You are on page 1of 56

Pelindung Ketua Jurusan Departemen Sastra Jepang Mitra Bestari Syahrur Marta Dwi Susilo (Sastra/Budaya Jepang) Eli

Rostinah (Sastra Jepang) Putri Elsy (Budaya Jepang) Nunuk Endah S. (Budaya Jepang) Tia Saraswati (Budaya Jepang) Dwi Anggoro H. (Linguistik Jepang) Rizki Andini (Linguistik Jepang) Adis Kusumawati (Linguistik Jepang) Parwati Hadi N (Linguistik Jepang) Antonius R. Pujo P. (Sejarah/Budaya Jepang) Moh. Gandhi A. (Sejarah Jepang) Penanggung Jawab Ketua HIMA Sastra Jepang Pemimpin Redaksi Gisca Gaprita Sari Sekretaris Dian Dwi Wahyuningsih Bendahara Yudiah Dwi Rohmawati Penyunting Pelaksana Djayeng Channisa Fika Fitria Florentina Adrienne Auberta Yulia Ulfah Editor Ratih Rachmitha Sari Sang Kinanti Bhayangkari Layouter Laily Sukmawati Alamat Redaksi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Jl.Dharmawangsa Dalam Selatan, Surabaya 60286 Email : gakushikinokura@gmail.com Redaktur menerima hasil penelitian mahasiswa berupa makalah atau tulisan-tulisan lainnya dari Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Pengantar Redaksi
Puji Syukur ke hadirat Allah S.W.T atas Ridho-Nya sehingga Jurnal Mahasiswa Sastra Jepang, Gakushiki no Kura volume 3 dapat terbit sesuai dengan rencana waktu yang telah ditetapkan oleh tim redaksi. Jurnal ini merupakan kumpulan kajian penelitian mahasiswa Sastra Jepang Universitas Airlangga. Melalui diterbitkannya jurnal mahasiswa ini, tim redaksi ingin memperkenalkan kajian-kajian ke-Jepang-an, terutama yang berhubungan dengan bahasa, sastra, budaya, dan sejarah yang dimiliki oleh negara Jepang itu sendiri. Pada Jurnal Mahasiswa Gakushiki no Kura volume 3 ini, tim redaksi menyuguhkan sembilan buah artikel ilmiah dengan tema yang menarik dan beraneka ragam untuk para pembaca. Mulai dari artikel yang mengkaji tentang linguistik bahasa Jepang, kajian karya sastra Jepang, fenomena budaya yang terjadi di Jepang, hingga sejarah masa lalu Jepang, semuanya terangkum menjadi satu dalam Jurnal Mahasiswa Gakushiki no Kura volume 3 yang terbit kali ini pada november 2011. Selain itu, disajikan pula sebuah resensi yang membahas tentang buku bernuansa ke-Jepang-an menarik, yang pastinya akan menambah atau malah memberikan wawasan baru bagi para pembaca akan negara Jepang. Apabila Gakushiki no Kura diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka artinya adalah Gudang Ilmu Pengetahuan. Sebagaimana halnya dengan makna dari nama jurnal ini, tim redaksi mengharapkan agar jurnal ini bisa menjadi selayaknya Gudang Ilmu Pengetahuan mampu memberikan wawasan baru tidak hanya bagi mahasiswa Sastra Jepang, tetapi juga bagi siapapun yang berminat mempelajari segala hal yang berhubungan dengan negeri matahari terbit ini. Tim Redaksi Gakushiki no Kura mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas sumbangan tulisan yang telah diberikan oleh para penulis pada jurnal edisi kali ini dan senantiasa mengajak para pembaca, khususnya para mahasiswa Sastra Jepang Universitas Airlangga untuk terus menulis. Mari kita menumbuhkan budaya menulis dan membaca dengan mulai menyemarakkan Gakushiki no Kura ini dengan tulisan-tulisan dan kajian-kajian penelitian anda. Tim redaksi menyadari bahwa jurnal ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari segala pihak demi peningkatan kualitas pembuatan jurnal ilmiah untuk edisi-edisi berikutnya sangat dinantikan oleh tim redaksi. Akhir kata, selamat membaca dan semoga bermanfaat. Surabaya, November 2011 Tim Redaksi

Daftar Isi
Pengantar Redaksi ......................................................................................................................... 2 Daftar isi ....................................................................................................................................... 3 Analisi Makna Gitaigo Dan Giongo yang Mengekspresikan Gerakan Cepat dan Gerakan Jatuh dalam Komik Inuyasha ......................................................................................................... 4 Analisis Struktur Fukushiki Ryakugo pada Gairaigo dalam Kamus Kata Serapan Bahasa Jepang yang Disusun oleh Bachtiar Harahap (Kajian Morfologis)................................................ 14 Analisis Tokoh Aku dalam Novel Tanin no Kao Karya Kobo Abe (Sebuah Kajian Filsafat Eksistensial) ................................................................................................................................ 21 Situasi Tenaga Kerja di jepang sebagai Penyebab Fenomena Parasit Single ................................. 27 Perwujudan Falsafah Gambaru saat Menghadapi Bencana Studi Kasus Tsunami di Sendai ......... 32 Senoiritas dalam Dunia Kerja Jepang: Kunci Sukses Perusahaan Jepang ..................................... 36 Pelecehan Seksual: Perbedaan Pemahaman Antar Gender ........................................................... 39 Penggunaan Handphone pada Anak Muda Jepang dan Indonesia ................................................. 43 Masyarakat Sipil Jepang Selama Perang Dunia II ........................................................................ 47 Resensi Buku THE LAST SHOGUN -Kisah Hidup Tokugawa Yoshinobu-. ............................... 52 Ketentuan Penulis ........................................................................................................................ 55

Analisi Makna Gitaigo Dan Giongo yang Mengekspresikan Gerakan Cepat dan Gerakan Jatuh dalam Komik Inuyasha*
Oleh : Titis Andriany** Abstract Japanese mimesis and onomatopoeia (called gitaigo and giongo) are known with their vast number. Gitaigo is words which express in descriptive and symbolic terms the states or conditions of both animate and inanimate objects, and of change, phenomena, movement, growth etc. Giongo is words which imitate the sounds made by animate and inanimate objects, such as a persons laughter, an animals sound etc. Gitaigo and giongo are commonly use in manga (Japanese comic), newspapers, articles, informal register of speech and in daily conversations. for student who study Japanese, specifically Indonesian students, it become such a matter for them. because Indonesian language has little number of mimesis and onomatopoeia. Moreover for manga lovers, it bring them to difficulty to understand the story. Therefore, the writer interested to write the meaning of gitaigo and giongo that express rapid actions and falling actions in the Inuyasha comic volume 1, with statement of problems as follow: (1) what are kinds of gitaigo and giongo that express rapid actions and falling actions in the Inuyasha volume 1?; (2) what are the meaning of gitaigo and giongo that express rapid actions and falling actions in the Inuyasha volume 1?; (3) what are kinds of the phonestheme that most used in gitaigo and giongo that express rapid actions and falling actions in the Inuyasha volume 1? This research used semantics (lexical meaning, cognitive meaning and phonestheme) as general background study and used descriptive qualitative as the method research. Data collecting process is done through classification based the types, and then data is analyzed with semantics theory. It can be concluded from the research that in the Inuyasha comic volume 1 is 9 types of gitaigo and giongo that express rapid actions and 14 types of gitaigo and giongo that express falling actions. The meaning of gitaigo and giongo that express rapid actions are suddenly actions or movement, reflex actions, walk rapidly, sound of a strong wind, sound of a strong wind through small space, spin through the air at a high speed. The meaning that express falling actions are fall or drop, collapse, throw down, sound of light objects fall or drop, falling and scattering. in the Inuyasha comic volume 1 the most phonestheme used is kasanes category (repeatedly word). keywords: Gitaigo and giongo, rapidly actions and falling actions, semantics (lexical meaning, cognitive meaning and phonestheme), Inuyasha comic volume 1.

Pendahuluan
Bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan suatu ide, pikiran, hasrat dan
*Artikel ini dibuat berdasarkan Skripsi berjudul Analisis Makna Gitaigo Dan Giongo yang Mengekspresikan Gerakan Cepat dan Gerakan Jatuh dalam Komik Inuyasha **Mahasiswa Sastra Jepang (2006) Email penulis: Andrinytiz@yahoo.co.id 1

keinginan baik secara tertulis maupun secara lisan kepada orang lain. Sebagai alat komunikasi verbal, bahasa memiliki suatu lambang, dimana lambang sendiri memiliki makna. Menurut Ferdinand de Saussure yang dikutip oleh Dedi Sutedi (2008:2-4), lambang bahasa (gengo-kig) terdiri dari signifiant 4

(nki) dan signifie (shoki). Signifiant merupakan bentuk dan warna yang bisa diamati dengan mata kita, atau berupa bunyi yang bisa diamati dengan telinga. Sedangkan signifie merupakan makna yang terkandung di dalam bentuk atau bunyi tersebut. Oleh karena itu, menurut Ferdinand de Saussure, hubungan antara signifiant dan signifie bersifat arbitrer (shi-isei/mana suka). Artinya antara signifiant dan signifie sama sekali tidak ada aturan yang mengharuskan atau mengikat keduanya terjadi. Sehubungan dengan hal di atas, muncul onomatope yang merupakan bagian dari bahasa. Menurut Kridalaksana (2001:149), onomatope (onomatopoeia) merupakan penamaan benda atau perbuatan dengan peniruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda atau perbuatan itu; misalnya berkokok, suara dengung, deru, aum, cicit dan lain-lain. Setiap bahasa di seluruh dunia memiliki onomatope yang berbeda-beda. Hal itu dikarenakan adanya perbedaan system fonologi setiap bahasa serta adanya perbedaan budaya. Menurut Hinata Shigeo dalam bukunya yang berjudul Giongo Gitaigo no Doku Hon ( ) (1991:i), bahasa Jepang dikatakan sebagai bahasa yang kaya akan jenis kata yang termasuk dalam onomatope, misalnya pada kosakata warau ( ) yang artinya tertawa, ada kata wahahaha to warau ( ) yang berarti tertawa terbahakbahak (tertawa dengan suara nyaring dan keras), ada kata kerakera warau ( ) yang berarti tertawa terkakah-kakah (tanpa memperdulikan keadaan sekitar), ada kata niyaniya warau yang berarti tersenyum menyeringai (tidak mengeluarkan suara), dan ada kata nikkori warau yang berarti tersenyum (sumringah). Hal itu menggambarkan betapa kayanya onomatope bahasa Jepang. Onomatope bahasa Jepang sering dijumpai dalam komik, iklan-iklan yang termuat dalam surat kabar, artikel serta pidato yang tidak resmi. Selain itu, agar

terkesan lebih akrab, orang Jepang sering menggunakan onomatope dalam percakapan sehari-hari. Selanjutnya, Hinata Shigeo juga berpendapat bahwa onomatope bahasa Jepang terdiri atas dua bagian, yaitu giongo () dan gitaigo () . Giongo ( ) adalah kata-kata yang terdengar menyerupai bunyi aslinya, misalnya bunyi jatuhnya benda yang berat dan bergerak cepat dengan kekuatan penuh secara sekaligus yang dinyatakan dengan dodot(su) . Sedangkan gitaigo () adalah kata-kata yang menunjukkan keadaan atau perasaan yang terjadi, misalnya keadaan yang menunjukkan jatuh dan tercecernya benda yang berupa serpihan kecil yang dinyatakan dengan boroboro. Seperti yang telah disampaikan, jenis kata yang termasuk dalam onomatope dalam bahasa Jepang sangat banyak, namun padanannya dalam bahasa Indonesia sangat terbatas. Selain itu, baik dalam kamus (bahasa Jepang-Indonesia) yang banyak dijual di Indonesia seperti kamus karangan Goro Taniguchi dan Kenji Matsura, maupun dalam buku pelajaran bahasa Jepang yang banyak digunakan oleh pembelajar bahasa Jepang di Indonesia seperti buku Minna no Nihongo hanya memuat sedikit informasi mengenai makna kata-kata yang termasuk dalam onomatope. Hal itulah yang menyulitkan pembelajar bahasa Jepang untuk memahami dan menggunakan onomatope bahasa Jepang dalam percakapan maupun dalam pembuatan kalimat secara tertulis sehingga bahasa Jepang yang digunakan terkesan kurang alami, bahkan sering terjadi kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh perbedaan makna atau maksud yang ingin disampaikan oleh si pembicara kepada lawan bicaranya. Selain itu, dengan adanya keterbatasan padanan kata tersebut pembaca komik bahasa Jepang juga merasa kesulitan untuk memahami dan menghayati cerita dalam komik. Sengoku Otogizshi Inuyasha merupakan komik yang mendapatkan penghargaan dari Shgakukan Manga Award 6

sebagai The best Shnen pada tahun 2002. Selain itu, komik yang ditulis oleh Takahashi Rumiko itu, menempati peringkat ke dua puluh dari seratus Japan's favorite animated TV series pada tahun 2006 oleh TV Asahi. Komik Inuyasha menceritakan tentang perjalanan seorang manusia setengah siluman, Inuyasha yang berusaha mengumpulkan pecahan bola empat arwah atau shikon no tama bersama dengan temantemannya. Komik tersebut berisi banyak adegan perkelahian. Oleh karena itu sering dijumpai onomatope yang mengekspresikan gerakan cepat dan jatuh. Jenis onomatope yang mengekspresikan kejadian tersebut sering kali menyulitkan para pembaca komik berbahasa Jepang dalam memahami dan menghayati jalan cerita komik, karena keterbatasan padanan onomatope tersebut dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin meneliti Makna Gitaigo Giongo yang Mengekspresikan Gerakan Cepat dan Gerakan Jatuh dalam Komik Inuyasha. Dengan rumusan masalah sebagai berikut: gitaigo giongo apa saja yang terdapat dalam komik Inuyasha volume 1 yang mengekspresikan gerakan cepat dan gerakan jatuh; apa makna gitaigo giongo yang mengekspresikan gerakan cepat dan gerakan jatuh yang terdapat dalam komik Inuyasha volume1; fonestem apa yang frekuensi kemunculannya paling banyak dari gitaigo dan giongo yang mengekspresikan gerakan cepat dan gerakan jatuh yang terdapat dalam komik Inuyasha volume 1. Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk: mengidentifikasi jenis gitaigo giongo yang mengekspresikan gerakan cepat dan gerakan jatuh yang terdapat dalam komik Inuyasha volume 1; mendeskripsikan makna gitaigo giongo yang mengekspresikan gerakan cepat dan gerakan jatuh yang terdapat dalam komik Inuyasha volume 1; mengidentifikasi jenis fonestem dari gitaigo dan giongo yang mengekspresikan gerakan cepat dan gerakan jatuh yang terdapat dalam komik Inuyasha volume 1. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini ada 2, yaitu manfaat teoritis dan

manfaat praktis. Manfaat teoritisnya adalah memperdalam pengetahuan jenis-jenis gitaigo giongo bahasa Jepang khususnya yang mengekspresikan gerakan cepat dan gerakan jatuh yang terdapat dalam komik Inuyasha volume 1, serta memberikan inspirasi dan referensi pada pembelajar bahasa Jepang untuk melakukan penelitian secara mendalam mengenai gitaigo giongo dalam bahasa Jepang. Sedangkan manfaat praktisnya adalah memberikan pengetahuan makna gitaigo giongo dalam bahasa Jepang. Selain itu, agar bisa mengaplikasikan gitaigo giongo baik dalam percakapan maupun dalam pembuatan kalimat tertulis. Ada dua penelitian yang berhubungan dengan analisis makna giatigo dan giongo dalam komik jepang. Penelitian Rizki Andini, S.Pd, M.Litt dan Dwi Anggoro Hadiutomo, S.S pada tahun 2005, dengan judul Peranan Kata Berkarakter Onomatope Sebagai penghidup Intensitas Gerakan dalam Wacana Jepang. Penelitian ini membahas mengenai kata berkarakter onomatope yang terdapat dalam komik Doraemon. Penelitian ini menggunakan teori onomatopoeic marker oleh Waida. Selain itu, penelitian skripsi Ratna Rahmawati Arini (2008), dengan judul Analisis Makna Onomatope pada Komik Crayon Shinchan Karya Yoshito Usui. Skripsi tersebut mengidentifikasi jenis onomatope yang menggambarkan aktivitas berjalan, berlari, makan, minum, bernafas, berbicara, tertawa, menangis. Kedua penelitian tersebut meneliti mengenai onomatope dalam komik. Namun objeknya berbeda. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Pertama, menyimak gitaigo dan giongo yang terdapat dalam komik Inuyasha volume 1, dan mengklasifikasikannya sesuai dengan jenisnya. Kemudian, menganalisis data dengan menggunakan teori semantic dan fonestem. Terakhir, mengambil kesimpulan dari hasil analisis.

Studi Pendekatan
7

1. Makna leksikal Dedi Sutedi (2008:115) menyatakan bahwa Makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indra dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. Misalnya, pada kata sutasuta dalam komik Inuyasha volume 1 halaman 129, menurut atouda toshiko dan hoshino kazuko (usage guide to Japanese onomatopoeias) memiliki makna keadaan berjalan dengan langkah kaki yang cepat dan pasti. 2. Makna kognitif Menurut Pateda (2001:109), Makna kognitif (cognitive meaning) atau makna deskriptif (descriptive meaning), adalah makna yang ditunjukkan oleh acuannya, makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia luar bahasa, objek atau gagasan, dan dapat dijelasakan berdasarkan analisis komponennya. Misalnya pada kata sutasuta dalam komik Inuyasha volume 1 halaman 129 yang digambarkan dengan adegan Kagome berberjalan meninggalkan Inuyasha dan memutuskan untuk pulang ke dunianya. 3. Fonestem Kridalaksana (2001:57), fonestem (phonaestheme) merupakan kombinasi bunyi yang diasosiasikan dengan sesuatu. Waida dalam bukunya English and Japanese Onomatopoeic Structures menyebutkan Kesimpulan

bahwa onomatopoeic marker ada 4, yaitu hatsuon, sokuon, -ri, dan bentuk pengulangan kata dasar. 4. Onomatope bahasa Jepang Sementara itu, dalam Japan an Illustrated Encyclopedia 2 (1993:1154), tertulis bahwa: Japanese terminology makes a distinction between two types of onomatopoeia. Giseigo (also called giongo) are words that imitate sounds as do the English cackle, hiss, and sizzle. Gitaigo are words that use sound to express an abstract quality or condition, the manner in which something is done, or a subjective feeling as do the English drizzle, waddle, flutter, flash, and tingle. Terminologi bahasa Jepang membuat perbedaan antara dua jenis onomatope. Giseigo (atau yang juga disebut giongo) adalah kata yang menirukan bunyi seperti dalam bahasa Inggris cackle berkotek, hiss bersiul, dan sizzle mendesis. Gitaigo adalah kata yang menggunakan bunyi untuk mengekspresikan kondisi atau kuallitas abstrak, sikap atau cara melakukan sesuatu, atau perasaan seperti dalam bahasa Inggris drizzle hujan gerimis, waddle berjalan terhuyunghuyung, flutter gerakan cepat tidak teratur, flash cepat, dan tingle kesemutan.

A. Hasil Analisis Gitaigo dan Giongo yang Mengekspresikan Gerakan Cepat Jenis Giongo Gitaigo Frekuensi Makna No Onomatope Kemunculan ekspresi perubahan Sasat(su) gerakan dengan cepat 1 dan secara tiba-tiba 1 Sutasuta ekspresi berjalan dengan cepat dan pasti 2 () 2

Vol./ Hal.

Pelaku

I/65 I/129

Kagome Kagome 8

ekspresi perubahan gerakan dengan cepat dan secara tiba-tiba 1 ekspresi gerakan reflek dan sigap 5

I/130

Kagome

3 4

Dodot(su) () Bat(su) ()

I/41 I/15 I/107 I/135 I/171 I/171 I/45 I/133 I/55 I/65 I/66 I/68

Mukade Jr Sta Kagome Kagome Kagome Inuyasha Kagome Penduduk desa Inuyasha Inuyasha Inuyasha Inuyasha Inuyasha dan Kagome Inuyasha Inuyasha Sakasaga mi No Yura Inuyasha Inuyasha Kagome Inuyasha dan Kagome

ekspresi gerakan 2 bertebaran keluar ekspresi perubahan 12 gerakan dengan cepat dan secara tiba-tiba

I/106 I/108 I/110

I/138 I/153 I/162 I/177

I/180 Babat(su) () mengekspresikan gerakan bertebaran keluar 1 ekspresi gerakan reflek dan sigap 1 ekspresi perubahan gerakan dengan cepat dan secara tiba-tiba 1 ekspresi bunyi angin yang bertiup kencang 2 melalui celah yang sempit

I/88 I/174

Perampok Inuyasha

I/175 I/83

Inuyasha Angin Penduduk desa 9

Hyu( )

I/131

ekspresi bunyi angin yang bertiup kencang 5 I/122 I/130 I/104 I/166 I/172 Angin Angin Angin Angin Angin Penduduk desa Perampok Penduduk desa Penduduk desa Inuyasha

7 8

Hyunhyun ( ) Bun ( )

ekspresi benda yang melaju dengan kencang ekspresi mengayun cepat 1 bunyi dengan 4 I/27 I/96 I/133 I/142 I/176

Bunbun ( )

ekspresi mengayun cepat

bunyi dengan 1 I/30 Kagome

B. Hasil Analisis Gitaigo dan Giongo yang Mengekspresikan Gerakan Jatuh Jenis Giongo Gitaigo Frekuensi Makna No Onomatope Kemunculan Zat(su) ekspresi bunyi jatuh atau turun ( ) 1 5 ekspresi bunyi gerakan mengalir dengan cepat 8

Vol./ Hal. I/21 I/41 I/82 I/110 I/153 I/65

Pelaku Kagome Penduduk desa Kagome Inuyasha Inuyasha Inuyasha Inuyasha dan Kagome Kagome Kagome Sakasaga mi No Yura Inuyasha Inuyasha Sakasaga mi No 10

I/99 I/133 I/135

I/138 I/141 I/147 I/153

Yura 2 3 4 Zudo () Zudot(su) () Doka () ekspresi bunyi roboh 1 ekspresi bunyi roboh 1 ekspresi bunyi jatuh atau turun 2 5 6 7 Dosat(su) () Dosadosa () Dosha () Doshat(su) () Dododo () Don () ekspresi bunyi jatuh atau turun 1 ekspresi bunyi jatuh atau turun 1 ekspresi bunyi roboh 1 ekspresi bunyi jatuh dibanting atau dilempar 1 ekspresi bunyi jatuh atau turun 1 ekspresi bunyi jatuh dibanting atau 4 dilempar I/97 I/87 I/149 I/44 I/158 I/89 Inuyasha Pedang Penduduk desa Mukade Jr Inuyasha Perampok I/90 Perampok

8 9 10

I/31 I/65 I/87 I/90 I/108 I/143

Kuda Kagome Kagome Perampok Kagome Nenek Kaede Sakasaga mi No Yura Kagome Kagome Burung Mukade Jr Pasir Shibu Garasu

11

Batabata ()

ekspresi benturan antar keras ekspresi bunyi atau benda berkibar-kibar

bunyi benda 1 kain yang 2 I/174 I/128 I/128 I/135 I/58 I/63 I/108 I/67 I/125

12

Barabara ()

ekspresi bunyi jatuh benda ringan 1 ekspresi bunyi jatuh berserakan 3

13

Bita-n () Boroboro ()

ekspresi bunyi jatuh dibanting atau 2 dilempar ekspresi berserakan jatuh 1

14

Inuyasha Inuyasha Mukade I/44 Jr C. Gitaigo dan giongo yang mengekspresikan gerakan cepat dan gerakan jatuh dalam 11

komik Inuyasha volume 1 terdapat 8 gitaigo dan giongo yang termasuk dalam sokuon , 3 gitaigo dan giongo yang termasuk dalam hatsuon , 10 gitaigo dan giongo yang termasuk dalam kasane kotoba, 1 gitaigo dan giongo yang termasuk dalam akhiran vokal panjang, dan 4 gitaigo dan giongo yang termasuk dalam bentuk kata dasar.

Tarigan, Henry Guntur. 1995. Pengajaran Semantik. Bandung: PT. Angkasa. Tsujimura, Natsuko.1996. An Introduction to Japanese Linguistics. USA: Blackwell Publisher. Komik Takahashi, Rumiko. 1997. Inuyasha, volume 1. Tokyo: Shgakukan Inc. Takahashi, Rumiko. 1997. Inuyasha, volume 1 versi bahasa Indonesia. Terjemahan oleh E.P. Armanda. 2002. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Skripsi Rahmawati Arini, Ratna. 2008. Analisis Makna Onomatope pada Komik Crayon Shinchan Karya Yoshito Usui. Skripsi. Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya (belum diterbitkan). Penelitian Andini, Rizki dan Anggoro, Dwi. 2005. Peranan Kata Berkarakter Onomatope Sebagai Penghidup Intensitas Gerakan dalam Wacana Bahasa Jepang. Laporan Penelitian DIPA. Kamus Chang, Andrew C. 1990. A Thesaurus of Japanese Mimesis and Onomatopoeia: Usage by Categories ( ). Japan: Taishukan. Endarmoko, Eko. 2007. Tesaurus Bahasa Indonesia . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 12

Daftar Pustaka
Buku Chaer, Abdul. 2003. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantik 1. Bandung: PT. Eresco. Djajasudarma, Fatimah. 1999. Semantik 2. Bandung: PT. Eresco. Djajasudarma, Fatimah. 2006. Linguistik. Bandung: PT. Aditama. Metoda Refika

Hiroko, Yamamoto. 1993. Giseigo Giongo (Shou Chuukyuu). Japan: Senmon Kyouiku Publishing Co., Ltd. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Satoru, Akutsu. 1994. E de Wakaru Giongo Gitaigo. Jepang: ALC Press Japanese Textbook Series. Sudjianto dan Dahidi, Ahmad. 2004. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta : Kesaint Blanc. Sutedi, Dedi. 2008. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora. Tamori, Ikuhiro. 1993. Onomatopia Giongo Gitaigo no Rakuen. Tokyo : Keishoku.

Ono, Shuichi. 1984. A Pratical Guide To Japanese-English Onomatopea And Mimesis. Tokyo: Hokuseido Press. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka. Shigeo, Hinata. 1991. Giongo Gitaigo no Doku Hon (). Tokyo: Shgakukan. Tim Departemen Pendidikan Kebudayaan. 1993. Kamus Bahasa Indonesia . Jakarta: Pustaka. dan Besar Balai

Fonestem dalam http://www.wikipediathefreeencyclopedia.co m, 5 Juli 2010, referensi Firth, J. R. (1964 (1930, 1937)). The Tongues of Men, and Speech. London: Oxford University Press.

Toshiko, Atda dan Kazuko Hoshin. 1993. Usage Guide to Japanese Onomatopoeias ( ). Japan. Ensiklopedi Japan an Illustrated Encyclopedia , volume 2. 1993. Tokyo: Kodansha. Website Setyaningsih, Nina, Ikonisitas Gambar dan Caption -nya dalam Pemberitaan Kecelakaan Pesawat Garuda pada Harian Jawa Pos Edisi 8 Maret 2007, http://www.slideshare.net, 11 Juli 2010. Profile: Rumiko Takahashi The Princess of Manga dalam http://www.furinkan.com, 6 Juli 2010. Inuyasha dalam http://comics.shogakukan.co.jp/mangasho/ris. html, 6 Juli 2010. Inuyasha dalam http://www.animenewsnetwork.com/news/20 06-10-13/japan's-favorite-tv-anime, 6 Juli 2010. 13

Analisis Struktur Fukushiki Ryakugo pada Gairaigo dalam Kamus Kata Serapan Bahasa Jepang yang Disusun oleh Bachtiar Harahap (Kajian Morfologis)*
Oleh : Dian Nendra Permana* Abstract Abbreviations of longish words or phrases are found in almost all languages, include Japanese. The reason abbreviation process is to make easier in spelling a word. This phenomenon are found not only in wago (Japanese words), kango (Chinese word), but also in gairaigo (loanwords). In Japanese, abbreviation called by ryakugo. The interesting thing in abbreviation process is that words seem to be a new word. Which part is lost is the interesting part to be studied. Therefore, the writer wanted to answer these two questions. 1) In Kamus Kata Serapan Bahasa Jepang that arranged by Bachtiar harahap in 2006 which gairaigo that can be identified as fukushiki ryakugo is 2) By looking from the lost part of the word, how the structure of that ryakugo is. This research used descriptive qualitative method with fukushiki ryakugo as the object. Fukushiki ryakugo is abbreviation that made from phrase or two more words. This research also used Kindaichi's Ryakugo form theory approached. From the analysis that had been done, it can be concluded that in the Kamus Kata Serapan Bahasa Jepang, there are 495 words that identified as ryakugo. 254 of those 495 ryakugo were included in tanshiki ryakugo, besides 241 were included in fukushiki ryakugo. From that fukushiki ryakugo, 218 ryakugo are made from two words, 22 ryakugo are made from three words, and one ryakugo is made from four words. From fukushiki ryakugo that made from two words, 16 structures of abbreviation were identified. Then, in ryakugo that made from three words, 9 structures were identified and the last from fukushiki ryakugo that made from four words, only one structure was identified. Keyword: gairaigo, ryakugo, kata serapan.

Pendahuluan
Bahasa adalah suatu perantara dalam menyampaikan ide, pikiran, serta keinginan
*Artikel ini dibuat berdasarkan Skripsi berjudul Analisis Struktur Fukushiki Ryakugo pada Gairaigo dalam Kamus Kata Serapan Bahasa Jepang yang Disusun oleh Bachtiar Harahap (Kajian Morfologis) ** Mahasiswa Sastra Jepang (2006) Email penulis: diannendra@gmail.com 2

terhadap orang lain. Perbedaan bahasa tentu berpengaruh dalam kosakata. Ada kalanya kosakata dalam suatu bahasa tertentu tidak terdapat dalam bahasa lain dan tidak dapat dicari padanan katanya. Dalam keadaantersebut, suatu bangsa tidak punya cara lain kecuali meminjam kosakata asing tersebut, baik secara utuh maupun secara sebagian dan tidak jarang kata-kata pinjaman

14

tersebut diserap menjadi kata-kata serapan yang terbiasa dipakai sehari-hari. Kata serapan dalam bahasa Indonesia, atau loanword dalam bahasa Inggris, ataupun gairaigo dalam Bahasa Jepang tidak diserap begitu saja atau tidak bisa langsung dipakai sesuai bentuk aslinya, melainkan mengalami perubahan bentuk penulisan dan cara pengucapan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor sulitnya memahami kata-kata serapan dalam suatu bahasa. Setiap kata asli Bahasa Jepang pada umumnya diakhiri dengan bunyi vokal, kecuali pada kata-kata Bahasa Jepang yang diakhiri dengan fonem /N/ atau konsonan . Hal ini berdampak adanya penambahan bunyi vokal di akhir konsonan gairaigo yang dalam bahasa asalnya tanpa vokal, misalnya dalam kata bahasa Inggris accent akan menjadi akusento atau kata report yang menjadi repooto, bahkan untuk kata-kata yang pada bahasa asal diucapkan hanya dengan satu silabis seperti kata bahasa Inggris strike berubah menjadi sutoraiku () yang memiliki lima silabis3. Sudah menjadi sifat manusia untuk menempuh jalan tercepat dalam pencapaian suatu tujuan. Demikian pula dalam bahasa, apabila terdapat kata-kata yang dirasa terlalu panjang maka akan dicari cara untuk menyampaikannya sesingkat mungkin tanpa mengurangi makna yang dimaksud. Fenomena ini terjadi dalam semua bahasa tidak terkecuali gairaigo Bahasa Jepang. Kata-kata yang pengucapannya dirasa terlalu panjang akan mengalami pemendekan atau penyingkatan sehingga dapat dengan mudah diucapkan atau diutarakan tanpa mengurangi artinya. Hasil dari proses pemendekan ini disebut dengan kependekan atau singkatan. Dalam kamus Shinmeikai kanwa jiten ( ) edisi ketiga (1986:851), bahasa yang dipersingkat dengan memotong sebagian dari kata tersebut disebut dengan ryakugo (). Proses pemendekan ini juga
3

terkesan terjadi dengan cara manasuka antara bagian mana yang hilang atau tidak dalam proses pemendekan. Gairaigo yang mengalami pemendekan misalnya dari kata Inggris multiple choice dan diserap menjadi marutipuru choisu ( ), kemudian mengalami pemendekan menjadi maruchoi ( ). Hal yang menarik dalam pemendekan gairaigo adalah kata-kata tersebut seolaholah menjadi kata baru, bahkan sama sekali terdengar asing, khususnya ryakugo yang berasal dari kata majemuk atau kata gabungan (fukushiki ryakugo ). Namun apabila ryakugo tersebut diuraikan menurut bentukan sebelumnya, makna dari gairaigo ini langsung dapat dimengerti, seperti pada kata pasokon ( ) yang merupakan hasil pemendekan dari kata gabungan pasonaru konpyuutaa ( ), yang berasal dari kata Inggris personal computer. Mana bagian yang hilang atau tidak dalam proses pemendekan kata merupakan hal yang menarik untuk diteliti dan dicari strukturnya. Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud untuk meneliti struktur kata singkatan (ryakugo) yang sebelumnya merupakan gabungan kata atau kata majemuk pada kata serapan asing dalam Bahasa Jepang (gairaigo), terutama jika dilihat dari kata atau bagian kata yang dihilangkan, dengan judul penelitian Analisis Struktur Fukushiki Ryakugo pada Gairaigo dalam Kamus Kata Serapan Bahasa Jepang yang disusun oleh Bachtiar Harahap.

Isi
Ryakugo adalah kata atau frase yang telah disingkat atau dipendekkan. (Kindaichi, 1988:539) Tujuannya adalah untuk mempermudah pelafalan, namun selain itu juga dapat sebagai bahasa slang (rahasia) yang sengaja dibuat sulit 15

Silabis dalam bahasa Jepang disebut onsetsu ( ), dalam bahasa Indonesia identik disebut dengan suku kata. (Sutedi, 2008:40)

dimengerti, menarik, dengan kata lain juga bertujuan untuk memperkuat rasa kesetiakawan. Kindaichi (1988:539) menyebutkan bahwa jika ryakugo digolongkan menurut bagian yang dihilangkan atau dipotong atau dipendekkan, maka terdapat 3 golongan yaitu tanshiki shouryaku ( ), fukushiki shouryaku (), dan bentuk khusus. 1. Tanshiki shouryaku () Tanshiki shouryaku adalah penyingkatan yang terjadi pada kata tunggal (tango/). Tanshiki shouryaku ( ) sendiri dibagi menjadi 4 yaitu jouryaku ( ), chuuryaku ( ), geryaku ( ), dan jougeryaku (). 1.1. Jouryaku () Jouryaku () adalah penyingkatan dengan menghilangkan bagian depan dari suatu kata. Contoh: kata tomodachi ) disingkat dengan menghilangkan bagian depan yaitu tomo ( ) sehingga terbentuk ryakugo dachi ( ) yang berarti teman. Kata gakkouchou disingkat dengan menghilangkan bagian depannya yaitu gaku ( ) sehingga terbentuk ryakugo kouchou ( ) yang berarti kepala sekolah. Ada juga kata Inggris platform yang dalam bahasa Jepang disebut purattohoomu ( ) disingkat menjadi hoomu ( ). arubaito ( ) disingkat menjadi baito (). 1.2. Chuuryaku () Chuuryaku ( ) adalah penyingkatan dengan menghilangkan bagian tengah dari suatu kata. Misalnya kata gyouseikaikaku ( ) disingkat dengan menghilangkan bagian tengahnya seikai ( ) sehingga

menjadi gyoukaku (). Ada juga kata koutougakkou ( ) yang disingkat menjadi koukou ( ). Contoh kata Inggris yang disingkat dengan cara ini adalah achievement test yang dalam bahasa Jepang menjadi achiibumento tesuto ( ) yang disingkat menjadi atesuto (). 1.3. Geryaku () Geryaku ( ) adalah penyingkatan dengan menghilangkan bagian belakang dari suatu kata. Misalnya kata gyuukou ressha ( ) yang disin kat dengan menghilangkan bagian belakangnya sehingga menjadi gyuukou ( ). Ada juga kata Inggris deflation yang dalam bahasa Jepang menjadi defureeshon ( ) dan disingkat hanya menjadi defure (). 1.4. Jougeryaku () Jougeryaku ( ) adalah penyingkatan dengan menghilangkan bagian depan dan belakang dari suatu kata. Misalnya adalah kata (ichientakushii) ( ) yang disingkat dengan menghilangkan bagian depan dan belakangnya sehingga menjadi entaku (). 2. Fukushiki shouryaku () Fukushiki shouryaku adalah penyingkatan yang terjadi pada gabungan dua kata atau lebih (fukugougo / ). Penyingkatan ini dibagi menjadi dua kategori yaitu yang terjadi di dalam kata/frase dan yang terjadi di dalam kalimat. 2.1. Di dalam Kata/Frase Misalnya kata nyuugaku shiken ( ) ujian masuk merupakan gabungan dua kata yaitu kata nyuugaku dan kata shiken yang kemudian disingkat 16

menjadi satu kata yaitu nyuushi (). Selain itu, kata Inggris remote control yang diserap dalam bahasa Jepang menjadi rimooto kontorooru ( ), kemudian juga disingkat menjadi rimokon (). 2.2. Di dalam Kalimat Penyingkatan di dalam kalimat biasanya merupakan penyingkatan dari sebuah peribahasa. Misalnya : umi ni sennen yama ni sennen ( ) disingkat menjadi umi sen yama sen ( ) yang berarti orang yang banyak pengalaman, pintar dan curang. Dalam Kamus gairaigo ini, ditemukan 495 kata yang merupakan ryakugo. 254 kata termasuk dalam tanshiki ryakugo sedangkan sisanya 241 kata termasuk dalam fukushiki ryakugo. Dari data fukushiki ryakugo yang telah terkumpul, terdapat 218 ryakugo yang terbentuk dari dua kata, 22 ryakugo yang terbentuk dari tiga kata dan satu ryakugo yang terbentuk dari empat kata. Berikut ini adalah struktur yang ditemukan. 1. Ryakugo yamg terbentuk dari dua kata Terdapat 16 macam struktur yang ditemukan dalam kata singkatan seperti ini. Yang terbanyak adalah penyingkatan dengan struktur kata pertama dan kata kedua mengalami geryaku. Seperti di bawah ini: - engine stop = - commercial song = Terbanyak kedua adalah struktur kata pertama utuh, kata kedua mengalami geryaku, misalnya seperti di bawah ini: -

no brassiere = - air conditioning = + Terbanyak ketiga adalah struktur kata pertama mengalami geryaku dan kata kedua utuh. Seperti contoh: - television set = - eucalyptus oil = 2. Ryakugo yang terbentuk dari tiga kata Terdapat 9 macam struktur yang ditemukan dalam ryakugo seperti ini. Yang terbanyak adalah struktur kata pertama utuh, kata kedua utuh, kata ketiga hilang. Misalnya: - cross word puzzle - semi evening dress 3. kata Hanya ditemukan sebuah struktur untuk ryakugo seperti ini, karena hanya ada satu ryakugo yang ditemukan. Yaitu struktur kata pertama dan kata kedua mengalami geryaku, kata ketiga hilang, kata keempat utuh. hop, step and jump ++ + 17 Ryakugo yang terbentuk dari 4

Kesimpulan
1. Dalam Kamus Kata Serapan Bahasa Jepang yang menjadi sumber data dari penelitian ini, terdapat 495 ryakugo yang teridentifikasi dan memiliki rujukan ke bentuk sebelumnya. 2. Dari 495 ryakugo yang teridentifikasi terdapat dua kategori yaitu kategori tanshiki ryakugo dan fukushiki ryakugo. Ryakugo yang masuk dalam kategori tanshiki ryakugo berjumlah 254 ryakugo, sedangkan ryakugo yang masuk dalam kategori fukushiki ryakugo berjumlah 241 ryakugo. Berikut adalah grafik persentase jumlah tanshiki ryakugo dan fukushiki ryakugo yang ditemukan. 3. Terdapat tiga jenis Fukushiki Ryakugo yang ditemukan dalam sumber data, yaitu fukushiki ryakugo yang terbentuk dari dua kata gabungan, fukushiki ryakugo yang terbentuk dari tiga kata gabungan dan fukushiki ryakugo yang terbentuk dari empat kata gabungan. 4. Dari 281 kata yang termasuk dalam kategori fukushiki ryakugo yang terbentuk dari dua kata gabungan, terdapat 16 struktur yang teridentifikasi. 16 struktur tersebut adalah: Struktur fukushiki ryakugo yang terbentuk dari dua kata gabungan Struktur Ryakugo Kata Pertama Hilang dan Kata Kedua mengalami Jouryaku dan Chuuryaku Kata Pertama Utuh dan Kata Kedua Hilang Kata Pertama Utuh dan Kata Kedua mengalami Jouryaku Jumlah

Kata Pertama Utuh dan Kata Kedua mengalami Geryaku Kata Pertama Utuh dan Kata Kedua mengalami Chuuryaku dan Geryaku Kata Pertama dan Kata Kedua mengalami Jouryaku Kata Pertama mengalami Chuuryaku dan Kata Kedua Utuh Kata Pertama mengalami Chuuryaku dan Kata Kedua mengalami Jouryaku dan Chuuryaku Kata Pertama mengalami Chuuryaku dan Kata Kedua mengalami Geryaku Kata Pertama mengalami Geryaku dan Kata Kedua Hilang Kata Pertama mengalami Geryaku dan Kata Kedua Utuh Kata Pertama mengalami Geryaku dan Kata Kedua mengalami Jouryaku Kata Pertama mengalami Geryaku dan Kata Kedua mengalami Geryaku Kata Pertama mengalami Chuuryaku dan Geryaku, Kata Kedua mengalami Geryaku Kata Pertama mengalami Jougeryaku dan Kata Kedua Utuh Bentuk Perkecualian 1

52

1 1

22

75

1 19

5. Dari 22 kata yang termasuk dalam kategori fukushiki ryakugo yang terbentuk dari tiga kata gabungan, ditemukan sembilan struktur fukushiki ryakugo. Sembilan struktur tersebut adalah: Struktur fukushiki ryakugo yang terbentuk dari tiga kata gabungan 18

Struktur Ryakugo Kata Pertama Hilang, Kata Kedua dan Kata Ketiga Utuh Kata Pertama Utuh, Kata Kedua Hilang, Kata Ketiga Utuh Kata Pertama Utuh, Kata Kedua Hilang, Kata Ketiga mengalami Jouryaku Kata Pertama Utuh, Kata Kedua Hilang, dan Kata Ketiga mengalami Geryaku Kata Pertama dan Kata Kedua Utuh, Kata Ketiga Hilang Kata Pertama dan Kata Kedua Utuh, Kata Ketiga mengalami Geryaku Kata Pertama Utuh, Kata Kedua mengalami Geryaku, Kata Ketiga Hilang Kata Pertama Utuh, Kata Kedua mengalami Geryaku, Kata Ketiga Utuh Kata Pertama dan Kata Kedua mengalami Geryaku, Kata Ketiga Utuh

Jumlah

Struktur Internal, Pemakaian, dan Pemelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Metoda Linguistik. Bandung: PT Refika Aditama Hasan, M. Iqbal. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya . Jakarta: Ghalia Indonesia Kato, Akihiko. 2000. Nihongo Gaisetsu. Tokyo: Kyoshinsha Insatsujo Kindaichi, Haruhiko. Hayashi, Oki dan Shibata Takeshi. 1988. An Encyclopedia of Japanese Language. Tokyo: Taishukan Publishing Company Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Edisi Kedua. Jakarta: PT Gramedia Jakarta Sudjianto, dan Ahmad Dahidi. 2004. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta: Kesaint Blanc Sutedi, Dedi. 2008. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora The Japan Foundation. 1982. Nihongo Kana Nyuumon ( ). Jakarta: Nasco Jaya Tsujimura, Natsuko. 1999. An Introduction to Japanese Linguistics. Oxford: Blackwell Publisher Inc Kamus Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Harahap, Bachtiar. 2006. Kamus Kata Serapan Bahasa Jepang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 19

6. Hanya ditemukan satu struktur dalam Fukushiki ryakugo yang terbentuk dari empat kata gabungan, yaitu: Struktur fukushiki ryakugo yang terbentuk dari empat kata gabungan Struktur Ryakugo Kata Pertama mengalami Geryaku , Kata Kedua mengalami Geryaku , Kata Ketiga hilang, dan Kata Keempat Utuh Jumlah

Daftar Pustaka
Buku Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa:

Matsuura, Kenji. 1994. Kamus Bahasa Jepang-Indonesia . Kyoto: Kyoto Sangyo University Press Morioka, Kenji. 1993. Shuueisha Kokugo Jiten . Tokyo: Kabushiki Gaisha Shuueisha Motwani, Prem. 1993. A Dictionary of Abbreviations and Truncations. Tokyo: Maruzen Co., Ltd Nagasawa, Kikuya. 1986. Shinmeikai Kanwa Jiten. Tokyo: Sanseido Skripsi Masyiyani, Umih. 2006. Penggunaan Gairaigo yang Memiliki Padanan kata dalam Bahasa Jepang pada Nihongo Jurnal Edisi Desember 2004 dan Januari 2005. Surabaya: Unesa Press Website http://dictionary.goo.ne.jp, 20 Januari 2011. http://www.everything2.com/title/gairaigo, 14 Desember 2010. Kemmer, Suzanne. Loanword Major Periods of Borrowing in the History of English dalam http://www.ruf.rice.edu/~kemmer/Words/lo anword s.html, 22 September 2009 Marbun, Edwind Desmond. 2006. Analisis Kemampuan Mahasiswa dalam Memaknai Gairaigo Bahasa Jepang (Penelitian Terhadap Mahasiswa Tingkat II Fakultas Sastra Jurusan Sastra Jepang Universitas Komunikasi Angkatan Tahun 2004/2005), dalam http://abstrak.unikom.ac.id, 4 Maret 2010. Margaret Pine OTAKE. 2008. Gairaigo Remodelling Language to Fit Japanese.

dalam www.tsu.ac.jp/bulletin/pdf/15/087101.pdf, 22 September 2009

20

Analisis Tokoh Aku dalam Novel Tanin no Kao Karya Kobo Abe (Sebuah Kajian Filsafat Eksistensial)*
Oleh : Marlia Kristian Sari** Abstract Human beings are basically individuals who may experience a sense of loneliness and alienation as humance possibility , and there is existence in human beings themselves, but what kind of existence offered by Kobo Abe through the figure of I in the novel Tanin No Kao became interesting to study. This research is analyzing the figure of I in Tanin no Kao by Kobo Abe with statement of problems as follow: 1. What are the forms of alienation that happens to the figure of I in the novel Tanin No Kao by Kobo Abe; 2. What are the forms of existence which is shown by the figure of I in the novel Tanin No Kao by Kobo Abe? This research method uses a novel research object called Tanin No Kao. This research will use Indonesian translation version translated by Henry Eko Yulianto and Japanese language version as the main reference. This study aims to describe the alienation that occurs in figure of I and Outlining the existence which is shown by the figure of I in the novel Tanin No Kao by kobo abe. This research will use the concept of alienation suggested by Riesman and existential philosophy of Martin Heidegger. The use of existential theory is grounded in human concept open to his world and for others, according to Heidegger openness based on three things are important, which indicates the existence of human being, namely Befindlichkeit, Verstehen, and Rede. Keywords: Alienation, existence, Befindlichkeit, Verstehen, and Rede

Pendahuluan4
Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Rene Wellek dan Austin Warren, 1993:3). Sastra merupakan hasil kebudayaan, serta memberikan wawasan yang lebih umum tentang masalah manusia tentang masalah manusiawi, sosial, ataupun intelektual. Penggarapan kesusasteraan dapat menimbulkan keasingan, memberi pandangan baru yang tak terduga terhadap kenyataan yang tergambar dan menggugah cara pengamatan yang segar(Luxemburg,1989:20).

Pembahasan
Hubungan karya sastra dan pemikiran sangat terkait, karena karya sastra sebagai proses kreatif pengarang akan selalu dipengaruhi oleh perasaan, pengalaman dan pemikiran yang dianut oleh pengarang. Pengarang menciptakan suatu realita-realita masyarakat dalam karya sastra, khususnya novel. Hubungan karya sastra dan pemikiran ini dalam dunia kesusasteraan Jepang diwakili oleh salah satu sastrawan Jepang yang lahir di akhir jaman Taisho dan besar di jaman Showa (1924 -1993 ) yaitu Kobo Abe. Ia telah melahirkan banyak karya sastra, diantaranya Owarishi Michi No Shirube Ni (Plang Lalu-Lintas di ujung jalan) yang 21

*Artikel ini dibuat berdasarkan Skripsi berjudul Analisis Makna Gitaigo Dan Giongo yang Mengekspresikan Gerakan Cepat dan Gerakan Jatuh dalam Komik Inuyasha **Mahasiswa Sastra Jepang (2006) Email penulis: marlia_sr@yahoo.com

diterbitkan pada tahun 1948. Selanjutnya Ia juga menulis Daiyon Kampyoki yang diterbitkan pada tahun 1959, Sunna No Onna yang diterbitkan pada tahun 1962 dan Tanin No Kao pada tahun 1964. Dari sekian banyak karya Kobo Abe hanya novel Tanin No Kao yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Novel Tanin No Kao diterjemahkan oleh Wawan Eko Yulianto ke dalam bahasa Indonesia dari versi bahasa Inggris dengan judul The Face Of Another pada tahun 2008. Pemikiran Kobo Abe dalam novel Tanin No Kao pernah dikemukakan oleh Howard Hibbert yang ditulis di sampul depan buku The Face Of Another berikut ini: Kemungkinan dari alegori eksistensial ini sangat utuh dan terwujud begitu hidup. Minat intelektual yang kaya di novel ini terus terjaga tanpa melemahkan drama yang mendebarkan dan mengharukan. (Kobo Abe , 2008) Dari kutipan di atas jelas terlihat Howard Hibbert menyatakan bahwa Kobo Abe memasukkan pemikirannya ke dalam novelnya. Namun pemikiran eksistensial yang dikemukakan oleh Howard Hibbert tidak dijelaskan dengan lebih detail. Dalam novel Tanin No Kao, Kobo Abe menampilkan tokoh aku yang merupakan seorang kepala bagian dari sebuah laboratorium ternama. Saat tokoh aku sedang melakukan percobaan kimia di laboratorium tersebut, terjadi suatu ledakan yang mengakibatkan wajahnya rusak, dan penuh luka keloid. Kemanapun pergi, ia selalu memakai perban, sehingga terlihat menyeramkan. Karena kecerdasan dari tokoh aku, ia berusaha untuk menciptakan topeng yang seasli wajah manusia, hingga tidak ada seorang pun yang menyadarinya. Dengan wajah barunya, ia berusaha menjadi sosok orang lain, agar istrinya tidak menyadarinya. Namun, semua usaha tokoh aku itu sia-sia, karena sejak awal istrinya sudah mengetahuinya. Tokoh aku dengan wajah yang dapat dikatakan telah cacat, mengalami berbagai macam hal, mulai dari

merasa terasingkan oleh lingkungan, kehilangan rasa cinta dari istrinya, hingga berusaha untuk membuat suatu topeng yang dapat menutupi wajah aslinya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya individu yang dapat mengalami suatu rasa kesepian dan keterasingan sebagai kemungkinan manusiawi, dan terdapat eksistensi dalam diri manusia itu sendiri, namun eksistensi seperti apakah yang ditawarkan oleh Kobo Abe melalui tokoh aku dalam novel Tanin No Kao menjadi begitu menarik untuk diteliti. Bertitik tolak dari hal tersebut, penelitian ini memanfaatkan tinjauan filsafat eksistensial, dan sebagai obyek penelitian, akan digunakan versi terjemahan Bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Wawan Eko Yulianto dan versi bahasa Jepangnya sebagai acuan utama. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: (1). Bagaimana bentuk alienasi yang terjadi pada tokoh aku dalam novel Tanin No Kao karya Kobo Abe? (2). Bagaimana bentuk eksistensi yang diperlihatkan oleh tokoh aku dalam novel Tanin No Kao karya Kobo Abe? Penelitian Analisis Tokoh Aku Dalam Novel Tanin No Kao Karya Kobo Abe, bertujuan untuk mendeskripsikan alienasi atau keterasingan yang terjadi pada tokoh aku dalam novel Tanin No Kao karya Kobo Abe, dan menguraikan eksistensi yang diperlihatkan oleh tokoh aku dalam novel Tanin No Kao karya Kobo Abe. Manfaat Praktis dari penelitian adalah sebagai media untuk menambah pengetahuan mengenai karya sastra yang terkait dan sebagai pustaka tambahan untuk koleksi penelitian karya sastra. Sedangkan Manfaat Teoritisnya adalah mengetahui dan memahami tokoh dalam karya sastra sebagai suatu pendekatan terhadap manusia dengan menggunakan salah satu pemikiran dalam filsafat, yakni filsafat eksistensial. Landasan Teori dalam penelitian ini menggunakan konsep alienasi dan eksistensi yang ada pada diri manusia. Menurut Kamus Besar Indonesia Kontemporer (1991:43), 22

alienasi mengandung pengertian: Keadaan terasing atau terisolasi; Pengasingan diri dari suatu kelompok atau masyarakat; Pengalihan jabatan atau hak milik kepada orang lain. Menurut Kamus Lengkap Psikologi J.P. Chaplin (1981:18), alienasi atau alienation: (keasingan, alienasi, rasa asing; penyakit jiwa, kegilaan); Perasaan keterasingan, rasa terlepas, terpisah; Ketiadaan rasa hangat atau relasi persahabatan dengan orang lain; (Eksistensialisme) keterpisahan seseorang dari Aku sebenarnya, disebabkan oleh keasyikannya terhadap abstraksi-abstraksi dan kebutuhan untuk konformitas terhadap kemauan dan harapan orang lain serta ketentuan-ketentuan dari lembaga sosial. Keterasingan dan rasa terasingnya manusia zaman sekarang terhadap diri sendiri merupakan tema pokok yang mendominir bagi kaum eksistensialis; Istilah lama bagi penyakit mental, terutama sekali kita jumpai dalam tulisan-tulisan kedokteran yang resmi. Kesepian bersumber pada kekosongan jiwa, dan kesepian itu dialami oleh individuindividu dengan berbagai bentuk perasaan yang mengikutinya: rasa jenuh, takut, gelisah(Koeswara E, 1987:16). Menurut May 5 dialami secara luas oleh individu individu masyarakat modern sebagai akibat langsung dari kekosongan, keterasingan dari sesama dan dari sendiri: Individu-individu masyarakat modern, seperti dinyatakan oleh Andre Gide, menderita ketakutan atas kesendirian (Koeswara E, 1987:16). Individu masyarakat modern merasa mendapat penolakan dari orang lain, dan memiliki keinginan yang begitu kuat untuk mendapat pengakuan atas keberadaannya, atau dengan kata lain dapat diterima oleh orang lain. Seperti yang dijelaskan di awal, penelitian ini menggunakan tinjauan filsafat eksistensial, yaitu filsafat eksistensial Martin

Heidegger 6 . Penggunaan teori tersebut berpijak pada konsep manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Menurut Heidegger keterbukaan bersumber pada tiga hal yang penting, yang menunjukkan eksistensi manusia, yaitu Befindlichkeit, Verstehen, dan Rede. Eksistensi berasal dari kata existere, eks yang berarti keluar, dan sistere yang berarti ada atau berada. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa eksistensi adalah sesuatu yang sanggup keluar dari dirinya sendiri atau sesuatu yang mampu melampau dirinya sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari hanya manusia yang memiliki ciri exixtere. Manusia sadar bahwa dirinya ada. Di dalam dunia manusia menentukan keadaannya dengan perbuatan-perbuatannya. Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menemukan pribadinya dengan seolah-olah keluar dari dirinya sendiri dan menyibukkan diri dengan apa yang diluar dirinya. Ia menggunakan benda-benda yang disekitarnya. Dengan kesibukannya itulah manusia menemukan dirinya sendiri dengan keluar dari dirinya dan sibuk dengan dunia di luarnya (Hadiwijono Harun, 1980:148). Martin Heidegger merupakan salah satu tokoh filsafat eksistensialisme, ia lebih dikenal sebagai pencipta dan pencetus aliran filsafat eksistensial. Heidegger mengatakan bahwa manusia modern telah dihinggapi suatu gejala yang disebut lupa akan makna ada. Pada tingkat kehidupan sehari-hari, lupa akan makna ada bisa kita amati dari gejala rutinitas dan kedangkalan hidup manusia, yang ditandai oleh ketidakontentikan dalam menjalankan tugas eksistensinya. Ketidakontentikan dan lupa akan makna, mengandung pengertian bahwa manusia tidak menjalani eksistensi yang sebenarnya, tidak mengikuti kata hatinya dan
6

Rollo May (21 April 1909-Oktober 1994) adalah seorang psikolog eksistensial paling terkenal dari Amerika. Oberlin College di Ohio adalah tempat di mana ia menerima gelar sarjana nya. Ia melakukan penafsiran ulang dan penyebutan istilah-istilah baru terhadap istilah-istilah lama dalam eksistensialisme.

Martin Heidegger (26 September 1889-26 Mei 1976) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl (penggagas fenomenologi) dan kemudian menjadi profesor di sana pada tahun 1928. Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap filsafat eksistentialisme.

23

hanya menjalani hidup berdasarkan rutinitasnya saja. Heidegger berusaha untuk menjawab makna ada tersebut, oleh karena itu filsafat Heidegger disebut ontologi fundamental (ilmu dasar tentang makna ada). Dalam penyelidikannya itu Heidegger mengarahkan pada makna ada yang mengada di situ, yaitu eksistensi manusia. Filasafat Heidegger merupakan bagian dari eksistensialisme. Ontologi fundamental atau analisis eksistensialnya, yang mengungkap cara-cara manusia dalam bereksistensi. Menurut Heidegger, memikirkan tentang ada itu merupakan sasaran yang paling penting dalam filsafat. Manusia itu tidak hanya ber-ada di dalam dunia ini, tetapi juga menghadapi dunia, manusia mengerti arti dan benda-benda yang dihadapinya. Manusia juga mengerti bahwa hidup mempunyai arti berbuat dan menjalankan arti. Semua hal itu menunjuk pada suatu pengertian bahwa manusia merupakan subyek, dan benda-benda merupakan obyek. Manusia sebagai subyek, artinya manusia sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan obyek-obyek yang dihadapinya. Sebaliknya benda-benda dikatakan obyek karena terletak dihadapan kita, dan tidak menyadari akan dirinya sendiri, sehingga tidak bereksistensi. Menurut Heidegger, harus dibedakan antara berada (sein ) dan yang berada (seiende). Seiende hanya berlaku bagi bendabenda dan bersifat vorhanden, maksudnya hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu. Benda-benda itu hanya berarti jika dihubungkan dengan manusia. Sedangkan sein dimengerti sebagai beradanya manusia. Dasein berasal dari kata da yang berarti di situ, sedangkan sein mengandung pengertian ada, sehingga pengertian dasein adalah ada yang mengada di situ, yang dimaksud oleh Heidegger tidak lain adalah mengadanya manusia. Dasein manusia disebut juga eksistensi. Manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya, menurut Heidegger keterbukaan bersumber pada tiga hal yang penting, yang menunjukkan eksistensi manusia, yaitu : (1). Befindlichkeit atau

kepekaan. Befindlichkeit atau kepekaan ini diungkapkan dalam bentuk perasaan dan emosi (Hadiwijono Harun, 1980:152). Bahwa ketika sosok manusia dapat merasakan suatu perasaan senang, kecewa atau takut, itu adalah bentuk manusia berada di dalam dunia. (2). Verstehen atau mengerti, memahami. Verstehen berarti mengerti atau memahami, yang merupakan dasar dari segala pemikiran. Oleh karena itu, manusia merencanakan dan merealisasikan kemungkinankemungkinannya sendiri, dan sekaligus juga kemungkinan-kemungkinan dunia (Hadiwijono Harun, 1980:153). Dalam pengertian Verstehen di atas, manusia merencanakan dan merealisasi kemungkinankemungkinannya sendiri, hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk membuat suatu pilihan, untuk kemudian mewujudkan pilihan-pilihan itu. Hal ini termasuk cara berada manusia di dunia. (3). Rede atau kata-kata, atau hal berbicara Rede atau hal berbicara mewujudkan hal yang eksistensial bagi kemungkinan untuk berbicara dan berkomunikasi serta bagi bahasa (Hadiwijono Harun, 1980:153). Namun dalam hal ini, Dasein seringkali dikorbankan demi pendapat orang, demi apa yang dikatakan orang. Maka akibatnya, segala gagasan dan pendapat serta segala perbuatan manusia menjadi kabur, mengambang dan manusia kehilangan akarnya. Melalui teori eksistensial yang ditawarkan oleh Heidegger ini, peneliti akan dapat menguraikan dan menjelaskan eksistensi tokoh utama dalam novel Tanin No Kao. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang menekankan pada analisis isi (content analysis). Metode penelitian ini menggunakan obyek penelitian novel yang berjudul Tanin No Kao karya Kobo Abe. Novel tersebut mengungkap eksistensi serta alienasi atau keterasingan yang dialami tokoh aku setelah wajahnya hancur akibat ledakan di laboraturium.

24

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Alienasi yang terjadi pada tokoh aku, di awali oleh rasa kesepian, kemudian kekosongan jiwa dan berakhir pada rasa keterasingan atau alienasi. Bentuk alienasi yang terjadi pada tokoh aku adalah dengan menutup diri dan menghindarkan dirinya dari kontak sekecil apapun dengan orang lain. Hingga Tokoh aku merasakan kenyamanan dengan kesendiriannya, dan bahkan kenyamanan dengan benda mati dibandingkan dengan berada bersama orang lain. Pada dasarnya tokoh aku menjalani hidupnya dengan tenggelam di dalam rutinitasnya di laboratorium hingga tanpa sadar dia telah hidup tersita dengan dirinya sendiri, yang berakibat dirinya tidak mampu memahami istrinya dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh aku telah jauh menarik diri dari orang lain sebelum kerusakan wajahnya. 2. Bentuk eksistensi tokoh aku adalah eksistensi frsorge, suatu eksistensi yang menunjukkan bahwa manusia memelihara sesamanya, tidak menutup diri dari sesamanya. Tokoh aku berkomunikasi, beraktifitas dengan sesamanya dengan tidak lagi menutup dan menarik dirinya sendiri. Di dalam eksistensi ini terjadi perubahan motivasi pada diri tokoh aku, yakni keinginan untuk mengembalikan kembali jalan penghubung dengan istrinya melalui topeng telah berubah menjadi benci dan ingin membalas dendam terhadap istrinya.

Daftar Pustaka
Buku Abe, Kobo. 2008. The Face Of Another (Wajah Lelaki Lain). Cetakan pertama. Jakarta: Jalasutra. Abidin, Zaenal. 2009. Filsafat Manusia. Cetakan kelima. Bandung: PTREMAJA ROSDAKARYA. Atmosuwito, Subijantoro. 1989. Perihal Sastra dan Religiusitas Dalam Sastra. Bandung: Sinar Baru. Bal, Mieke, dkk. 1986. Pengantar Sastra. Jakarta : PT gramedia. Djoko, Rachmat.2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Endraswara, Suwardi.2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra . Cetakan pertama. Jakarta: Media Pressindo. Graham, Helen.2005. Psikologi Humanistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hadiwijono, harun.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: KANISIUS Henryk misiak dan Virginia Staudt sexton. 1988. Psikologi Fenomenologi Eksistensial dan Humanistik (Suatu Survai Historis). Bandung: PT ERESCO. Koeswara E.1987.Psikologi Eksistensial. Bandung: PT.ERESCO. Nurgiyantoro, Burhan.1998.Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta:Gadjah University Press. Ratna, Nyoman Kutha. S.U. 2007. Penelitian Sastra. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. Surajiyo. 2000. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Bandung: PT ERESCO 77. 1976 Kamus Chaplin, J.P . 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 25

Salim, peter dan Yenny Salim.. 1991. Kamus Besar Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern english press Website wajah sebagai topeng dalam http://www.Kompas.com, 15 Maret 2009

26

Situasi Tenaga Kerja di Jepang sebagai Penyebab Fenomena Parasit Single


Oleh : Palupi* Abstract As one of the world's most developed country, Japan has a specific progress in economy, technology and industry that can align its position with western countries. However, the progress does not guarantee that Japan will free from all kinds of problems from both natural and social disasters. One of the social problems that arise in Japan is the phenomenon of parasite single that hit among Japanese youth. The number of parasite single who appeared in Japan every year is always increasing. The increasing number of parasite singles every year is the reason that make this phenomenon widely studied. Key words: parasite singles, labor, economics, employment, youth

Pendahuluan7
Jepang merupakan salah satu negara maju yang mampu mensejajarkan posisinya dengan negara-negara barat dalam hal ekonomi, industri, dan teknologi. Akan tetapi, meski telah menjadi salah satu negara maju di dunia, Jepang tetap tidak terlepas dari berbagai masalah yang melanda negrinya baik berupa bencana alam atau sosial. Salah satu permasalahan sosial yang dihadapi saat ini adalah adanya fenomena parasite singleatau dalam bahasa Jepang disebut parasaito shinguru (). Parasite singleadalah sebutan yang ditujukan kepada seseorang yang telah mneyelesaikan kuliah, telah mendapat pekerjaan namun masih tinggal serumah dengan orang tua dan segala pokok kebutuhannya dipenuhi oleh orang tua (Yamada, 1999; 11) Sebenarnya fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Jepang saja, tapi di negara-negara lain juga ada namun dengan nama yang berbeda. Misalnya, di Amerika Serikat disebut twixter, sedangkan di Inggris disebut kipers (akronim dari kids in parents pockets erronding retirement saving yang berarti anak yang berlindung dan
*

Mahasiswa Sastra Jepang (2007) Email penulis: palupi.hayden@gmail.com

berdiam diri didalam saku orang tua). Di italia juga ada istilah semacam ini yaitu bamboccioni (grown up baby), di Jerman di sebut nesthocker, di Kanada disebut boomerang, di Perancis disebut tanguy syndrome dan kangaroo di Korea Selatan. Menurut sensus penduduk di Jepang pada tahun 1995, jumlah parasite singledengan rentang usia antara 20 sampai 34 tahun mencapai 10.000.000 orang dan mengalami peningkatan pada tahun 2000 menjadi 11.480.000 orang. Namun jumlah ini mengalami penurunan pada tahun 2005 menjadi 10.810.000 orang. Namun, apabila dibandingkan dengan data pada tahun 1980 yang menyatakan jumlah parasite singledi Jepang adalah 8.700.000, jumlah parasite singlesemakin meningkat. Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah tersebut akan mengalami penurunan menjadi 11.830.000 orang (36,2% dari jumlah penduduk Jepang), pada tahun 2010 menjadi 11.300.000 orang (38,7% dari jumlah penduduk Jepang) dan menjadi 11.130.000 orang pada tahun 2020. Meski dilihat dari jumlah mengalami penurunan, namun jika dilihat dari prosentase jumlah ini semakin meningkat. Hal ini dikarenakan menurunnya jumlah kelahiran di Jepang. Peningkatan jumlah parasite singlemenyebabkan banyak dilakukan penelitian terhadap fenomena ini. Faktor penyebab parasite singleterdiri atas faktor 27

sosial-budaya dan ekonomi. Dalam faktor sosial budaya, Paidi (2007: 6) menjelaskan bahwa semakin berkurangnya jumlah anak dalam sebuah keluarga menjadi salah satu penyebab parasite single. Pada tahun 1995, rata-rata sebuah keluarga di Jepang hanya mempunyai satu anak. Dengan kondisi tersebut, seorang anak memiliki kebebasan yang mereka butuhkan di dalam rumah karena tidak mempunnyai saudara untuk berbagi. Selain itu pihak orang tua juga tidak mau anak mereka kesulitan dengan hidup mandiri dalam situasi perekonomian Jepang yang buruk. Kondisi ini didukung dengan psikologis amae yang dimiliki seorang anak. Yaitu anak bergantung pada orang tua untuk memperoleh rasa aman dan nyaman. Tetapi tidak ada rasa sungkan (enryou) oleh anak untuk amaeru, karena hubungan anak dan orang tua hanya dilandasi amae tanpa enryou (Doi, 1992: 34). Disisi lain, orang tua juga amaeru kepada anak dalam fenomena parasite single. Hal ini dikarenakan orang tua berharap si anak juga akan merawat mereka ketika memasuki usia lanjut apabila terus dipenuhi kebutuhannya. Selanjutnya dalam factor ekonomi, tinggal serumah dengan orang tua memberi keuntungan bagi parasite singledari segi keuangan. Dengan tinggal serumah mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti makan. Mereka juga tidak perlu membayar biaya sewa rumah atau apartemen, air, listrik, dan sebagainya. Hal ini terlihat dari 54% parasite singleyang menyatakan alas an mereka menjadi parasite singleadalah karena masalah keuangan menjadi lebih mudah (NHK, 2003:213) Di sisi lain, sebenarnya parasite singletidak hidup mandiri atau membangun rumah tangga dikarenakan mereka tidak mempunyai penghasilan yang cukup. Menurut Genda (2000) hal itu dikarenakan semakin sempitnya lapangan pekerjaan di perusahaan bagi generasi muda. System lapangan kerja Jepang lebih menguntungkan tenaga kerja usia menengah ke atas (45 tahun keatas). Sehingga pilihan paling aman bagi generasi muda adalah dengan bergantung

pada orang tuanya. Dengan kata lain alasan sebenarnya generasi Jepang banyak yang menjadi parasite singlebukan karena mereka benar-benar ingin trus bergantung pada orang tua. Mainkan juga karena keadaan lapangan pekerjaan yang tidak memungkinkan mereka untuk memperoleh penghasilan yang cukup untuk hidup mandiri atau membangun rumah tangga. Oleh karena itu peneliti bermaksud mengungkap bagaimana kondisi tenaga kerja di Jepang saat ini dan pengaruhnya terhadap fenomena parasite single

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam ppenelitian ini adalah deskriptif. Dalam metode ini, peneliti menguraikan dan memaparkan mengenai fenomena parasite singledan hubungannya dengan konsep amae. 1. Metode Pengumpulan data Salah satu kegiatan pokok dalam penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data dan menganalisis data penelitian sesuai dengan tujuan yang telah sitetapkan. Dalam penelitian ini, berdasarkan pembagian teknik pengumpulan data menurut Maryaeni (2005 : 60) peneliti menggunakan metode elitisasi dokumen atau studi literatur. Elitisasi dokumen merupakan teknik pengumpulan data dengan merujuk pada dokumen, seperti teks berupa bacaan dan teks berupa audio visual (Maryaeni, 2005: 73). Peneliti mengumpulkan data dari sumber data sekunder berupa buku-buku, jurnal, dan data dari internet 2. Teknik analisis data Teknik analisis data merupakan kegiatan pengumpulan data sesuai urutan pemahaman yang ingin diperoleh, penggolongan data terhadap kategori tertentu sesuai antisipasi penelilti, interpretasi peneliti mengenai data sejalan dengan pemahaman yang ingin dicapai, serta penilaian atas butir maupun satuan data sehingga menghasilkan kesimpulan baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, signifikan atau tidak signifikan (Maryaeni, 2006: 75). 28

Dalam menganalisis data, peneliti terlebih dahulu menilai data berdasar pada karakteristik inforasi yang termuat di dalamnya. Setelah melakukan interprestasi pada data-data tersebut, peneliti akan mengidentifikasi hubungan makna antar data. Setelah proses tersbut, peneliti akan memaparkan dalam sebuah kesimpulan yang diharapkan dapat menjawab rumusan masalah.

Hasil dan Pembahasan


1. Fenomena Parasite singledi Jepang Istilah parasite singlepertama kali dicetuskan oleh Masahiro Yamada, seorang pengajar sosiologi di Universitas Gakugei Tokyo. Yamada mendefinisikan parasite singlesebagai (Yamada, 1999 : 11). Artinya adalah orang yang tidak menikah yang telah menyelesaikan pendidikan, tinggal serumah dengan orang tua, kebutuhan dasarnya bergantung pada orang tua. Rentan usia parasite singleadalah 20 s.d. 34 tahun. Maeda (2008: 975) menyatakan bahwa meski istilah parasite singletidak menunjuk kepada jenis kelamin tertentu, namun secara umum dipahami bahwa istilah tersebut ditujukan kepada perempuan. Akan tetapi, Paidi (2007: 3-4) mengungkapkan bahwa pada tahun 2000 jumlah parasite singlelaki-laki adalah 5.946.719 dan perempuan adalah 5.537.718, sedangkan pada tahun 2005 jumlah parasite singlelaki-laki 5.600.963 dan perempuan adalah 5.208.106 orang. Dari data tersebut dapat dilihan bahwa perbandingan jumlah parasite singlelaki-laki dan perempuan cenderung seimbang. Alasan yang dikemukakan anak muda Jepang menjadi parasite singleada beberapa hal. Alas an tersebut antara lain karena belum menemukan pasangan yang cocok, karena keuangan menjadi lebih mudah, dan karena pekerjaan rumah dilakukan oleh orang tua (NHK, 2003: 213). Dengan alas an tersebut, parasite singlemendapat cap negative dari masyarakat. Terutama dengan keputusan menunda pernikahan atau tidak menikah

mengakibatkan jumlah kelahiran di Jepang menurun. 2. Kondisi Tenaga Kerja di Jepang saat Ini Setelah mengalami resesi ekonomi pada tahun 1990-an, perusahaan-perusahaan Jepag harus melakukan penghematan. Salah satu cara yang umumnya dilakukan perusahaan untuk menghemat adalah dengan melkaukan pengurangan tenaga kerja (Pemutusan Tenaga Kerja atau PHK). Akan tetapi system PHK di Jepang sangat ketat dan hanya dapat dilakukan dalam situasi gawat yang resmi (Genda, 2000). Selain itu pada tahuhn 1999, Jepang mendapat pujian dari OECD Employment look sebagai salah satu Negara dengan peraturan ketat mengenai PHK. Dengan citra yang demikian, maka PHK merupakan hal yang sangat sensitive bagi perusahaan di Jepang. Jika perusahaan melakukan PHK besar-besaran ditakutkan akan memperburuk reputasi social perusahaan tersebut. Maka jalan lain yang ditempuh oleh perusahaan untuk melakukan penghematan adalah dengan mempertahankan pegawai-pegawai lama dan membatasi perekrutan pegawai baru, terutama dari golongan geerasi muda yang baru lulus (fresh graduated). Apabila merekrut fresh graduated sebagai pegawai, maka perusahaan akan mengeluarkan banyak biaya untuk pelatihan. Kebijakan tersebut juga dipengaruhi oleh kebijakan yang diambil pada tahun 1999 oleh mentri tenaga kerja terhadap tenaga kerja usa menengah ke atas. Kebijakan tesebut dapat dirangkum sebagai berikut: a. Membentuk konsensual nasional bagi karyawan bekerja pada usia melewati 65 tahun b. Promosi kerja sampai usia 65 tahun c. Mempromosikan lapangan kerja dalam berbaga bentuk d. Bantuan bagi mereka yang sedang bekerja saat ini untuk mempersiapkan pekerjaan mereka di usia tua e. Mengembangkan kemampuan kerja sesuai dengan penuaan tenaga kerja Dengan kebijakan tersebut, maka posisi pegawai usia menengah keatas sangat 29

diperhatikan di perusahaan. Terutama karena perusahaan Jepang terdapat system shuushin koyou (pekerjaan seumur hidup). Maksudnya, begitu seseorang bekerja disebuah perusahaan, maka dia akan terus bekerja di perusahaan tersebut sampai pension. Hal ini menyebabkan terjadi penuaan dalam ankatan kerja Jepang. Data dari kemetrian kesehatan, tenaga kerja dan kesejahteraan Jepang menunjukkan bahwa pada bulan desember 1980, tenaga kerja usia 45 s.d. 65 tahun adalah sekitar 18.200.000 orang. Junlah ini menjadi 25.040.000 orang pada bulan Desember 2010. System gaji juga sangat dipengaruhi factor senioritas. Jadi system gaji di Jepang bukan ditentukan berdasar kemampuan, melainkan kedudukan senior seorang pegawai dalam perusahaan tersebut. Seorang pegawai yang lebih lama bekerja di suatu perusahaan akan mendapat gaji lebih besar dari pegawai baru yang berusia muda meski memiliki kemampuan lebih unggul. Kondisi tenaga kerja Jepang seperti yang telah diuraikan di atas menyebabkan generasi muda semakin banyak kehilangan peluang untuk memperoleh pekerjaan tetap di perusahaan. Sebagai dampaknya, muncul golongan pekerja baru yang disebut freeter (pekerja paruh waktu, freelance) sebagai alternative pekerjaan bagi generasi muda Jepang (Dwianto,, 2006: 239). Namun pekerjaan sebagai freeter tetap tidak dapat menjamin kehidupan seseorang sebaik pegawai perusahaan karena penghasilan yang diperoleh tidak tetap dan tidak ada system pensium yang menjamin usia tua. 3. Dampak Kondisi Tenaga Kerja Jepang terhadap fenomena parasite single Sejumlah 56% parasite singlemenyatakan alas an mereka menjadi parasite singleadalah karena tidak menemukan calon pasangan yang cocok untuk menikah (NHK, 2003: 213). Kecocokan yang dimaksud, terutama bagi perempuan, bukan hanya karena fisik atau kepribadian, melainkan juga financial. Dalam membangun rumah tangga tentu dibutuhkan biaya seperti biaya tempat tinggal, listrik, dan

air ledeng, membeli perabota rumah tangga, serta biaya kesehatan, perawatan, pendidikan anak dan lain sebagainya. Criteria tersebut semakin sulit ditemukan karena semakin sempitnya lapangan pekerjaan bagi generasi muda. Sehingga, karena tidak memiliki biaya untuk membangun rumah tangga, baik lakilaki maupun perempuan memilih untuk menunda pernikahan atau tidak menihkah. Selanjutnya,54% parasite single menya-takan alasan mereka menjadi parasite singleadalah karena masalah keuangan menjadi lebih mudah (NHK, 2003:213). Dengan tinggal bersama orang tua, maka segala kebutuhan pokokakan ditanggug orang tua. Sehingga parasite singletetap bias bertahan meski tidak memiliki penghasilan yang besar. Genda (2000) menyatakan bahwa pandangan masyarakat bahwa semua parasite singlehidup enak dan mewah tidak bernar, karena parasite singlekesulitan mendapat pekerjaan dengan gaji memadai.

Kesimpulan
Fenomena parasite singlemerupakan salah satu fenomena social yang menjadi perhatian masyarakat Jepang saat ini. Prosentase parasite single yang terus meningkat meimbulkan kehawatiran, terutama karena keputusan parasite singleunuk menunda pernikahan atau tidak menikah yang menyebabkan jumlah angka kelahiran menurun. Apabila hal ini terus berlanjut, dihawatirkan Jepang akan kehilangan generasi penerus. Keputusan seseorang menjadi parasite single tidak selalu untuk mencari kehidupan yang nyaman, namun juga akibat system tenaga kerja Jepang saat ini yang tidak menguntungkan tenaga kerja dari generai muda terutama fresh graduated. Karena krisis ekonomi yang terjadi di Jepang dan ketentuan PHK sangat ketat, perusahaan harus melakukan penghematan dengan mengurangi tenaga kerja baru dari generasi muda. Hal ini menyebabkan generasi muda kesulitan mencari pekerjaan dengan gaji memadai dan jaminan masa depan. Sehingga banyak anak 30

muda yang memilih bekerja sebagai freeter. Namun pekerjaan sebagai freeter tetap tidak dapat menjamin kehidupan mereka sebaik pekerjaan sebagai pegawai perusaan. Sehingga anak muda Jepang sulit hidup mandiri atau membangun rumah tangga, karena membutuhkan biaya yang besar. Hal tersebut mengakibatkan jumlah parasite single terus meningkat. Maka dapat disimpulkan bahwa parasite single bukanlah penyebab, melainkan akibat dari meningkatnya pengangguran dan berkurangnya angkatan kerja dari kelompok generasi muda.

Maryaedi Dr., M.Pd. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan . Jakarta : Bumi Aksara. Paidi, Rohayati. 2007. Fenomena Parasite Single : Implikasi Terhadap Sosio-Budaya Dan Ekonomi Jepun. Dinamisme Politik Dan Sosiobudaya Jepun, (Online), (http://portalfsss.um.edu.my/portal/uploadFo Lder/pdf/FENOMENA%20PARASITES%20 SINGLES%20IMPLIKASI%20TERHADAP %20SOSIOBUDAYA%20SAN%20EKONOMI%20JEP UN, diakses 19 November 2010) Tanjung, Baharudin Nur H., SE., MM., Drs. H., M.Si., 2005. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta : Kencana Yamada, Masahiro. 1999. Parasaito Shinguru No Jidai. Tokyo : Chikuma Shinsho.

Daftar Pustaka
Doi, Takeo M. D. 1973. Anatomi Dependensi: Telaah Psikologi Jepang. Terjemahan oleh Arifin Bey. 1992. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Dwianto, Raphaella Dewantari. 2006. Diversifikasi Pla Kerja Di Jepang: Sebuah Catatan Singkat Tentang Para Pekerja Muda Paruh Waktu Freeters. Manabu: Journal Of Japanese Studies; Wind Of Changr In Japan, 1 (2):239250. Genda, Yuji. 2000. Special Topic: Youth Employment And Parasite Singles, (Online), Vol. 39. No. 3, (http://www.jil.go.jp/jil/bulletin/year/2000/vo l39-03/05.htm, Diakses Pada 4 Maret 2011) Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja, Dan Kesejahteraan Jepang. Table 12 Labor Force By Age, (Online), (http://www.stat.go.jp/data/roudou/longtime/z uhyou/lt01-02.xls, Diakses Pada 16 Maret 2011) Maeda, Eriko. 2008. Relation Identities Of Always-Single Japanese Woman. Journal Of Social And Personal Relationship, (Online), Vol. 25. No. 6, (http://spr.sagepub.com/content/25/6/967, Diakses Pada 22 Juni 2011)

31

Perwujudan Falsafah Gambaru saat Menghadapi Bencana Studi Kasus Tsunami di Sendai
Oleh : Fidy Ramzielah F* Abstract Japanese people is known as a hardworker. They can survive although they live in a land where always get disaster, like earthquake. Earthquake could comes everytime. And a few months ago, Japan got big disaster are earthquake, tsunami in Sendai, and nuclear radiation in Fukushima. Surely, it hurts for Japan. But, Japanese people do not show any sorrow or sadness. A reason they could survive is philosophy of Gambaru which has grown in their since they were child till now. Gambaru itself has a special meaning which could not be represented in another language. Keywords : Gambaru, earthquake, tsunami, nuclear radiation
8

Pendahuluan

Masyarakat Jepang telah dikenal oleh dunia sebagai masyarakat yang pantang menyerah. Ditambah dengan kondisi geografis Jepang yang sering memicu banyaknya bencana, masyarakat Jepang tetap mampu bertahan dan membangun negaranya dengan sangat baik hingga mampu menjadi negara termaju di berbagai bidang di kawasan Asia bahkan dunia. Namun, beberapa waktu yang lalu, Jepang mengalami bencana alam terbesar yang mampu menarik perhatian dunia selama beberapa pekan yaitu, gempa dan tsunami di Sendai, serta radiasi nuklir akibat meledaknya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Fukushima. Walaupun Jepang tengah berada dalam keadaan terpuruk, masyarakat Jepang tidak menunjukkan kesedihan yang berarti. Hal ini dikarenakan kuatnya falsafah Gambaru yang telah melekat dalam diri masyarakat Jepang yang tetap mereka pegang hingga sekarang. Gambaru adalah kata yang paling sering diucapkan dalam percakapan seharihari masyarakat Jepang. Kata Gambaru memiliki beberapa makna, namun tetap menunjukkan nuansa yang sama. Dalam
*Mahasiswi Sastra Jepang (2008) Email penulis : vdee.chan@gmail.com

bahasa Indonesia maupun bahasa lain, tidak ada satu kata pun yang bisa merepresentasikan makna serta nuansa dari kata Gambaru itu sendiri. Kata Gambaru dengan makna mendalamnya mampu menjadi semangat tersendiri bagi masyarakat Jepang dalam menghadapi bencana maupun kondisi terburuk dalam hidup mereka.

Pembahsan
1. Arti Gambaru Kata Gambaru adalah kata yang sering diucapkan dalam percakapan masyarakat Jepang untuk memberi semangat untuk orang lain. Biasanya diucapkan ketika seseorang mengikuti pertandingan olahraga atau pelajar yang sedang mengikuti ujian. Bahkan ada saat dimana atasan mengucapkan kata Gambaru kepada bawahannya dalam perusahaan untuk lebih bersemangat dalam melakukan dan menyelesaikan pekerjaannya. Gambaru sendiri dilambangkan dua kanji yang terdiri dari kanji dan kanji . Menurut Kamus Kanji Andrew N. Nelson (2008), berarti keras kepala, sedangkan berarti kekuatan tekad, keberanian, rasa harga diri dan kemantapan ekspansi. Menurut Kamus Bahasa Jepang Sanshodo (Kenbou, 1989: 128), Gambaru memiliki beberapa arti yaitu, (1) bekerja keras dengan sabar, (2) 32

bersikeras pada satu jalan, (3) menempati satu tempat dan tidak pernah meninggalkan tempat tersebut. Berdasarkan Kamus Jepang Indonesia Kenji Matsuura (2005: 204) Gambaru didefinisikan dengan bertahan, berusaha gigih. Sedangkan menurut Amanuma (1987: 51-53) tidak ada kata yang tepat merepresentasikan kata Gambaru dalam bahasa lain selain bahasa Jepang. Kata Gambaru banyak diterjemahkan ke dalam bahasa lain seperti Cha yo dalam bahasa China dan tiens bon dalam bahasa Prancis. Tetapi kata-kata tersebut belum bisa menunjukkan nuansa dari kata Gambaru sendiri. Selain orang Jepang pasti akan susah merepresentasikan serta merasakan langsung nuansa dari kata Gambaru. 2. Latar Belakang Gambaru Semangat Gambaru telah mengakar kuat dalam diri masyarakat Jepang sejak zaman dulu. Ada tiga latar belakang munculnya semangat Gambaru dalam kehidupan masyarakat Jepang, yaitu : menanam padi, kondisi geografis Jepang, dan adanya sistem kelas dalam masyarakat Jepang masa lalu. Menurut Amanuma (1987: 140), menanam padi telah membentuk karakteristik bagi masyarakat Jepang itu sendiri. Gaya pertanian Jepang yang menerapkan sistem bekerja dalam jangka waktu yang pendek tetapi dengan bersungguh-sungguh saat menggarap sawah menjadi semangat tersendiri. Hal inilah yang menjadi pedoman semangat Gambaru melekat erat di masyarakat Jepang yang awalnya bermatapencaharian sebagai petani. Menurut Miyazaki (1969: 169-272), kondisi geografis Jepang sangat sulit, karena sering terkena bencana alam seperti banjir, angin topan dan gempa bumi. Daratan Jepang juga terletak diantara Laut Jepang dan Samudera Pasifik, sehingga sebagian aliran suangainya cepat dan sering meluap karena curah hujan tinggi akibat suhu dan kelembaban yang tinggi. Dengan kondisi geografis Jepang yang seperti inilah, tidak memberikan masyarakat Jepang perasaan tenang atau santai. Hal tersebut malah

membuat gelisah sehingga masyarakat Jepang terpacu menjadi masyarakat yang rajin dan tekun dalam bekerja atau melakukan kegiatan. Dengan adanya Restorasi Meiji tahun 1868, sistem kelas masyarakat pada Zaman Edo, shi-nou-kou-sho juga ikut dihapuskan. Penghapusan sistem kelas ini berdampak pada dibukanya kesempatan selebar-lebarnya bagi masyarakat semua kalangan untuk meningkatkan taraf hidup dan mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya sehingga pada nantinya bisa mencapai posisi yang lebih baik di kehidupan sosial. Hal inilah yang membuat masyarakat Jepang bersemangat dan selalu menerspkan semangat Gambaru bagi kehidupan mereka. 3. Semangat Gambaru Saat Bencana Kata-kata penyemangat Gambaru juga digunakan oleh pemerintah ketika sebuah daerah mengalami bencana, seperti saat terjadi gempa bumi di Kobe pada tahun 1995. Pemerintah daerah menyerukan Gambarou Kobe! untuk memberi semangat kepada masyarakat Kobe agar tidak terlalu larut dalam bencana dan segera membangun kembali kerusakan kota mereka akibat gempa bumi tersebut (Roger & Osamu, 2001: 84). Kata-kata penyemangat ini terpampang di koran serta media massa lainnya. Pada tanggal 11 Maret 2011 lalu Jepang mengalami bencana alam terbesar dalam sejarah Jepang. Jepang diguncang gepa sebesar 9,00 SR yang berpusat di tengah laut. Gempa ini memicu tsunami yang diperkirakan mencapai ketinggian hingga 10 meter. Tsunami ini menghantam kota Sendai, prefektur Miyagi. Menurut situs resmi kepolisian nasional Jepang, gempa bumi dan tsunami ini memakan korban meninggal hingga 15.511 orang dan korban hilang sebanyak 7.189 orang. Selain memakan korban jiwa, bencana alam ini juga menghancurkan sarana dan prasarana publik serta kesulitan memperoleh bahan makanan. Beberapa hari pasca gempa tersebut, Jepang kembali diancam oleh radiasi nuklir akibat meledaknya reator nuklir di PLTN Fukushima. Hal ini mengakibatkan 33

kurangnya pasokan listrik untuk masyarakat hingga harus dilakukan pemadaman listrik bergilir oleh pemerintah. 4. Penyiaran Televisi Nasional Jepang Saat Bencana di Sendai Tayangan televisi nasional Jepang tidak tampak menyiarkan lagu-lagu mellow bertema kesedihan maupun video tentang kesusahan pengungsi. Menurut Rouli Pasaribu dalam blog pribadinya, pasca gempa televisi nasional Jepang menayangkan (1) peringatan pemerintah agar tetap waspada apabila terjadi gempa susulan, (2) himbauan pemerintah Jepang untuk seluruh masyarakat Jepang agar tidak larut dalam kesedihan dan segera membangun kembali bersama-sama, (3) permintaan maaf dari pemerintah yang terpaksa melakukan pemadaman listrik bergilir akibat meledaknya PLTN Fukushima, (4) tips-tips menghadapi bencana alam, (5) pemberitahuan nomor telepon call centre yang bisa dihubungi masyarakat Jepang 24 jam penuh, (6) pemberitaan pengiriman tim SAR dari setiap prefektur ke daerah-daerah terdampak bencana, (7) Potret warga dan pemerintah yang saling menolong menyelamatkan warga yang terkena bencana, (8) pengobaran semangat berdasarkan falsafah Gambaru oleh pemerintah. Kaisar Jepang Akihito juga turun tangan dan berbicara langsung di televisi kepada masyarakat Jepang untuk tetap tenang, tidak menyerah, dan bahu-membahu menghadapi bencana. Kaisar akihito juga mengingatkan kembali kata-kata Gambaru yang pernah diucapkan layaknya saat Gempa Kobe tahun 1995. Menurut Antonius R. Pujo Purnomo, Ph.D, salah satu dosen Sastra Jepang Universitas Airlangga yang tinggal di Sendai, mengatakan bahwa siaran televisi Jepang selama 1 bulan pasca gempa dan tsunami terus-menerus menayangkan perkembangan penanganan bencana, juga wawancara dengan para pakar gempa dan tsunami. Siaran reguler seperti musik dan dram dihentikan selama 1 bulan dan ditayangkan kembali 1 bulan setelah gempa.

Penutup
Berdasar penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata Gambaru memiliki makna dan nuansa tersendiri bagi orang Jepang yang tidak mampu diwakili oleh kata dalam bahasa lain. Kata Gambaru sering diucapkan masyarakat Jepang untuk memberi semangat bagi yang mengalami kesulitan. Falsafah Gambaru telah melekat dengan kuat dalam diri masyarakat Jepang di semua kalangan baik dari kalangan istana maupun masyarakat bawah. Terbukti dengan tidak terpuruknya kondisi Jepang setelah bencana alam terbesar yaitu gempa dan tsunami di Sendai serta radiasi nuklir di Fukushima. Televisi nasional Jepang dalam penyiarannya tentang pasca bencana tidak menyiarkan kesedihan melainkan tips-tips penanganan bencana dan permohonan maaf dari pemerintah karena adanya pemadaman listrik bergilir akibat meledaknya PLTN di Fukushima. Juga yang lebih penting televisi nasional Jepang menayangkan sebuah acara perwujudan falsafah Gambaru yang selalu mengingatkan masyarakat Jepang untuk selalu bersemangat dan gigih dalam menghadapi bencana. Hal ini tentu saja patut dicontoh bagi seluruh rakyat dunia.

Daftar Pustaka
Amanuma, K. 1987. Gambari no Kouzou (The Structure of Gambari). Tokyo: Yoshikawa Hirofumikan. Davies, Roger J. & Ikeno Osamu. (Eds). 2002. The Japanese Mind. Tokyo: Tuttle. Kenbou, H. 1991. Karoushi (Death from overwork). Tokyo: Shosa. Miyazaki, O. 1969. Nihonjin no Seikaku (Characteristics of The Japanese). Tokyo: Asahi. Matsuura, Kenji. 2005. Kamus JepangIndonesia. Jakarta: Gramedia.

34

N. Nelson, Andrew. 2008. Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia. Jakarta: Kesaint Blanc. Purnomo, Antonius R. Pujo (antoniuspujo@yahoo.com). 1 Juli 2011. Jawaban Dari Pertanyaan Tentang Tsunami. Email kepada Fidy Ramzielah F (dee_maniez07@yahoo.com). Sera, M. 1994. Nihonjin no Pasonariti (Personality of the Japanese). Tokyo: Kinokuniya. Tada, M. 1972. Shiguna no Nihonbunka (Behavior for Japanese). Tokyo: Chikuma Shobou. Internet : http://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_da n_tsunami_Sendai_2011 (diakses pada tanggal 30 Juni 2011) http://www.npa.go.jp/ (diakses pada tanggal 1 Juli 2011) http://www.facebook.com/roulipasaribu (diakses pada tanggal 30 Juni 2011) http://www.youtube.com tanggal 30 Juni 2011) (diakses pada

35

Senoiritas dalam Dunia Kerja Jepang: Kunci Sukses Perusahaan Jepang


Oleh: Djayeng Channissa* Abstract Japan's working world is a well-organized system. One of the factors is the workforce system which then creates seniority within the company, or nenkoujoretsu. Nenkoujoretsu is seniority based on length of service of a company, not based on a person's age. The purpose of establishing seniority system is to create harmony by maintaining "tradition" in the company. The senior workers or senpai is expected to conduct the junior or kohai in order to conform themselves with the tradition of the company. Rewards for senior workers is also expected to touch up other workers' spirit so that company performance can be optimalized. Keywords: Japan, nenkoujoretsu, working system
9

Pendahuluan

Kesuksesan orang Jepang sematamata terletak pada penghargaan mereka terhadap harmonisasi. Sebuah ajaran Konfusianisme mengatakan, jika dalam jiwa seseorang terdapat harmoni, maka di dalam keluarganya pun terdapat harmoni. Jika dalam sebuah keluarga terdapat harmoni, maka di dalam masyarakat pun tercipta harmoni. Jika dalam sebuah masyarakat terdapat harmoni, maka di dalam sebuah negara akan tercipta harmoni. Ajaran ini mempengaruhi cara berpikir orang Jepang, bahwa dalam sebuah lingkungan terciptanya harmoni adalah syarat penting untuk mencapai kesuksesan. Bahkan, kanji ( wa ) yang merupakan identitas negara Jepang zaman dahulu, mempunyai arti harmoni. Dalam sebuah lingkungan, untuk menciptakan harmoni diperlukan kontrol dari sebuah kekuatan yang lebih besar. Dalam kehidupan masyarakat, di sekolah, perusahaan, organisasi, dan sebagainya, senioritas memegang peran kunci sebagai kekuatan yang mengontrol dan membimbing lingkungan mencapai harmonisasi.
*Mahasiswa Sastra Jepang (2009) Email penulis: claven.hall@gmail.com

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperkenalkan senioritas sebagai bagian dari budaya sikap orang Jepang kepada peneliti budaya Jepang. Penelitian lebih lanjut mengenai budaya sikap ini sangat diharapkan, karena mempelajari budaya bukan hanya mempelajari produk budaya konkret yang dapat diindera seperti tarian, musik, atau produk budaya lainnya, tetapi juga budaya abstrak seperti budaya sikap, cara berpikir, dan masih banyak lagi. Makalah ini disusun dengan menggunakan metode telaah pustaka. Dari buku The Chrysanthemum and The Sword karya Ruth Benedict, terpapar gambaran mengenai budaya malu orang Jepang, yang kemudian mengacu pada akar sikap disiplin dalam senioritas di lingkungan kerja Jepang. Lalu dalam buku Japan: A Country Study terdapat banyak penelitian mengenai masyarakat Jepang, Kemudian etos kerja orang Jepang terungkap pada Rahasia Bisnis Orang Jepang yang ditulis oleh Anna Wann Seng. Cara Pandang Orang Jepang mengenai Senioritas Ruth Benedict (1942/1979) mengatakan bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat berkebudayaan rasa malu. Rasa malu di sini diartikan sebagai sikap seseorang yang memperhatikan penilaian orang lain pada umumnya sebagai acuan untuk 36

mengambil suatu tindakan atau keputusan. Cara berpikir ini menghasilkan sikap pribadi yang cenderung mengutamakan kepentingan orang lain dan mengesampingkan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, orang Jepang menganut konsep hubungan masyarakat komunal dan memiliki tingkat interaksi yang berbeda. Salah satu contoh dari implementasi konsep ini adalah sistem senioritas, baik dalam lingkungan sekolah, organisasi, pekerjaan, dan kehidupan masyarakat lainnya. Di Jepang, senioritas adalah sebuah konsep di mana seseorang yang berada di atas membimbing seseorang yang berada di bawah agar terjadi keselarasan. Senioritas dalam Dunia Kerja Di Jepang, perusahaan tidak sertamerta membuka lowongan untuk pegawai baru dengan sesuka hati. Mereka cenderung berhati-hati dalam memilih pegawai yang akan mereka rekrut. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan di Jepang biasanya mengadakan seleksi penerimaan pegawai baru secara serempak, sekali dalam jangka satu tahun, yaitu awal April. Seleksi yang bersifat ketat ini bertujuan untuk memilih calon pegawai yang benar-benar berkualitas dan cocok dengan pekerjaan mereka dalam perusahaan tersebut. Tidak heran jika seleksi ini memicu kompetisi di antara para pelamar kerja. Begitu terpilih, mereka akan dianggap sebagai bagian dari tim dan perusahaan mengharapkan kerja keras mereka untuk perusahaan. Karena seleksi diadakan setahun sekali, maka bisa dikatakan para pegawai yang direkrut setiap tahunnya adalah satu angkatan, sama seperti angkatan kelas di sekolah maupun di perguruan tinggi. Dari tingkatan angkatan inilah muncul senioritas, di mana para pegawai yang berasal dari angkatan pegawai yang diterima lebih dahulu adalah senior dari para pegawai yang diterima setelahnya. Dengan kata lain, dalam perusahaan Jepang, senioritas tidak diukur berdasarkan umur seorang pegawai, tetapi

berdasarkan tahun masuk mereka ke dalam perusahaan tersebut. Dari situlah muncul istilah nenkoujoretsu, yang berarti senioritas berdasarkan masa pengabdian terhadap perusahaan atau tempat ia bekerja. Dalam sebuah tim, senior atau senpai wajib untuk membimbing juniornya (atau kohai) sehingga para kohai dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja dan memberikan kontribusi terbaik. Sebaliknya, kohai diharapkan menunjukkan kesetiaannya, seperti membantu senpai ketika dibutuhkan. Dalam hal ini, kohai telah dibimbing oleh senpai untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja. Pegawai Jepang, akan memilih untuk menunjukkan pengabdian dan mendapatkan kepercayaan daripada menjadi seseorang yang diasingkan, karena mereka mengalami bagaimana sulitnya mendapatkan pekerjaan di dalam sebuah perusahaan. Penting bagi seorang pegawai untuk menyelaraskan diri dengan lingkungan kerja agar posisi mereka aman. Selain itu, jika mereka mampu menumbuhkan kepercayaan terhadap rekan dan atasan mereka, penghargaanpenghargaan atas kerja keras mereka akan terlihat ketika mereka mencapai posisi sebagai senpai. Senioritas Perusahaan sebagai Kunci Sukses

Perusahaan Jepang lebih cenderung memelihara apa yang telah mereka punyai daripada membeli atau mendapatkan yang baru. Dalam aspek sumber daya manusia, mereka lebih memilih menempatkan pegawai senior untuk menduduki posisi penting seperti kepala bagian, kepala cabang, dan sebagainya, daripada merekrut orang baru untuk menempati posisi itu. Semakin senior seorang pegawai di sebuah perusahaan, semakin menguntungkanlah posisinya. Selain posisi yang aman, para senior akan mendapatkan gaji yang lebih tinggi dibandingkan pegawai muda, asuransi, subsidi rumah, fasilitas rekreasi, bonus, dan juga pensiun. Semua tawaran itu memicu para pegawai untuk 37

bekerja keras, sebagai bukti bahwa mereka mengabdi penuh kepada perusahaan. Sistem senioritas ini dapat membentuk harmonisasi melalui kontrol, memicu kerja keras pegawai dengan fasilitas-fasilitas bagus dan bonus yang tinggi, juga menjaga tradisi dalam dunia kerja perusahaan itu. Oleh karena itu, sistem senioritas merupakan kunci penting yang membawa perusahaan meraih kesuksesan.

Kesimpulan
Jepang sebagai negara yang mengutamakan harmonisasi dalam segala aspek. Dalam dunia kerja, untuk menciptakan harmoni diperlukan adanya kontrol erhadap hal-hal di luar dengan hal-hal yang ada di dalam. Kontrol tersebut adalah senioritas. Bila lingkungan kerja terkontrol, maka suasana kerjapun menjadi nyaman. Selain itu, imbalan besar bagi mereka yang telah menjadi senior memicu kerja keras pegawai sehingga meningkatkan kinerja perusahaan tersebut.

Daftar Pustaka
Benedict, Ruth. 2000. The Chrysanthemum and The Sword. Tokyo: Tuttle Publishing. Federal Research Division of USA. 1997. Japan: A Country Study. Washington: Library Congress of USA. Seng, Anna Wann. 2007. Rahasia Bisnis Orang Jepang. Jakarta: Hikmah. Situmorang, Hamzon. 2008. Menoleh Budaya Malu Masyarakat Jepang untuk Lebih Mengenal Indonesia. Medan: USU Press.

38

Pelecehan Seksual: Perbedaan Pemahaman Antar Gender


Oleh: Yulisia Fajar Dianis* Abstract Sexual harassment is an idea that developed as human consciousness on human rights and gender equality between men and women. Commonly, sexual harassment victims refer to female. In addressing the idea of sexual harassment, it seems there is no strong limit because everyone has their own perceptions. Especially in Japan, the developed countries that already reach higher levels also in awareness about sexual harassment. This brief paper is trying to discuss about the difference perceptions, the general view of what Japanese society about sexual harassment and how they face it daily. In general view, sexual harassment refers to pervert things, but in fact sexual harassment is a problem of gender inequality. When a person feels that he or she is underestimated because of his or her gender, which can be called as sexual harassment. In Japan, it is further realized by women because of gender bias that occurs in Japan is still very high. Differences of opinion about what is something can be called as sexual harassment and not become blurred due to any common understanding between genders in Japan. Sexual harassment, wherever it happens, requires mutual awareness to overcome them. However, people must have a common perception about this because the limit on sexual harassment has been based solely on the only victims side. Keywords: sexual harassment, gender, social awareness

Pendahuluan10
Pelecehan seksual merupakan katakata yang sekarang umum kita dengar di media massa maupun masyarakat luas. Halhal yang berkaitan dengan kata pelecehan seksual biasanya selalu dikaitkan dengan keberadaan perempuan. Apabila merujuk arti harfiahnya, seksual bukanlah hal yang merujuk pada hubungan coitus, akan tetapi merupakan arti dari jenis kelamin atau gender. Banyak pengertian yang berbeda akan arti dari pelecehan seksual di berbagai tempat di seluruh dunia. Pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk
*Mahasiswa Sastra Jepang (2006) Email penulis: yulisiafajardianis@hotmail.com

permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lainnya yang secara verbal ataupun fisik merujuk pada seks 11 . Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa yang dimaksud dengan seks dalam kalimat tersebut adalah gender. Walaupun secara umum wanita sering mendapat sorotan sebagai korban pelecehan seksual, namun pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja. Pelecehan seksual tidak hanya dialami oleh perempuan, laki-laki pun mengalaminya. Pelaku pelecehan seksual bisa siapa saja terlepas dari jenis kelamin, umur, pendidikan, nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama, warga negara, latar belakang, maupun status sosial12.

11

http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual, diakses 08 Mei 2009 12 Ibid.

39

Dari perkembangannya, isu gender adalah masalah yang berkembang dan meluas secara cepat seiring perkembangan zaman. Pandangan akan kedudukan laki-laki dan perempuan pada lapangan sosial ikut mempengaruhi pergeseran makna dari pelecehan seksual. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pandangan umum masyarakat Jepang tentang pelecehan seksual, serta bagaimanakah mereka menyikapi hal ini dalam kehidupan sehari-hari. Pelecehan Seksual pada Kasus Umum Dewasa ini, sering kita jumpai di media-media massa, berbagai berita tentang pelecehan seksual, korban mulai dari buruh pabrik, sampai karyawan kantor. Bermacammacam alasan orang merasa dilecehkan, mulai dari kontak fisik atau hanya berupa ucapan. Dapat kita lihat, pelecehan seksual banyak terjadi pada kehidupan sekitar kita. Tapi sejauh apakah lingkup pengertian pelecehan seksual pada masyarakat? Pandangan setiap orang mengenai batas pelecehan seksual berbeda-beda. Namun sejatinya, pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif: rasa malu, marah, tersinggung dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban pelecehan13. Merujuk pada hal ini, tentunya apabila korban tidak merasa tersinggung atau marah berarti hal itu tidak tersebut sebagai tindakan pelecehan seksual. Pelecehan Seksual di Jepang Menurut Japan Datalogue tahun 2003, ungkapan sexual harrasment atau sekuhara mulai dikenal di Jepang 16 tahun yang lalu, karena disidangkannya kasus
13

http://www.kesrepro.info/?q=node/279, diakses 05 Juli 2009

pelecehan seksual untuk pertama kalinya di Jepang. Survei dilakukan oleh Suginami Ward di Tokyo dengan responden 2800 pekerja perkantoran. Satu dari empat wanita mengatakan bahwa mereka pernah menjadi korban pelecehan seksual. 25 % responden menyatakan merasa mengalami pelecehan seksual oleh kata-kata yang mengungkit masalah fisik, usia, atau perkawinan, seperti misalnya Kapan anda akan menikah?, Sepertinya kamu agak gemukan, bagaimana kalau mencoba mulai berdiet?. Hal seperti ini apabila mulai sudah membuat tidak nyaman bagi lawan bicara, maka dapat digolongkan menjadi sekuhara. Sedangkan kasus-kasus serius pelecehan seksual hanya mencapai 6 %. Pada April 1999, Undang-undang Kesetaraan Kerja bagi wanita dan laki-laki direvisi dan menetapkan bahwa perusahaan harus mengambil langkah untuk mencegah pelecehan seksual di perusahaan. Hal ini makin membuka langkah untuk kesadaran dan ketertarikan pada penanggulangan pelecehan seksual. Survei lembaga NPA (National Personnel Authority) pada 5000 PNS di seluruh Jepang.membuktikan bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan besar dalam mengartikan pelecehan seksual. 58 % laki-laki dalam survei tersebut mengatakan bahwa arti dari pelecehan seksual tersebut sudah tidak sesuai. Pelecehan seksual sekarang ini sepertinya mengalami pergeseran arti di Jepang, di mana batasnya menjadi kabur dan tidak pasti dan menjadi didasarkan hanya pada keterangan satu pihak saja, yaitu korban. Berikut ini adalah beberapa kasus sekuhara yang terekspos oleh media : Pada tahun 1999, Gubernur Osaka pada masa itu, dituduh melakukan pelecehan seksual pada seorang mahasiswa 21 tahun. Pelaku dinyatakan bersalah dan diwajibkan membayar denda 107.000 Dolar. Terdakwa kemudian mengundurkan diri dari jabatan pada Desember 1999. Pada Juli 2000, seorang guru piano berusia 40 tahun didakwa melakukan pelecehan seksual pada seorang mahasiswi, kemudian dihukum denda 87.000 Dolar. 40

Kasus yang aneh, pada 2007, seorang pegawai pemerintah dinyatakan bersalah pada kasus sexual harrasment dan diharuskan membayar denda 5.300 Dolar dikarenakan memaksa rekan kerja perempuannya untuk mencabut jenggotnya. (http://www.sexualharrassmentworkplace.co m/japans sekuhara.html) Sementara itu, kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak juga meningkat tahun 2007 dibanding tahun sebelumnya. Sedikitnya terjadi 300 kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Itu angka tertinggi yang pernah terjadi sejak dimulainya penyelidikan terhadap kasus tersebut pada 1999. Menurut pihak kepolisian Jepang, pelaku kekerasan dan pelecehan seksual justru banyak dilakukan orang tua, dan keluarga korban sendiri. Kaum ibu menempati angka tertinggi sebagai pelaku kekerasan dengan jumlah laporan sebanyak 97 kasus, kemudian diikuti oleh kalangan bapak (91 kasus), ayah tiri (55 kasus) dan keluarga dari pihak suami dengan 46 kasus. Dari angka tersebut, 211 kasus di antaranya kekerasan yang dilakukan dengan pukulan dan tendangan, sedangkan 69 kasus lainnya berupa pelecehan seksual14. Di antara sekian banyaknya kasus sekuhara di Jepang dapat diketahui bahwa pada umumnya sekuhara banyak terjadi di tempat kerja, juga di sarana transportasi umum seperti kereta. Untuk di kereta, biasanya terjadi pada saat jam sibuk. Banyak wanita Jepang di Tokyo naik kereta api khusus perempuan saat jam sibuk untuk menghindari pelecehan seksual seperti perabaan. Tak cukup, beberapa perempuan pun ekstrem meminta pria benar-benar diangkut dalam KA tersendiri dan tidak campur dengan perempuan. 10 pemegang saham Seibu Holding, operator KA di Tokyo mengatakan sudah memiliki petisi untuk mengadakan KA khusus pria seperti dilansir dari Reuters , Kamis (18/6/2009). "Ada banyak kasus perabaan, sebanyak tuduhan
14

perabaan di Seibu Railway," ujar pemegang saham dalam catatannya untuk pengambilan keputusan tentang KA khusus pria di rapat umum tahunan Rabu 24 Juni pekan depan. "Sementara dilakukan langkah melawan perabaan dengan KA khusus perempuan, tak ada langkah yang dilakukan terhadap pelaku perabaan. Dalam semangat kesetaraan jender, KA khusus pria harus diperkenalkan," imbuh pemangku kepentingan itu. Namun sayang, agaknya ide itu akan sulit diwujudkan. Dewan Direksi Seibu Holding tak sependapat dengan ide itu. "Kenyataannya kita hanya menerima sedikit permintaan dari penumpang Seibu Railway untuk membuat KA khusus pria," tulis Dewan Direksi menanggapi permintaan operator. Kasus perabaan menjadi sorotan di Jepang saat Mahkamah Agung Jepang memutarbalikkan tuduhan bersalah terhadap seorang profesor yang meraba seorang gadis dalam KA di Tokyo. Para hakim berpendapat harus berhati-hati dalam kasus seperti ini karena yang menjadi saksi adalah penuduh seorang. Menurut data dari Kepolisian Tokyo, di Tokyo ada sekitar dua ribu orang ditahan pada tahun 2007 karena melakukan perabaan 15 . Namun banyak di antara para korban ini tidak melaporkan pelecehan yang dialaminya kepada pihak kepolisian terdekat, karena rendahnya respon dari kepolisian setempat. Selain itu mayoritas korban memilih diam ketika tindak pelecehan terjadi dikarenakan ketakutan akan pandangan umum dan malu apabila diketahui sebagai korban pelecehan seksual.

Kesimpulan
Pelecehan seksual, di manapun terjadinya adalah suatu tanggung jawab bersama untuk mengatasinya. Pelecehan seksual tidak memandang status, maupun jenis kelamin. Rentang jenis kasus pelecehan yang luas dapat menimbulkan berbagai
15

http://www.antara.co.id/view/?i=1203679499&c=INT &s=, diakses 05 Juli 2009

www.detiknews.com/.../diminta-ka-khusus-priauntuk-hindari-pelecehan-seksual -, diakses 05 Juli 2009.

41

macam efek pada korban, antara lain trauma, malu, shock, atau kerusakan pada organ fisik. Akan tetapi dikarenakan batasan perlakuan sekuhara tersebut berasal dari diri korban sendiri, maka pemahaman arti sekuhara pun menjadi bermacam-macam.

Daftar Pustaka
http://www.antara.co.id/view/?i=1203679499 &c=INT&s=, diakses pada 05 Juli 2009 http://www.japaninc.com/article.php?articleI D=1438, diakses pada 05 Juli 2009 http://www.kesrepro.info/?q=node/279, diakses pada 05 Juli 2009 http://www.sexualharrassmentworkplace.com /japans-sekuhara.html, diakses pada 06 Juli 2009 http://www.tribuntimur.com/read/artikel/26922, diakses pada 05 Juli 2009 http://www2.kompas.com/otomotif/news/060 5/10/200244.htm, diakses pada 05 Juli 2009 www.detiknews.com/.../diminta-ka-khususpria-untuk-hindari-pelecehan-seksual, diakses pada 05 Juli 2009 *pelecehan seksual yg mengalami pergeseran makna di jp tlg dijelaskan dahulu. Dalam UU Jp pasti ada penjelasan mengenai apa saja yg disebut, dianggap sbg sekuhara.

42

Penggunaan Handphone pada Anak Muda Jepang dan Indonesia


Oleh : Titis Andriany* Abstract In the modern era like now, phone cell is a main thing for people to communicate each other. Now, phone cell is not only for communicate but also used for another multimedia activities like browsing, games, video camera, and many more. And we can see now that teenager is the most phone cell user. With a lot of fitur available in a phone cell, phone cell usage between teenagers in Japan and Indonesia is becoming more increase. And there are positive impact and negative impact for phone cell usage between teenagers. The impact includes health aspect, social aspect, psychology aspect, economical aspect, and culture aspect. Keywords : phone cell, teenagers, positive impact, negative impact

Pendahuluan16
Perkembangan teknologi dewasa ini menjadi semakin pesat di segala bidang meliputi bidang komunikasi. Penggunaan handphone yang dulunya didesain untuk kemudahan, kecepatan, dan ketepatan dalam berkomunikasi, sekarang sebuah handphone bisa digunakan untuk berbagai macam kegiatan multimedia. Dengan banyaknya kemudahan yang dibawa oleh sebuah handphone, secara tidak sengaja pengguna menghabiskan sebagian besar waktunya untuk asyik bermain-main dengan handphone. Saat ini handphone telah melewati batas kelas sosial masyarakat, pekerjaan, dan menjembatani antar generasi. Hal ini bisa ditandai dengan bisa ditemuinya pengguna handphone yang telah menembus berbagai kalangan dari atas, menengah, dan bawah. Selain itu, pengguna handphone rata-rata adalah anak muda. Masalah seperti ini tentu membawa pengaruh positif dan pengaruh negatif bagi pengguna handphone baik di negara maju seperti Jepang dan negara berkembang seperti Indonesia. Di Jepang, penggunaan handphone yang berlebihan oleh

anak muda ini menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah Jepang

Pembahasan
1. Penggunaan Handphone di Jepang Jepang yang merupakan salah satu negara maju tentu tidak bisa lepas dari kecanggihan teknologi seperti handphone. Pengguna handphone di Jepang sampai pada tahun 2003 bahkan mencapai 80 juta orang2 dari jumlah penduduk Jepang yang mencapai 100 juta orang. Tingginya angka presentase ini bisa disimpulkan bahwa kira-kira seluruh penduduk Jepang mempunyai dan menggunakan handphone. Handphone tidak bisa dipisahkan dari kehidupan anak muda Jepang. Menurut survey yang dilakukan pemerintah Jepang pada tahun 2007, sepertiga anak Sekolah Dasar telah menggunakan handphone. Di Sekolah Tinggi, angka presentase bahkan melonjak hingga 96%3. Sedangkan menurut survei yang dilakukan oleh perusahaan handphone NTT Do Co Mo Inc yang tercantum di buku de-ta de nihon wo miru (bab 22:2003), 19% siswa SD dan 30% siswa SMP mempunyai handphone. Namun mereka tidak membutuhkan handphone untuk dirinya sendiri, tapi orang tuanya yang menyuruh mereka membawa handphone agar bisa

*Mahasiswa Sastra Jepang (2006) Email penulis: andrianytiz@yahoo.co.id

43

menghubungi dan memberitahun jika sekolah mengadakan pelajaran tambahan. Akhir-akhir ini sering sekali ditemui anak muda Jepang yang asyik berkutat dengan handphonenya kapan pun dan dimana pun. Menurut hasil survey NHK terhadap siswa SMA di Jepang, diketahui bahwa 34% menggunakan handphone lebih dari 20 kali, sedangkan 66% sisanya menggunakan handphone 10 kali lebih dalam sehari. Seringnya frekuensi penggunaan handphone oleh anak muda Jepang, ternyata mereka lebih sering untuk saling berkirim e-mail dan mengakses internet. Hal ini dikarenakan biaya untuk mengakses internet terhitung lebih murah daripada untuk menelepon. Dari data-data di atas, dapat diketahui bahwa penggunaan handphone di Jepang sudah mengakar dalam diri setiap orang Jepang, dari anak-anak sampai dewasa, khususnya remaja. 2. Penggunaan Handphone di Indonesia Dulu, handphone merupakan barang yang mewah, namun sekarang akibat kecanggihan teknologi dan bergesernya budaya, hampir semua kalangan masyarakat mulai dari kalangan bawah, menengah dan kalangan atas memiliki alat komunikasi tanpa kabel tersebut. Hal ini diperkuat dengan data yang diperoleh dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) pada tahun 2007 yang mengatakan bahwa pengguna handphone di Indonesia mencapai angka 80 juta orang4. Dengan ditunjang berbagai fitur yang menarik, penggunaan handphone pada anak muda Indonesia mengalami perubahan. Dulu handphone hanya digunakan untuk saling berkirim pesan singkat (SMS), sekarang berbagai kegiatan multimedia bisa dilakukan dengan handphone. Penggunaan handphone untuk mengakses internet menjadi dominan daripada untuk menelepon karena tarif akses internet yang lebih murah. Beberapa kemudahan tersebut pasti nantinya akan membawa perkembangan buruk bagi anak muda Indonesia jika tidak diimbangi dengan moral dan etika. 3. Perbandingan Penggunaan Handphone di Jepang dan di Indonesia

Jepang yang merupakan negara maju dan Indonesia yang merupakan negara berkembang menyebabkan adanya perbedaan handphone yang beredar di Jepang maupun di Indonesia. Handphone di Jepang lebih canggih dibandingkan dengan handphone yang beredar di Indonesia. Pengguna handphone di Jepang maupun di Indonesia mayoritas adalah anak muda. Berdasarkan survei-survei yang sudah dijelaskan, dapat diketahui bahwa jumlah pengguna handphone di jepang, dua kali lipat dari jumlah pengguna handphone di Indonesia, terutama anak muda. Penggunaan handphone anak muda Jepang sebagian besar untuk mengakses internet, begitu pula dengan anak muda Indonesia dikarenakan tarif yang lebih murah. Meskipun terdapat perbedaan, namun terdapat satu persamaan yang mendasar dari penggunaan handphone yaitu kebutuhan manusia untuk saling berkomunikasi dengan sesama. 4. Dampak Penggunaan Handphone bagi anak muda Jepang Setiap alat yang dihasilkan oleh manusia tentu akan membawa dampak positif dan dampak negatif bagi penggunanya. Orang bisa berkomunikasi tanpa kabel dimana saja dan kapan saja dengan handphone. Menurut survei NHK yang tercantum dalam buku de-ta de nihon wo miru (bab 22:2003) memaparkan bahwa pengguna handphone merasa lebih aman selama mereka mempunyai handphone. 27% sisanya mengatakan bahwa mereka menjadi lebih akrab dengan temannya. Oleh sebab itu, mereka bisa betah berlama-lama berkutat dengan handphone masing-masing tanpa mempedulikan kondisi sekitar. Namun dari segi kesehatan, handphone dapat mengganggu kesehatan seseorang khususnya anak muda dalam masa pertumbuhan, karena gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh handphone bisa merusak perkembangan otak dan menyebabkan kanker. Sebuah penelitian di Finlandia membuktikan bahwa radiasi elektromagnetik handphone selama satu jam bisa mempengaruhi produksi sel5. Jadi, efek 44

radiasi handphone sedemikian berbahaya jika sering digunakan. Dilihat dari segi psikologis, handphone berpengaruh sangat besar terhadap kejiwaan remaja. Menurut survey NHK terhadap anak muda yang mempunyai handphone di Jepang, 48% menyatakan bahwa handphone dapat membuat seseorang merasa sendiri ketika mereka tidak menerima email atau telepon, sedangkan 27% sisanya menyatakan bahwa mereka menjadi frustrasi ketika tidak bisa menghubungi seseorang lewat handphone. Jadi dengan kata lain, pengguna handphone bisa menjadi stress bila tidak menerima e-mail atau telepon. Selain itu, handphone bisa mengakibatkan seseorang menjadi malas membaca, khususnya anak muda. Dari segi sosial, handphone membuat anak muda Jepang sulit berkomunikasi seccara langsung karena terbiasa berkomunikasi lewat e-mail dan telepon. Dilihat dari segi ekonomi, handphone bisa mengubah gaya hidup seseorang menjadi konsumtif. Mereka berlomba-lomba untuk mempunyai handphone jenis terbaru atau menghias handphone mereka agar terlihat cantik dan lucu, padahal biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Handphone juga bisa menggeser budaya tradisional Jepang. Sudah jarang ditemukan anak muda Jepang yang memainkan permainan tradisional Jepang yang sarat akan nilai moral. 5. Usaha Pemerintah Jepang dalam Mengatasi Penyalahgunaan Handphone bagi Anak Muda di Jepang Pemerintah Jepang tentu harus merasa khawatir dengan meningkatnya ketergantungan handphone terhadap anak muda Jepang. Hal ini dikarenakan masalah tersebut menyangkut perkembangan mental anak muda Jepang sebagai generasi emas penggerak roda pembangunan Jepang. Oleh karena itu, pemerintah Jepang mengantisipasi ketergantungan terhadap handphone yang semakin parah dengan membuat program yang membatasi penggunaan internet di handphone anak-anak. Selain itu, pemerintah juga menetapkan kebijakan yang meminta vendor-vendor handphone di Jepang untuk

memproduksi handphone yang hanya berfungsi untuk menelepon dan GPS saja. Dengan begitu, pemerintah Jepang berharap bisa mengembalikan fungsi handphone yang sesungguhnya, yaitu sebagai alat komunikasi nirkabel yang bisa digunakan dimana saja.

Penutup
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, penggunaan handphone di Jepang lebih banyak dibandingkan penggunaan handphone di Indonesia. Kalangan anak muda menjadi mayoritas pengguna handphone, baik anak muda Jepang maupun anak muda Indonesia. Hal ini menjadi ketergantungan terhadap handphone semakin meningkat. Dengan begitu bisa dikatakan bahwa handphone membawa dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif penggunaan handphone antara lain yaitu memudahkan seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain. Sedangkan dampak negatif penggunaan handphone mencakup beberapa aspek seperti aspek kesehatan, aspek psikologis, aspek ekonomi, bahkan aspek budaya. Oleh karena itu pemerintah Jepang mulai menangani masalah-masalah penggunaan handphone yang disalahgunakan dengan membuat program yang bisa membatasi penggunaan internet. Dengan demikian diharapkan kecanggihan teknologi pada handphone bisa digunakan dengan benar dan tepat yaitu bisa mempermudah kehidupan manusia dalam hal berkomunikasi.

Daftar Pustaka
NHK International Planning and Broadcasting. 2003. Japan Datalogue. Tokyo : Kodansha International Ltd.

NIPPONIA Edisi 26, Onsen e Ikou. 2003. Tokyo Japan Nurudin. 2005. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta : Rajawali Press 45

www.antara.co.id/arc/2008/1/23/anta...,02 Juli 2009 http://pulsa.in/terobsesi-ponsel-anak-mudaterancam-bahaya/htm, 03 April 2009 www.kompas.com, 02 Juli 2009

www.kompas.com, 02 Juli 2009

46

Masyarakat Sipil Jepang Selama Perang Dunia II


Oleh : Yudiah Dwi R* Abstract During World War II, the condition of civilians around the world is very apprehensive. Despite not involved in the war, civilians also feel the impact of the war. Children, men, and women all come to feel the impact of war that is increasingly aggravating their lives. Therefore, there are many civilians who do not want to just see the battle take place without doing anything, as well as the Japanese civilians. They do not want to just stay silent amid the worsening conditions, especially at the last moment before the country suffered defeat when the Japanese military began to lack of troops. Many Japanese civilians who had never held the gun go off and risked their lives in battle. The women were also struggling to replace jobs that men should go to war and perform various movements to support the struggle of Japanese soldiers. Key words: Japan, World War II, civilians, peasants, women, senninbari, propaganda, tonarigumi, kamikaze

Pendahuluan17
Perang Dunia II merupakan konflik global yang melibatkan sebagian besar negara di dunia dan menimbulkan banyak kerugian serta korban bukan hanya dari pihak militer, tapi juga warga sipil di setiap negara. Selama Perang Dunia II berlangsung, sebagai salah satu negara yang mempunyai andil besar dalam peperangan, kehidupan penduduk sipil di Jepang tidak terlepas dari komdisi perang yang membuat kehidupan mereka serba kesulitan. Kekuarangan bahan makanan dan kondisi perekonomian yang terus merosot, serta rasa takut akan ancaman serangan udara dari tentara Amerika berdampak besar bagi kelangsungan hidup masyarakat Jepang selama Perang Dunia II berlangsung. Meski tidak semua penduduk Jepang ikut secara langsung bertempur di medan perang, pada kenyataannya hampir seluruh warga sipil merasakan dampak peperangan tersebut. Karena itu, di Jepang, selama peperangan berlangsung, banyak dibentuk gerakan pendukung usaha militer yang
*Mahasiswa Sastra Jepang (2009) Email penulis: str1k3_fr3ed0m_89@yahoo.com

dilakukan oleh warga sipil baik secara sukarela maupun dengan paksaan.

Pembahasan
1. Kondisi Penduduk Sipil selama Perang Dunia II 1.1. Pembagian jatah makanan Akibat keikutsertaan Jepang dalam Perang Dunia, banyak pria yang direkrut sebagai tentara. Begitu juga dengan para petani. Hal ini mengakibatkan kurangnya jumlah petani yang bekerja mengolah sawah. Meski ada beberapa pria yang tersisa, mereka memilih bekerja di pabrik yang memproduksi peralatan perang karena upah yang didapat lebih besar. Dengan semakin sedikitnya jumlah petani, para wanita, pelajar, serta penduduk yang tinggal di kota pun ikut bekerja menggantikan para petani pria di sektor pertanian. Namun karena kurangnya pengalaman dan keahlian yang memadai, hasil kerja mereka tidak bisa dibandingkan dengan para petani pria. Hal ini mengakibatkan kondisi pertanian Jepang mengalami penurunan. 47

Karena kekurangan tenaga kerja, produk pertanian yang dihasilkan tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan seluruh penduduk Jepang. Terutama beras yang menjadi makanan pokok di Jepang. Karena itu, pemerintah melakukan penjatahan makanan bagi para penduduk. Pada mulanya penjatahan makanan dilakukan di kota-kota besar, namun kemudian berlanjut ke seluruh negeri. Beras yang merupakan makanan pokok penduduk Jepang pun kadang diganti dengan umbi-umbian seperti kentang atau ubi jalar. Pasokan buah, sayur dan bahan makanan lain pun juga dikontrol oleh pemerintah. Pada tahun 1942 dibentuk sebuah lembaga untuk mengatur pasokan makanan yang ada, namun makanan yang diberikan tidak cukup bergizi. Ditambah lagi dengan penurunan hasil tangkapan ikan mengakibatkan kondisi pangan di seluruh negeri semakin memperihatinkan. Dalam kondisi seperti ini, penduduk yang memiliki pekerjaan dan uang yang cukup tidak terlalu mempermasalahkan penjatahan makanan ini. Namun, bagi mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mampu membeli makanan terpaksa harus mencuri agar dapat bertahan hidup. Kehidupan selama perang menjadi sangat sulit bagi penduduk miskin atau mereka yang bukan anggota asosiasi yang mendapat dukungan dari pemerintah. 1.2. Pemberlakuan Jam malam Selama perang, kehidupan malam di Jepang menjadi sangat sulit karena adanya jam malam. Bahkan toko-toko, restoran dan teater tutup pada pukul sembilan malam dan tidak ada yang bisa pergi ke luar untuk bersantai di malam hari. Yang paling terpengaruh akibat adanya jam malam ini adalah para pedagang, terutama restoran dan gedung pertunjukan, karena mereka harus menutup tokonya lebih awal. Bahkan banyak juga yang harus menghentikan usahanya dan mendapati toko mereka berubah menjadi pabrik untuk memperoduksi senjata dan makanan kaleng bagi tentara. Meski merasa

tidak puas dan merasa dirugikan karena kehilangan pekerjaan mereka, para pedagang tidak bisa berbuat banyak untuk menentang kebijakan tersebut. 1.3. Propaganda Dalam usahanya memenangkan perang, pemimpin Jepang melakukan kampanye propaganda secara besar-besaran. Meski sebagian besar negara-negara lain yang terlibat perang juga melakukan propaganda, Jepang memiliki cara yang unik dalam melakukan propagandanya. Dua tujuan utama propaganda Jepang adalah untuk mentransformasikan orang biasa menjadi bagian vital dalam sebuah alat perang dan membuat mereka membenci sekutu. Aksi propaganda yang dilakukan pemerintah dimulai dari anak-anak Sekolah Dasar. Di sekolah, mereka diajarkan lagulagu patriotik dan dalam pelajaran sejarah ditegaskan bahwa musuh Jepang adalah orang-orang yang kejam dan haus darah. Sistem pendidikan pada masa itu benarbenar mengalami reformasi secara keseluruhan. Nama Sekolah Dasar pun diubah menjadi "kokumingakk", yang berarti "sekolah nasional". Propaganda di sekolah-sekolah memberikan kemudahan bagi pemerintah untuk menjalankan rencananya karena anak-anak mudah dipengaruhi. Mereka terus diajarkan tentang kekejaman Amerika yang jahat yang terus berusaha mendominasi Asia dan bagaimana tentara Jepang begitu berani dalam memperjuangkan perdamaian dan persatuan dunia melawan Amerika. Selain itu anakanak juga diajarkan untuk menghormati tentara dan selalu berdoa untuk keselamatan mereka. Selain di sekolah, pemerintah juga melakukan propaganda dengan membuat slogan dan poster guna terus menyulut semangat prajurit dan seluruh penduduk Jepang. Hal ini tidak hanya dilakukan di Jepang saja, namun juga di daerah-daerah jajahan Jepang. Cara lain yang digunakan adalah dengan melakukan siaran radio. Namun siaran radio ini lebih ditujukan pada 48

tentara Amerika untuk menjatuhkan mental mereka. Untuk itu bahasa yang digunakan pun menggunakan bahasa Inggris. Tapi karena kebanyakan penyiar tidak begitu terampil dalam berbahasa Inggris, siaran radio ini malah menjadi hiburan bagi sekutu karena dianggap lucu. 2. Gerakan Pendukung Usaha Militer oleh Penduduk Sipil 2.1. Asosiasi Perempuan dan Senninbari Sejak awal terbentuknya Jepang, Masyarakat Jepang telah mendapat banyak pengaruh dari luar, di antaranya yang paling mendominasi adalah Konfusianisme, Buddha, dan feodalisme berbasis Samurai. Bedasarkan pengaruh ini, posisi perempuan dalam masyarakat selalu berada di bawah pria dan harus patuh terhadap semua yang dikatakan oleh pria. Namun mereka tetap mempunyai dedikasi yang tinggi terhadap keluarga. Selama Perang Dunia II, hampir 2,5 juta pria bertugas di angkatan bersenjata Jepang dan pada akhir perang jumlah tersebut terus meningkat njadi lebih dari 7 juta pria. Dengan jutaan pria yang diberhentikan dari sektor industri dan menjadi tentara, wanita mulai mendapati diri mereka bekerja di tambang batu bara, pabrik baja, dan pabrik senjata untuk menggantikan para pria. Dengan kepergian suami ke medan perang, isteri mendapat kendali penuh atas rumah. Sehingga terkadang mereka harus melakukan tugas ganda bahkan tiga sekaligus. Meski demikian, para perempuan juga berkumpul untuk melakukan sesuatu sebagai dukungan untuk suami, anak atau ayah mereka yang berada di medan perang. Diantaranya adalah dengan membuat Senninbari. Senninbari ( ) yang berarti seribu jahitan merupakan ikat pinggang yang terbuat dari kain dan dihiasi dengan seribu jahitan benang merah yang dijahit oleh seribu orang. Ikat pinggang ini dibuat dan diberikan kepada prajurit yang akan pergi berperang untuk memastikan keberuntungan dan umur panjang bagi

pemakainya sebagai bagian dari kebudayaan shinto dalam kekaisaran Jepang. Selain itu mereka juga percaya bahwa dengan memakai ikat pinggang ini, pemakainya akan kebal dari peluru Amerika. Biasanya ikat pinggang ini di buat oleh ibu prajurit. Tapi karena jumlah jahitannya yang terlalu banyak, terkadang mereka berdiri di sudut-sudut jalan yang ramai dan meminta siapa saja yang lewat untuk membuat sebuah tusuk tunggal hingga seribu jahitan. Selama Perang Dunia II, perempuan-perempuan yang meminta bantuan membuat senninbari seperti itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Pada hari-hari sibuk saat perang, para perempuan yang tergabung dalam Asosiasi perempuan berkumpul dan memproduksi senninbari secara masal yang kemudian dimasukkan ke dalam kantong untuk dikirimkan pada para prajurit yang berperang di luar negeri. 2.2. Tonarigumi Sejak sebelum zaman Edo, masyarakat jepang sudah terbiasa hidup dalam suatu kelompok yang saling bekerja sama. Berdasarkan kebiasaan ini dibuatlah sebuah sistem yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah lembaga formal atas perintah Kementerian Dalam Negeri ( Naimush) yang berada di bawah kabinet perdana mentri Fumimaro Konoe. Sistem ini disebut Tonarigumi dan diresmikan pada tanggal 11 September 1940. Kata Tonarigumi ( ) sendiri merupakan bahasa Jepang yang dapat diartikan sebagai kelompok yang tinggal berdekatan atau tetangga. Biasanya anggota Tonarigumi terdiri dari 10 atau 15 rumah tangga dengan tujuan untuk mendukung gerakan nasional yang sedang dilakukan pemerintah pada saat itu. Kelompok Tonarigumi yang dibentuk oleh pemerintah selama Perang Dunia II memiliki tugas yang berbeda dari pada sistem Tonarigumi pada umumnya. Mereka adalah kelompok sukarelawan yang bertujuan untuk melakukan penanggulang 49

kebakaran dan pertahanan terhadap serangan udara. Tonarigumi juga dibentuk di wilayah yang diduduki oleh Jepang dengan tujuan yang sama, seperti yang dilakukan di Indonesia. Setelah Indonesia meredeka, sistem ini tetap dipertahankan dengan beberapa perubahan yang menyesuaikan kondisi masyarakat Indonesia. Sistem tersebut kemudian dikenal dengan Rukun Tetangga atau RT dalam masyarakat Indonesia. Selain itu, anggota Tonarigumi juga menerima pelatihan militer dasar untuk mengantisipasi pesawat musuh yang terbang di atas kota atau kapal-kapal yang mencurigakan di pantai. Beberapa kelompok tonarigumi juga ikut terlibat secara langsung dalam peperangan seperti pada pertempuran di Manchu , Chosen utara dan Karafuto saat Perang Pasifik hampir berakhir. Secara resmi kelompok ini dihapuskan pada tahun 1947 oleh pemerintah Amerika saat menduduki Jepang. Namun sistem ini tetap bertahan sampai sekarang pada batas tertentu dengan tujuan yang berbeda-beda seperti chonaikai atau jichikai yang secara suka rela mengkoordinasi kegiatan seperti pelestarian lingkungan dan penanggulangan terhadap bencana. 2.3. Para Relawan dan Kamikaze Selama masa perang, anak-anak di sekolah diajarkan untuk menghormati prajurit yang dianggap sebagai pahlawan. Ketika kondisi semakin memburuk pada tahun 1943, mahasiswa dan para pemuda yang berumur sekitar tujuh belas tahun ke atas pun ikut dikirim ke medan perang. Sistem pendidikan pada masa perang yang menekankan bahwa menjadi prajurit adalah suatu kehormatan, membuat para anak muda bersemangat pergi ke medan perang sebagai sukarelawan dan berjuang untuk negara mereka. Selain sukarelawan, ada pula satuan unit khusus yang dipersiapkan untuk melakukan serangan bunuh diri. Unit ini merupakan awak pesawat yang dengan sengaja menabrakkan pesawat mereka yang

penuh bahan peledak ke arah kapal-kapal laut dan pangkalan militer musuh. Dalam bahasa Jepang, unit-unit pelaku serangan bunuh diri itu disebut Tokubetsu Kogeki Tai ( ), yang secara harafiah berarti "Unit Serangan Khusus" dan biasa disingkat menjadi Tokkotai ( ). Pada Perang Dunia II, unit-unit ini awalnya berasal dari Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang disebut Shinpu Tokubetsu Kogeki Tai (), di mana shinpu ( ) adalah bacaan onyomi untuk karakter kanji yang sama yang membentuk perkataan kamikaze (). Jepang mulai menggunakan taktik ini ketika mereka merasa sudah tidak mampu menerobos armada tempur Amerika. Awalnya ide pembentukan unit ini dicetuskan oleh Vice Admiral Kimpei Teraoka, yang kemudian direalisasikan oleh Vice Admiral Takejiro Onishi yang menggantikan Teraoka pada Oktober 1944. Karena militer Jepang tidak mengalami kesulitan dalam hal perekrutan sukarelawan untuk misi kamikaze, banyak pilot-pilot berpengalaman yang mengajukan diri ditolak dengan pertimbangan mereka dianggap terlalu berharga untuk dikorbankan karena masih banyak tugastugas yang harus dilakukan oleh para pilot berpengalaman itu. Rata-rata para pelatih calon pilot Kamikaze mencari mahasiswa yang sedang dilatih sebagai sukarelawan. Sebelum menjalankan misi, biasanya diadakan suatu upacara bagi pilot-pilot Kamikaze untuk memohon doa dari kaluarga mereka dan diberi tanda jasa oleh petinggi militer Jepang. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan rasa nasionalisme dan patriotisme sekaligus menarik lebih banyak sukarelawan untuk bergabung dalam misi.

Penutup
Perang Dunia II merupakan perang terbesar dalam sejarah di mana semua pihak yang terlibat mengerahkan seluruh sektor ekonomi, industri, dan ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk memenuhi usaha perang. 50

Juga peleburan perbedaan status antara penduduk sipil dengan unsur-unsur militer. Hampir di semua negara, penduduk sipil dan militer mereka bersatu untuk memenangkan peperangan. Di Jepang sendiri, karena banyaknya pria yang direkrut sebagai tentara, para wanita harus menggantikan pekerjaan pria di segala sektor. Sehingga para wanita harus bekerja dua kali bahkan tiga kali lipat dari pada yang seharusnya. Anak-anak yang seharusnya bisa menikmati masa kecilnya dengan bahagia pun harus ikut terlibat dalam propaganda-propaganda yang dilakukan pemerintah guna membangkitkan jiwa patriotisme dan memperoleh dukungan sebesar-besarnya dari penduduk. Selain ketakutan akan serangan udara yang sewaktu-waktu bisa memusnahkan semua yang mereka miliki, para penduduk sipil Jepang juga harus berjuang untuk kehidupan sehari-hari yang semakin sulit. Mulai dari penjatahan bahan makanan yang sering kali tidak mencukupi, sampai pemberlakuan jam malam. Kondisi ini terasa semakin sulit menjelang berakhirnya perang ketika Jepang mulai kalah dari Amerika. Meski demikian, tidak sedikit yang mengajukan diri sebagai sukarelawan dan mempertaruhkan nyawa untuk mendukung usaha militer selama masa perang. Bahkan anak-anak pun ikut menyuarakan dukungannya pada para prajurit yang sedang bertempur.

Jousseaume, Floriane. JAPAN : illustrated slices of life during the Second World War. http://www.premiumwanadoo.com/renard/tra vaux/TPE/Eu/Japan/Japan.htm (diakses tanggal 13 Januari 2011) Kodansha. 1993, Japan an illustrated Encyclopedia. Jilid 2.Tokyo: Kodansha.

Daftar Pustaka
Anonim. 2010. Senninbari Thousand Stitch Belt. http://m1pencil.wordpress.com/2010/10/16/se nninbari-thousand-stitch-belt/ (diakses tanggal 17 Januari 2011) non-personal. 15 Januari 2010 . Kamikaze. http://en.wikipedia.org/wiki/Kamikaze (diakses 11 Desember 2010) non-personal. 15 Januari 2010 . Senninbari. http://en.wikipedia.org/wiki/Senninbari (diakses 11 Desember 2010) 51

Resensi Buku THE LAST SHOGUN -Kisah Hidup Tokugawa YoshinobuJudul buku Penulis Penerjemah Penrbit Ukuran Resensor Tebal Berat : The Last Shogun -Kisah Hidup Tokugawa Yoshinobu: Ryotaro Shiba : Latifa Ramonita : Penerbit Kantera : 13,5 x 20,5 : Florentina Adrienne A.C.* : 352 halaman : 400 gram

ISBN: 978-979-1924-03-0 Buku ini merupakan karya Ryotaro Shiba, salah seorang penulis yang dihormati di Jepang. Lulus dari Universitas Osaka jurusan studi luar negeri, di mana beliau mempelajari bahasa Mongolia, dan bergabung dalam Tentara Imperialis Jepang selama Perang Dunia II. Setelah perang, beliau bekerja sebagai reporter surat kabar, dan mulai menulis novel-novel sejarah. Beliau juga dikenal sebagai orang yang berjasa dalam bidang kebudayaan, dan menerima anugerah Order of Culture. Shiba meninggal dunia pada bulan Februari 1996. Buku ini menceritakan kehidupan Tokugawa Yoshinobu, mulai dari dilahirkan hingga akhir hayatnya sebagai shogun terakhir Jepang. Lahir di keluarga Mito di Edo, salah satu cabang dalam dinasti Tokugawa yang berkuasa, dengan nama Keiki (nama yang dikenakannya hingga masa pengangkatannya kelak menjadi shogun). Ayahnya, Tokugawa Nariakiseorang daimyo Mitoorang yang memperjuangkan pelajaran gaya barat dan aliran prokekaisaran (dan memusuhi keshogunan) dan anti bangsa asing. Beliau diidolakan oleh kaum loyalis. Saat itu, hubungan dengan
*Mahasiswa Sastra Jepang (2010) Email penulis: adriennetj@yahoo.com 18

bangsa asing dilarang oleh rezim Tokugawa. Tidak ada kerjasama dengan bangsa asing. Namun, tekanan internasional kepada Jepang semakin membesar secara perlahan-lahan. Jepang didesak agar bersedia membuka pelabuhan-pelabuhannya dan menjalin perdagangan dengan bangsa asing. Para patriot tidak suka gerakan-gerakan yang dianggap merusak kesucian Jepang, takut pada kekuatan militer Barat, dan juga keinginan untuk mengingkari hak bangsa asing yang masuk ke Jepang. Keiki bukanlah anak yang patuh begitu saja terhadap peraturan dan pengajaran kerasnya selama ini. Ia selalu bersemangat dalam belajar ilmu bela diri, namun Keiki tidak menyukai pelajaran membaca. Karena itu ia lebih suka dihukum oleh sang guru daripada ia harus membaca keras-keras. Sifat Keiki kasar dan tidak pedulian, cerdik dan kurang lemah lembut. Suatu ketika, keluarga Kii ingin mengadopsi salah satu anak keluarga Mito. Hal ini dimanfaatkan Nariaki untuk bisa masuk ke dalam keluarga Kii yang sangat berkuasa. Sebagai ayah dari calon shogun, tentu nantunya Nariaki akan memiliki otoritas besar di Istana Edo; di mana ia akan bisa memimpin kabinet keshogunan dan membungkam Ooku. Hal ini menunjukkan Nariaki sebagai seseorang yang 52

sangat ambisius. Ternyata, shogun ingin Keiki diadopsi oleh keluarga Hitotsubashi. Mengapa sang shogun yang begitu berkuasa ini mengadopsi Keiki? Hal ini disebabkan karena kondisi Ieyoshi yang kurang sehat dan kemungkinan tidak berumur panjang. Sedangkan sang ahli warisnya, Iesada, jauh lebih rapuh dan sakit-sakitan. Selain itu, Iesada juga kelihatannya tidak mampu secara seksual terhadap wanita dan tidak memiliki hasrat untuk memiliki keturunan, dan ia juga diramalkan mati muda. Karena itulah Tokugawa harus mencari anak adopsi. Tak lama kemudian shogun Ieyoshi meninggal dunia karena sakit, tanpa menunjukkan langkah resmi berkaitan dengan penggantinya. Ketika itu, Jepang sedang menghadapi kedatangan bangsa asing. Kedatangan bangsa asing tersebut amat ditentang oleh kaum nasionalis anti-bangsa asing yang dikepalai oleh Kaisar Komei dan Mito Nariaki, ayah Keiki. Mereka berkesimpulan berkaitan dengan perjanjian dagang dengan Perry, apabila mereka mengabulkannya, berarti sama saja artinya dengan menyerah tanpa perlawanan. Mereka beranggapan bahwa bangsa asing harus mampu mengalahkan mereka, dan jika mereka dikalahkan maka mereka akan menyerah. Shogun Ieyoshi meninggal pada puncak ketegangan terhadap Perry dan kapal-kapal perangnya. Keiki selalu memiliki banyak orang yang mendukungnya untuk menjadi seorang shogun di belakangnya. Namun orang yang tidak setuju dan takut jika ia menjadi shogun juga tidaklah sedikit. Ketika ia beranjak dewasa, Keiki dikenal sebagai seorang yang pandai berbicara, memiliki kharisma yang spesial, serta pandai berakting. Ia juga seorang pria yang tegas dan tidak plin-plan, selalu mengungkapkan apa yang diyakiniya. Ketika ada sebuah insiden yang menyebabkan ia diasingkan oleh para pendukungnya, ia tidak pernah merasa takut. Ia malah menghabiskan waktunya untuk memperkuat kekuatan politiknya tanpa menghiraukan pandangan orang lain. Mengapa banyak orang yang menjadi takut jika Keiki menjadi shogun? Hal ini

disebabkan dari latar belakang keluarganya, keluarga Mito, yang dianggap sebagai pemberontak. Apalagi ayahnya, Nariaki, yang memiliki sifat sangat ambisius. Mereka takut Keiki akan melakukan pemberontakan. Selain itu, mereka juga takut kalau Keiki akan membiarkan bangsa asing untuk masuk ke Jepang. Mengapa? Sebab Keiki menyukai kehidupan gaya barat, contohnya seperti menunggangg kuda. Ia memperoleh julukan Yang Bermuka Dua, karena menurut mereka ia bermaksud untuk menggulingkan keshogunan dan menjadikan dirinya sebagai Putra Langit. Namun, dengan segala ketidak sukaan dan cemooh yang mereka berikan kepadanya, banyak orang di dalam bakufu yang enggan berhadapan dengan Keiki. Keshogunan dan bakufu sudah mulai terpojok. Hal ini mengenai pembukaan Hyogo (saat ini dikenal sebagai Kobe). Sebab, bangsa asing telah mendesak pembukaan pelabuhan. shogun saat itu, Iemochi, yang terus menerus didesak untuk segera memberikan solusi akhirnya dalam keterpaksaan mengumumkan niatnya untuk mengundurkan diri sebagai jendral penumpas kaum barbar. Ia ingin Keiki mengambil alih tugasnya. Namun, sekali lagi, banyak orang yang menentang Keiki untuk menjadi shogun. Mereka lebih memilih untuk mati menyerang kediaman Hitotsubashi ketimbang melindungi Keiki yang menjadi shogun. Akhirnya Iemochi merubah instruksinya, untuk menghibahkan tugasnya kepada Tayasu Kamenosuke, jika terjadi sesuatu pada Iemochi. Namun, Kamenosuke baru berusia dua tahun, dan hal ini jelas mustahil. Maka, karena tidak ada pilihan lain, kabinet keshogunan mengajukan kepada Kaisar agar Keiki menjadi shogun selanjutnya. Mereka membujuk Keiki untuk menjadi shogun, namun ditolak. Ia malah memilih untuk menjadi kepala keluarga Tokugawa. Setelah menjadi kepala keluarga Tokugawa, yang ada di dalam benaknya adalah Chosu dan perang. Ia memerintahkan bawahannya untuk membeli kapal dan mempublikasikan serangan tersebut agar nyali musuh menjadi ciut dan meninggikan harga diri bakufu. Sang Kaisar pun 53

memberikan perintah pada Tokugawa Keiki untuk menyerang dan menaklukan Chosu, dan menganugerahkan pedangnya pada Keiki. Namun, kurang dari enam hari kemudian, Keiki mengurungkan niatnya untuk menyerang, dan mulai melakukan negosiasi perdamaian. Setelah berbagai peristiwa yang terjadi, akhirnya Keiki diangkat menjadi shogun, yang resmi menyandang nama Tokugawa Yoshinobu. Ia diangkat mejadi shogun Tokugawa kelima belas pada 10 Januari 1867. Ketika itu, Kaisar Komei jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Calon Kaisar yang baru adalah seorang remaja berusia empat belas tahun. Bulan-bulan pertama dalam jabatan Yoshinobu (Keiki) sangatlah kritis. Namun hal ini tidak lantas membuat kharismanya memudar. Tetap tidak ada seorang pun yang dapat mengunggulinya dalam perdebatan. Mereka yang tadinya geram dan kecewa terhadapa sikap dan keputusan tidak terduganya, alih-alih menjadi merasa takut terhadap Yoshinobu. Ernest Satow, seorang pelajar Inggris, diplomat dan Japanologis, menuliskan Yoshinobu sebagai salah satu warga Jepang yang terlihat paling aristokratis dan sebagi sosok yang penuh sopan santun. Di tengah masa keberhasilannya, rencana pengeluaran Dekrit Kekaisaran untuk menggulingkan keshogunan mulai dirancang, hal ini merupakan cara satu-satunya yang dapat mencegah perluasan pengaruh Yoshinobu. Yoshinobu sendiri sudah merasa bahwa rencana-rencana yang dibangun di Kyoto adalah untuk menggulingkan keshogunan. Yoshinobu setuju untuk mengembalikan kekuasaan kepada istana. Hal ini membuat banyak orang tercengang oleh sikap tak terduga darinya. Mereka bahkan tidak sanggup berkomentar ataupun menarik lengan bajunya ketika ia meninggalkan ruangan. Pada 10 November, rencana pengalihan kekuasaan diresmikan oleh istana kekaisaran. Yoshinobu menghabiskan waktunya dengan mengasingkan diri ke sebuah kuil, setelah ia dituduh sebagai pembelot kekaisaran akibat sebuah skenario licik yang

telah disusun. Pada tahun 1869 ia dianugerahi kebebasan, dan pada saat yang sama ia terlupakan oleh waktu. Dari Mito ia pindah ke Shizuoka. Sejak saat itu, Yoshinobu mengilang dari sejarah. Ia menenggelamkan dirinya dalam berbagai kegiatan. Ia gemar bermain anggar, polo, melukis serta fotografi. Ia bahkan dapat membordir. Ia menikmati kehidupannya yang baru. Ia menolak untuk bertemu dengan bekas pegawai-pegawainya. Ia khawatir jika ia membuka mulut maka orang akan salah paham terhadapnya dan membenci dirinya. Karena itulah ia menolak untuk bertemu siapapun, selain Shibusawa dan Katsu. Yoshinobu tidak memiliki perasaan dendam ataupun sakit hati terhadap rekan-rekan lama yang bahkan tidak mengunjunginya. Yoshinobu menderita penyakit radang paru-paru setelah menderita demam tinggi. Yoshinobu meninggal dunia pada 21 November 1913, pukul 4:10 sore. Upacara pemakamannya dilaksanakan mengikuto ritual Shinto yang menjadi agama resmi keluarga Mito. Pemakaman ini dihadiri oleh pihak kekaisaran bersama lebih dari tiga ratus mantan daimyo, dan yang mengejutkan adalah kedatangan perwakilan negara asing yang sangat banyak. Dari sudut pandang mereka, pemakaman ini menandakan gugurnya seorang mantan kepala negara, dan mereka memberikan penghormatan terakhir kepadanya. Tidak ada penghormatan dalam pemakaman kepala negara Jepang yang seagung pemakaman Yoshinobu, sebagai shogun terakhir negara itu. Sejak saat itu, Yoshinobu terus hidup di dalam emosi siapa pun yang teringat kembali pada masa-masa yang telah berlalu itu.

54

Ketentuan tulisan bagi penulis Gakushiki No Kura Jurnal Ilmiah Mahasiswa Sastra Jepang
Menerima tulisan ilmiah dari mahasiswa Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Tulisan orisinil tentang hal-hal yang berkaitan dengan Jepang (Kebudayaan Jepang, Linguistik Jepang,Sejarah jepang, Kesusastraan Jepang, dsb) dan belum pernah diterbitkan di media lain. Tulisan dapat berupa hasil penelitian, kajian terhadap suatu masalah, makalah ilmiah dan resensi buku. Tulisan didahului dengan abstrak (100 - 250 kata) dalam bahasa inggris dan dilengkapi dengan kata kunci (keyword). Panjang tulisan 5-10 halaman A4 spasi 1,5 dengan tipe huruf Times New Roman dengan format MS Word. Tulisan menggunakan judul yang jelas, singkat, padat, dan menarik disertai dengan identitas dan e-mail penulis beserta nomor telepon yang bisa dihubungi . Tulisan memperhatikan keobjektifan karya tulis dan kaidah penulisan dengan bahasa yang efisien dan efektif sesuai Ejaan yang Disempurnakan. Pertanggungjawaban isi tulisan ada pada penulis dan redaksi berwenang menyunting tulisan tanpa mengubah substansi isi tulisan. Kutipan dan daftar pustaka ditulis dengan menggunakan tata cara seperti contoh berikut serta diurutkan secara alfabetis dan kronologis. a. Kutipan dalam : ...............(Endaswara,2008:129) b. Catatan Kaki : Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra (Jakarta: PT. Buku Kita, 2008), hlm.129. c. Daftar Pustaka : Bellah, Robert.N.1992.Tokugawa Religion. Jakarta: Gramedia. Redaksi hanya memuat tulisan yang memenuhi persyaratan dan akan mengembalikan kepada penulis bila tulisan dipandang belum layak dimuat atau memerlukan revisi. Tulisan dapat dikirimkan melalui email gakushikinokura@gmail.com atau diserahkan langsung berupa soft copy dan hard copy sebanyak satu eksemplar kepada anggota redaksi Jurnal Mahasiswa Sastra Jepang Fakultas ilmu Budaya-Universitas Airlangga "Gakushiki No Kura". Perbandingan sumber pustaka dari buku sebaiknya lebih banyak daripada sumber pustaka dari internet (Kecuali yang diacuh dari internet adalah jurnal ilmiah).

55

56

You might also like