You are on page 1of 4

Menelisik Ideologi Jawa Panunggalan

Wacana Pemikiran Ki Sondong Mandali Seluruh ngelmu pangawikan (ilmu tentang teosofi) pada dasarnya bersifat universal. Baik yang atas dasar ajaran agama maupun atas dasar filsafat hidup dan kepercayaan-kepercayaan. emua mengajarkan untuk menggapai kebahagiaan hidup manusia berdasarkan kebenaran mutlak atau kebenaran sejati. Paugeran urip atau hukum syariat menjalani hidup setiap komunitas manusia diturunkan dari ngelmu pangawikan yang dimiliki tata peradaban komunitas manusia masing-masing. Maha Besar Tuhan yang telah menciptakan manusia dengan perbedaan budaya dan peradaban. Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa, demikianlah dinyatakan Mpu tantular yang menunjukkan pandangan (ide) Jawa terhadap perbedaan budaya dan peradaban manusaia tersebut.Konon ceritanya, pernyataan Mpu Tantular tersebut untuk memandu masyarakat Jawa (Majapahit) yang pada waku itu menghadapi masalah kemungkinan terjadi benturan antar budaya dan peradaban akibat masuknya peradaban Hindu dan Buddha. Artinya, bahwa Mpu Tantular sebagai cendekiawan Jawa pada jamannya telah merumuskan suatu ide pandangan hidup yang bertujuan untuk mencegah terjadinya benturan antar peradaban tersebut. Jawa merupakan suatu wilayah kecil di planet bumi ini, namun merupakan wilayah sasaran penyebaran berbagai agama, budaya dan peradaban umat manusia yang paling intensif di muka bumi. Merupakan sebuah misteri yang mengherankan bahwa kenyataannya Jawa mampu ngemot dan momong berbagai perbedaan budaya dan peradaban yang masuk tersebut. Bahkan kemudian terbukti pula mampu memberikan suport kejayaan kepada budaya dan peradaban pendatang tanpa kehilangan jatidirinya. Sejarah membuktikan bahwa budaya dan peradaban yang beraras agama Hindu dan Buddha pernah mewarnai sekluruh budaya dan peradaban Jawa. Namun kenyataan yang tersisa sampai saat ini, komunitas kedua agama tersebut di Jawa hanya merupakan saf-saf kecil yang tidak dominan. Maka artinya bahwa budaya dan peradaban besar Hindu dan Buddha di Jawa tidak menghilangkan jatidiri Jawa. Ketika kedua agama tersebut surut, orang Jawa kempbali kepada kepercayaan aslinya yang sudah bersinergi dengan nilainilai budaya dan peradaban Hindu Buddha. Ketika Jawa menerima sebaran Islam yang membawa serta budaya dan peradaban Arab (Timur Tengah), maka kembali terjadi sinergi baru antara Jawa dan Islam. Malahan kemudian banyak statemen yang menyatakan bahwa 90% wong Jawa adalah muslim. Padahal kenyataannya, sebagaian besar orang Jawa yang beragama Islam tidak mengerti arti ucapan panembahnya kepada Tuhan (sholat) dalam bahasa Arab. Jawa memiliki kesaktian, begitulah gampangnya pendapat untuk memahami fenomena pergulatan antar budaya, peradaban, dan agama yang terjadi di Jawa. Pertanyaan bagi kita yang hidup di era modern rasional saat ini adalah: Kesaktian seperti apa ? Peertahanan Jawa terletak pada pandangan aras spiritualnya tentang kesemestaan yang ada. Maha Kesatuan Tunggal Semesta merupakan aras spiritual yang bisa dikatakan paripurna sampai saat ini. Ide ini lebih tangguh dan kukuh lagi ketika kemudian melahirkan struktur sistem panunggalan, manunggaling kawula gusti

(pancer-mancapat, inti-plasma) untuk seluruh sistem yang ada di alam semesta ini. Karena pada sistem inilah diturunkan nilai selaras dan nilai rukun yang harus dilakoni oleh semua umat manusia sebagai kawula dalam menjalani hidup di dunia. Nilai rukun dan nilai selaras inilah basis utama falsafah Jawa. Artinya, bahwa paugeran (hukum, syariat) menjalani hidup menururt ajaran (falsafah) Jawa diperuntukkan untuk menyangga nilai rukun dan nilai selaras tersebut. Maka kemudian ruh tata peradaban Jawa adalah kebersamaan dalam bingkai nilai rukun dan nilai selaras yang diungkapkan dalam kalimat tata tentrem kerta raharja. Hal ini merupakan ide dasar yang menjadi filter dalam rangka Jawa mengadobsi dan beradaptasi dengan budaya dan peradaban lain. Ketika budaya dan peradaban lain tersebut tidak mengedepankan nilai rukun dan nilai selaras maka tidak akan diterima sampai jauh ke dalam ruang batin. Hanya pada lapisan luar, itupun lebih dikarenakan keharusan-keharusan yang diterapkan oleh penguasa. Menerima namun menempatkan di bagian lapis luar merupakan keluwesan Jawa yang lain dalam kaitan melaksanakan nilai rukun dan nilai selaras itu sendiri. Selisik kita telah menemukan bahwa kesaktian Jawa ada pada rnah ide spirituil. Dan hal ini bisa dikatakan berhasil ketika menerima pengaruh budaya, peradaban dan agama dari luar yang pijakannya juga ranah spirituil. Masalahnya kemudian, bagaimana ketika Jawa menghadapi ide-ide yang pijakannya materialisme dan sekuler semacam: liberalisme, demokrasi, hak asasi manusia, dan lain-lain? Sesungguhnya ide Jawa yang bertolak dari sistem kesatuan tunggal semesta cukup memadai untuk menampung ide-ide yang berpijak pada materialisme dan sekuler tersebut. Nilai rukun dan nilai selaras yang berada pada aras spirituil bisa dibumikan untuk mengampu pemberlakuan sistem-sistem dari jaman modernisasi dan globalisasi. Justru dimungkinkan bisa menjadi euh dari semua sistem tersebut untuk mencapai kemerdekaan, kesejahteraan umum dan perdamaian abadi untuk seluruh umat manusia. Persoalannya, upaya membumikan ide Jawa tentang kesatuan tunggal semesta sejauh ini selalu bias dengan kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan. Jaman kerajaan-kerajaan, biasnya berupa keinginan para raja-raja melestarikan kekuasaan, bukan untuk melestarikan eksistensi negara (kerajaan) yang didirikan. Demikian pula di di jaman kemerdekaan ini, bias kepentingan melestarikan kekuasaan rejim lebih menonjol dibanding melestarikan ide dasarmendirikan Indonesia. Manunggaling kawula gusti diartikan sebagai manunggalnya rakyat (kawula) dengan pemimpin/penguasa (gusti) yang muaranya berupa tindakan-tindakan manipulatif untuk merekayasa kesetiaan kawula (rakyat) pada rejim. Seharusnya kesetiaan rakyat (termasuk rejim yang diberi amanah kekuasaan) diperuntukkan kepada ide dasar atau cita-cita luhur diberdirikannya Indonesia, kalau yang ingin diterapkan sebagai sistem adalah ide panunggalan. Banyak yang mempertanyakan, adalah sistem demokrasi dalam tata peradaban Jawa? Demokrasi dalam khasanah Jawa memang tidak dikenal. Namun Jawa memiliki sistem yang memberi penjelasan tentang makna hidup (hakekat hidup, sejatining urip) sedemikian luas dan mendalam. Bahwa manusia adalah kawula dari suatu sistem kemanunggalan semesta. Maka artinya bahwa pengaturan hidup bersama menurut Jawa adalah pada tataran hakekat hidup bersama dengan tujuan mencapai kemerdekaan, kesejahteraan umum dan perdamaian abadi. Oleh karena itu, yang berlaku kemudian adalah musyawarah bersama untuk mendapatkan permufakatan dalam mengatur hidup

bersama tersebut. Kebebasan individu terikat dengan suatu ide dasar menyelenggarakan hidup bersama yang tata tentrem kerta raharja yang pijakannya nilai rukun dan nilai selaras. Kemerdekaan, kesejahteraan dan perdamaian merupakan kebutuhan mutlak umat manujsia dalam hidup bersama. Ideologi atau sistem apapun yang mau dipilih dan diterapkan untuk hidup bersama akan selalu dituntut untuk memenuhi kebutuhan mutlak tersebut. Kesadaran akankebutuhan mutlak tersebut sudah menjadiinnerumumnya orang Jawa. Maka secara naluriah orang-orang Jawa sudah terpandu oleh nilai rukun dan nilai selaras yang dimiliki untuk menyelenggarakan hidup bersama yang teratur. Bukti-bukti sejarah telah menunjukkan hal itu dengan adanya sistim pemerintahan kabuyutan dan perdikan sebagai sistem berkomunitas Jawa. Pemerintahan teratur pada sistem kabuyutan dan perdikan dengan kasat mata membuktikan adanya sistem demokrasi terpimpin. Aartinya, ada suatu rembuk bersama (musyawarah) untuk mengambil keputusan-keputusan. Pengertian terpimpin dalam hal ini adalah acuan yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu: kerukunan dan keselarasan. Di jaman kerajaan-kerajaan sebelum masuknya Islam, eksistensi kabuyutan dan perdikan di Jawa masih terjamin. Bahkan sistim kerajaan-kerajaan sampaijaman Majapahit adalah menghimpun kabuyutan dan perdikan dalam satu wadah kerajaan. Mulai jaman Kesultanan Demak, maka sistem kabuyutan dan perdikan dihilangkan eksistensinya dan diganti dengan sistem kademangan yang merupakan kepanjangan tangan kekuasaan kerajaan (Sultan dan Sunan) Penghilangan sistem kabuyutan dan perdikan berlanjut ketika jaman penjajahan Belanda. Sistem kabuyutan dan perdikan kiranya memang kendala besar untuk upaya kooptasi budaya dan peradaban lain terhadap Jawa. Maka sebenarnya sejak hilangnya kabuyutan dan perdikan, hilang pula sistem musyawarah yang berjenjang-jenjang dari bawah ke ats. Gtergantikan sistem otoriter kekuasaan dari atas (kesltanan/kesunanan dan pemerintah penjajah) ke bawah. Atas dasar selisik sebagaimana terpaparkan tersebut di atas, maka sistem pemerintahan teratur Jawa (Brandes, 1889) sesungguhnya telah tercerabut dari struktur tata peradaban Jawa. Yang berlaku adalah sistim yang berdasarkan tata peradaban dari luar. Siatem gojag-gajeg campuran hukum Islam yang diterapkan Kesul;tanan dan Kasunanan Jawa dengan hukum warisan pemerintah kolonial Belanda. Ide rukun dan selaras yang dimiliki Jawa mengharamkan terjadinya benturan antar peradaban. Maka terhadap masuknya agama, budaya dan peradaban dari luar, Jawa sepertinya tidak melakukan perlawanan dan terkesan membuka pintu masuk untuk dijajah secara lahiriah maupun spirituil. Namun demikian, proses kooptasi (penjajahan) spirituil dari luar yang sampai saat ini masih berjalan, belum mampu menghapus identitas Jawa. Pertahanan Jawa pada aras spirituil masih tangguh dan kuat menghadapi berbagai gerusan yang mendera. Padahal seluruh pertahanan tersebut merupakan naluri alamiah belaka. Tanpa ada sistem pembelajaran, tanpa organisasi dan pemimpin, serta tanpa strategi apapun. Dalam pergulatan budaya dan peradaban maka yang terjadi adalah adu kualitas budaya dan peradaban. Semakin universal kualitas yang dimiliki semakin memiliki ketangguhan. Budaya dan peradaban yang mengalir datang ke Jawa sejak jaman prasejarah hingga sekarang ini, karakternya selalu berusaha mengkooptasi (menjajah). Bahkan dengan terang-terangan mau menghapus jatidiri Jawa. Mereka memposisikan

Jawa sebagai bangsa yang tidak/belum beradab dan perlu diberadabkan. Berbagai taktik dan strategi dilakukan demi menguasai Jawa. Namun kenyataannya sampai saat ini Jawa masih mentheles tidak berhasil dilebur. Pergulatan budaya dan peradaban bisa diibaratkan dalam ostolah Jawa, Adu pucuking curiga, singa lena angemasi. (Mengadu kesaktian keris, yang kalah tangguh pasti kehilangan daya kesaktiannya). Ide Sistem Jawa berada di ranah spirituil, maka ketahanan yangh dimiliki juga pada aras spirituil. Ide Panunggalan Semesta dengan struksur sistem manunggaling kawula gusti adalah ideologi Jawa. Ide sistem yang paripurna bagi budaya dan peradaban umat manusia. Universal lintas kosmis serta sanggup momot ngemong segala perbedaan dengan damai. Lagipula sudah tersemayamkan di hati sanubari setiap lajer Jawa hingga menjadi otot bayu yang terbukti tidak lekang dan lapuk sejak jaman prasejarah hingga saat ini. Maka Panunggalan inilah daya kekuatan yang menjadi ketahanan alamiah Jawa dalam pergulatan antar budaya dan peradaban. ksm. Catatan: Tulisan ini sernah dimuat di majalah SASMITA edisi perdana, September 2007.

You might also like