You are on page 1of 30

MANAGEMENT OF ACUTE CORONARY SYNDROME

Prof.DR.dr.H. Djanggan Sargowo, SpPD.,SpJP (K), FIHA, FACC, FCAPC,FESC

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2008

2 RINGKASAN Infark Miokard Akut (IMA) sangat berpotensi menjadi fatal karena adanya silent infark dan cardiac Arrest yang terjadi diluar hospital (RS) namun sebetulnya dapat dicegah asal pengetahuan masyarakat akan keluhan Chest Pain dan diagnose lebih dini bisa ditegakkan. Infark Miokard Akut adalah nekrosis dari miokard yang terjadi akibat insufisiensi aliran darah lewat koroner yang mendadak sehingga aliran darah koroner tidak mampu mencukupi kebutuhan oksigen. Infark Miokard Akut memberikan gambaran klinis yang khas berupa nyeri dada, kelainan EKG yang khas dan kenaikan serum enzim. Angka kematian di negara maju/industri masih cukup tinggi yaitu 30% terjadi pada 2 jam pertama perawatan, namun setelah ada pelayanan Coronary Care Unit (CCU) mulai tahun 1960 angka kematian turun menjadi 20% dan selanjutnya dengan penggunaan terapi Trombolitik pada tahun 1980 angka kematian menurun menjadi 10% dan kematian mendadak dapat merupakan manifestasi pertama dari IMA. Pengenalan dini dari IMA serta pengobatan dalam fase Pra hospital mempunyai peranan penting yaitu pengetahuan masyarakat akan keluhan nyeri dada, usaha meminta pertolongan pada petugas ambulan atau petugas pelayanan medik emergensi dengan peralatan defibrilator, trombolitik dan monitoring EKG berlanjut berperan bahwa 50% dari kematian terjadi pada jam pertama, sembilan puluh persen dari kematian disebabkan oleh Ventrikel Fibrilasi. Pengobatan Pra Hospital dapat berupa pemasangan infus, pemberian oksigen, monitoring EKG, opioid, trombolitik dan penderita segera diangkut ke hospital. Selanjutnya perawatan di Hospital dilakukan tindakan-tindakan untuk mengkonfirmasikan diagnosa dengan pemeriksaan EKG, serum enzim, bila mungkin dengan Radio Nuclide Imaging, prosedur non invasif dan invasif seperti Swan Ganz Kateter dan Balloon Flotation Kateter, dan mengobati komplikasi-komplikasi berupa : gagal jantung, aritmia, syok, tromboemboli. Terdapat 3 fase perawatan di CCU yaitu : perawatan emergensi ; menghilangkan nyeri dada dan mencegah dan mengobati aritmia, perawatan awal berupa; terapi reperfusi dan penanganan komplikasi, serta perawatan lanjut ; untuk mencegah komplikasi dan kematian. Perawatan Pasca Hospital berupa penilaian terhadap risiko, program rehabilitasi dan prevensi sekunder. Penilaian risiko digolongkan menjadi risiko tinggi, risiko menengah dan rendah, program rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan keadaan fisik, psikologik dan sosio ekonomi seperti sebelum sakit serta prevensi sekunder berupa penanganan faktor risiko, program diet, olah raga dan obat-obat : antiplatelet agregasi, -blocker, Calcium antagonist, Nitrat, ACE inhibitor serta obat penurun lipid.

3 I. PENDAHULUAN Perjalanan alami dari Infark Miokard Akut (IMA) sukar ditentukan dengan beberapa alasan : kejadian infark tanpa keluhan yang umum terjadi, angka kematian karena penyakit koroner akut diluar rumah sakit, dan bervariasinya metode yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit ini. Penelitian pada beberapa kelompok masyarakat menunjukkan secara konsisten bahwa fatalitas dari serangan jantung akut pada bulan pertama sebesar kira-kira 50% dan setengah dari kematian yang ada terjadi kira-kira pada 2 jam pertama. Mortalitas yang tinggi ini tampaknya sedikit berubah selama 30 tahun terakhir. Kebalikan dengan angka mortalitas di masyarakat, terdapat penurunan yang nyata pada angka kematian penderita yang dirawat di rumah sakit. Seiring pengenalan adanya unit rawat jantung di tahun 1960, mortalitas di rumah sakit berkisar antara 25-30%. Penelitian lanjutan tentang mortalitas pada era pre-trombolitik pertengahan tahun 1980 menunjukkan kematian rata-rata 18%. Angka mortalitas pada bulan pertama telah dapat diturunkan, akan tetapi tetap tinggi meskipun obat trombolitik dan aspirin digunakan secara luas. Maka, pada penelitian MONICA ( monitoring trends and determinants in cardiovascular disease ) akhir-akhir ini di 5 kota, kematian pada hari ke-28 adalah 13-27%. Penelitian lain melaporkan angka kematian dalam 1 bulan sebesar 10-20% (Monica, 1994). Beberapa tahun sebelumnya ditemukan beberapa faktor yang diperkirakan menyebabkan kematian pada pasien yang masuk rumah sakit dengan infark miokard. Faktor utama tersebut adalah usia, riwayat penyakit terdahulu (diabetes, infark sebelumnya) ukuran infark yang luas, termasuk lokasi infark (anterior vs inferior), tekanan darah yang rendah, adanya kongestif pulmonal dan perluasan iskemia sebagaimana diekspresikan dengan elevasi dan atau depresi segmen ST pada elektrokardiogram. Faktor-faktor tersebut masih tetap berperanan sampai saat ini (Maynard, 1993). II. PENATALAKSANAAN INFARK MIOKARD AKUT Sementara perhatian utama dari dokter adalah untuk mencegah kematian, perawatan terhadap pasien infark miokard ditujukan untuk meminimalkan keluhan dan stres serta untuk membatasi perluasan kerusakan miokard. Perawatan tersebut dapat dibagi menjadi 3 fase (Hopper, 1989) : (1) Penanganan darurat dengan pertimbangan utama untuk menghilangkan nyeri dan mencegah atau menangani henti jantung. (2) Penanganan dini dengan pertimbangan utama untuk reperfusi dan mencegah perluasan infark, serta untuk menangani komplikasi akut seperti kegagalan pompa jantung, syok dan aritmia yang mengancam jiwa. (3) Penanganan lanjut yang ditujukan untuk menangani komplikasi yang terjadi di CCU (coronary care unit), dan post CCU.

4 II.1. Perawatan Pra-Rumah Sakit (Pre Hospital) Keterlambatan pasien Waktu yang paling kritis pada suatu serangan jantung akut adalah fase awal, saat pasien berada dalam keadaan nyeri hebat dan dalam bahaya henti jantung. Lebih jauh lagi, semakin awal beberapa penanganan, terutama trobolisis, semakin besar efek yang menguntungkan. Tetapi, seringkali terjadi satu jam atau lebih dari onset sebelum bantuan diminta. Kadang-kadang terdapat bukti bahwa gejala-gejala tidak berat atau tipikal, atau onset tiba-tiba, namun seringkali tindakan darurat tidak dilakukan saat kejadian tersebut. Seharusnya menjadi pedoman umum dari perawatan pasien dengan penyakit jantung iskemik untuk memberitahu mereka dan keluarganya mengenai gejala dari serangan jantung dan bagaimana merespons terhadap hal tersebut. Agak kurang dipahami peran edukasi dari masyarakat umum. Tentunya, masyarakat harus sadar tentang bagaimana cara memanggil layanan kedaruratan, meskipun mereka telah mencapai beberapa kemajuan, masih dipertanyakan apakah peran edukasi publik memiliki peran yang bermakna (Maynard, 1993). Edukasi publik dalam RKP Teknik pertolongan hidup dasar ( basic life support ) harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah. Mereka yang mungkin menjumpai henti jantung saat kerja, seperti halnya polisi dan petugas pemadam kebakaran, harus terampil dalam RKP. Pelayanan ambulans Pelayanan ini memegang peran penting dalam penanganan IMA dan henti jantung. Kualitas dari perawatan yang diberikan tergantung kepada ketrampilan dari staf. Pada tahap awal, personel ambulans harus dilatih untuk mengenali gejala infark miokard, memberikan oksigen, obat penghilang nyeri dan melakukan basic life support . Semua ambulans darurat harus diperlengkapi dengan defibrilator dan minimum salah satu personelnya terlatih untuk melakukan advanced life support. Dokter yang berada di ambulans, seperti terdapat di beberapa negara, punya kemampuan diagnostik yang lebih maju dan ketrampilan terapi yang memadai termasuk hak untuk memberikan opioid dan obat trombolitik. Di beberapa negara, perawat yang dilatih khusus dapat menggantikan posisi dokter ini. Sangat diharapkan dari staf ambulans agar mencatat ECG untuk tujuan diagnostik dan menginterpretasi atau mentransfernya sehingga dapat dibaca oleh staf yang berpengalaman pada unit perawatan jantung ditempat lain. Pencatatan ECG terutama untuk perawatan berperan besar dalam penanganan di rumah sakit.

5 Dokter umum Di beberapa negara, dokter umum memegang peranan penting dalam perawatan awal dari infark miokard. Di negara-negara ini, mereka adalah yang pertama dipanggil oleh pasien. Jika mereka bereaksi dengan cepat dan terlatih dengan baik maka sangat efektif karena mereka mengenali pasien secara individual, mencatat dan menginterpretasikan ECG, dapat memberikan opioid dan obat trombolitik, dan melakukan defibrilasi. Pada kebanyakan negara, dokter umum tidak terlatih dengan baik. Pada keadaan ini walau diharapkan mereka dapat menangani pasien tanpa tertunda mereka sebaiknya cepat memanggil ambulans. Prosedur masuknya pasien Proses yang dilalui oleh pasien setiba mereka di rumah sakit haruslah cepat, khususnya menyangkut diagnosis dan pemberian trombolitik jika ada indikasinya. Di beberapa rumah sakit, pengiriman langsung pasien ke unit rawat jantung adalah cara yang terbaik, tetapi sering pasien pertama akan dikirim ke unit gawat darurat. Penundaan perawatan pada saat ini sangatlah berpengaruh, tersedianya staf yang berkualitas merupakan hal yang yang sangat penting untuk memeriksa dan menangani pasien yang dicurigai menderita infark miokard. Pasien dengan gambaran clear-cut infark miokard, yang ECGnya menunjukkan adanya elevasi ST atau block bundle branch, harus melewati sistem pelayanan yang cepat, dimana trombolitik diberikan di unit gawat darurat sehingga waktu door-to-needle tidak lebih dari 20 menit. Pada kasus ini diperlukan pemeriksaan yang lebih teliti yang mungkin lebih baik di unit rawat jantung (CVCU). II.2. Perawatan Rumah Sakit (Hospital) A. Perawatan di ruangan koroner/emergensi Semua pasien dengan kecurigaan adanya infark miokard sebaiknya segera diperiksa dan dirawat di unit yang didesain khusus untuk itu, dimana selalu tersedia tenaga yang terlatih dan peralatan yang memadai. Bila unit ini ada, maka triage, berperan penting untuk menentukan pengaturan alih ke ruangan lain bagi mereka yang tidak membutuhkan fasilitas yang canggih (Amstrong, 1972). Monitoring non invasif Monitoring ECG untuk terjadinya aritmia harus segera dimulai pada semua pasien yang dicurigai mempunyai infark miokard akut. Hal ini harus dilanjutkan sampai 24 jam atau sampai diagnosis lain dibuat. Pengamatan ECG lebih lanjut tergantung pada faktor resiko dari pasien tersebut dan alat yang tersedia. Ketika pasien meninggalkan CCU, pengamatan irama jantung dapat dilanjutkan bila perlu dengan telemetri. Pengamatan lebih lama diperlukan pada pasien dengan gagal

6 jantung yang menetap, syok atau aritmia yang serius pada fase akut karena resiko aritmia sangat tinggi. Monitoring invasif Semua CCU harus mempunyai tenaga terlatih dan alat untuk melakukan monitoring invasif dari tekanan arteri pulmonal. Monitoring tekanan arteri harus dilakukan pada pasien dengan syok kardiogenik. Kateter balon, seperti kateter Swan-Gaz, berguna untuk pemeriksaan dan perawatan pasien dengan output jantung yang rendah. Kateter ini diindikasikan pada keberadaan syok kardiogenik, gagal jantung yang progresif, dan kecurigaan adanya defek septum ventrikuler atau disfungsi otot papilaris. Pertama, diagnosis kerja infark miokard harus ditegakkan. Biasanya berdasarkan riwayat adanya nyeri dada yang parah yang berlangsung selama 15 menit atau lebih, dan tidak berespon dengan nitrogliserin. Tetapi nyeri mungkin tidak parah, khususnya pada orang tua, gejala lain seperti dispnoe, pingsan atau sinkope umumnya terjadi. Petunjuk penting adalah riwayat penyakit koroner terdahulu, dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah, atau tangan kiri. Tidak ada keseragaman gejala individual dari infark miokard, tetapi kebanyakan pasien mengalami aktivasi saraf otonom (pucat, berkeringat) serta hipotensi atau tekanan nadi yang menurun. Gambarannya bisa termasuk nadi yang irreguler, bradikardi atau takikardi, bunyi jantung III dan ronchi pada basal. Elektrokardiogram harus dilaksanakan secepat mungkin. Bahkan pada tahap awal, ECG sering normal. Akan tetapi ECG sering bervariasi pada jam-jam awal dan bahkan pada infark akut sering menunjukkan tidak adanya gambaran khas elevasi ST dan gelombang Q baru. Ulangan ECG harus dilakukan dan jika mungkin, ECG yang terakhir harus dibandingkan dengan ECG sebelumnya. Monitoring ECG sebaiknya dilakukan secepat mungkin pada pasien yang mempunyai aritmia yang membahayakan. Ketika diagnosis masih meragukan, uji marker serum sangatlah berarti. Pada kasus yang sulit, echokardiografi dan angiografi mungkin dapat membantu. Pengobatan terhadap nyeri merupakan hal yang sangat penting, tidak hanya oleh karena alasan kemanusiaan, tetapi karena nyeri dapat dihubungkan dengan aktivasi simpatetik yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan kerja jantung. Opioid intravena (morfin) atau jika ada, diamorfin adalah analgesik yang umumnya digunakan pada kasus ini, injeksi intramuskular harus dihindari. Ulangan dosis mungkin diperlukan. Efek sampingnya meliputi mual dan muntah, hipotensi dan bradikardi, dan depresi napas. Obat antiemetik dapat digunakan secara bersamaan dengan opioid. Hipotensi dan bradikardi yang terjadi biasanya bereaksi dengan atropin dan depresi napas bereaksi dengan naloxon, yang sebaiknya selalu tersedia. Jika opioid gagal untuk menghilangkan nyeri setelah pemberian ulangan, - -blocker atau nitrat intravena sering efektif. Tenaga medis mempunyai pilihan yang terbatas pada obat opioid yang non adiktif dan disesuaikan dengan ketersediaan yang berbeda-beda

7 pada tiap senter. Oksigen sebaiknya diberikan pada pasien yang sesak napas atau mempunyai gejala gagal jantung atau syok. Kecemasan merupakan respon alami terhadap nyeri dan terhadap serangan jantung. Keyakinan pasien dan keluarga yang terlibat merupakan hal yang sangat penting. Jika pasien merasa sangat terganggu, dapat diberikan obat penenang, tetapi opioid adalah obat yang cukup memadai (E.R.C, 1992). Basic Life Support Bagi yang tidak terlatih atau tidak diperlengkapi untuk melakukan advanced life support sebaiknya memulai dengan basic life support seperti yang direkomendasikan oleh European Resucitation Council. Advanced Life Support Paramedis terlatih dan tenaga kesehatan lainnya harus mengerjakan advanced life support, seperti yang digambarkan dalam buku petunjuk European Resucitation Council. B. Perawatan awal 1. Pengobatan trombolitik Lebih dari 1000 pasien secara random diikutkan dalam penelitian trombolisis vs kontrol, memakai satu macam trombolitik dibandingkan dengan yang lainnya. Pada pasien yang mempunyai onset gejala infark dalam 12 jam, terbukti bahwa keuntungan terapi dengan trombolitik sangat menakjubkan (Stevenson, 1993). Pada pasien yang menunjukkan gejala dalam 6 jam, dan elevasi ST atau bundle branch block, sekitar 30 kematian dapat dicegah tiap 1000 orang yang diobati. Pada yang menunjukkan gejala antara 7-12 jam, 20 kematian dapat dicegah tiap 1000 orang yang mendapat pengobatan. Bila lebih dari 12 jam tidak ada bukti yang meyakinkan tentang keuntungannya. Penelitian ISIS-2 menunjukkan keuntungan pemberian aspirin, sehingga ada penurunan kira-kira sebesar 50 kematian tiap 1000 orang diterapi. Secara keseluruhan, keuntungan terbesar terlihat pada pasien dengan resiko tinggi, walau proporsional keuntungannya hampir sama. Maka, lebih banyak nyawa terselamatkan tiap 1000 nyawa yang diobati Thrombolitik, sebagai contoh diantaranya mereka yang berusia 65 tahun keatas, yang mempunyai tekanan sistolik <160mmHg, yang mempunyai infark anterior atau yang mempunyai bukti iskemia yang lebih berat (Adams, 1993).

8 Jangka waktu pengobatan Keuntungan terbanyak terlihat pada mereka yang mendapat pengobatan segera setelah onset gejala muncul. Sebuah analisa penelitian dimana pasien diacak untuk trombolisis pre dan dalam rumah sakit menunjukkan bahwa menyelamatkan satu jam mengurangi kematian secara signifikan, tetapi pada penelitian yang relatif kecil gagal menunjukkan besarnya angka keuntungan yang pasti. Pada pengamatan terhadap fibrinolitik didapat penurunan yang progresif sekitar 1-6 kematian tiap jam penundaan per 1000 pasien yang diobati. Bahaya trombolisis Terapi trombolitik dihubungkan dengan timbulnya efek samping cukup signifikan, yaitu 3-9 ekstra stroke per 1000 pasien yang diobati, dan semua bahaya tersebut timbul pada hari pertama setelah pengobatan. Stroke awal dianggap berasal dari perdarahan serebral; stroke selanjutnya lebih sering karena trombosis atau emboli. Resiko stroke bervariasi tergantung pada umur. Terdapat peningkatan resiko untuk orang dengan usia diatas 75 tahun dan juga bagi mereka yang mempunyai hipertensi sistolik. Pemberian streptokinase dan anistreplase mungkin dihubungkan dengan hipotensi, tetapi reaksi alergi berat jarang terjadi. Pemberian hidrokortison secara rutin bukan merupakan indikasi. Jika terjadi hipotensi, berilah infus, letakkan pasien berbaring dengan posisi kaki lebih tinggi. Terkadang atropin dan plasma ekspander juga dibutuhkan (T.T.T, 1994). Perbandingan obat-obat trombolitik Tidak ada perbedaan mortalitas antara pemberian streptokinase dan tPA (tissue plasminogen activator) atau anistreplase. Pemberian heparin subkutan tidak akan menurunkan mortalitas dibanding mereka yang tidak diberi. Resiko stroke pada pemberian t-PA atau anistreplase lebih tinggi dibanding dengan streptokinase. Pilihan strategi reperfusi tergantung kepada risiko masing-masing individu juga faktor-faktor seperti ketersediaan dan efektivitas biaya. Implikasi klinis Berdasarkan pada beberapa kejadian yang diamati, terdapat keuntungan ganda dalam morbiditas dan mortalitas untuk terapi yang tepat pada IMA dengan trombolisis dan aspirin, bahwa kedua obat tersebut juga berefek aditif. Jika fasilitas yang memadai tersedia, dengan tenaga medis dan paramedis yang terlatih, trombolisis prerumah sakit mungkin dapat dilakukan jika penderita menunjukkan gambaran klinis infark miokard dan ECG menunjukkan elevasi ST dan bundle branch block. Kecuali jika jelas ada kontra indikasi, pasien dengan infark, yang didiagnosis dengan gejala klinis, elevasi segmen ST atau bundle branch block, harus mendapat terapi aspirin dan obat trombolitik dengan penundaan seminim mungkin. Jika EKG pertama tidak menunjukkan perubahan diagnostik, rekaman EKG serial dan kontinyu

9 sebaiknya dilakukan. Analisa enzim yang cepat, ECG, dan kadangkadang angiografi dapat berguna. Tujuan yang realistik adalah untuk pemberian trombolisis dalam waktu 90 menit pada pasien yang butuh terapi segera. Pada pasien yang mengalami perubahan secara perlahan atau yang infark miokardnya tidak jelas, EKG serial dan pemeriksaan klinis sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi infark yang bekembang secara lambat (dengan analisa enzym yang cepat jika tersedia). Terapi trombolitik tidak boleh diberikan pada keadaan: Mereka dengan kemungkinan keberhasilan kecil, misal jika EKG tetap normal, atau menunjukkan hanya ada perubahan gelombang T. Pada percobaan klinis tidak menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan depresi ST, walau resiko pasien ini tinggi (ISIS-3, 1992). Kontra indikasi terapi trombolitik Stroke Ada riwayat trauma mayor/bedah/luka kepala dalam 3 minggu Perdarahan Gastro Intestinal dalam 1 bulan terakhir Kelainan darah Dissecting aneurisma Kontra indikatif relatif Serangan iskemia transient dalam 6 bulan terakhir Terapi coumadin/walfarin Kehamilan Puncture atau kebocoran yang tidak bisa ditekan saja Resusitasi trauma Hipertensi refrakter (sistolik>180mmHg) Riwayat terapi laser retina. Pemberian kembali obat trombolitik Jika ada bukti reoklusi atau reinfark dengan rekuren elevasi ST atau bundle branch block. Streptokinase dan terapi trombolitik tetap dilanjutkan, atau dipertimbangkan angioplasti. Streptokinase dan anistreplase tidak diberikan kembali dalam jangka waktu 5 hari dan minimal 2 tahun setelah terapi awal dengan salah satu obat ini (Gusto, 1993). Terapi antitrombolitik dan antiplatelet tambahan Keuntungan tambahan aspirin telah dijelaskan diatas. Masih tidak jelas apakah aspirin bekerja dengan cara meningkatkan trombolisis, mencegah reoklusi atau dengan membatasi pengaruh mikrovaskular dari aktivasi platelet. Dosis pertama yaitu 150-160mg harus dikunyah dan dosis yang sama diberikan per oral setiap harinya. Heparin tidak memperbaiki lisis bekuan secara cepat tetapi patensi koroner yang dievaluasi dalam beberapa jam atau hari setelah pemberian trombolisis terlihat lebih baik dengan intravena heparin. Tidak ada perbedaan yang terlihat apakah heparin dan streptokinase diberikan secara subkutan

10 atau intravena. Pemberian heparin yang diperpanjang tidak terlihat dapat mencegah reoklusi setelah terbukti secara angiografi terjadi trombolisis koroner, atau sebelum pemberian coumadin. Infus heparin setelah terapi t-PA dapat dihentikan setelah 24-28 jam. Obsevasi ketat dari terapi heparin adalah evaluasi PTT dihubungkan dengan resiko terjadinya perdarahan serebral. Pada percobaan ISIS-2, pemberian heparin subkutan (12.500U) tidak mempengaruhi mortalitas walau dikombinasi dengan aspirin, streptokinase, alteplase, atau anistreplase (Gissi, 1986). Tabel 1. Pemberian Trombolitik pada IMA No. 1. 2. 3. 4. TOMBOLITIK Streptokinase (K) Anistreplase Alteplase (tPA) Urokinase PENGGUNAAN HEPARIN 1,5 juta unit dalam 100 cc 12.500 unit cara Dextrose 5% atau N.S. 0,9% S.C. 2 kali sehari 30 60 menit 30 unit diberikan I.V. dalam 3 5 menit Total dosis <100 mg Diberikan I.V. dalam 48 jam 0,7 mg/kg 30 menit 2 juta unit I.V. Diberikan I.V. Bolus + 1,5 juta unit 1 jam dalam 48 jam (Eur. Heart. J. 1996) PENGOBATAN AWAL

2. Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) Peranan PTCA pada jam-jam awal dari infark miokard dibagi menjadi angioplasti primer, angioplasti yang dikombinasi dengan trombolisis dan angioplasti penyelamatan (Gibbons, 1993). Angioplasti primer Digolongkan sebagai PTCA tanpa diikuti pengobatan trombolitik dan merupakan terapi pilihan hanya bila akses cepat (<1 jam) ke laboratorium kateterisasi yang memungkinkan. Hal ini membutuhkan tim khusus, yang melibatkan tidak hanya ahli kardiologi, tetapi juga staf yang terlatih dengan baik. Hal ini hanya di rumah sakit yang mempunyai ahli kardiologi dan alat yang dapat melakukannya. Sedang pasien yang dirawat di rumah sakit tanpa fasilitas ini, harus mempertimbangkan keterlambatan terapi dan juga resiko transportasi menuju laboratorium keteterisasi. Angioplasti primer efektif dalam menjaga patensi arteri koroner dan menghindari resiko terjadinya perdarahan otak karena obat trombolitik. Bila dibandingkan dengan terapi trombolitik ada keuntungan antara lain perbaikan patensi yang lebih baik, fungsi ventrikel yang lebih baik, dan kecenderungan untuk hasil klinis yang lebih baik pula. Pasien dengan kontraindikasi terhadap trombolitik mempunyai morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada yang diterapi dengan ini. PTCA primer dapat dilakukan dengan sukses pada

10

11 sebagian besar pasien, tetapi pengalaman masih terbatas, disamping itu keefektifan dan keselamatan diluar pusat pelayanan masih kurang baik hasilnya. Angioplasti yang dikombinasi dengan trombolitik PTCA yang dilakukan setelah pemberian trombolitik yang dimaksudkan untuk meningkatkan reperfusi atau menurunkan resiko reoklusi telah menunjukkan bukti rendah keberhasilannya dan membuktikan kecenderungan meningkatkan komplikasi dan kematian. Oleh karena itu tidak dianjurkan. Rescue angioplasti (Angioplasti Penyelamatan) Merupakan PTCA yang dilakukan pada arteri koroner yang tetap mengalami oklusi setelah pemberian trombolitik. Pengalaman terbatas yang didapat dari dua penelitian acak menunjukkan kecenderungan adanya hasil yang lebih baik jika pembuluh darah yang mengalami sumbatan di rekanalisasi saat angioplasti. Walaupun angka keberhasilan angioplasti cukup tinggi, masalah yang belum terpecahkan adalah kurang bisa diterimanya metode invasif untuk menimbulkan patensi pembuluh darah. 3. Coronary Artery Bypass Surgery (CABG) Pembedahan ini jarang sekali dilakukan untuk menangani infark miokard akut tetapi diindikasikan bila PTCA gagal pada saat kateterisasi atau bila dihubungkan dengan pembedahan untuk defek septum intraventrikel atau regurgitasi mitral karena disfungsi dan ruptur otot papiler. 4. Terapi Profilaksis Pada Fase Akut Aspirin Efektifitas aspirin ditunjukkan dari studi ISIS-2 yang menunjukkan bahwa keuntungan aspirin dan streptokinase saling melengkapi. Pada percobaan yang melibatkan lebih dari 17.000 pasien ini, 160 mg tablet pertama dikunyah, selanjutnya 160 mg tablet ditelan setiap hari. Mortalitas pada mereka yang mendapatkan aspirin pada studi ini adalah 9,4% dibandingkan mereka yang menerima plasebo yaitu 11,8%. Hal ini efektif baik bagi mereka yang menerima trombolisis atau yang tidak. Pada pengamatan secara keseluruhan dari studi aspirin didapatkan 29% pengurangan angka kematian, dengan mortalitas vaskuler 24 nyawa terselamatkan dari 1000 pasien. Bahkan didapatkan angka yang lebih kecil untuk terjadinya stroke non fatal dan reinfark miokard yang non fatal pada kelompok yang mendapat pengobatan. Sedikit kontraindikasi penggunaan aspirin, aspirin tidak boleh diberikan pada orang yang alergi, perdarahan tukak peptik, kelainan darah, atau penyakit hepar yang parah. Aspirin mungkin dapat memicu

11

12 spasme bronkus pada asma. Tidak seperti pada trombolisis, tidak ada bukti yang jelas hubungan antara keefektifan dan waktu dari terjadinya keluhan dan gejala. Aspirin sebaiknya diberikan sesegera mungkin pada semua pasien dengan sindrom koroner akut setelah diagnosis ditegakkan (ISIS-3, 1993). Obat anti-aritmia Walaupun lignocaine dapat menurunkan insiden fibrilasi ventrikular pada fase akut miokard infark, obat ini dapat meningkatkan resiko asistole. Analisa dari 14 studi menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi pada kelompok yang mendapat terapi lignocaine dibanding kontrol. Penggunaan obat ini untuk profilaksis tidak dibenarkan. Beta blocker Banyak percobaan tentang pemberian beta blocker secara intravena pada fase akut miokard infark karena kemampuannya untuk membatasi infark dan mengurangi insiden aritmia yang fatal dan untuk mengurangi nyeri. Penelitian pada 16.000 pasien mengungkapkan pengurangan mortalitas selama 7 hari. Pada penelitian dibeberapa negara, penggunaan beta blocker sangatlah jarang. Terdapat indikasi penggunaan beta blocker ketika ada takikardi (bila tidak ada gagal jantung), hipertensi relatif, atau nyeri yang tidak berespon terhadap opioid. Sangat berguna untuk menguji respon pasien terhadap obat ini dengan menggunakan preparat kerja cepat (BBPP, 1988). Nitrat Suatu analisa dari 10 studi yang menggunakan terapi nitrat intravena secara dini pada 2.041 pasien, menunjukkan penurunan mortalitas sampai sepertiga. Masing-masing studi itu dalam skala kecil, hanya dengan 329 kematian secara keseluruhan. Percobaan GISSI-3 juga menggunakan terapi nitrat intravena (yang diikuti dengan nitrat transdermal) pada 19.394 pasien, tidak didapatkan penurunan mortalitas yang bermakna. Berdasarkan beberapa analisa penelitian, penggunaan nitrat secara rutin pada fase awal infark miokard tidak menunjukkan kegunaan secara meyakinkan. Antagonis kalsium Suatu meta-analisa dari penggunaan antagonis kalsium pada fase awal infark miokard akut menunjukkan hasil yang tidak bermakna. Tidak ada indikasi penggunaan obat golongan ini sebagai profilaksis pada fase akut infark miokard.

12

13 Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor Sekarang ditetapkan bahwa pemberian ACE inhibitor dimulai waktu di rumah sakit pada pasien yang mempunyai fraksi ejeksi yang rendah dan yang pernah mengalami gagal jantung pada fase awal. Akhir-akhir ini penelitian GISSI-3, ISIS-4 dan di Cina menunjukkan bahwa ACE inhibitor yang diberikan pada hari pertama dapat menurunkan mortalitas pada 4-6 minggu berikutnya dalam jumlah yang kecil tetapi bermakna. Percobaan CONSENSUS II akan tetapi gagal menunjukkan keuntungan. Pengamatan secara sistematis dari percobaan terhadap ACE inhibitor pada fase akut miokard infark menunjukkan bahwa terapi ini akan menghasilkan 4-6 kematian yang lebih sedikit per 1000 pasien yang diobati. Walau disadari ada bahaya pada analisa sub grup, tampak kemungkinan bahwa terapi ini berharga khususnya pada kelompok dengan faktor resiko tertentu, seperti mereka yang mempunyai gagal jantung atau dengan infark sebelumnya. Keuntungan obat ini pada infark miokard tergantung pada kelasnya. Sebagaimana didiskusikan sebelumnya terdapat perbedaan pendapat apakah pemberian terapi ACE inhibitor pada semua pasien (yang tidak ada kontraindikasi) pada hari pertama atau dimulai pada kelompok yang diseleksi segera setelahnya. Dari pandangan Task Force terdapat argumentasi yang valid untuk keduanya. Seharusnya ada ambang batas dan fraksi ejeksi yang rendah untuk menggunakan obat pada tahap awal jika gagal jantung tidak berespon dengan cepat dengan parameter konvensional (Lindsay, 1995). Magnesium Analisa dengan terapi magnesium pada fase akut miokard infark menunjukkan keuntungan yang signifikan, tetapi penelitian ISIS-4 dosis yang digunakan tidak mendukung hal ini. Walaupun ada sanggahan bahwa pada penelitian ISIS-4 dosis yang digunakan tidak optimal, tetapi belum ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan rutin obat ini (Woods, 1992). 5. Perawatan Lanjut di Rumah Sakit Penatalaksanaan Umum Kebanyakan pasien harus beristirahat di tempat tidur selama 12-24 jam pertama, selama waktu tersebut akan tampak apakah infark tersebut akan mengalami komplikasi. Pada kasus yang tidak mengalami komplikasi, pasien dapat duduk di tempat tidur pada akhir hari pertama, diizinkan menggunakan suatu meja kecil, merawat diri sendiri dan makan sendiri. Mobilisasi dapat dimulai hari berikutnya dan pasien tersebut dapat berjalan hingga 200 m pada permukaan yang datar, dan naik tangga dalam beberapa hari. Mereka yang pernah mengalami gagal jantung, syok, atau aritmia yang serius harus tetap berada di tempat tidur lebih lama, dan aktivitas fisiknya meningkat

13

14 secara perlahan, tergantung pada gejala dan derajat kerusakan miokard (I.S.G., 1990). Trombus Vena Dalam dan Emboli Paru Komplikasi-komplikasi ini sekarang relatif jarang setelah infark, kecuali pada pasien yang tetap di tempat tidur oleh karena gagal jantung. Pada pasien semacam itu, komplikasi-komplikasi tersebut dapat dicegah oleh heparin. Jika hal-hal tersebut terjadi, harus diterapi dengan heparin, diikuti pemberian antikoagulan oral selama 3-6 bulan. Trombus Intraventrikular dan Emboli Sistemik Echokardiografi akan mampu menunjukkan trombi intraventrikular pada banyak kasus, terutama infark anterior yang luas. Apabila trombi yang bergerak dan menonjol, keadaan tersebut harus ditangani, mulamula dengan heparin dan selanjutnya dengan antikoagulan oral selama 3-6 bulan. Perikarditis Perikarditis akut dapat sebagai penyulit infark miokard, meningkatkan nyeri dada yang dapat disalahartikan sebagai infark rekuren atau angina. Nyeri tersebut, dibedakan menurut sifatnya yang tajam, dan hubungannya dengan postur dan respirasi. Diagnosisnya dapat ditegakkan dengan suatu pericardial rub . Bila nyeri mengganggu, dapat ditangani dengan pemberian aspirin oral dosis tinggi atau intravena, NSAID, atau steroid. Suatu efusi haemorhagik dengan tamponade jarang terjadi, dan khususnya dihubungkan dengan penanganan antikoagulan. Hal tersebut dapat diketahui melalui ekhokardiografi. Penanganannya ialah dengan pericardiocentesis bila gangguan hemodinamik terjadi. Aritmia Ventrikel Tarikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel terjadi pada hari pertama menyebabkan hanya sedikit prognosis buruk, namun aritmia-aritmia yang terjadi lebih lanjut, dalam perjalanannya aritmia-aritmia tersebut cenderung berulang dan dihubungkan dengan resiko kematian yang tinggi. Hal ini terjadi karena hubungan dengan kerusakan miokard yang berat; penilaian terhadap anatomi koroner dan fungsi ventrikel harus dilakukan. Apabila aritmia diinduksi oleh iskemia, revaskularisasi dengan jalan angioplasti atau pembedahan harus dipertimbangkan. Apabila ini tidak mungkin, beragam cara pendekatan terapetik tersedia, namun sementara ini, belum diteliti secara adekuat. Hal-hal tersebut meliputi penggunaan -blocker, amiodaron, dan terapi anti-aritmia yang dipandu secara elektrofisiologik. Pada beberapa kasus, penggunaan suatu conventer defibrilator diindikasikan.

14

15 Angina dan Iskemia Pasca Infark Angina ringan yang terjadi pada mereka berespons memuaskan terhadap penanganan medis biasa, namun angina baru khususnya saat istirahat, pada awal fase pascainfark membutuhkan perhatian lebih dalam. Penggunaan rutin PTCA secara efektif menguji peran terapi trombolitik dibandingkan dengan percobaan konservatif pada beberapa uji random. Dapat disimpulkan bahwa PTCA rutin tanpa keberadaan iskemia spontan atau yang dapat diprovokasi tidak memperbaiki fungsi ventrikel kiri atau survival. Dalam menangani angina atau iskemia rekuren, apakah disebabkan oleh oklusi atau stenosis residual, PTCA memiliki suatu peran yang pasti. PTCA juga memiliki nilai dalam penatalaksanaan aritmia yang dihubungkan dengan iskemia persisten. Sekalipun analisa dari beberapa uji telah mengidentifikasi patensi pembuluh-pembuluh darah sebagai suatu petanda bagi hasil jangka panjang yang baik, belum jelas peran PTCA lanjut untuk sasaran utama mengembalikan kepatenan oleh kejadian yang lain. Pembedahan pintas arteri koroner dapat diindikasikan bila gejala tidak terkontrol dengan cara-cara yang ada atau angiografi koroner menunjukkan lesi, stenosis pembuluh koroner utama kiri atau penyakit tiga pembuluh darah dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, dimana pembedahan dapat memperbaiki prognosis (Hopper, 1989; Maynard, 1993). Penilaian Resiko, Program Rehabilitasi, dan Preventif Sekunder Penilaian resiko Penilaian resiko sebelum memulangkan penderita memiliki tujuan memperkirakan prognosis, dengan cara pengamatan lebih lanjut apa yang dibutuhkan, dan membantu dalam mengatur strategi terapetik individu mana yang terbaik bagi pasien yang telah melampaui masa akut tersebut. Penilaian ini tergantung pada data klinis, termasuk usia, faktor resiko yang ada sebelumnya, infark sebelumnya, diabetes, keadaan hemodinamik, aritmia selama fase akut, dan pengamatan dan penginderaan status ( imaging ) fungsional (Monica, 1994). Penggolongan resiko klinis dapat digunakan untuk membagi pasien ke dalam kategori resiko tinggi, sedang, dan rendah, penggolongan resiko klinis ini penting. Pasien-pasien beresiko tinggi adalah mereka dengan gagal jantung persisten, fungsi ventrikel kiri yang rusak berat, atau penampakan awal dari angina saat istirahat atau aritmia rekuren, dan mereka yang tidak mampu melakukan uji exercise sebelum keluar RS. Pasien-pasien semacam itu cenderung berusia lebih tua, memiliki faktor resiko banyak, dan telah mengalami infark sebelumnya. Fungsi ventrikel kiri harus dievaluasi dengan echokardiografi dan/atau scintigrafi. Angiografi koroner memberikan informasi prognostik yang

15

16 independen dan bermakna sebagai petunjuk untuk penanganan lebih lanjut seperti halnya revaskularisasi. Pasien yang secara klinis berisiko sedang mungkin berusia lebih dari 55 tahun, pernah mengalami gagal jantung sementara, pernah mengalami infark sebelumnya atau memiliki faktor resiko seperti halnya hipertensi atau diabetes. Pasien-pasien ini harus dinilai disfungsi ventrikel kiri dan iskemia residualnya. Iskemia residual dapat dinilai dengan ECG exercise, scanning perfursi miokard atau stress echokardiografi, tergantung pada ketersediaan peralatan. Pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang rusak dan/atau iskemia yang dapat diinduksi harus dipertimbangkan untuk angiografi. Pendekatan untuk penggolongan ini ditunjukkan sebagai diagram alur pada Bagan 1. Bagan 1. Strategi Penilaian Terhadap Resiko

IMA

PENILAIAN RISIKO KLINIS

RISIKO TINGGI

RISIKO MENENGAH

RISIKO RENDAH

IS KEMI P ERS IS TEN GAGAL JANTUNG L.V. R ENDAH

- IMA - GAGAL JANTUNG - FAKTOR R IS IKO B ANYAK

-UMUR MUDA -INF AR K KEC IL -KOMP ENS AS I

INTER VENS I ATAU LATIHAN P ILIHAN LAIN

EKG LATIHAN P ER IKS A F UNGS I L.V.

EKG

YA B AIK

MULAI LATIHAN JELEK L.V. MENUR UN

NILAI RENDAH

NILAI

ANGIOGR AF I KOR ONER R IS IKO

LATIHAN B AIK L.V. F UNGS I NOR MAL

TANGANI F AKTOR

(EUR . HEAR T. J. 1996)

16

17 Pasien resiko rendah berusia lebih muda (kurang dari 55 tahun), tidak memiliki infark sebelumnya dan memiliki perjalanan klinis yang bebas keluhan. ECG exercise merupakan pemeriksaan pertama yang paling berguna pada kelompok ini. Ini dapat berupa tes submaksimal sebelum pemulangan atau tes yang dibatasi gejala pada treadmill atau cycle ergometer pada 3-8 minggu pascainfark atau keduanya. Keragaman yang mencerminkan iskemia miokard residual yang diinduksi olahraga tampaknya tidak berhubungan erat dengan kematian. Pasien yang gagal mencapai beban kerja pada pengujian olahraga, atau mengalami angina atau menunjukkan tanda iskemik pada EKG, atau mengalami sesak nafas berat harus dipertimbangkan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Secara jelas, keakuratan prediktif negatif bagi pasien yang dapat menyelesaikan tahap III dari protokol standar Bruce atau ekuivalennya tanpa nyeri dada atau perubahan iskemia pada ECG adalah tinggi. Sebagai tambahan, efek dari semangat pasien adalah positif, dan informasi tersebut membantu dalam merencanakan rehabilitasi. Tidak terdapat keharusan untuk menghentikan pengobatan sebelum pengujian olahraga. Penilaian Iskemia Pasien-pasien yang gagal mencapai beban kerja yang diharapkan pada pengujian olahraga, atau mengalami angina atau menunjukkan tanda iskemik pada ECG saat beban kerja sedang harus dipertimbangkan untuk evaluasi lebih lanjut untuk mengkuantifikasi jumlah miokard yang rusak, demikian pula dengan derajat miokard yang berpotensi baik. Pilihan antara echokardiografi stress dan scanning perfusi radioisotop tergantung pada pengalaman dari tiap sentra dan sumberdaya yang tersedia. Bagi dokter yang berkompeten, kedua teknik-teknik ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan ECG exercise . Evaluasi dari Fungsi Pompa Evaluasi dari kerusakan miokard melalui ekhokardiografi atau ventrikulografi radionuklida berguna untuk menilai pasien tanpa bukti gagal jantung, khususnya jika dikerjakan pada kondisi stress, meskipun fungsi ventrikel kiri mungkin cukup baik pada kasus-kasus resiko rendah. Evaluasi Resiko Aritmia Monitoring Holter dan kajian elektrofisiologis dalam menilai pasien yang dianggap bersiko tinggi mendapat aritmia. Variabilitas denyut jantung, dispersi QT, sensitivitas barorefleks, semua memiliki nilai prognostik setelah infark miokard, namun pengalaman klinis dibutuhkan untuk menentukan apakah perlu tambahan tes-tes prognostik yang lebih konvensional. Juga penting untuk mengukur petanda-petanda resiko metabolik seperti halnya total kolesterol, LDL dan HDL, trigliserida dan glukosa darah puasa pada semua pasien.

17

18 Indikasi untuk Angiografi Koroner Angiografi koroner sebaiknya dilakukan pada awal periode post infark (Maynard, 1993) jika ada : Angina yang tidak berkurang terhadap pengobatan farmakologis Angina atau bukti adanya iskemia pada saat istirahat Angina yang diinduksi oleh latihan atau iskemia miokard pada saat kerja ringan, atau pada monitoring Holter ketika tidak ada peningkatan denyut jantung. Angiografi harus dipertimbangkan bila ada : Angina atau bukti yang obyektif iskemia miokard yang dapat dirangsang (dengan tanda-tanda yang digambarkan diatas) Angina post infark yang berkurang terhadap terapi farmakologi Disfungsi ventrikel kiri yang berat Aritmia ventrikel yang kompleks lebih dari 48 jam setelah gejala. Pada kasus yang dipilih, khususnya pada individu yang muda, angiografi koroner dapat dipertimbangkan untuk pasien tanpa komplikasi untuk mengevaluasi keberhasilan reperfusi, untuk mengidentifikasi mereka dengan penyakit arteri koroner yang luas, dan untuk memudahkan mereka yang pulang dari rumah sakit untuk cepat dan kembali bekerja. Rehabilitasi Rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan pasien ke kehidupan seperti semula, dan harus dipertimbangkan faktor fisik, psikologis, dan sosioekonominya. Prosesnya harus dimulai sesegera mungkin setelah penatalaksanaan di rumah sakit, dan diteruskan pada minggu dan bulan-bulan berikutnya. Rehabilitasi secara detail tidak dibahas di sini, karena pertimbangan panjang lebar dan metodenya terdapat dalam laporan Working Group on Rehabilitation of the European Society of Cardiology. Aspek Psikologis dan Sosioekonomi Kecemasan selalu muncul, baik pada pasien dan rekan kerjanya, sehingga keyakinan diri dan penjelasan mengenai penyakit adalah sangat penting dan harus ditangani secara hati-hati. Juga harus dikonfirmasikan mengenai sering terjadinya depresi dan iritasi setelah pulang. Juga disadari bahwa penolakan sering terjadi : hal ini merupakan perlindungan pada fase akut, dan diagnosis selanjutnya menjadi lebih sulit. Diskusi tentang bisa kembali kerja dan aktivitas lainnya harus dilakukan setelah kepulangan dari rumah sakit.

18

19 Nasehat tentang gaya hidup Penyebab yang mungkin dari penyakit jantung koroner harus didiskusikan dengan pasien dan rekannya selama perawatan di rumah sakit, dan nasehat secara individu mengenai diet yang sehat, pengontrolan berat badan, merokok dan olahraga harus diberikan. Aktivitas Fisik Semua pasien harus diberi nasehat, dengan mengamati aktivitas fisik berdasarkan hasil pemulihan mereka dari serangan jantung, umurnya, kadar aktivitas mereka sebelum serangan, dan keterbatasan fisik mereka. Penilaian tersebut sangat dibantu dengan tes sebelum kepulangan, yang tidak hanya merupakan informasi klinis yang sangat berharga tetapi juga dapat meyakinkan kembali pasien yang terlalu cemas (Amstrong, 1972). 6. Preventif Sekunder Merokok Walau belum ada penelitian secara acak yang dilakukan, bukti meyakinkan bahwa bagi mereka yang menghentikan kebiasaan merokok mempunyai mortalitas separuh lebih sedikit dibanding dengan mereka yang tidak berhenti. Hal ini merupakan pencegahan sekunder yang potensial : usaha keras harus dilakukan untuk penghentian merokok. Kebanyakan pasien tidak merokok selama serangan akut dan periode laten ini merupakan kesempatan bagi tenaga kesehatan profesional untuk membantu pasien menghentikan kebiasaan tersebut. Merokok biasanya dilakukan kembali setelah pulang ke rumah sehingga dukungan dan nasehat selama rehabilitasi diperlukan. Studi secara acak menunjukkan keefektifan dari program yang diarahkan untuk perawat : protokol untuk penghentian merokok harus diadopsi oleh setiap rumah sakit (Monica, 1994). Suplemen Makanan dan Diet Terdapat bukti yang kecil mengenai keefektifan terapi diet pada pasien post infark, tetapi pengurangan berat badan harus dianjurkan bagi mereka yang berat badannya berlebihan. Semua pasien harus dianjurkan untuk diet makanan yang mengandung lemak dengan saturasi rendah dan banyak makan buah dan sayuran. Satu penelitian menyebutkan bahwa mengkonsumsi lemak ikan 2 kali seminggu menurunkan resiko reinfark dan kematian. Peranan antioksidan dalam pencegahan penyakit koroner belum dibakukan. Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan Dari analisa yang dilakukan The Trialists Colaboration dilaporkan sekitar 25% penurunan reinfark dan kematian pada pasien post infark. Pada penelitian tersebut aspirin yang diberikan bervariasi antara 75-

19

20 325 mg per hari dan terdapat bukti bahwa penggunaan dosis yang lebih kecil akan efektif dan efek sampingnya kecil. Percobaan yang dilakukan secara luas menggunakan aspirin menunjukkan bahwa antikoagulan oral efektif dalam mencegah reinfark dan kematian pada infark miokard. Pasien dalam percobaan ini diacak paling tidak selama 2 minggu setelah infark. Peranan antikoagulan oral setelah infark miokard akut kurang jelas dan hanya dievaluasi setelah pemberian trombolitik. Pada pasien tersebut belum ada bukti yang jelas mengenai keuntungan antikoagulan. Kemungkinannya, pada beberapa pasien, yang mempunyai aneurisma ventrikel kiri, yang mempunyai fibrilasi atrial, atau secara ECG terbukti ada trombus pada ventrikel kiri, akan menguntungkan bila diberikan antikoagulan oral awal, tetapi penelitian tentang ini sangat sedikit. Kombinasi antara antikoagulan dan antiplatelet setelah infark miokard akut memberikan hasil sementara ini cukup memuaskan (GISSI, 1986). Beta Blocker Beberapa uji dan meta-analisis menunjukkan bahwa obat-obat penghambat -adrenoseptor mengurangi kematian dan reinfark 20-25% pada mereka yang sembuh dari infark miokard akut. Uji positif telah dilakukan dengan propranolol, metaprolol, timolol, dan acebutolol, namun kajian dengan -blocker lainnya, meskipun tidak bermakna, mempunyai efek yang sama baiknya. Sekitar 25% penderita memiliki kontraindikasi terhadap -blocker karena gagal jantung yang tak terkontrol, penyakit pernafasan, atau kondisi-kondisi lain. Dari sisanya, mungkin separuh dapat didefinisikan sebagai resiko rendah dimana penghambat hanya memberi suatu keuntungan marginal, dengan berpikir efek samping minor namun terkadang menyulitkan. Masih terdapat opini yang berbeda, apakah -blocker harus diberikan kepada semua orang yang indikasi, atau apakah -blocker seharusnya hanya diberikan kepada mereka dengan resiko sedang yang memiliki banyak keuntungan (BBPP, 1988). Kalsium Antagonis Uji dengan verapamil dan diltiazem telah memberi kesan bahwa keduanya dapat mencegah reinfark dan kematian, namun harus hatihati, perlu dipikirkan keberadaan fungsi ventrikel yang menurun. Kalsium antagonis mungkin tepat bila -blocker merupakan kontra indikasi (terutama pada penyakit obstruksi jalan nafas). Uji dengan dihidropiridin gagal menunjukkan keuntungan untuk memperbaiki prognosis setelah reinfark miokard; oleh karenanya, hanya diberikan bagi indikasi-indikasi klinis yang jelas, dengan berpikir efek samping yang dapat terjadi pada mereka dengan fungsi ventrikel kiri yang rendah (Gibbons, 1993).

20

21

Nitrat Tidak ada bukti bahwa nitrat oral atau transdermal memperbaiki prognosis setelah infark miokard, Uji ISIS-4 dan GISSI-3 gagal menunjukkan suatu keuntungan pada 4-6 minggu setelah kejadian. Nitrat, tentu saja, tetap menjadi terapi pertama hanya bagi angina pectoris. ACE inhibitor Beberapa uji telah membuktikan bahwa ACE inhibitor mengurangi kematian setelah infark miokard. Dalam uji SAVE pasien dilibatkan 11 hari setelah masa akut memiliki fraksi ejeksi kurang dari 40% pada pencitraan nuklir, dan jika mereka bebas dari iskemia yang manifes pada sebuah tes olahraga. Tidak didapatkan keuntungan dalam hal penurunan mortalitas pada tahun pertama, namun terdapat pengurangan 19% pada 3-5 tahun berikutnya dari follow-up (dari 24,6%). Reinfark dan gagal jantung lebih sedikit, terlihat bahkan dalam tahun pertama. Pada uji AIRE pasien diacak untuk ramipil dengan rata-rata 5 hari setelah onset infark miokard ditunjukkan oleh gambaran klinis dan radiologis dari gagal jantung. Pada rata-rata 15 bulan kemudian, kematian berkurang dari 22,6% hingga 16,9%. Pada kajian TRACE, pasien diacak untuk tradolapril atau placebo suatu median 4 hari setelah infark, mereka memiliki disfungsi ventrikel kiri yang diperlihatkan oleh indeks wall motion 1,2 atau kurang. Rata-rata follow-up 108 minggu, angka kematian 34,7% pada kelompok perlakuan dan 42,3% pada kelompok pacebo. Mengambil ketiga kajian tersebut bersama-sama, diindikasikan pemberian ACE inhibitor kepada pasien yang mengalami gagal jantung pada keadaan IMA, memiliki fraksi ejeksi kurang dari 40% atau indeks wall motion 1,2 atau kurang, dan tidak ada kontraindikasi (Lindsay, 1995). Sebagaimana diskusi diatas, dapat diberikan ACE inhibitor kepada semua pasien dengan infark akut sejak masuk RS, dengan syarat tidak terdapat kontra indikasi. Berlawanan terhadap kebijakan tersebut, terdapat kenaikan insiden dari hipotensi dan gagal ginjal pada mereka yang menerima ACE inhibitor pada tahap akut, dan sedikit keuntungan pada mereka dengan resiko relatif rendah, seperti halnya pasien dengan infark inferior yang kecil. Lipid-Lowering Agents Scandinavian Simvastatin Survival Study (4S) melaporkan keuntungan akan penurunan lemak pada suatu populasi 4.444 pasien angina dan/atau pascainfark dengan kolesterol serum 5,5 6,0 mmol/l (212 308 mg/dl) setelah pelaksanaan diet dilakukan. Pasien tidak dimasukkan ke dalam uji sampai 6 bulan setelah infark akut, dan kelompok resiko relatif rendah diikutkan. Angka kematian keseluruhan pada suatu median 5-4 tahun turun 30% (dari 12 8%).

21

22 Diperoleh 33 yang diselamatkan per 1.000 pasien yang diberi perlakuan selama periode ini. Terdapat penurunan angka kematian akibat penyakit koroner, dibanding pembedahan pintas koroner. Pasien di atas usia 60 tahun tampak hasilnya sama dengan pasien yang lebih muda. Wanita diuntungkan dalam hal kejadian koroner mayor, namun pengurangan kematian yang bermakna secara statistik belum jelas; hal ini mungkin karena jumlah yang relatif kecil dari wanita yang direkrut. Lipid-lowering Agents seharusnya diberikan kepada pasien dengan dislipidemia, namun masih terdapat kontroversi tentang seberapa cepat penanganan harus dimulai setelah kejadian, dan apakah kriteria untuk penanganan dapat diperluas kepada mereka dengan kadar lipid yang lebih rendah (Monica, 1994). III. KOMPLIKASI DAN PENATALAKSANAAN 1. Gagal jantung Kegagalan ventrikel kiri selama fase akut dari infark miokard dihubungkan dengan prognosis yang buruk jangka pendek dan panjang. Gambaran klinis berupa sesak nafas, suara jantung ketiga (S 3 )dan ronchi paru yang mulanya pada daerah basal namun dapat meluas ke seluruh lapangan dari kedua paru. Namun demikian, kongesti paru yang nyata dapat terjadi tanpa tanda-tanda yang jelas. Auskultasi diulang pada daerah jantung dan paru dan dilakukan pada semua pasien selama periode awal infark miokard, bersama-sama dengan pengamatan tanda-tanda vital lainnya (Amstrong, 1972). Pengawasan umum termasuk pemantauan aritmia, pemeriksaan kelainan elektrolit, dan penegakan diagnosa dari keadaan yang terjadi bersamaan seperti disfungsi katub atau kelainan paru. Kongesti pulmonal dapat dinilai dengan menggunakan alat foto X-ray thorax yang mudah dibawa. Echokardiografi berguna dalam menilai fungsi ventrikel, dan menentukan kelainan, seperti regurgitasi mitral dan defek septum ventrikel, yang menyebabkan fungsi jantung menurun. Pada beberapa kasus, angiografi koroner mampu memberikan penilaian tambahan program terapetik. Dearajat kegagalan jantung dapat dikategorikan menurut klasifikasi killip; kelas 1 : tidak ada ronchi atau S 3 ; kelas 2 : ronchi pada kurang dari 50% lapangan paru atau adanya S 3 ; kelas 3 : ronchi lebih dari 50% dari lapangan paru; kelas 4 : shock. Gagal Jantung Ringan dan Sedang Oksigen harus diberikan awal melalui masker atau intranasal, namun perlu juga diperhatikan adanya penyakit paru menahun. Derajat ringan gagal jantung seringkali berespons secara cepat terhadap diuretik, seperti halnya furosemid 10-40 mg yang diberikan perlahan iv, diulang dengan jarak setiap 1-4 jam, bila diperlukan. Bila tidak terdapat respons yang memuaskan, nitrogliserin iv atau nitrat oral dianjurkan. Dosisnya harus dititrasi sambil memantau tekanan

22

23 darah untuk menghindari hipotensi. Pemakaian terapi ACE perlu dipertimbangkan dalam 24-48 jam berikutnya tanpa bukti hipotensi atau gagal ginjal. Gagal Jantung Berat Oksigen harus diberikan segera dan diuretik loop diberikan seperti di atas. Kecuali jika pasien mengalami hipotensi, nitrogliserin iv sebaiknya diberikan, dimulai dengan 0,25 ug.kg - 1 per menit, dan ditingkatkan setiap 5 menit sampai terjadi penurunan tekanan darah sampai 15mmHg atau sampai tekanan diastolik turun menjadi 90mmHg. Harus dipertimbangkan untuk mengukur tekanan aorta, dan output jantung dengan kateter serta cardiac index per menit. Obat inotropik mungkin berguna jika ada hipotensi. Jika ada tanda-tanda hipoperfusi pada ginjal, dopamin dianjurkan untuk memberikan dengan dosis 2,6-5 ug.kg - 1 per menit secara intra vena. Jika kongesti pulmoner dominan, dobutamin lebih dianjurkan dengan dosis awal 2,5 ug.kg - 1 per menit dan ditingkatkan secara bertahap setiap 5-10 menit sampai 10 ug.kg - 1 per menit atau sampai diperoleh perbaikan hemodinamik. Terapi ACE inhibitor dan phosphodiesterase mungkin dapat dipertimbangkan. Analisa gas darah juga harus dilakukan. Pemberian tekanan udara yang positif dapat diindikasikan bila tekanan oksigen tidak dapat dipertahankan sampai >60mmHg per 8-10 menit. Tabel 2. Keadaan Hemodinamik pada IMA. No. STATUS DATA HEMODINAMIK 1. Normal TD normal HR dan RR normal, sirkulasi perifer baik 2. Hiperdinamik Takhikardi, BJ keras, sirkulasi perifer baik 3. Bradikardi hipotensi Bradikardi, venodilatasi, JVP normal, perfusi jaringan meningkat 4. Hipovolumi Venokonstriksi, JVP rendah, perfusi jaringan menurun 5. Infark ventrikel kanan JVP meningkat, syok, perfusi jaringan turun, hipotensi, bradikardi 6. Gagal pompa Takhipnu, takhikardi perfusi jaringan jelek, udema paru 7. Kardiogenik syok Oliguri, hipotensi, takhikardi, udema paru, perfusi jaringan jelek (Eur. Heart. J. 1996) 2. Syok Kardiogenik Didefinisikan sebagai tekanan sistolik <90mmHg dan ada gejala penurunan sirkulasi perifer yang ditandai dengan vasokonstriksi perifer, output urine yang rendah (<20ml per jam) dan penurunan kesadaran.

23

24 Diagnosis syok kardiogenik ditegakkan bila kemungkinan terjadinya hipotensi dapat disingkirkan seperti hipovolemi, reaksi vasovagal, gangguan elektrolit, efek samping farmakologis, atau aritmia. Umumnya dihubungkan dengan kerusakan pada ventrikel kiri tetapi dapat juga terjadi pada infark ventrikel kanan. Kelainan ventrikel harus diperiksa dengan EKG dan hemodinamiknya diukur dengan kateter balon. Pasien dengan syok kardiogenik dapat menyebabkan asidosis. Koreksi asidosis merupakan hal yang penting mengingat ketekolamin mempunyai efek pada medium asam. 3. Ruptur Jantung dan Regurgitasi Mitral Ruptur dinding jantung Ditemui pada 1-3% dari pasien IMA yang dirawat di rumah sakit. Pada 30-50% terjadi dalam 24 jam dan 80-90% terjadi pada 2 minggu pertama. Ditandai dengan kolaps dengan perubahan elektromekanikal seperti aktivitas elektrik yang terus menerus dengan menurunnya cardiac output dan nadi. Biasanya fatal dalam beberapa menit dan sangat jarang untuk sempat dilakukan pembedahan. Ruptur dinding jantung sub akut Pada 25% kasus, darah dalam jumlah kecil memasuki ruang perikardial dan menyebabkan perubahan hemodinamik yang cepat. Gambaran klinisnya dapat berupa reinfark karena nyeri yang berulang dan elevasi segmen ST tetapi lebih sering berupa perburukan hemodinamik yang mendadak dengan hipotensi yang transient dan terus menerus. Gejala klasik tamponade jantung tampak dan dapat diketahui dengan EKG. Pembedahan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan klinis penderita mengingat kebanyakan pada kasus ini diikuti oleh episode akut. Pembedahan dilakukan dengan teknik tanpa jahitan yang digambarkan oleh Pedro dkk. Yang tidak membutuhkan pintas kardiopulmoner. Defek Septum Ventrikel VSD muncul segera setelah miokard infark pada 1-2% dari semua kasus infark. Tanpa pembedahan, 54% mengalami kematian dalam minggu pertama, dan 92% dalam tahun pertama. Diagnosis pertama kali diduga karena terdapatnya bising sistolik yang keras disertai dengan perburukan klinis yang cepat. Hal ini dapat dikonfirmasi dengan EKG dan/atau mendeteksi bertambahnya oksigen pada ventrikel kanan. Bising yang terjadi dapat juga pelan dan bahkan tidak muncul. Terapi farmakologis dengan vasodilator nitrogliserin intravena dapat memperbaiki jika tidak ada syok kardiogenik, tetapi terapi dengan balon intraaortik merupakan metode paling efektif. Operasi merupakan satu-satunya harapan pada VSD pasca infark yang besar dengan syok kardiogenik.

24

25 Tujuan utama pembedahan awal adalah penutupan defek yang memungkinkan menggunakan teknik argumentasi patch. Angiografi pre operasi seharusnya dilakukan. Grafts bypass dilakukan sesuai kebutuhan. Prognosa post operasi yang jelek ditandai dengan syok kardiogenik, lokasi posterior, disfungsi ventrikel kanan, umur, waktu yang lama antara ruptur dan pembedahan. Regugirtasi Mitral Biasanya regugirtasi mitral pada kasus ini ringan dan refluknya sementara. Bila terjadi regurgitasi akut diperlukan terapi agresif yaitu pembedahan. Kematian akibat mitral regurgitasi diakibatkan penyempitan arteri sirkumfleksa kiri dan kanan dengan keterlibatan otot papilary posteromedial. Syok kardiogenik dan oedem paru dengan regurgitasi mitral yang berat membutuhkan operasi darurat. Angiografi koroner dilakukan bila kondisi pasien memungkinkan. Pada gagal jantung kongestif, kateterisasi primer dan reperfusi dengan trombolisis atau PTCA dapat dilakukan. Penggantian katup merupakan pilihan prosedur pada ruptur dan disfungsi otot papilary walaupun harus diseleksi. Revaskularisasi dilakukan pada obstruksi pembuluh darah besar. 4. Aritmia dan Gangguan Konduksi Aritmia dan gangguan konduksi sering terjadi pada jam-jam awal infark miokard. Pada beberapa kasus, takikardi ventrikuler dan fibrilasi ventrikel sangat membahayakan dan memerlukan penanganan segera. Seringkali aritmia tidak membahayakan secara langsung tetapi merupakan akibat dari beberapa keadaan yang mendasarinya seperti iskemia, aktivitas yang berlebihan dari vagal, atau gangguan elektrolit. Aritmia Ventrikuler Ritme ventrikuler yang ektopik sering terjadi pada hari pertama, dari aritmia kompleks (kompleks multiform, waktu yang cepat, atau fenomena R on T). Kelainan tersebut sebagai prediksi kejadian fibrilasi ventrikuler masih dipertanyakan. Takikardi ventrikuler Durasi yang cepat dari takikardi ventrikuler dapat ditoleransi dan tidak membutuhkan penanganan, tetapi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan hipotensi dan gagal jantung. Lignocaine adalah obat pilihan, tetapi beberapa obat lain juga cukup efektif. Dosis awal 1mg per kg diberikan secara intravena, dan separuhnya diulang tiap 8-10 menit sampai maksimumnya 4mg. Hal ini dapat diteruskan dengan pemberian infus intravena untuk mencegah rekurensi. Countershock dibutuhkan bila ada takikardia ventrikuler yang menetap. Penting untuk membedakan takikardi ventrikuler yang sementara dan yang menetap. Penting untuk membedakan takikardi ventrikuler dengan

25

26 irama idioventrikuler yang dipercepat, biasanya tidak berbahaya dari proses reperfusi dimana rate ventrikuler kurang dari 120 per menit. Fibrilasi ventrikuler Jika alat defibrilator tersedia, defibrilasi yang cepat sebaiknya dilakukan. Jika tidak ada, pukulan prekordial bermanfaat untuk dilakukan. Rekomendasi dari European Resuscitation Council harus diikuti. Aritmia Supraventrikuler Merupakan komplikasi dari 15-20% kasus infark miokard dan sering dihubungkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal jantung. Biasanya bersifat self limited. Biasanya berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam dan berulang. Pada beberapa kasus tidak memerlukan penanganan jika berlangsung dengan singkat. Digoksin merupakan obat yang efektif dalam memperlambat, tetapi amiodarone lebih manjur dalam menghentikan aritmia. Countershock mungkin diperlukan tetapi hanya jika terjadi rekurensi yang tinggi. Takikardi supraventrikuler yang lain sangat jarang terjadi dan biasanya self limited. Pada umumnya berespon terdapap tekanan sinus karotikus, blocker, lebih efektif jika tidak ada kontra indikasi, verapamil tidak dianjurkan. Countershock juga mungkin digunakan jika aritmia tidak dapat ditoleransi. Sinus Bradikardia dan Blok Jantung Merupakan hal yang umum terjadi pada jam-jam pertama khususnya pada infark inferior. Dapat disertai dengan hipotensi yang memerlukan atropin intra vena, dimulai dengan dosis 03-0,5 mg. Diulang sampai 1,5-2 mg. Jika gagal dengan atropin maka pacu jantung sementara dianjurkan. Bok jantung derajat pertama tidak membutuhkan penanganan. Blok AV (atrioventrikular) tipe I derajat dua (Wenkebach) biasanya dihubungkan dengan infark inferior dan jarang menyebabkan efek yang buruk pada hemodinamik. Bila itu terjadi, atropin harus diberikan pertama kali : jika ini gagal, pacu jantung harus dipasang. Blok AV tipe II derajat dua (Mobitz) dan komplit blok merupakan indikasi bagi pemasangan suatu elektrode pacu jantung. Pacu jantung harus dikerjakan bila suatu denyut jantung yang lambat tampak menjadi sebab dari hipotensi atau gagal jantung. Bila gangguan hemodinamik sangat parah, pemberian pacu jantung sekuensial AV harus dipertimbangkan. Asistole mungkin mengikuti blok AV, blok bi- atau trifasikular atau countershock elektrik. Apabila suatu elektrode pacu jantung diperlukan, pacu jantung harus dicoba. Jika tidak, kompresi dada dan ventilasi harus segera diawali, dan pacu jantung eksternal dimulai. Suatu elektrode pacu jantung transvena harus dimasukkan seperti yang didiskusikan di atas pada keadaan blok atrioventrikular lanjut, dan dipertimbangkan bila blok bifasikular atau blok trifasikular

26

27 terjadi. Banyak ahli jantung lebih memilih jalur subklavia namun ini seharusnya dihindari pada keberadaan trombolisis atau antikoagulan. Tempat alternatif harus dipilih dalam situasi ini. IV. PENUTUP Suatu rekomendasi untuk : 1. Pasien Pasien dengan kecurigaan adanya serangan jantung harus mendapatkan diagnosis yang cepat, penyembuhan nyerinya, resusitasi dan terapi reperfusi jika diperlukan. Pasien dengan kecurigaan atau telah didiagnosis infark miokard harus dirawat oleh staf yang terlatih dan berpengalaman di unit jantung yang modern. Mereka sebaiknya mempunyai akses untuk mendapat metode diagnosis yang modern dan perawatan, baik itu di tempat perawatan awal atau di tempat yang lebih khusus. Mereka harus mendapat informasi yang cukup setelah pulang, rehabilitasi, dan pencegahan sekunder. Dia dan rekannya yang terkait harus tahu, mengenali dan bereaksi bila ada serangan jantung lagi. 2. Dokter Ahli Kardiologi Ahli kardiologi, yang berhubungan dengan dokter-dokter unit gawat darurat dan pihak yang berwenang, harus yakin bahwa ada sistem yang optimal untuk rawat jantung di daerah mereka. Hal ini termasuk pelatihan yang memadai dari personel ambulans dan dokter lini pertama, pengaturan yang efisien mengenai diagnosis dan perawatan infark miokard di unit gawat darurat, dan pengaturan untuk pemberian trombolitik. Ahli jantung beserta ahli anestesi dan spesialis yang lainnya, harus mengatur bahwa staf medis dan paramedis kompeten dalam teknik resusitasi. Pencatatan harus dibuat secara baik, sejak awal perawatan dan pemberian trombolisis (cato-needle time), dan sejak dari masuknya ke rumah sakit sampai trombolisis diberikan (door-to-needle time). Yang pertama sebaiknya tidak lebih dari 90 menit, dan pasien jalur cepat dengan indikasi untuk trombolisis tidak boleh melebihi 20 menit. PTCA dapat dilakukan sebagai alternatif yang efektif dan baik terhadap terapi trombolitik apabila tenaga dan alat yang dibutuhkan tersedia. Hasilnya dicatat dalam catatan perencanaan. Program rehabilitasi harus dibuat untuk semua pasien, yang diarahkan untuk kebutuhan pribadi mereka. Harus ada kemauan untuk penghentian merokok. Hal ini terdiri dari program yang terus menerus yang dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional yang tidak hanya mempengaruhi pasien untuk berhenti merokok tetapi juga mendorong pasien untuk menjaga hal tersebut. Catatan harus dibuat untuk terapi pencegahan sekunder bagi mereka yang selamat dari infark miokard definitif. Bagi mereka yang

27

28 mengalami kenaikan lipid harus mendapat nasehat diet makanan yang tepat. Untuk memenuhi tujuan ini dapat digunakan obat penurunan lipid. 3. Dokter Umum Mengingat dokter umum merupakan titik pertama dalam kontak terhadap penderita yang dicurigai mengalami infark miokard, mereka harus bisa bertindak dengan cepat atau membuat persiapan untuk melakukan defibrilasi dan trombolisis secara efektif. Mereka sebaiknya terlibat dalam program lokal penanganan kedaruratan jantung. Mereka harus melihat segera setelah pasien pulang dari rumah sakit, untuk meyakinkan bahwa rehabilitasi diatur dengan baik dan mengamati pelaksanaan pencegahan sekunder yang baik. 4. Pemegang kebijaksanaan Mereka harus mendorong pelatihan masyarakat untuk RKP dasar dan personel ambulans dalam BLS dan ALS. Mereka harus mengatur suatu sistem yang optimal untuk perawatan pasien yang mengalami henti jantung dan infark miokard, dengan mengkoordinasikan aktivitas pelayanan ambulans, dokter umum, dan pelayanan rumah sakit. Mereka juga sebaiknya memastikan bahwa unit gawat darurat mempunyai protokol yang baik untuk penanganan pasien yang dicurigai mengalami infark miokard serta tenaga terlatih yang tersedia setiap saat. Dan sebaiknya disediakan tempat tidur yang sesuai untuk perawatan infark miokard. Dokter yang terlatih mengenai kardiologi harus selalu ada. Dan harus diselenggarakan rehabilitasi pasien sepulang dari rumah sakit setelah infark miokard. Harus dipastikan bahwa tersedia fasilitas di rumah sakit mereka atau daerah untuk managemen lebih lanjut dan penanganan komplikasi infark miokard, atau bila tidak ada, harus diatur hubungan dengan pusat kesehatan yang lain.

28

29 V. DAFTAR PUSTAKA 1. Amstrong A. Duncan B. Oliver MF et al . Natural history of acute heart attacks: a community study. Br. Heart J 1972; 34: 67-80 2. WHO MONICA Project. Myocardial infarction and coronary deaths in the World Health Organization MONICA project. Circulation 1994; 90: 583-612 3. Stevenson R. Ranjadayalan K. Wilkinson P. Robets R. Timmis AD. Short and long-term prognosis of acute myocardial infarction since the introduction of trombolysis. BMJ 1993; 307: 349-53 4. Hopper J. Pathik B. Hunt D. Chan W. Improved prognosis since 1969 of myocardial infarction treated in a coronary care unit: lack of relation with changes in severity. BMJ 1989; 299: 892-6 5. Maynard C. Weaver WD. Litwin PE et al . Hospital mortality in acute myocardial infarction in the era of reperfusion therapy. Am J. Cardiol 1993; 72: 877-92 6. Adams J. Trent R. Rawies J. On behalf of the GREAT Group. Earliest electrocardiographic evidence of myocardial infarction: implications for thrombolytic therapy. BMJ 1993; 307: 409-13 7. Basic Life Support Group of the European Resuscitation Council. Guidelines for basic life support. BMJ 1993; 306: 1587-9 8. Advanced Life Support Working party of the European Rescucitation Council. Guidelines for advanced life support. Resuscitation 1992; 24: 111-24 9. Fibrinolytic Therapy Trialists (FTT) Collaborative Group. Indications for fibrinolytic therapy in suspected acute myocardial infarction: collaborative overview of early mortality and major morbidity results from all randomised trials of more than 1000 patients. Lancet 1994; 343: 311-322 10. ISIS-3 (Third International Study of Interfact Survival) Collaborative Group. ISIS-3 : A randomised comparison of streptokinase vs tissue plasminogen activator vs anistreplase and of aspirin plus heparin vs aspirin alone among 41.299 cases of suspected acute myocardial infarction. Lancet 1992; 339: 753-70 11. Gruppo Italiano per lo Studyo della Streptochinasi nell infarto Miocardico (GISSI). Effectiveness of intravenous thrombolytic treatment in acute myocardial infarction. Lancet 1986; 1: 397-402 12. The International Study Group. In-hospital mortality and clinical course of 20.891 patients with suspected acute myocardial infarction randomised between alteplase and streptokinase with or without heparin. Lancet 1990; 336: 71-5 13. The GUSTO Investigators. An Intenational Randomized Trial Comparising four thrombolyticstrategies for acute myoicardial infarction. N. Engl J Med 1993; 329: 673-82 14. The European Myocardial Infarction Project Group. Prehospital thrombolytic therapy in patients with suspected acute myocardial infarction. N. Engl. J Med 1993; 329: 383-9

29

30 15. Topol EJ, George BS. Kereiakes DJ et al . And the TAMI Study Group. A randomized controlled trial of intravenous tissue plasminogen activator and early intravenous heparin in acute myocardial infarction. Circulation 1989; 79: 281-6 16. Gibbons RJ, Holmes DR, Reeder GS, Bayley KR, Hopfenspirger MR, Gersh BJ. Immediate angioplasty compared with the administration of a thrombolytic agent followed by conservative treatment for myocardial infarction. N Engl J Med 1993; 328: 685-91 17. Zijlstra F. de Boer MJ. Hoorntje JCA. Reiffers S. Reiber JHC. Suryapranata H. A comparison of immediate coronary angioplasty with intravenous streptokinase in acute myocardial infarction. N Engl J Med 1993; 328: 680-4 18. TIMI Research Group. Immediatevs delayed catheterization and angioplasty following thrombolytic therapy. Am J Med 1987; 317: 581-8 19. Lindsay HSJ, Zaman AG, Cowan JC. ACE inhibitor after myocardial infarction: patient selection or treatment for all? Br Heart J 1995; 73: 397-400 20. Walsh JT, Gray D, Keating NA, Cowley AJ hampton JR. ACE for whom? Implications for clinical practice of post infarct trials. Br Heart J 1995; 73: 470-4 21. Woods KL, Flectcher S, Roffe C, Haider Y. Intravenous magnesium sulphate in suspected acute myocardial infarction: the second Leicester intravenous magnesium Intervention Trial (LIMIT-2). Lancet 1992; 339: 1553-58 22. TIMI IIIB investigators. Effects of tissue plasminogen activator and comparison of early invasive and conservative strategies in unstable angina and non-Q wave myocardial infarction. Results of the TIMI IIIB Trial. Circulation 1994; 89: 1545 23. The Beta-Blocker Pooling Research Group. The Beta-Blocker Pooling Project (BBPP); subgroup findings from randomized trials in post infarction patients. Eur Heart J 1988; 9: 8-16 24. The TIMI Study Group. Comparison of invasive and conservative strategies after treatment with aintavenous tissue plasminogen activator in acute myocardial infarction: results of the Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) Phase II trial. N Engl J Med 1989; 320: 618-27.

30

You might also like