You are on page 1of 28

1

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae)yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India, kustha, yang sudah dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra juga disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Penyakit ini diduga berasal dari Afrika dan Asia tengah dan kemudian tersebar melalui perpindahan penduduk di beberapa belahan dunia, penyebaran penyakit tersebut

umumnya dibawa oleh para pedagang yang melintasi batas negara. Sedangkan kusta masuk ke Indonesia ini melalui pedagang dan penyebar agama sekitar abad ke IV-V oleh orang india Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat 249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668 orang. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

ANATOMI KULIT Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup

manusia. Luas kulit orang dewasa 2m2 dengan berat kira-kira 16% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangan kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh6. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu . Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ektoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat.

Gambar 2.1 anatomi kulit (Sumber: Fitzpatricks; 44)

2.1.1 EPIDERMIS Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbedabeda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) :1 1. Stratum Korneum. Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. 2. Stratum Lusidum Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis. 3. Stratum Granulosum. Ditandai oleh 3-5 lapis sel poligonal gepeng yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans. 4. Stratum Spinosum. Terdapat berkas-berkas filamen yang dinamakan tonofibril, dianggap faktor-filamen tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat sel Langerhans. 5. Stratum Basale (Stratum Germinativum). Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit.

Gambar 2.2 Epidermis dan lapisan-lapisannya (Sumber: Rooks; 60)

Fungsi Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans).1

2.1.2

DERMIS Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai True

Skin. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm.1 Dermis terdiri dari dua lapisan : Lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang. Lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat.

Gambar 2.3 Dermis (Sumber: Rooks; 54)

Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi kehilangan kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput. Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis. Fungsi Dermis : struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi. 2

2.1.3 SUBKUTIS Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di

bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi Subkutis / hipodermis : melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber. 2

2.1.4 VASKULARISASI KULIT Vaskularisasi dikulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak dibagian atas dermis (pleksus superficial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda). Pleksus yang didermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus yang di subkutis dan di pars retikulare juga mengadakan anastomosis, dibagian ini pembuluh darah berukuran besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah bening5.

2.2 1.

FISIOLOGI KULIT Fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau mekanik, misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimia misalnya zat-zat kimia terutama yang bersifat panas, misalnya radiasi, sengatan sinar ultra violet, gangguan infeksi luar terutama kuman/bakteri maupun jamur5. Hal diatas dimungkinkan karena adanya bantalan lemak yang berperan sebagai pelindung terhadap gangguan fisik. Melanosit turut berperan dalam melindungi kulit terhadap pajanan sinar matahari dengan mengadakan tanning. Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat stratum korneum yang impermeabel terhadap berbagai zat kimia dan air, disamping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat-zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman kulit ini mungkin terbentuk dari hasi ekskresi keringat dan sebum, keasaman kulit menyebabkan pH kulit berkisar pada pH 5-6,5 sehingga merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri maupun jamur. Proses keratinisasi juga berperanan sebagai sawar (barrier) mekanis karena sel-sel mati melepaskan diri secara teratur5.

2.

Fungsi absorpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah di serap, begitupun yang larut lemak.

Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum5. 3. Fungsi eskresi, kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi dan sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat dan ammonia5. 4. Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan Krause yang terletak di dermis. Badan taktil Meissner terletak di papilla dermis berperan terhadap rabaan. Demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di epidermis5. 5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), kulit melakukan peranan ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit5. 6. 7. Fungsi pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak dilapisan basal5. Fungsi keratinisasi, lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel utama yaitu keratinosit, sel Langerhans, melanosit. Keratinosit dimulai dari sel basal mengadakan pembelahan, sel basal yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum, makin keatas sel menjadi makin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin lama inti menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung terus menerus seumur hidup5. 8. Fungsi pembentukan vit D, dimungkinkan dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar matahari. Pada manusia kulit dapat pula mengekspresikan emosi karena adanya pembuluh darah, kelenjar keringat dan otot-otot dibawah kulit5.

2.3

MORBUS HANSEN

2.3.1 DEFINISI Morbus hansen atau yang kita kenal sebagai lepra atau kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang intraselular obligat. Saraf perifer

sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudain dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat5.

2.3.2

EPIDEMIOLOGI Penyebaran kusta dari satu tempat ke tampat lainnya sampai ke seluruh dunia diduga

disebabkan karena perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Distribusi penyakit ini di tiap-tiap negara maupun dalam satu negara sendiri ternyata berbeda-beda, faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularannya, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, imunitas, dan keadaan sosial ekonomi. 5

2.3.3 ETIOLOGI Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 m x 0,5 m, tahan asam dan alkohol, gram positif. 4 Bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C, tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan. Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki dan testis) dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung). 3,4

2.3.4

KLASIFIKASI Klasifikasi menurut Madrid pada tahun 1953, lepra dibagi menjadi 4 tipe, yaitu : Intermediate (I) Tuberkuloid (T) Borderline (B) Lepromatose (L)

Klasifikasi menurut Ridley-Jopling7: 1. Tipe Tuberkuloid (TT) Lesi ini mengenai kulit dan saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas tegas dan pada bagian tengah di temukan lesi regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda respon imun yang adekuat terhadap kusta. 2. Tipe Borderline Tuberculoid (BT) Lesi tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal. 3. Tipe Mid Borderline (BB) Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi mengkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Bisa di dapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini. 4. Tipe Borderline Lepromatous (BL) Secara klasik lesi diawali dengan makula yang main lama makin menyebar keseluruh badan. Dapat di temukan papul dan nodul dengan distribusi yang hampir simetris. Lesi pada bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas di bandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched out. Kerusakan saraf di tandai dengan hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut, dimana ini lebih cepat muncul di bandingkan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada predileksi. 5. Tipe Lepromatosa (LL)

10

Pada tipe ini di temukan jumlah lesi lebih banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritem, berkilap, batas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada bagian badan mengenai bagian badan yang dingin, lengan, pungung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yag progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat di jumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang lama kelamaan menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas akan menyebabkan stocking & gloves anaestesia. Bila penyakit ini progresif, muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus.

Klasifikasi WHO (1981) dibagi menjadi: 1. Multibasilar Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ 2. Pausibasilar Yang termasuk pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+

Pada tahun 1987 terjadi perubahan: 1. Pausibasilar: kusta dengan BTA negative pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit (tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling). 2. Multibasilar: semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinik dengan BTA +.

11

Tabel 2.1 Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi3

Klasifikasi

Zona Spektrum Kusta

Ridley Jopling

&

TT

BT

BB

BL

LL

Madrid

Tuberkuloid

Borderline

Lepromatosa

WHO

Pausibasilar (PB)

Multibasilar (MB)

Puskesmas

PB

MB

2.3.5 PATOGENESIS Cara masuk M. leprae ke dalam tubuh belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat, atau inhalasi M.leprae. Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang. Patogenesis dan gejala klinik tergambar dari 4 prinsip kerusakan jaringan, diantaranya: 3,4 1. Derajat keaktifan CMI. Pada tipe LL terjadi kegagalan cell-mediated immunity (CMI) terhadap M.leprae dengan resultan multiplikasi basilar, penyebaran dan akumulasi antigen di dalam jaringan yang terinfeksi. Ketidakhadiran dari limfosit yang teraktivasi dan makrofag berarti bahwa kerusakan saraf terjadi secara perlahan dan gradual. Pada tipe tuberkuloid, CMI terekspresi kuat maka dari itu terjadi pembatasan infeksi hanya pada satu atau sebagian kecil kulit dan saraf tepi. Infiltrasi limfosit yang terjadi terus-menerus menyebabkan kerusakan saraf. Antara kedua tipe polar

12

tersebut terdapat tipe Borderline yang memiliki keseimbangan antara ekspresi CMI dan jumlah basilar. 2. Luasnya multiplikasi dan penyebaran basil. Pada kusta tipe LL penyebaran basil secara hematogen terjadi pada bagian tubuh yang dingin, bagian superfisial seperti mata, mukosa traktus respiratorius bagian atas, testis, otot polos dan tulang lengan, tungkai dan muka, dan tentunya sistem saraf tepi dan kulit. Pada tipe tuberkuloid multiplikasi dan penyebaran basil terbatas pada sebagain kecil tempat dan tidak ditemukan basil. 3. Gambaran kerusakan jaringan dan komplikasi imunologi. Reaksi lepra. Pasien tipe borderline (Borderline Tuberkuloid; BT, Borderline; BB, Borderline Lepromatosa; BL) merupakan tipe yang tidak stabil dan memiliki risiko terhadap peningkatan mediasi imun. Reaksi hipersensitivitas tipe I terjadi sebagai akibat peningkatan pengenalan antigen M.leprae pada kulit dan sistem saraf. Reaksi hipersensitivitas tipe II, eritema nodosum leprosum (ENL) biasanya disebabkan oleh deposisi kompleks imun dan terjadi pada pasien tipe BL dan LL yang memproduksi antibodi dan antigen dalam jumlah besar. 4. Perkembangan kerusakan saraf dan komplikasinya. Kerusakan saraf terjadi dalam 2 mekanisme, pada lesi kulit dan saraf tepi. Pada lesi kulit, serabut saraf sensorik dan otonom yang mempersarafi dermis dan struktur subkutan menjadi rusak , menyebabkan hilangnya sensorik lokal, dan hilangnya kemampuan kulit untuk menghasilkan keringat. Pada sistem saraf tepi yang terletak superfisial atau di dalam terowongan fibro-osseus menjadi rentan, pada titik ini sebuah peningkatan diameter serabut saraf akan menyebabkan tekanan intraneural meningkat, dengan konsekuensi terjadinya kompresi saraf dan iskemik. Kerusakan sistem saraf tepi menyebabkan timbulnya tanda-tanda karakteristik hilangnya sensorik dermatomal dan disfungsi otot.

13

2.3.6 GEJALA KLINIK

Tabel 2.2 Gejala klinik kusta tipe Pausibasiler (PB)5 Sifat Lesi Bentuk Tuberkuloid (TT) Borderline Tuberkuloid (BT) Makula dibatasi infiltrate, infiltrate saja. Beberapa atau satu Masih asimetris Kering bersisik Jelas Jelas Indeterminate (I)

Makula saja, dibatasi infiltrate. Satu Asimetris Kering bersisik Jelas Jelas

Hanya macula

Jumlah Distribusi Permukaan Batas Anestesi BTA Lesi kulit Tes lepromin

Satu atau beberapa Variasi Halus, agak berkilat Dapat jelas atau tidak jelas Tak ada sampai tak jelas Biasanya negative Dapat positif lemah atau negative

Hampir selalu negatif Positif kuat (3+)

Negative atau hanya 1+ Positif lemah

Tabel 2.3 Gejala klinik kusta tipe Multibasiler (MB)5 Sifat Lesi Bentuk Jumlah Lepromatosa (LL) Borderline Lepromatosa (BL) Makula, palakt, papul. Sukar dihitung, masih ada kulit sehat Hampir simetris Halus berkilat Agak jelas Tak jelas Mid Borderline (BB)

Distribusi Permukaan Batas Anestesi BTA Lesi kulit Sekret hidung Tes lepromin

Makula, infiltrate difus,papul, nodus Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat Simetris Halus berkilat Tidak jelas Tidak ada sampai tidak jelas Banyak (ada globus) Banyak (ada globus) Negative

Plakat, dome-shaped (kubah), punched-out Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada Asimetris Agak kasar, agak berkilat Agak jelas Lebih jelas

Banyak Biasanya negative Negative

Agak banyak Negative Biasanya negatif

14

2.3.7 KECACATAN KUSTA Kecacatan kusta dibagi dalam cacat primer dan cacat sekunder. Cacat primer terjadi akibat langsung dari granuloma yang terbentuk terhadap reaksi M.leprae yang merusak dan mendesak jaringan sekitarnya. Cacat sekunder terjadi akibat adanya deformitaas primer, terutama kerusakan saraf. 1. Disabilitas okuler: terjadi karena banyak faktor, termasuk diantaranya mata yang kering, kornea yang tidak sensitif, dan lagoftalmus. Keratitis dan lesi pada bilik mata depan, (paling sering adalah iritis) dapat berakhir dengan kebutaan. 2. Disabilitas pada tangan dan kaki: kelemahan otot terjadi karena hilangnya persarafan, merupakan suatu keadaan yang menyebabkan disabilitas. Saat pasien tidak mampu lagi merasakan sensasi panas dan tajam maka saraf telah cedera. Cedera tersebut menyebabkan mudah terjadinya infeksi, karena pasien tidak dapat merasakan nyeri, infeksi mudah menjadi luas, berulang, merupakan sumber dari kerusakan jaringan yang parah pada kusta. Kontraktur terjadi karena kelemahan otot dan dapat pula terjadi luka yang menghasilkan deformitas lanjut. Insufisiensi vena dapat mengakibatkan terjadinya dermatitis stasis. 4 3. Tabel 2.4 Klasifikasi cacat menurut WHO5

Tingkat 0 : Tingkat 1 : Tingkat 2 :

Cacat pada tangan dan kaki tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat terdapat kerusakan atau deformitas Cacat pada mata tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus) ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmus, iritis, kekeruhan kornea) dan atau visus sangat terganggu

Tingkat 0 : Tingkat 1 : Tingkat 2 :

15

2.3.8 DIAGNOSIS Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan 2 dari 3 temuan klinis. Terdapat tanda kardinal diantaranya: 3,4 1. Anestesi dari lesi kulit, atau dalam distribusi saraf perifer, atau pada permukaan dorsal tangan dan kaki, 2. Penebalan saraf, terutama tempat predileksi, 3. Ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada jaringan.

Pemeriksaan klinis:5 a) Pemeriksaan kulit: inspeksi: dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan, apakah terdapat kelainan kulit berupa nodus, infiltrat, jaringan parut, ulcus terutama pada tangan dan kaki palpasi: pemeriksaan rasa raba pd kelainan kulit berupa: anestesi,

suhu/temperatur, nyeri/sakit b) Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya: Dilakukan palpasi untuk memeriksa kelainan saraf apakah ada penebalan atau nyeri tekan. Saat memeriksa nyeri tekan, harus diperhatikan raut wajah pasien apakah ia kesakitan atau tidak, bukan di tanyakan. Saraf-saraf yang dikenai:5 N. Auricularis magnus N. Facialis N. Trigeminus N. Radialis N. Ulnaris N. Medianus

16

N. Peroneus communis N. Tibialis posterior

Untuk test fungsi saraf, selain dilakukan test untuk rasa raba, rasa nyeri, rasa suhu seperti yang diatas tadi dgn menggunakan kapas, jarum dan tabung reaksi berisi air hangat dan dingin. c) Pemeriksaan Bakteriologis Tujuannya adalah: 1. Membantu menegakan diagnosis penyakit kusta 2. Menentukan klasifikasi tipe kusta 3. Membantu menilai hasil pengobatan Pewarnaan yang dipakai: 1. Ziehl Nielsen 2. Modifikasi Ziehl Nielsen Bentuk-bentuk kuman kusta dilihat di bawah mikroskop: 1. Bentuk utuh/solid Dinding sel tidak putus Zat warna secara merata Panjang kuman 4x lebarnya

2. Bentuk pecah-pecah/fragmented Dinding sel terputus sebagian atau seluruhnya Zat warna tidak merata

3. Bentuk granular/granulated Menyerupai titik-titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok

4. Bentuk Globus Beberapa bentuk utuh atau Fragmented atau granulated mengadakan ikatan atau kelompok-kelompok:

17

kelompok kecil 40-60 BTA kelompok besar 200-300 BTA

5. Bentuk Clumps Beberapa bentuk granular membentuk pulau-pulau tersendiri (lebih dari 500 BTA).

INDEKS BAKTERI (IB) Merupakan pengukuran semi kwantitatif kepadatan BTA di dalam sediaan hapus gunanya:4,5 1. Membantu menentukan tipe Lepra 2. Menilai hasil pengobatan Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY,mulai dari nol sampai dengan positif enam. 1+ = 1-10 BTA/ 100 LP 2+ = 1-10 BTA/ 10 LP 3+ = 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP 4+ = 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP 5+ = 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP 6+ = > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

INDEKS MORFOLOGI (IM) Merupakan presentase basil lepra bentuk utuh (solid) terhadap seluruh BTA

IM =

18

Tujuannya adalah:4,5 1. Mengetahui daya penularan kuman 2. Menilai hasil pengobatan 3. Menentukan resistensi terhadap obat

Tes Lepromin Tes lepromin merupakan tes non-spesifik untuk membantu diagnosis dan

mengklasifikasikan kasus kusta. Tes lepromin positif kuat pada TT, positif lemah pada tipe BT, negatif pada tipe BB, BL, dan LL. Lepromin 0,1 ml disuntikkan intradermal, dan reaksi dibaca pada 48 jam (reaksi Fernandez) atau 3-4 minggu (reaksi Mitsuda). Respon Fernandez menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap komponen larut lepromin. Respon Mitsuda merupakan respon granulomatosa.4

2.3.9

DIAGNOSIS BANDING 1. Lesi makular: dapat didiagnosis banding dengan vitiligo, namun pada vitiligo terjadi depigmentasi, sedangkan pada kusta makula hipopigmentasi, dapat juga di diagnosis banding dengan pitiriasis versikolor, meski terdapat makula hipopigmentasi dan tidak selalu bersisik tetapi distribusi nya sentral pada batang tubuh. Pada tinea korporis pasien merasa gatal.4 2. Plak dan lesi anular: granuloma multiforme, sarkoidosis, tuberkulosis kutis memiliki gejala yang sama, namun yang membedakan tidak terdapat anestesi. Dapat pula terjadi pembesaran saraf tepi pada sarkoidosis.4 3. Saraf: penebalan saraf tepi sangat jarang terdapat selain pada kusta.4

19

2.3.10 PENATALAKSANAAN Terdapat lima prinsip utama dalam perawatan, diantaranya: 5 1. menghentikan infeksi dengan kemoterapi 2. mengobati reaksi dan mengurangi resiko kerusakan saraf lebih lanjut 3. mendidik pasien untuk mengatasi kerusakan saraf yang terjadi 4. mencegah komplikasi kerusakan saraf 5. rehabilitasi pasien secara sosial dan psikologis Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan kerjasama pasien dengan tenaga medis. Sedapat mungkin hal ini harus dilakukan melalui klinik rawat jalan. Pasien akan sering membutuhkan beberapa konsultasi segera setelah diagnosis untuk mengatasi ketakutan mereka dan membangun kepercayaan mereka.5

Tabel 2.5 PB (lesi dengan BTA-) dengan lesi tunggal diberikan Rifampisin, Ofloksasin, Minosiklin. 5 Rifampisin Dewasa 600 mg (50-70 kg) Anak 300 mg 200 mg 50 mg 400 mg 100 mg Ofloksasin Minosiklin

a) Pemberian obat sekali saja (Release From Treatment) b) Obat diminum didepan petugas c) Anak-anak < 5 tahun dan Ibu hamil tidak di berikan d) Bila obat belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5) e) Bila lesi tunggal dengan pembesaran saraf diberikan regimen pengobatan PB lesi (2-5)

20

Tabel 2.6 Tipe PB dengan lesi 2 sampai 5 5 Rifampisin 600 mg/bulan Dewasa Diminum di depan petugas kesehatan Anak-anak (10-14th) 450 mg/bulan Diminum di depan petugas kesehatan Rumah 50 mg/hari Diminum di rumah Dapson 100 mg/hr diminum di

Lama pengobatan 6 dosis ini diselesaikan selama (6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat.5

Tabel 2.7 Tipe MB (lesi dengan BTA+ ditemukan satu atau lebih pada sediaan apus ataupun bipsi) dengan lesi kulit > 5 5 Rifampisin Dewasa 600mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan Dapson 100mg/hari diminum di rumah Lamprene 300mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan dilanjutkan dengan 50mg/hari diminum di rumah 150mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan dilanjutkan dengan 50 mg selang sehari diminum di rumah

Anak-anak 450mg/bulan (10-14tahun) diminum di depan petugas

50mg/hari diminum di rumah

Lama pengobatan 12 dosis ini dapat diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah RFT dilakukan tindak lanjut berupa follow up secara klinis dan bakterioskopis setiap tahun selama

21

lima tahun . Kalau bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ditemukan lesi baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan Release From Control (RFC). 5

2.3.11 PENCEGAHAN Dermatologis sekarang memainkan peranan kunci dalam mendiagnosis dan mengobati penderita kusta. Strategi WHO saat ini menekankan pentingnya kualitas pelayanan yang dapat di akses, terpusat, memberikan pengobatan gratis dengan MDT, melakukan pencegahan kecacatan sesuai prosedur, dan merujuk pasien untuk mengelola komplikasi. Pentingnya melatih tenaga ahli untuk mengenali kusta. 4

Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiloginya belum jelas betul. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong didalamnya.5 Diantaranya: - Reaksi tipe 1 terjadi pada kusta tipe borderline dengan karakteristik neuritis akut dan/atau lesi inflamasi kulit akut. Lesi kulit menjadi eritem atau edematous dapat pula terjadi deskuamasi atau ulkus namun jarang (Gambar 2.4).4

22

Gambar 2.4 Reaksi tipe 1 (Sumber: Rookss; 1480)

Kadang-kadang dapat terjadi edema wajah, tangan, atau kaki dapat terjadi, namun tidak lazim. - Reaksi tipe 2 (ENL) reaksi ini terjadi pada pasien dengan kusta tipe multibasiler (LL dan BL). Terjadi spontan (lepra roseolar) atau terjadi sementara saat pengobatan. 50% dari tipe LL, dan 15% dari tipe BL pasien mungkin saja mengalami reaksi ENL. Serangan dapat akut pada awalnya, namun dapat berkepanjangan atau berulang selama beberapa tahun dan akhirnya tenang namun berbahaya, terutama menyerang mata. ENL bermanifestasi sebagai nodul merah, nyeri, pada wajah dan permukaan ekstensor tungkai. Lesi mungkin terletak superficial, atau dalam, bernanah (Gambar 2.21), ulkus (Gambar 2.22). Lesi akut dan deskuamasi akan memudar dalam beberapa hari (Gambar 2.22). ENL adalah gangguan sistemik yang mengakibatkan febris, malese, dan dapat pula disertai uveitis, daktilitis, arthritis, neuritis, limfadenitis, miositis, dan orkhitis. Komplikasi ENL yang paling serius adalah neuritis saraf perifer, dan uveitis akibat komplikasi sinekia, katarak, dan glaukoma.4

23

Gambar 2.5 Nodul merah pada ENL (Sumber: Rookss; 1481)

24

Gambar 2.6 Ulkus pada ENL (Sumber: Rookss; 1481)

Fenomena Lusio Fenomena lusio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non-nodular difus.4 Fenomena ini hanya terjadi pada pasien dengan kusta Lusio. Hal ini terjadi karena infark pada vaskulitis, dan menyebabkan munculnya patch eritematosa dengan bentuk tidak teratur yang lama kelamaan menjadi gelap dan menyembuh, atau dapat juga berbentuk bula yang berubah jadi ulkus dalam yang nyeri dan penyembuhannya lambat (Gambar 2.23).4

25

Gambar 2.7 Fenomena Lusio (Sumber: Rookss; 1481)

Penatalaksanaan 1. Pengobatan reaksi tipe 2 (ENL) Obat yang paling sering dipakai adalah kortikosteroid, yaitu prednison dengan dosis 15 30 mg perhari. Makin berat reaksi makin tinggi dosisnya, bila reaksi terlalu ringan tidak perlu diberikan. Jika terjadi perbaikan reaksi dosis diturunkan secara bertahap. Terdapat kemungkinan timbulnya ketergantungan terhadap kortikosteroid, sehingga ENL timbul jika obat dihentikan dan penderita harus mendapatkan kortikosteroid terus menerus. Obat yang dianggap sebagai pilihan pertama adalah talidomid tapi harus berhati-hati karena teratogenik tidak boleh diberikan kepada orang hamil dan masa subur. Klofazimin dapat diberikan sebagai anti reaksi ENL dengan dosis yang lebih tinggi biasanya 200-300 mg perhari. Selama penaggulangan ENL obat anti kusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa pengurangan dosis.5

26

2. Pengobatan reaksi tipe 1 (reversal) Perhatikan disertai dengan neuritis atau tidak, jika tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Jika ada neuritis akut dapat diberikan prednison 40mg sehari kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan dilakukan secepat-cepatnya dengan dosis adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Analgetik dan sedativa diberikan jika diperlukan.klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif.5 Tabel 2.8 Penatalaksanaan reaksi kusta 3

2.3.12 PROGNOSIS Pengobatan dengan antibiotik saat ini sangat efektif, namun harus di lakukan secara rutin selama berbulan-bulan. Jika pasien tidak patuh, pasien akan jatuh pada keadaan downgrade. Pada pasien dengan tipe borderline dapat terjadi reaksi kusta tipe I yang dapat menyebabkan kerusakan saraf, prognosis menjadi buruk jika terjadi kerusakan saraf yang mengenai ekstremitas terutama jika sudah mengenai ke empat anggota gerak.4

27

BAB III KESIMPULAN

Kusta merupakan penyakit infeksi kronik dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, disusul kulit, mukosa traktus respiratorius, lalu ke organ lain (kecuali susunan saraf pusat). Distribusi penyakit ini di tiap-tiap negara maupun dalam satu negara sendiri ternyata berbeda-beda, faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularannya, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, imunitas, dan keadaan sosial ekonomi. Diagnosis penyakit kusta ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan bakteriologis dan histopatologis. Prognosis di tentukan oleh derajat penyakit, luas lesi dan kepatuhan pasien terhadap pengobatan Strategi WHO saat ini menekankan pentingnya kualitas pelayanan yang dapat di akses, terpusat, memberikan pengobatan gratis dengan MDT, melakukan pencegahan kecacatan sesuai prosedur, dan merujuk pasien untuk mengelola komplikasi. Pentingnya melatih tenaga ahli untuk mengenali kusta Pengobatan dengan antibiotik saat ini sangat efektif, namun harus di lakukan secara rutin selama berbulan-bulan. Jika pasien tidak patuh, pasien akan jatuh pada keadaan downgrade

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Junqueira LC. Histology dasar. Ed 10. Jakarta : EGC ; 2007. 2. Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC. 3. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick . Fitzpatrick's Color Atlasand Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed . USA: McGraw-Hill. 2007. P 665-671 4. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffits C. Rooks Textbook of Dermatology 8th ed. USA: McGraw-Hill. 2010. P1469-1487. 5 Adhi D., Mochtar H., Siti A. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 6 Gerard J. Tortora, Bryan H. Derrickson. 2011. Principles of anatomy and physiology. 13
th

ed. Asia: John Wiley and Sons.

7 Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to immunity: a five group system. Int J Lep 1996; 34: 255-77.

You might also like