You are on page 1of 7

REFLEKSI KASUS Abses Peritonsillar

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Ilmu Kesehatan THT RSUD Tidar Magelang

Diajukan kepada Dr. H. Sudarmawan, Sp.THT

Disusun oleh : Hendra Setyawan 2008.031.0066

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2013

REFLEKSI KASUS

I.

KASUS
Seorang Ibu datang ke poliklinik THT RSUD TIDAR MAGELANG dengan keluhan

tenggorokan terasa sakit, tidak bias makan dan minum 3 hari ini, dan untuk membuka mulut terasa sakit. Ketika dilakukan pemeriksaan ditemukan tonsil hiperemis, eksudasi, mukosa di lipatan supratonsiller tampak pucat seperti bintil-bintil kecil.

II.

MASALAH YANG DIKAJI


Bagaimanakah penanganan pada pasien dengan perotonsillar abses yang masih

stadium infiltrate (permulaan)?

III.

PEMBAHASAN
Pada kasus diatas ditemukan adanya infiltrate pada lipatan supratonsiler, tampak

pucat seperti bintil-bintil kecil, yang menyebabkan pasien terasa sakit pada tenggorokan dan tidak bisa makan dan minum 3 hari ini. Abses peritonsil sering disebut sebagai Peritonsillar Abscess (PTA) atau Quinsy adalah suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai hasil dari tonsillitis supuratif.

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Abses peritonsil disebabkan oleh

organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah Streptococcus pyogenes (Group A Betahemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus sp. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. Sedangkan virus yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain Epstein-Barr, adenovirus, influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.

Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra lateral.

Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Selain itu, abses peritonsil terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsilitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. Abses peritonsil dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus EpsteinBarr (mononucleosis).

Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :

a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral. c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara parenteral atau peroral.

d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral. e) Pemberian steroid.

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug of chioce pada abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika dikombinasikan dengan metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15 mg/kg dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infus 7,5 mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari 4 gr/hari.

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.

Gambar 11. Insisi Abses Peritonsil

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsil berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.

Gambar 12. Tonsilektomi

Penggunaan steroid masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan

trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.

IV.

DOKUMENTASI
IDENTITAS PASIEN Nama Alamat Umur : Ny. Y : Gunung Kidul : 33 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : Swasta

V.

REFERENSI

Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi III Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1998.

Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.

Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi IV. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994.

Anggraini, D., Sikumbang, T. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi Fungsional. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.

Wanri, A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.

You might also like