You are on page 1of 2

Pengurangan Risiko Bencana Alam Melalui Penataan Lingkungan Bencana merupakan kejadian yang sering ditakuti oleh masyarakat.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya dua puluh jenis bencana di Indonesia dengan jumlah korban yang bervariasi. Pengertian bencana sendiri dirumuskan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yaitu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Dengan demikian, Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang di picu oleh suatu kejadian (http://www.bnpb.go.id/website/asp/content.asp?id=30). Ancaman bencana, timbul dari adanya potensi bahaya yang dimiliki suatu wilayah. Indonesia sendiri merupakan wilayah yang rawan bencana dengan posisinya yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, memiliki lebih dari 128 gunung berapi aktif, dan sekitar 150 sungai, baik besar maupun kecil, yang melintasi wilayah padat penduduk (BNPB, 2012). Dari tiga puluh tiga provinsi di Indonesia, 27 provinsi mmemiliki indeks rawan bencana yang tinggi (sumber: Indeks Rawan Bencana Indonesia: BNPB, 2011). Sementara itu kerentanan diartikan sebagai suatu kondisi yang ditentukan oleh faktorfaktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi bahaya (hazards) (BNPB, 2011). Kerugian akibat bencana (Risk) hanya akan terjadi ketika faktor bahaya (hazard) bertemu dengan adanya kerentanan (Vulnerability), yang digambarkan oleh persamaan matematis semu: R=HxV Melihat persamaan di atas, nampak bahwa risiko bencana sangat bisa untuk dikurangi atau bahkan dihindari. Segala upaya untuk mengurangi tingkat kerugian akibat terjadinya bencana biasa dibsebut dengan upaya Pengurangan Resiko Bencana (Disaster Risk Reduction) yang meliputi kegiatan pengurangan ancaman maupun kerentanan. United Nation dalam International Strategies for Disaster Reduction mengartikan kegiatan Disaster Risk Reduction sebagai The conceptual framework of elements considered with the possibilities to minimize vulnerabilities and disaster risks throughout a society, to avoid (prevention) or to limit (mitigation and preparedness) the adverse impacts of hazards,within the broad context of sustainable development. Salah satu kegiatan yang memiliki pengaruh dalam pengurangan risiko bencana ialah penataan lingkungan. Lingkungan dapat menjadi faktor ancaman maupun kerentanan pada saat terjadi bencana. Misalkan pada bencana gerakan tanah (longsor) yang merupakan bencana akibat hydrometeorological hazard sekaligus geological hazard. Parameter ancaman pada bencana ini meliputi: kemiringan lereng, jenis litologi dan / tanah, kondisi hidrologi lereng, struktur geologi, dan tata guna lahan. Sedangkan parameter

kerentanannya ialah kepadatan penduduk, jenis infrastuktur, dan jarak eksposure (Abi Suroso, 2006). Selain itu, kesiapan penduduk dalam merespons bencana juga menentukan besar kerugian yang terjadi akibat bencana longsor. Dapat dilihat bahwa kedua faktor di atas memiliki kaitan erat dengan penataan lingkungan. Turunan dari faktor-faktor tersebut akan sampai pada faktor curah hujan, ada/tidaknya vegetasi penahan, jenis vegetasi, ada/tidaknya infrastruktur penahan, dan penataan lahan. Curah hujan, bagaimanapun juga, tidak terlepas dari pengaruh climate change. Dengan demikian, upaya mitigasi bencana tidak terlepas dari upaya penataan lingkungan sehingga mencapai kondisi minimum adanya potensi kerusakan akibat bencana. Sementara itu selama dan setelah terjadinya bencana, kondisi lingkungan yang baik akan menurunkan risiko pertambahan korban dan mempercepat pemulihan. Kondisi lingkungan yang dimaksud termasuk penataan sistem sanitasi, penyediaan air bersih, dan sistem pembuangan. Hal ini pernah dicontohkan oleh komunitas penduduk di Nisichi Town, Jepang, ketika bencana Tsunami melanda kota tersebut. Masyarakat kota selain memiliki pembagian tugas yang jelas saat terjadi bencana, juga telah memiliki tatanan lingkungan yang baik sehingga dengan cepat masyarakat dapat segera bangkit dan memulihkan kondisi kota bahkan sebelum bantuan datang. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa besarnya upaya pemulihan akan bergantung pada mitigasi yang telah dilakukan. Dalam hal ini, adanya penataan lingkungan yang baik sebelum terjadinya bencana berdampak pada kemudahan dalam memulihkan fungsi kota secara cepat. Kondisi tersebut di atas berlaku untuk semua jenis bencana alamsetidaknya yang telah diklasifikasi oleh BNPB. Karena bagaimanapun, bencana tersebut berkaitan dengan komponen lingkungan alam baik berupa tanah, air, maupun udara.

April, 2012 Karissa Mayangsunda Philomela 15309008

You might also like