikan saran agar An.A lebih aktif dalam kegiatan di sekolahnya untuk tujuan pembelajaran bersosialisasi. 44

DAFTAR PUSTAKA

1. 2.

N Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller, 2005. Salmonellosis. Harrisons Principles of Internal Medicine (16th ed), 897-900. Gassem MH, 2001. Typoid fever, clinical and epidemiological studies in Indonesia. Thesis Nijmegen University, Netherland. Diponegoro University Press, Semarang, Indonesia. Brusch, J.L., 2010, Typhoid Fever. http://emedicine.medscape.com/article/231135overview. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed), Badan Penerbit IDAI, Jakarta. Setiabudy R & Gan VHS. (2007). Farmakologi dan Terapi. Antimikroba. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 573-659 Widodo D. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al.,editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: PusatPenerbitan IPD Universitas Indonesia; 2007. p. 1752. Jawetz, Melnick, Adelberg. Edisi 20. Mikrobiologi Kedokteran. Kelompok Salmonella Arizona. Penekbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. hal: 243-247. Scanlon, Valerie C.Essentials of anatomy and physiology/Valerie C. Scanlon, Tina Sanders. 5th ed. ISBN13: 978-0-8036-1546-5 ISBN10: 0-8036-1546-9: 2006. Guyton, Arthur C. Textbook of medical physiology / Arthur C. Guyton, John E. Hall. 11th ed. ISBN 0-7216-0240-1: 2006.

3. 4. 5.

6.

7. 8. 9.

10. Mandal, B.K. (1995). Problem Gastroenterologi Daerah Tropis. Salmonella typhi dan Salmonella lainnya. Editor: Salim IN. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta. Hal : 62 11. Christie AB. Typhoid and Paratyphoid Fevers in : Infectious Disease Vol. 1, 4th ed. Churchill Livingstone : Medical Division of Longman Group UK Limited, 1987 : 100. 12. Hoffman S. : Typhoid fever in Warren KS dan Mahmpud AAF (eds) : Tropical and Geographical. Edisi ke 2, New York, Mc Graw-Hill Information Services Co. (1990). 13. Pang T, Koh KL, Puthucheary SD (eds) : Typhoid fever : Strategies for the 90s, Singapore, World Scientific, (1992). 14. Krugman S, Katz SL, Gershon AA, Wilfred CM (eds) Infectious disease in children, ed ke 9, St. Louis, Mosby Yerabook Inc. (1992). 15. Cleary Th G. Salmonella species in longess, Pickerling LK, Praber CG. Principles and Practice of Pediatric Infectious Disease Churchill Livingstone, New York 1nd ed, 2003 : hal. 830. 45

You might also like