You are on page 1of 9

LATAR BELAKANG DAN SEBAB-SEBAB KEABNORMALAN TINGKAH LAKU A.

Pendahulaun Hampir semua penyebab gangguan-gangguan dalam perilaku tidak dapat ditentukan salah satunya, meskipun penyebab tersebut disebut sebagai penyebab awal atau yang disebut akar permasalahan. Misalnya, konflik anatar kelompok bisa saja akar permasalahannya adalah faktor ekonomi atau value yang berbeda dan sebagainya. Tetapi setelah konflik itu terjadi, yang menjadi penyebab tersebut sudah sangat meluas, dengan akibat walaupun akar permasalahannya diselesaikan, tidak dengan sendirinya itu berhenti. Coleman (1984) menyatakaan bahwa penyebab

tingkah laku abnormal dan gangguan jiwa tidaklah tunggal, tetapi terkait dengan kompleksnya perkembangan kepribadian. Perilaku dan gangguan atau penyakit jiwa umumnya memiliki banyak penyebab (multicausal) dan berkaitan dengan apa yang telah ada sebelum gangguan itu muncul, yaitu faktor-faktor bawaan, predisposisi, kepekaan (sensitivity) dan kerapuhan (vulnerability). Predisposisi, kepekaan, dan kerapuhan merupakan hasil interaksi antara faktor-faktor bawaan dengan pengaruhpengaruh luar yang terjadi pada seseorang. Faktor-faktor bawaan ada yang bersifat biologis atau herediter (misalnya kelainan genetik yang dibawa sejak lahir). Faktor bawaan dapat juga merupakan akibat dari keadaan deprivasi (kekurangan), misalnya deprivasi zat yodium pada anak yang menimbulkan gangguan intelegensi.

B. Latar belakang dan sebab-sebab keabnormalan tingkah laku 1. Konsep-konsep biomedis Telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam pendektan medik semua gejala perilaku dan penyimpangannya dikembalikan ke dasar-dasar biologis. Dalam usaha memahami penyebab perilaku abnormal, para ahli kesehatan mental dengan hati-hati mengevaluasi apa yang terjadi di tubuh seseorang yang dapat dihubungkan ke warisan genetis atau gangguan fungsi fisik. Sebagaimana terdapat pada banyak gangguan medis, berbagai gangguan psikologis terjadi di keluarga. Gangguan depresi mayor merupakan salah satu dari gangguan-gangguan ini. Seorang anak lelaki atau perempuan dari orang tua yang menderita depresi, secara statistik memiliki kemungkinan mengalami depresi yang lebih besar daripada mereka yang orangtuanya tidak menderita depresi. Sebagai tambahan dalam menjelaskan peran faktor genetis, para klinisi juga mempertimbangkan bahwa perilaku abnormal mungkin saja merupakan akibat dari gangguan fungsi fisik. Gangguan semacam itu dapat muncul dari

berbagai sumber, seperti kondisi medis, kerusakan otak, atau paparan jenis stimulan tertentu di lingkungan. Banyak kondisi medis yang dapat menyebabkan seseorang merasa dan bertindak abnormal. Sebagai contoh, abnormalitas medis di kelenjar tiroid dapat menyebabkan rentang kondisi mood dan emosi yang beragam. Kerusakan otak yang diakibatkan oleh trauma kepala meskipun ringan, dapat mengakibatkan perilaku aneh dan perubahan emosi yang intens. Sama halnya dengan pencernaan zat-zat, baik obat terlarang maupun pengobatan yang diizinkan, dapat mengakibatkan perubahan emosi dan perilaku yang menyerupai gangguan psikologis. Bahkan, paparan stimulan lingkungan seperti zat beracun atau zat penyebab alergi dapat menyebabkan seseorang mengalami perubahan emosi dan perilaku yang mengganggu.1 2. Konsep-konsep psikologis Dalam perkembangan seseorang bisa terjadi gangguan yang sumbernya pada faktor bawaan atau dari peristiwa yang terjadi selama masa perkembangan. Para pakar psikologi perkembangan menyatakan bahwa tiap tahap perkembangan memiliki sasaran tertentu. Bila sasaran tidak tercapai, dapat terjadi gangguan penyesuaian diri pada tahap tersebut yang terlihat sebagai munculnya tingkah laku abnormal. Deprivasi atau keterlantaran terhadap hal kasih sayang ibu di masa dini, atau trauma psikis yang terjadi di masa dini dapat mempengaruhi kepribadian seseorang (emosi, sikap, predisposisi) yang berakibat jauh ke masa depannya. Eksperimen pada hewan dan pada anak-anak yang dibesarkan di luar lingkungan ayah-ibu telah membuktikan adanya kelainan tingkah laku anak pada masa dewasanya. Misalnya eksperimen yang dilakukan Hess (dalam Stern, 1964) tentang imprinting, yaitu suatu cara belajar dimasa dini yang tergantung pada adanya pola motorik bawaan (innate motor patterns) dan kematangan yang cukup (adequate maturation) tanpa mengikutsertakan motivasi.2 Mothering atau pengasuhan anak oleh ibu di masa kecil serta pengaruhnya dalam perkembangan emosi anak, telah diselidiki oleh Yarrow dan Ribble. Yarrow pada tahun 1961 telah menyelidiki 4 macam deviasi dari normal mothering. Mothering oleh Ribble dimaksudkan sebagai penerimaan 3 jenis stimulus, yaitu taktil, kinestetik, dan pendengaran (auditory) oleh bayi.

Zaini Ar, Konsep Biomedis, tersedia:http://www.psycholovegy.com/2012/03/psikologi-klinis-dalamperspektif.html (diakses 1 Oktober 2013) Suprapti Slamet L.S-Sumarmo Markam, Pengantar Psikologi Klinis, (Universitas Indonesia Press, Jakarta:2003), hal. 41-42
2

Pengasuhan anak atau mothering yang telah disebut tadi dapat berlangsung dengan cukup baik, (adequate) atau kurang baik (inadequate). Adequate mothering akan dapat mengurangi ketegangan pada anak, sedangkan inadequate mothering dapat menimbulkan negativisme, kurangnya nafsu makan,

bertambahnya ketegangan otot dan lain-lain. Menurut Yarrow, ada empat macam deviasi mothering, yaitu institusional mothering, mother separetion, multiple mothering, dan gangguan kualitas mothering (dalam Stern, 1964) Institusional mothering adalah pola pengasuhan di dalam asrama atau tempattempat penampunagn lainnya, misalnya untuk anak yatim atau anak-anak konflik peperangan yang dilakukan oleh pengasuh yang jumlah dan kualitasnya terbatas. Ditemukan bahwa pada anak-anak itu dapat terjadi hambatan dalam perkembangan intelektual dan bahasa. Anak-anak dalam keadaan ini sering menunjukkan apati sosial, sikap acuh tak acuh, atau haus kasih sayang atau afek. Hal ini dapat menjadi penyebab dari gangguan karakter dan keterlambatan retardasi. Terpisah dari ibu jika berlangsung terutama sebelum berumur 3 tahun akan menimbulkan protes langsung dan keinginan mencari pengganti ibu pada tahap permulaan. Pada tahap selanjutnya dapat menimbulkan apati dan penurunan aktivitas, kemurungan, tidak mau makan (anaclitic depression), bahkan penolakan terhadap tiap ibu. Anak ini akan ramah terhadap orang lain, tapi tanpa keterlibatan emosi (without emotional attachment). Multiple mothering, yaitu mendapat asuhan ibu dengan kasih sayang yang terjadwal (scheduled affection) dan seorang perawat yang bertanggung jawab atas pelatihan anak dalam satu tempat penitipan anak. Menurut penelitian Yarrow (dalam Stern 1964), anak-anak ini akan lambat dalam mengembangkan kemampaun sosial dan personal, tetapi pada usia 9-11 tahun, anak-anak ini mampu menunjukkan bahwa keadaan deprivasi dan kurangnya stimulasi pada anak-anak ini dapat dipulihkan. Gangguan dalam kaulitas mothering disebabkan oleh gangguan

kepribadian pada ibu. Hal ini bila tidak diimbangi dengan lingkungan sosial yang positif dapat menimbulkan keadaan neurosis pada anak atau keadaan schizophrenia, dan berhubungan dengan perkembangan ego si anak tersebut.

Jika faktor biologis dapat memberikan semua jawaban, maka kita akan menganggap gangguan mental sebagai penyakit medis. Sesungguhnya, hal ini tidak hanya sekedar itu saja. Gangguan umumnya muncul sebagai akibat pengalaman hidup yang bermasalah. Mungkin sebuah peristiwa satu jam yang lalu, tahun lalu, atau saat ini dalam hidup seseorang telah meninggalkan bekas yang menyebabkan perubahan dramatis pada perasaan atau perilaku. Misalnya, komentar merendahkan dari seorang profesor dapat meninggalkan perasaan terluka pada seorang mahasiswa dan menyebabkan depresi selama berhari-hari. Kekecewaan dalam hubungan asmara dapat menimbulkan respons emosional yang intens selama berbulan-bulan. Sebuah trauma yang terjadi bertahun-tahun yang lalu dapat terus memperngaruhi pikiran, perilaku, dan bahkan mimpi seseorang. Pengalaman hidup juga berkontribusi terhadap gangguan dapat menyebabkan individu membentuk asosiasi negatif terhadap stimulus tertentu. Sebagai contoh, kekuatan irasional pada ruangan sempit mungkin muncul karena pernah terjebak di dalam elevator. Oleh karena itu, dalam mengevaluasi penyebab psikologis pada abnormalitas, para ilmuwan sosial dan klinisi mempertimbangkan pengalaman hidup seseorang. Sebagian besar pengalaman tersebut bersifat interpersonalkejadian-kejadian yang terjadi karena interaksi dengan orang lain. Namun, orang juga memiliki pengalaman intrapsikis, pengalaman yang terjadi di dalam pikiran dan perasaannya. Masalah-masalah emosional dapat muncul dari persepsi yang terdistorsi dan cara berpikir yang salah. 3. Konsep-konsep sosial/kultural Dalam perspektif social kultural lebih menyeluruh dari perilaku abnormal mensyaratkan untuk memperhitungkan peran-peran faktor sosial dan budaya, termasuk faktor-faktor yang berkaitan dengan etnisitas, gender, dan kelas sosial. Szasz (1961, 2001) menyatakan bahwa tidak normal hanyalah sekedar label yang dilekatkan oleh masyarakat terhadap orang-orang yang memiliki perilaku menyimpang dari norma-norma sosial yang dapat diterima. Konsep sosial kultural beranggapan bahwa tingkah laku abnormal disebabkan bukan oleh faktor-faktor dalam diri pribadi individu, tetapi oleh keadaan lingkungan, khususnya lingkungan sosial dan kultural. Tokoh-tokoh dalam pendekatan ini berpendapat

bahwa tekanan dari lingkungan dapat menyebabkan seorang individu gagal memenuhi tuntutan untuk menyesuaikan diri lingkungannya. Lingkungan sosial seolah-olah menekan seseorang untuk bertindak di luar batas kemampuannya, demi mendapat sesuatu yang dituntut oleh lingkungan itu. Bila ia tidak berhasil maka ia akan mendapat julukan yang serba negatif yang akhirnya menyebabkan ia terisolasi dari teman-temannya, dan dalam keadaan ekstrem menjadi gila. Pendapat ini dikemukakan oleh Gruenberg (dalam Millon, 1973) yang memberi nama social breakdown syndrome sebagai istilah yang lebih sesuai untuk gangguan jiwa, karena sebetulnya yang menganggap seseorang terganggu adalah lingkungan sosialnya. Kurt Hass (1979) menyebutkan bahwa menurut pendekatan sosiokultural, penyebab prilaku abnormal antara lain adalah perubahan sosial, kemiskinan, diskriminasi, pengangguran, yang merupakan hal-hal yang sulit diatasi.3 Pandangan ini meyakini bahwa kita harus mempertimbangkan konteks-konteks sosial yang lebih luas di mana suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari perilaku abnormal. Penyebab perilaku abnormal dapat ditemukan pada kegagalan masyarakat dan bukan pada kegagalan orangnya. Masalah-masalah psikologis bisa jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat, seperti kemiskinan, perpecahan sosial, diskriminasi ras, gender,gayahidup, dansebagainya. Istilah sosiokultural mengacu pada berbagai lingkaran pengaruh sosial dalam hidup seseorang. Sebagian besar lingkaran tengah terdiri dari orang-orang yang paling sering berinteraksi dengan kita di tingkat lokal. Bagi mahasiswa perguruan tinggi, orang-orang ini bisa jadi teman sekamar, rekan kerja, dan teman sekelas yang mereka temui secara teratur. Lingkaran yang lebih luar dari lingkaran tengah adalah mereka yang mendiami lingkaran hubungan yang lebih luas, seperti anggota keluarga di rumah atau teman-teman di sekolah menengah atas. Lingkaran ketiga terdiri dari orang-orang di lingkungan kita yang hanya berinteraksi dengan kita secara minimal dan kurang kita kenal namanya, mungkin penghuni komunitas kita atau kampus yang standarnya, harapannya, dan perilakunya mempengaruhi hidup kita. Lingkaran sosial keempat adalah budaya yang lebih luas, tempat kita hidup seperti masyarakat.

Suprapti Slamet L.S-Sumarmo Markam, Pengantar Psikologi Klinis,,, hal. 77

Abnormalitas, dapat pula disebabkan oleh kejadian-kejadian pada salah satu atau keseluruhan konteks sosial tersebut. Hubungan yang bermasalah dengan teman sekamar atau anggota keluarga dapat mengakibatkan seseorang merasa sangat tertekan. Hubungan asmara yang gagal dapat menyebabkan depresi yang memungkinkan tindakan bunuh diri. Keterlibatan dalam hubungan yang mengandung kekerasan dapat menyebabkan gaya interpersonal ketika orang yang mengalami kekerasan berulang kali terjerat hubungan dengan orang yang suka menyakiti dan merusak. Dibesarkan oleh orang tua yang sadis dapat pula menyebabkan seseorang membangun pola hubungan yang dicirikan dengan emosional.

4. Faktor Internal Klasifikasi ini didasarkan atas asumsi bahwa proses mental memiliki dasar faali/fisiologi. Kesulitan dari psikologi ini ialah belum jelasnya proses dan lokasi fisiologi dari proses-proses mental normal. Tuke, Maynart, Wernicke (dalam Henderson et. Al., 1956) mengemukakan sistem klasifikasi sebagai berikut:4 a. Tuke mengadakan pembagaian gangguan atas gangguan fungsi sensorik, fungsi motorik, dan ide. Contoh gangguan fungsi sensorik adalah terjadinya halusinasi, contoh gangguan fungsi motorik adalah terjadinya kelumpuhan (paralysis), contoh gangguan fungsi ide adalah demensia. b.Maynart membagi kelainan tingkah laku menurut 3 penyebab faali, yaitu (a) perubahan anatomis, (b) gangguan gizi, (c) intoksikasi atau keracunan. Gangguan gizi dapat menyebabkan rangsangan atau gangguan di daerah kortikal misalnya mania, delusi; di daerah subkortikal misalnya delusi dan halusinasi; dan di pusat subkortikal vaskular, seperti epilepsi. c.Wernicke membuat asumsi-asumsi psikofisiologis antara lain bahwa tiap isi kesadaran tergantung pada seperangkat elemen saraf tertentu. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa mungkin mengalami interupsi/hambatan, atau ia terlalu peka terhadap rangsangan asosiasi psikosensoris , intrapsikis atau psikomotor. Gangguan ini berturut-turut diberi nama sebagai berikut; di
4

Suprapti Slamet L.S-Sumarmo Markam, Pengantar Psikologi klinis,,, hal.51

bidang psikosensorik ada gangguan-gangguan anasthesia (tidak ada rasa), hyperaestesia(rasa berlebihan) dan parathesia (rasa yang tidak tepat); di bidang intrapsikis ada gangguan disfunction (tidak berfungsi), hyperfunction (fungsi berlebihan) dan parafunction (salah fungsi); di bidang psikomotor ada gangguan-gangguan akinesis(tak ada gerakan), hyperkinesis (gerakan

berlebihan) dan parakinesis (gerakan salah)

5. Faktor Eksternal
a.

Masalah Perkembangan Menurut Erikson (Singgih. D. Gunarsa,1985:107) bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru individu dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan yang menyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini maka perkembangan ego yang matang akan terjadi, sehingga individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosial atau masyarakatnya. Sebaliknya apabila individu tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut, maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku.5 b. Lingkungan Keluarga Sebagai lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak, keluarga memiliki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian pada anak. Keluargalah peletak dasar perasaan aman pada anak, dalam keluarga pula memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan aman, dasar perkembangan sosial, dasar perkembangan emosi dan perilaku yang baik. Kesalahan dalam keluarga dapat menimbulkan gangguan emosi dan perkembangan perilaku pada seorang anak.
c.Lingkungan

Sekolah

Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua setelah keluarga. Timbulnya gangguan perilaku yang disebabkan lingkungan sekolah antara lain berasal dari guru sebagai tenaga pelaksana pendidikan dan fasilitas penunjang
5

Dedi Kurniadi, Faktor Eksternal Gangguan Tingkah laku.pdf. tersedia:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR.PEND.LUAR.BIASA//195603221982031- (diakses 1 Oktober 2013)

yang dibutuhkan anak didik. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak merasa tertekan dan takut menghadapi pelajaran sehingga anak akan lebih memilih membolos dan keluyuran pada saat dimana seharusnya ia berada dalam kelas dan di lingkungan masyarakat menurut Bandura (Kirkn & Gallagher, 1986) salah satu yang mempengaruhi pola perilaku anak dalam lingkungan sosial adalah keteladan yaitu menirukan perilaku orang lain.

C.

Kesimpulan Dalam perkembangan seseorang bisa terjadi gangguan yang sumbernya pada faktor bawaan atau dari peristiwa yang terjadi selama masa perkembangan. Para pakar psikologi perkembangan menyatakan bahwa tiap tahap perkembangan memiliki sasaran tertentu. Bila sasaran tidak tercapai, dapat terjadi gangguan penyesuaian diri pada tahap tersebut yang terlihat sebagai munculnya tingkah laku abnormal. Konsep sosial kultural beranggapan bahwa tingkah laku abnormal disebabkan bukan oleh faktor-faktor dalam diri pribadi individu, tetapi oleh keadaan lingkungan, khususnya lingkungan sosial dan kultural. Tokoh-tokoh dalam pendekatan ini berpendapat bahwa tekanan dari lingkungan dapat menyebabkan seorang individu gagal memenuhi tuntutan untuk menyesuaikan diri lingkungannya. Lingkungan sosial seolah-olah menekan seseorang untuk bertindak di luar batas kemampuannya, demi mendapat sesuatu yang dituntut oleh lingkungan itu. Bila ia tidak berhasil maka ia akan mendapat julukan yang serba negatif yang akhirnya menyebabkan ia terisolasi dari teman-temannya, dan dalam keadaan ekstrem menjadi gilA

DAFTAR PUSTAKA Suprapti Slamet I.S, Sumarkam Sumarmo. Pengantar Psikologi Klinis, Universitas Indonesia, Jakarta:2003 Dedi Kurniadi, Faktor Eksternal Gangguan Tingkah laku.pdf. tersedia:http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR.PEND.LUAR.BIASA//1956032219820 31- (diakses 1 Oktober 2013) Zaini Ar, Konsep Biomedis, tersedia:http://www.psycholovegy.com/2012/03/psikologi-klinisdalam-perspektif.html (diakses 1 Oktober 2013)

You might also like