You are on page 1of 29

7 II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Teori 1. Diabetes Melitus Tipe 2 a. Definisi Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI,2011). Menurut WHO tahun 2002 DM merupakan kumpulan masalah anatomi dan kimiawi akibat dari faktor-faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Alberti dan Zimet, 1999; Gustaviani, 2006). b. Klasifikasi Menurut PERKENI tahun 2011, DM terbagi menjadi : 1. Diabetes melitus tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM) Defisiensi insulin absolut yang disebabkan oleh destruksi sel beta pulau Langerhans akibat proses autoimun dan idiopatik, 2. Diabetes melitus tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus/NIDDM) a) Resistensi insulin yang dominan disertai dengan defisiensi insulin relative b) Defek sekresi insulin yang dominan disertai dengan resistensi insulin 3. Diabetes melitus tipe lain Tipe ini disebabkan oleh: a) Kelainan genetic fungsi sel beta

8 b) Defek genetic kerja insulin c) Penyakit eksokrin pancreas d) Endokrinopati e) Karena obat/zat kimia f) Infeksi g) Imunologi h) Sindrom genetic lain (Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner) 4. Diabetes melitus kehamilan (gestasional) DM pada masa kehamilan (American Diabetes Association, 2010) 5. Gangguan toleransi glukosa (IGT) (American Diabetes Association, 2010) 6. Gangguan glukosa puasa (IFG) (American Diabetes Association, 2010) c. Faktor Resiko (PERKENI, 2011) 1) Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun) 2) Kegemukan (IMT >27 kg/m2) 3) Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg) 4) Riwayat keluarga DM 5) Riwayat kehamilan dengn berat badan lahir bayi > 4000 gram 6) Riwayat DM pada kehamilan 7) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl DAN ATAU Trigliserid > 250 mg/dl) 8) Pernah toleransi glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT)

9 d. Patogenesis Penyebab DM yaitu karena defisiensi absolut atau relative dari insulin. Kadar glucagon pada DM tipe 1 dan DM tipe 2 meningkat dengan tidak semestinya (Marfianti 2006). Hiperglikemia pada DM tipe 2 disebabkan karena adanya gangguan sekresi insulin dan penurunan sensitifitas insulin (Schteingart. 2005). DM tipe 2 disebabkan oleh gangguan sekresi insulin resistensi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan (Wiyono, 2003). Insulin akan mengikat dirinya pada reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien DM tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsive terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsic. Akibatanya, terjadi penggabungan normal antara kompleks reseptor insulin dengan system transport glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. pada akhirnya timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia (Schteingart. 2005). Faktor seperti obesitas, diet tinggi lemak, diet rendah karbohidrat, kurang aktifitas dan faktor genetic mempunyai peranan dalam terjadinya resistensi insulin pada DM tipe 2 (Guyton, 1997). e. Gejala dan Tanda Gejala klasik dari penyakit DM adalah 3P (Polidipsi, Poliuria dan Polifagia) serta penurunan berat badan yang cepat tanpa sebab yang jelas. Polidipsi

10 adalah rasa haus yang berlebih, poliuria adalah peningkatan frekuensi buang air kecil terutama pada malam hari, polifagia adalah peningkatan nafsu makan. Selain itu, terdapat keluhan lain seperti badan lemah, kesemutan, gatal, padangan mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita (PERKENI, 2011). Tanda dari penyakit DM diperoleh dengan pemeriksaan kadar glukosa darah sebagai gold standar. Dikatakan seseorang menderita penyakit DM apabila kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L) dan atau kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L) (PERKENI, 2011; Sacher, 2004). Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Glukosa darah puasa merupakan hasil pemeriksaan pada pasien yang tidak mendapat tambahan kalori selama sedikitnya 8 jam (PERKENI, 2011) f. Kriteria Diganosis Diagnosis DM dapat ditegakkan pada seseorang (tidak sedang hamil) apabila menunjukkan salah satu kriteria berikut (PERKENI, 2011): 1. Gejala klasik DM disertai dengan kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L) 2. Gejala klasik DM disertai dengan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dL (7,0 mmol/L) 3. Kadar glukosa darah 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

11 TTGO sesuai dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Tabel 2.1 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (PERKENI, 2011) Bukan DM Belum pasti DM Kadar glukosa Plasma vena darah sewaktu (mg/dL) Darah Kapiler < 90 < 100 90-199 100-125 200 126 < 100 100-199 DM 200

Kadar glukosa Plasma vena darah puasa(mg/dL) g. Komplikasi Darah Kapiler

< 90

90-99

100

Komplikasi DM teridiri dari komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut yang dapat muncul adalah ketoasidosis (KAD), hiperosmolar, hiperglikemia, hipoglikemia (PERKENI, 2011) dan koma diabetik (Schteingart, 2005).

Komplikasi kronik yang muncul berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu (Permana, 2007; Schalkwijk dan Stehouwer, 2005): 1) Komplikasii mikrovaskuler : retinopati diabetic dan nefropati diabetic 2) Komplikasi makrovaskuler : penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung coroner), stroke, ulkus diabetic, dyslipidemia, penyakit pembuluh darah perifer, hipertensi 3) Komplikasi neurologis : polineuropati diabetika

2. Vitamin D

12 a. Sifat Kimia dan Struktur Vitamin D Vitamin D tidak memperlihatkan sifat vitamin sesungguhnya. Vitamin D tidak dibutuhkan dalam makanan tertentu, kondisi tertentu dan secara normal tidak dibuat oleh tanaman dan mikroorganisme dan mekanisme aktifitas esensialnya menyerupai hormone tiroid. Vitamin D dapat dikatakan pula sebagai hormone. Vitamin D dibuat dalam kulit dengan proses non enzimatis berkataliskan energy cahaya ultraviolet yang membutuhkan pravitamin. (Linder, 1992). Vitamin D dalam tubuh didapatkan dalam bentuk vitamin D endogen (vitamin D3) dan eksogen (vitamin D2). Untuk menjadi vitamin D yang aktif, dari kedua bentuk tersebut memerlukan metabolisme lebih lanjut. Vitamin D2 (Ergocalciferol) dan vitamin D3 (cholecalciferol) merupakan derivat steroid yang tebentuk dari ergosterol dan 7-dehydrocholesterol. Perbedaan antara vitamin D2 dan D3 yaitu dalam proses pembentukan rantai 19 carbon, tetapi dua sterol mempunyai kesamaan dalam aktifitas sebagai anti rakhitis pada manusia (Permana, 2009).

Gambar 2.1 Perbedaan Struktur D2 dan D3.

13 Kolekalsiferol yang didapat dari makanan maupun yang didapat dari sintesis di kulit mengalami dua kali hidroksilasi untuk menjadi metabolit aktif, 1,25-dihidroksivitamin D [1,25(OH)2D3] atau kalsitriol. Sedangkan ergokalsiferol dari makanan yang diperkaya mengalami hidroksilasi serupa untuk menghasilkan erkalsitriol (Bender dan Mayes, 2009). Sumber vitamin D hampir semua berasal dari air susu atau bahan-bahan makanan berfortifikasi vitamin D lainnya. Lemak ikan dan kuning telur secara alamiah banyak mengandung vitamin D, sedangkan bahan-bahan mentah seperti hati hewan hanya sedikit mengandung vitamin D (Linder, 1992).

Gambar 2.2 Struktur Vitamin D dalam berbagai fase.

14 b. Sintesis dan Metabolisme Vitamin D

Gambar 2.3 Metabolisme Vitamin D. Kebutuhan tubuh terhadap vitamin D dipenuhi melalui tiga sumber yaitu sinar matahari, makanan dan suplemen tambahan (Holick, 2007). Vitamin d disintesis di kulit. Di dalam tubuh terdapat 7-dehidrokolesterol yaitu suatu zat perantara dalam sintesis kolesterol yang menumpuk di kulit. Bila 7dehidrokolesterol terpajan oleh sinar ultraviolet maka akan mengalami reaksi nonenzimatik dan akan menghasilkan pravitamin D. Dalam beberapa jam kemudian pravitamin D akan mengalami reaksi selanjutnya untuk membentuk kolekalsiferol dan akan diserap ke dalam aliran darah (Bender dan Mayes, 2009). Vitamin D2 dan D3 yang berasal dari makanan dan suplementasi, bersamaan dengan vitamin D3 hasil fotosintesis akan bergabung dengan kilomikron dan memasuki sirkulasi vena (Holick, 2007) Setelah masuk ke sirkulasi vena, kemudian kolekalsiferol berikatan dengan vitamin D-binding protein (DBP), kemudian dibawa ke hepar (Bouillon, 2010). Di

15 hepar, kolekalsiferol dihidroksilasi menjadi bentuk turunan 25 hydroxycholecalcipherol [25-(OH)D3] atau kalsidiol dikatalis oleh vitamin D-25-

hidroksilase (25-OHase) (Holick, 2007). Kemudian senyawa ini dilepaskan ke sirkulasi dalam keadaan terikat pada globulin pengikat vitamin D yang merupakan bentuk simpanan utama vitamin ini (Bender dan Mayes, 2009). Bentuk [25-(OH)D] belum aktif dan perlu diubah menjadi 1,25 dihidroksivitamin D [1,25-(OH) 2D3] atau kalsitriol. Perubahan ini terjadi di ginjal oleh vitamin D-1a-hidroksilase (1OHase/CYP27B1) dengan bantuan PTH. Bentuk [1,25-(OH)2D3] adalah bentuk aktif dari vitamin D (Holick, 2007). Di ginjal, kalsidiol dapat juga mengalami 24hidroksilasi untuk menghasilkan metabolit yang mungkin inaktif, 24,25dihidroksivitamin D (24-hidroksikalsidiol) (Bender dan Mayes, 2009). Kemudian, 1,25 (OH)2D3 dilepaskan ke dalam sirkulasi di mana ia akan berikatan dengan vitamin D-binding protein (DBP) sampai mencapai jaringan target dan vitamin D reseptor (VDR). Vitamin D 24-hidroksilase (24-OHase) adalah enzim yang mengkatalisis katabolisme hormon dalam ginjal (Palomer, et al, 2008). Vitamin D yang diaktifkan dalam ginjal merupakan respons terhadap perubahan konsentrasi Ca. Sisa dari vitamin yang tidak dialirkan ke sirkulasi, maka akan disimpan dalam jaringan lemak untuk digunakan kemudian hari.Vitamin D dimetabolisme dan diekskresi dari tubuh melalui empedu, sebanyak 3% bisa hilang melalui urin (Linder, 1992) Fungsi dari DBP yaitu sebagai transporter dari metabolit vitamin D dan untuk endositosis serta metabolism vitamin D (Mathieu, et al, 2005). DBP juga memiliki fungsi mengikat globular aktin dan asam lemak serta immunomodulation

16 (Norman and Powell, 2005). DBP disintesis dan disekresikan oleh hati. DBP akan membentuk kompleks dengan vitamin D, yang kemudian akan dikirim ke jaringan target (Palomer, et al, 2008). Indikator pengukuran kadar vitamin D dalam darah menggunakan serum 25 (OH) D3 lebih baik daripada menggunakan serum 1,25 (OH) 2D3 (Zittermann, 2003) karena konsentrasi 25 (OH) D3 mencerminkan jumlah vitamin D yang bersirkulasi dalam darah selama 15 hari setelah pembentukannya, baik diproduksi dari kulit maupun diperoleh dari makanan atau suplemen. Namun, kadar calcidiol tersebut tidak mencerminkan kadar vitamin D yang disimpan di dalam sel dan jaringan tubuh. Dibandingkan dengan calcidiol, 1,25-dihydroxyvitamin D3 (calcitriol) hanya ada dalam sirkulasi darah selama 15 jam (Van den Berg, 1997; Pramanta, Mahardika, Benediktus, 2011) dan konsentrasinya sangat dipengaruhi oleh keadaan hiperparatiroid sekunder, hormone paratiroid, kalsium, dan fosfat, sehingga hasil pengukuran tidak valid apabila dilakukan pada kondisi tersebut (Zittermann, 2003).. Oleh karena itu, calcitriol tidak dapat dijadikan indikator kadar vitamin D dalam darah Kadar normal vitamin D (calcidiol / 25 (OH)D3) dalam darah dibagi menjadi tiga golongan (Kim, et al, 2008) : a. Normal : kadar > 30 ng/mL (75 nmol/L) b. Insufisiensi vitamin D : kadar 20-30 ng/mL (50-75 nmol/L) c. Defisiensi vitamin D : kadar < 20 ng/mL ( < 50 nmol/L)

17 c. Fungsi Vitamin D

Gambar 2.4 Organ target Vitamin D aktif. 1,25 (OH)2D3 merupakan bentuk aktif dari vitamin D. Tempat kerja dari 1,25 (OH)2D3 terdapat di jaringan perifer pada organ target. Organ target tersebut diantaranya adalah tulang, ginjal, usus, sel imun, sel B pancreas, kelenjar paratiroid, dan kulit. Fungsi dari 1,25 (OH)2D3 terbagi menjadi fungsi homeostasis mineral dan fungsi non skeletal. Fungsi homeostasis mineral terjadi pada organ usus, kelenjar paratiroid dan tulang, sedangkan fungsi non skeletal terdapat pada organ payudara, kolon, prostat, ginjal, pancreas dan sel imun (Sung, Liao, Lu, Wu, 2012).

18 Pada tulang 1,25 (OH)2D3 berperan untuk pertumbuhan, perkembangan dan proses remodeling pada tulang, mengaktifasi osteoclast, serta pemeliharaan dari homeostasis mineral. Di usus 1,25 (OH)2D3 membantu penyerapan kalsium dan fosfor melalui interaksi dengan kompleks reseptor vitamin D-Retinoic acid (VDRXDR). Untuk meningkatkan penyerapan dan memfasilitasi transport kalsium melalui stimulasi protein pengikat kalsium calbindin 9K (CaBP), kompleks tersebut akan berikatan dengan vitamin D-elemen responsive (VDRE) pada kanal kalsium epitel usus (Hollick, 2006).1,25 (OH)2D3 pada kelenjar paratiroid berfungsi untuk menurunkan sekresi hormone PTH. Pada sel imun, 1,25 (OH)2D3 berperan untuk meningkatkan diferensiasi monosit menjadi makrofag., mengurangi APC dari makrofag ke limfosit, mengurangi proliferasi dari pengaktifan limfosit, menurunkan sintesis IgG pada sel B dan mengurangi aktifitas dari NK sel. Pada pancreas, 1,25 (OH)2D3 berfungsi dalam meningkatkan sekresi dan sintesis insulin. Pada kulit 1,25 (OH)2D3 berperan untuk menurunkan sintesis vitamin D. Pada ginjal 1,25 (OH) 2D3 membantu dalam meningkatkan reabsosrpsi kalsium dan menurunkan produksi renin. Pada organ payudara, colon dan prostat 1,25 (OH) 2D3 bekerja menghambat angiogenensis dan menginduksi proses apoptosis (Sung, Liao, Lu, Wu, 2012) d. Mekanisme Homeostasis Vitamin D Sintesis 1,25 (OH)2D3 dikontrol dengan ketat oleh PTH, konsentrasi serum kalsium dan fosfat serta fibroblast growth factor 23 (FGF-23) (Hruska, 2006). Apabila konsentrasi ion kalsium lebih dari 100 ng/mL maka akan terjadi penurunan dari sekresi PTH yang akan menghambat proses konversi 25(OH)D menjadi 1,25(OH)2D3 yang akhirnya menurunkan proses absorbsi kalsium di duodenum

19 (Lips, 2001). Adanya 1,25 (OH)2D3 dan rendahnya konsentrasi PTH akan memicu enzim 25 hidroksivitamin D-24-hidroksilase (CYP24) untuk menghancurkan 25(OH)D dan 1,25 (OH)2D3 menjadi asam kalsitroik yaitu bentuk vitamin D yang inaktif dan larut dalam air (Deluca, 2004). Apabila terjadi hipovitaminosis vitamin d (konsentrasi serum 25 (OH)D < 20 ng/mL maka absorpsi kalsium dan fosfat dalam duodenum akan menurun sehingga akan memicu sekresi PTH (Lips, 2001). PTH akan meningkatkan konversi 25(OH)D menjadi 1,25 (OH) 2D3 yang semakin memperparah defisiensi vitamin D. Sekresi PTH yang berlebih menyebabkan kelenjar paratiroid bekerja maksimal dan menyebabkan hiperparatiroid sekunder (Holick, 2006) e. Peran Vitamin D pada Sel Berbagai penelitian baik in vivo maupun in vitro telah membuktikan bahwa vitamin D mempunyai peran penting dalam sekresi insulin normal sebagai respon pada glukosa dan pemeliharaan toleransi glukosa. Peran vitamin D pada sekresi insulin yaitu dengan adanya VDR dalam sel B dan adanya DBP dalam jaringan pancreas (Johnson, et al,1994 dalam palomer et al 2008). Kekurangan vitamin D menyebabkan penurunan toleransi glukosa disertai dengan

hyporesponsive terhadap insulin eksogen sehingga terjadi perubahan pada sensitivitas insulin (Ismail dan Namala, 2000 dalam palomer et al, 2008). Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan penurunan sekresi insulin pancreas tanpa mengubah sekresi glucagon dalam menanggapi glukosa (Gedik, Akalin, 1986 dalam palomer et al, 2008).

20 Pada manusia, meningkatkan asupan vitamin D merangsang sekresi insulin dalam menanggapi beban glukosa oral pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 ringan (serum glukosa puasa normal), non-diabetes dan pada subyek dengan defisiensi vitamin D tetapi tidak pada pasien yang mempunyai DM tipe 2. Asupan vitamin D yang cukup dapat memperbaiki toleransi glukosa pada pasien kekurangan vitamin D dan meningkatkan respon insulin pada wanita dengan DM tipe 2 (Isaia, Giorgino, Adami, 2001). Hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan populasi Asia mendapatkan hasil bahwa pemberian vitamin D pada populasi yang kekurangan Vitamin D dan menderita DM tipe 2 menyebabkan peningkatan resistensi insulin dan memburuknya kontrol glikemik (Borissova, et al. 2003). Vitamin D mempengaruhi sel b untuk mensekresi insulin melalui peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler melalui jalur non-selektif voltagedependent kalsium. Akibatnya mekanisme kerja vitamin D pada sekresi dan sintesis insulin cenderung melibatkan kalsium dependent endopeptidases sel b, sehingga mengakibatkan perpecahan yang mengkonversi proinsulin menjadi insulin (Chiu, et al, 2004). Selain itu, kalsium tidak hanya diperlukan untuk exocytosis insulin tetapi juga untuk glikolisis sel b, yang berperan dalam memberikan sinyal konsentrasi glukosa. Vitamin D mempengaruhi sekresi dan sintesis insulin dengan cara mengaktivasi biosintesis protein di pulau Langerhans pada pankreas (Borissova, et al. 2003). d. Peran Vitamin D pada Diabetes Melitus tipe 2

21 Beberapa penelitian mengatakan bahwa vitamin D mempunyai peran penting pada penyakit DM tipe 2. Pada orang yang sedang menjalani pengobatan jangka panjang osteomalasia dengan menggunakan vitamin D, didapatkan sekresi insulin dan toleransi glukosa yang meningkat. Pada kasus hiperinsulinemia dikaitkan juga dengan peningkatan densitas mineral tulang baik pada subjek dengan DM maupun pada subjek normal. Pemberian vitamin d dengan dosis tinggi dapat meningkatkan kadar glukosa darah pada pasien dengan DM Pemberian suplemen vitamin D pada subyek tanpa kekurangan vitamin tidak memberikan pengaruh pada toleransi glukosa (Zittermann, 2003). Menurut data epidemiologi, pada populasi Bangladesh yang beresiko DM tipe 2 mempunyai konsentrasi vitamin d dalam serum yang lebih rendah dibandingkan dengan subyek yang tidak beresiko. Sebuah studi di selandia baru melaporkan bahwa pasien yang baru didiagnosa DM tipe 2 atau toleransi glukosa terganggu mempunyai kadar 25 (OH)D lebih rendah dibandingkan dengan control (Fukunaga, et al, 1997 dalam Palomer 2008). Data dari ketiga Dinas Kesehatan Nasional dan Survei Pemeriksaan Gizi menunjukkan hubungan terbalik antara status vitamin D dan diabetes pada orang kulit putih non-Hispanik dan orang Amerika Mexican tapi bukan orang kulit hitam non-Hispanik (Scragg, Sowers, Bell, 2004). Serum 25 (OH) D tidak berhubungan dengan status glukosa dalam populasi Inggris (Wareham, et al, 1997 dalam Palomer et al 2008). Data tersebut menunjukkan bahwa tidak semua populasi yang hipovitaminosis D berisiko untuk intoleransi glukosa. Tidak adanya invers korelasi antara status vitamin D dan diabetes pada orang kulit hitam non-Hispanik, Hal ini mungkin karena orang kulit hitam non-Hispanik

22 mengalami penurunan sensitivitas terhadap vitamin D atau terkait hormon, seperti hormon paratiroid (PTH) (Scragg, Sowers, Bell, 2004). Penurunan kepekaan terhadap efek PTH orang kulit hitam kalangan non-Hispanik di dibandingkan dengan Kaukasia telah dilaporkan (Cosman, et al 1997 dalam Palomer et al 2008). Subyek yang normoglycaemic dengan hipovitaminosis D memiliki prevalensi yang lebih besar dibanding subyek tanpa hipovitaminosis D untuk menderita sindrom metabolik (Chiu, Chuang, Yoon, 2001). Mereka juga menemukan korelasi positif antara konsentrasi 25 (OH) D dengan sensitivitas insulin dan perubahan pada fungsi sel b terkait dengan hipovitaminosis D. Mereka menunjukkan bahwa hipovitaminosis D mungkin menjadi faktor risiko independen untuk terjadinya resistensi insulin, diabetes tipe 2 dan sindrom metabolik. Calon Pengembangan Risiko Arteri Koroner Studi Dewasa Muda mengatakan bahwa vitamin D mempunyai peran dalam pengobatan sindrom metabolik. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa pengobatan vitamin D lebih kuat daripada troglitazone atau pengobatan metformin dalam meningkatkan sensitivitas insulin (Chiu, Chu, Go, Saad, 2004). Prevalensi DM tipe 2 meningkat pada orang dengan obesitas, yang sering dikaitkan dengan hipovitaminosis D. Vitamin D yang masih berfungsi disimpan di dalam lemak tubuh yang tidak panjang bioavailabilitasnya,sehingga pada orang dengan obesitas kronis terjadi hipovitaminosis D (Holick, 2004). Kekurangan vitamin D pada subyek dengan obesitas juga berkaitan dengan perubahan fungsional seperti tingginya kadar PTH (Zittermann, 2003). Hiperparatiroidisme sekunder menyebabkan gangguan pada intoleransi glukosa. Vitamin D akan merangsang sel B

23 pankreas untuk mensekresi insulin tetapi menghambat sintesis PTH. PTH dan insulin meningkatkan produksi vitamin D, dan dengan demikian, kekurangan insulin pada diabetes akut mellitus dapat menurunkan produksi vitamin D. Pasien dengan hiperparatiroidisme memiliki peningkatan prevalensi diabetes dan resistensi insulin (Scragg, Sowers, Bell, 2004). Setelah parathyroidectomy, ada koreksi normal resistensi insulin dan intoleransi glukosa. Dengan demikian, hubungan antara hipovitaminosis D, perubahan sekreesi insulin dan DM tipe 2 mungkin merupakan hasil dari beberapa efek metabolik terkait (Palomer et al,2008) 3. Glukosa Darah Glukosa merupakan bahan bakar universal bagi sel manusia dan merupakan sumber karbon untuk sintesis sebagian besar senyawa lainnya. Glukosa berasal dari karbohidrat dan merupakan sumber kalori utama pada tubuh manusia. Karbohidrat dalam makanan diserap ke dalam aliran darah sebagai glukosa dan gula lain diubah menjadi glukosa di hati. Karbohirat di dalam makanan yang dicerna secara aktif mengandung residu glukosa, galaktosa dan fruktosa yang akan dilepas di intestinum. Zat tersebut akan diangkut ke hati melalui vena porta hepatica. Galaktosa dan fruktosa segera dikonversi menjadi glukosa di hati. Glukosa dibentuk dari senyawa-senyawa glukogenik yang mengalami gluconeogenesis dan glukosa juga dibentuk dari glikogen hati melalui glikogenolisis (Mayes, 2003). Keadaan setelah penyerapan, kadar glukosa darah dipertahankan antara 4,5-5,5 mmol/L. Setelah mengkonsumsi karbohidrat, kadar meningkat menjadi 6,5-7,2 mmol/L. Keadaan lapar kadar tersebut menurun menjadi 3,3-3,9 mmol/L. Glukosa yang berada dalam darah lazim disebut kadar glukosa darah. Dalam keadaan puasa,

24 kadar glukosa darah dikatakan normal apabila pada pemeriksaan darah kapiler hasilnya < 90 mg/dL, pada pemeriksaan plasma vena hasilnya 70-110 mg/dL (Ganong, 2002). Glukosa darah yang melebihi kadar normal setelah makan akan memacu sel beta pulau Langerhans pancreas untuk mensekresi insulin agar mengembalikan ke dalam keadaan normal (Saltiel&Kahn, 2001). Pemeriksaan glukosa darah digunakan sebagai parameter keberhasilan metabolisme dalam tubuh. Apabila terdapat gangguan pada metabolisme glukosa maka akan terlihat dari konsentrasi glukosa darah yang meningkat (hiperglikemia) atau menurun (hipoglikemia) (Sari, 2007). Pengukuran glukosa darah dapat dilakukan dengan tes glukosa darah sewaktu, tes glukosa darah puasa, tes toleransi glukosa oral, tes glukosa darah 2 jam sesudah makan/post prandial. Pada penelitian ini digunakan tes glukosa darah puasa karena menurut American Diabetes Association (2010) tes glukosa darah puasa adalah pemeriksaan yang lebih cepat, lebih diterima pasien, lebih murah dan lebih menggambarkan gangguan glukosa darah dan faktor risikonya. Glukosa darah puasa yang meningkat akan menunjukkan adanya produksi glukosa oleh hati dan adanya hiperinsulinemia puasa yang menunjukkan terjadinya resistensi insulin. Kombinasi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan insulin dalam menekan produksi glukosa hati mengalami penurunan a) Faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa darah puasa Faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah puasa terbagi menjadi faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen yang mempengaruhi glukosa darah puasa adalah genetik, usia dan jenis kelamin. Faktor eksogen yang mempengaruhi kadar glukosa darah puasa adalah gaya hidup, mengkonsumsi

25 obat-obatan, stress psikis serta dalam penyakit lain (Rasmikadewi, 2008; American Diabetes Association. 2010) 1) Genetik Seseorang yang mempunyai anggota keluarga yang mengidap penyakit DM maka mempunyai faktor resiko terjadinya peningkatan kadar glukosa darah dengan mudah, karena adanya kesamaan fungsi dan struktur jaringan diantara keluarga tersebut (American Diabetes Association, 2009) 2) Usia Usia sangat berhubungan dengan fungsi organ manusia. Semakin bertambahnya usia maka akan semakin berkurang fungsi dari organ tubuh. Aktifitas sel beta pada pancreas dan fungsi dari reseptor-reseptor insulin yang ada di organ target akan mengalami penurunan fungsi. Penurunan fungsi organ tersebut akan mengakibatkan gangguan sekresi insulin dan gangguan sensitifitas insulin. Sehingga usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah seseorang (Gustaviani, 2006) 3) Jenis Kelamin Wanita mempunyai prevalensi lebih besar untuk menderita penyakit DM bila dibandingkan dengan pria (American Diabetes Association, 2010) 4) Gaya Hidup Pola makan yang tidak sehat dan berlebih akan memacu timbulnya obesitas dan penyakit DM. Pola makan seperti sering memakan makanan junk food dan sedikit serat akan mengakibatkan penumpukkan lemak dalam tubuh, (Barbieri, et al, 2001) ditambah lagi dengan aktivitas fisik yang

26 kurang. Dengan adanya pola hidup yang seperti itu menjadi faktor resiko untuk terjaadinya obesitas. Dikatakan obesitas apabila nilai IMT nya lebih dari 25 (WHO, 2000). Obesitas mengakibatkan resistensi insulin/gangguan kerja insulin (American Diabetes Association, 2010). Pada orang obesitas terjadi penumpukan lemak yang tinggi dalam tubuhnya sehingga insulin harus diproduksi lebih banyak untuk menghantarkan glukosa ke sel target. Proses ini terjadi dalam waktu lama yang ahirnya pancreas tidak mampu memproduksi insulin lagi sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa (Marfianti, 2006). Orang dengan obesits tipe sentral mempunyai resiko peningkatan kadar gula darah lebih tinggi dibanding dengan yang lainnya (Adam, et al, 2005) Rokok mengandung unsur tar, nikotin, HCN, dan benzopyrene. Unsur nikotin dapat menyebabkan pengurangan sensitivitas insulin dan

meningkatkan terrjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin dapat terjadi apabila mengkonsumsi rokok lebih dari 1 bungkus per hari dalam jangka panjang yatiu selama 10-15 tahun terakhir (Marfianti, 2006). Konsumsi alcohol dapat menurunkan sensitifitas insulin dan adiponektin. Alkohol yang dikonsumsi selama 4 tahun makan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah. Perubahan sensitifitas insulin dan konsentrasi adiponektin dapat terjadi dalam waktu 6-8 minggu pada orang yang seering mengkonsumsi alcohol (Joosten et al, 2011) 5) Obat-obatan

27 Peningkatan kadar glukosa darah dapat disebabkan oleh obat-obatan seperti diuretic, kortison dan tiazid (Powers, 2005). Obat kontrasepsi oral dapat menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan pada wanita karena kontrasepsi oral mengandung estrogen (Kadir, 2007). Obat lain yang dapat menurunkan kadar glukosa darah adalah obat yang mengandung insulin atau obat-obatan hipoglikemi (Powers, 2005) 6) Stres Psikis Pada orang yang mudah mengalami stress mempunyai resiko untuk mengalami peningkatan kadar glukosa darah. Orang yang sedang stress apabila mengkonsumsi obat antidepresan maka akan mudah untuk menghasilkan glukosa darah. Selain itu, orang stress akan lebih banyak makan untuk menghilangkan stresnya, apabila yanag dimakan adalah makanan yang manis dan berlemak, maka akan dapat meningkatan kadar glukosa darah (Rasmikadewi, 2008). 7) Penyakit lain Penyakit hati yang parah, gagal ginjal, hipertiroidisme dan hipertensi dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (Suyono, 2009). Pada orang dengan hipertensi, maka akan meminum obat hipertensi untuk menjaga tekanan darahnya. Obat yang dikonsumsi tersebut akan mempengaruhi kadar glukosa (Permana, 2007) b) Enzim dan Hormon yang Mengatur Kadar Glukosa Darah Pemeliharaan kadar glukosa darah yang stabil merupakan salah satu mekanisme homeostatis yang diatur paling ketat yang melibatkan hati, jaringan

28 ekstrahepatik dan beberapa hormon. Sel hati bersifat permeable bebas untuk glukosa (melalui pengangkut GLUT 2), sedangkan sel jaringan ekstrahepatik (selain sel beta pualu Langerhans pancreas) relative impermeable, dan pengangkut glukosa jaringan ini diatur oleh insulin. Oleh karena itu, penyerapan glukosa dari aliran darah adalah tahap penentu kecepatan dalam pemakaian glukosa di jaringan ekstrahepatik (Bender, Mayes, 2009) Tabel 2.2. Pengangkut glukosa yang utama Lokasi jaringan Pengangkut dua arah fasilitatif GLUT 1 Otak, ginjal, kolon, GLUT 2 GLUT 3 GLUT 4 Fungsi plasenta, Penyerapan glukosa atau pembebasan

eritrosit Hati, sel beta pancreas, usus Penyerapan

halus, ginjal glukosa secara cepat Otak, ginjal, plasenta Penyerapan glukosa Ott jantung dan rangaka, jaringan Penyerapan glukosa dirangsang oleh insulin Penyerapan glukosa

yang

adipose GLUT 5 Usus halus Pengangkut satu arah dependen natrium SGLT 1 Usus halus dan ginjal 1) Glukokinase

Penyerapan aktif glukosa dengan melawan gradient konsentrasi

Merupakan enzim yang memiliki Km sehingga afinitasnya rendah terhadap glukosa. Aktifitas dari enzim ini meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi glukosa di vena porta hepatica. Enzim in imendorong penyerapan sejumlah besar glukosa oleh hati setelah mengonsumsi karbohidrat dari makanan (Bender, Mayes, 2009). 2) Insulin

29 Insulin berperan dalam mengatur kadar glukosa darah. Insulin dihasilkan oleh sel beta pulau Langerhans sebagai respons terhadap hiperglikemia. Sel beta pulau Langerhans bersifat permeable bebas terhadap glukosa melalui pengangkut GLUT 2 dan glukosa mengalami fosforilasi oleh glukokinase. Dibawah ini merupakan mekanisme insulin ketika kadar glukosa darah meningkat (Bender, Mayes, 2009): Glukosa darah Aliran metabolik (glikolisis, siklus asam sitrat dan pembentukan ATP) ATP Menghambat kanal k+ Depolarisasi membrane sel Influx Ca2+ melalui kanal Ca2+ peka voltase Merangsang eksositosis insulin Insulin keluar Insulin berikatan dengan reseptor insulin yang ada di membrane sel Insulin mengaktifkan trasnsporter glukosa (GLUT 4) yang ada dalam sel GLUT ini yang akan memperantarai glukosa untuk masuk ke dalam sel Kadar insulin=konsentrasi glukosa darah Zat lain yang dapat merangsang pengeluaran insulin adalah asam amino, asam lemak bebas, badan keton, glucagon, sekretin, dan obat sulfonylurea tolbutamid dan gliburid. Obat-obatan tersebut digunakan pada penderita DM tipe 2, dengan menghambat kanal K+ yang yang peka pada ATP (Bender, Mayes, 2009).

30 3) Glukagon Glukagon merupakan hormon yang dihasilkan oleh sel pancreas. Sekresi dari hormone glucagon dirangsang oleh hipoglikemia. Peran glucagon di hati adalah mengaktifkan fosforilase yang akan merangsang glikogenolisis. Glucagon juga dapat meningkatkan gluconeogenesis dari asam amino dan laktat. Glucagon bekerja melalui pembentukan cAMP. Glucagon kerjanya bertentangan dengan insulin sehingga akan menimbulkan efek hiperglikemik (Bender,Mayes, 2009). 4) Glukokortikoid Hormon glukokortikoid disekresikan oleh korteks adrenal dan juga disintesis di jaringan adiposa tanpa diregulasi. Hormone ini bekerja dengan meningkatkan gluconeogenesis melalui peningkatan katabolisme asam amino di hati akibat induksi pada aminotransferase serta enzim-enzim lain. Glukokortikoid juga berperan dalam menghambat pemakaian glukosa di jaringan ekstra hepatik. Kerja dari glukokrtikoid berlawanan dengan kerja dari insulin (Bender,Mayes, 2009). 5) Epinefrin Epinefrin disekresikan oleh medulla adrenal karena adanya rangsangan berupa stress, rasa takut, gembira, hipoksia, hipoglikemia dsb dan menyebabkan glikogenolisis di hati dan otot karena stimulasi fosforilase melalui pembentukan cAMP. Di otot, glikogenolisis menyebabkan peningkatan glikolisis dan di hati menyebabkan pembebasan glukosa ke dalam aliran darah (Bender,Mayes, 2009). 6) Growth Hormon

31 Growth hormone atau hormon pertumbuhan disekresi oleh glandula pituitari bagian atas. Peran dari hormon pertumbuhan adalah untuk mendorong gluconeogenesis, meningkatkan lipolisis dan melawan insulin yang mendorong pengambilan glukosa sehingga dapat meningkatkan glukosa darah (Bender, Meyes, 2009) c) Pembentukan Glukosa Darah Glukosa darah dibentuk dengan berbagai macam proses, yaitu : Katabolisme dan absorpsi dalam saluran pencernaan, proses glikogenolisis dan proses

gluconeogenesis. 1) Katabolisme dan absorpsi dalam saluran pencernaan Makanan yang mengandung karbohidrat akan dirubah menjadi glukosa, galaktosa dan fruktosa dalam saluran cerna untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Karbohidrat dalam makanan terdapat dalam bentuk zat pati, sukrosa, laktosa dan selulosa (Marks, Marks, Smith, 2000). Di rongga mulut, enzim amylase saliva bekerja pada zat pati yang akan menghasilkan maltose, beberapa glukosa dan dekstrin/molekul pati yang ukurannya lebih kecil. Di lambung kerja amylase berhenti karena terdapat HCl. Adanya amylase pancreas yang disekresikan oleh pancreas menyebabkan pH makanan di usus halus menjadi basa. Dalam keadaan basa pencernaan yang sempat terhenti dilanjutkan kembali karena bantuan enzim amylase. Setelah enzim amylase menghidrolisis zat pati dengan sempurna makan glukosa, maltose, isomaltosa serta laktosa dan sukrosa akan menempel pada lumen dinding usus. Kemudian diuraikan menjadi monosakarida dalam mukosa usus halus oleh enzim

32 sakaridase. Monosakarida yang berupa glukosa, fruktosa dan galaktosa akan masuk ke sistem portal lalu ditransfer ke hepar (Sari,2007) 2) Glikogenolisis Glikogenolisis merupakan penguraian glikogen menjadi glukosa. Hepar bekerja mempertahankan kadar glukosa darah dari glikogen ketika makan merupakan proses glikogenolisis (Bender, Mayes, 2009) Enzim yang digunakan pada proses ini adalah Glikogen fosforilase yang akan memecah ikatan 1-4 glikogen. Selanjutnya enzim transferase akan memindahkan 3 residu glukosil. Pemindahan ini menyebabkan titik cabang 1-6 terpapar. Ikatan 1-6 akan diputus oleh amilo [1-6]glukosidase. Transferase dan Debranching enzyme akan mengubah struktur bercabang glikogen menjadi lurus membuka jalan untuk pemecahan selanjutnya oleh fosforilase menghasilkan glukosa 1 phosphat. Glukosa 1 phosphat dirubah menjadi glukosa 6 phosphat. Di hepar dan ginjal , Glukosa 6 phosphatase mengeluarkan phosphat yang menyebabkan difusi glukosa dari sel ke darah sehingga menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah. Enzim glikogen fosforilase dan glikogen sintase merupakan enzim utama yang mengendalikan metabolisme glikogen. Fosforilase di otot dapat mengaktifkan Protein Kinase A yang akan meningkatkan kadar Ca2+ sitosol di otot sehingga akan meningkatkan pemecahan glikogen (Sari, 2007) 3) Glukoneogenesis Gluconeogenesis adalah proses mengubah precursor non karbohidrat menjadi glukosa atau glikogen. Substrat utamanya adalah asam amino glukogenik, laktat, gliserol dan propionate. Hati dan ginjal merupakan jaringan

33 glukoneogenik utama. Gluconeogenesis berfungsi untuk memenuhi kebutuhan glukosa tubuh jika asupan karbohidrat dari makanan atau cadangan glikogen tidak mencukupi. Glukoneogenesis juga berfungsi untuk membersihkan laktat yang dihasilkan oleh otot dan eritrosit serta gliserol yang dihasilkan oleh jaringan adipose (Bender, Mayes, 2009) Reaksi-raksi pada proses ini meliputi reaksi glikolisi yang reversible, siklus kreb dan beberapa rekasi khusu untuk tambahan. Reaksi gluconeogenesis bukan kebalikan dari reaksi glikolisis. Kedua reaksi ini diatur secara timbal balik, jalur keduanya sama tetapi berlawanan arah sehingga apabila 1 reaksi sedang aktif maka reaksi yang satunya tidak aktif. Proses ini menggunakan enzim piruvat karboksilase, Fosfoenol piruvat karboksikinase, Fruktosa 1,6 bifosfat dan Glukosa 6 fosfatase supaya dapat menghindari reaksi reaksi yang irreversibel pada glikolisis. Enzim Piruvat karboksilase aktivitasnya dirangsang oleh asetil ko A dan dihambat oleh ADP. Enzim ini merubah piruvat menjadi oksaloasetat. Fosfoenol piruvat karboksikinase akan merobah oksaloasetat menjadi fosfoenol piruvat. Kedua reaksi ini berlangsung di dalam mitokondria dari sel. Pada reaksi yang dikatalisis enzim Fruktosa 1,6 bifosfatase, senyawa fruktosa 6 fosfat akan dibentuk dari fruktosa 1,6 bisfosfat. Enzim ini aktivitasnya dihambat oleh AMP dan ADP .Reaksi ini berlangsung di bagian sitosol. Tahap terakhir pembentukan glukosa tidak berlangsung di sitosol. Glukosa 6 fosfat akan diangkut ke retikulum endoplasma oleh transpoter (T 1) dan disini dihidrolisis oleh enzim glukosa 6 fosfatase . Hidrolisis ini menghasilkan glukosa dan Pi yang kemudian diangkut kembali ke sitosol oleh

34 sepasang pengangkut / transpoter (T dan T3). Glukosa yang dihasilkan oleh gluconeogenesis ini 10 kali lebih banyak dari glukosa yang dihasilkan glikogen (Sari, 2007) 4. Hubungan Kadar Vitamin D dengan Kadar Glukosa Darah Puasa B. Kerangka Teori Genetik

Faktor Endogen

Usia Jenis Kelamin


Pola Makan

Gaya Hidup
Aktivitas

Faktor Eksogen

Obat-obatan
Merokok dan alokohol

Stres Psikis

Penyakit Lain

C. Kerangka Konsep D. Hipotesis

35

You might also like