Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
Adiyoga, W., Suwandi, Budi Jaya, Rustaman, E.S. 1992. The Preliminary Evaluation of Mid-Low Land Tomato Cultural
Practices at the Farmer’s Level. One of the alternatives for increasing farmer’s income in rice based cropping pattern is to
include a crop which has high economic value in the pattern itself. Tomato as a crop which can thrive under a wide range of
environmental condition, seems compatible wit the farmer’s need. This paper is concerned with the evaluation of mid-low
land tomato cultural practices through collecting the information about the existing technology, input-output and farmer,
circumstances. A survey was conducted in Pandeglang, Serang, Cianjur and Cicalengka, West Java. The results showed
that the performance of the other farms in Pandeglang and Serang. It was indicator by higher yield per hectare and lower
cost per unit output. The fact that farmers in all areas were still preferred to use local varieties should be taken into
consideration in reviewing the compatibility of recommended varieties with the market demand. Much more technical
experiments are needed to increase the resource use efficiency. Creating low cost technology will make a greater
contribution of vegetables, especially tomato, to the stability of farmer’s income in the mid-low land areas.
Pilihan petani terhadap berbagai alternatif teknologi tidak saja dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosiologis tetapi tergantung pula kepada dorongan (insentives) dan kesempatan (opportunities) untuk
memperbaiki pendapatan serta meningkatkan kondisi sosialnya. Sementara itu, faktor lain yang juga
berperan cukup penting adalah faktor resiko yang terkandung dalam kesempatan-kesempatan ekonomi
di atas. Dengan demikian, bantuan teknis yang ditujukan untuk mengadakan perubahan konstruktif
harus memperhatikan insentif, kesempatan dan resiko yang dihadapi secara individu.
Non-adopsi, adopsi parsial dan adopsi yang lambat dari suatu rekomendasi penelitian
merupakan indikasi ketidak-sempurnaan konsep serta prosedur penelitian. Fenomena ini sering disalah-
tafsirkan sebagai “akibat dari perilaku petani yang tidak rasional”. Berdasarkan penelitian-penelitian
terdahulu justru dibuktikan bahwa sesungguhnya petani telah bertindak rasional dalam mengelola
usahataninya sesuai dengan prioritas dan lingkungan produksi yang dihadapi. Pengalaman
menunjukkan bahwa seringkali paket teknologi yang dirancang negara-negara berkembang kurang
memperoleh tanggapan dari petani. Norman dan Hays (1971), menunjukkan bahwa hal ini disebabkan
oleh digunakannya “pendekatan atas ke bawah” (top down approach). Pendekatan ini didasari oleh
gagasan bahwa alih teknologi dari negara maju akan memberikan keuntungan bagi negara berkembang
tanpa memperhitungkan sasaran, metoda dan infrastruktur yang tersedia bagi petani. Di lain pihak
sebenarnya “pendekatan bawah ke atas” (bottom-up approach memperhitungkan kendala-kendala yang
dihadapi petani dalam proses perbaikan teknologi. Dengan demikian, pendekatan ini akan
memperbesar peluang diterimanya teknologi baru yang direkomendasikan kepada petani. Diusulkan
pula oleh Norman dan hays (1979), bahwa agar suatu teknologi baru dapat diterima maka harus
memenuhi persyaratan : (1) layak secara teknis dan ekonomis; (2) dapat diterima ditinjau dari aspek
sosial; (3) mampu diakomodasikan berdasarkan infrastruktur yang ada.
Evaluasi mengenai teknologi budidaya di tingkat petani dapat memacu program penelitian
melalui penekanan terhadap topik spesifik tertentu sebagai titik fokus penelitian. Informasi, tentang
kelayakan atau kendala pengembangan usahatani di tingkat petani, akan menjembatani senjang
keterpaduan antara penelitian dan petani (research/farmer linkage). Langkah ini pada akhirnya
diharapkan dapat : (1) meningkatkan efisiensi penelitian sehingga hasil-hasil penelitian yang ada dapat
digunakan secara lebih mudah, lebih cepat serta mencakup kelompok sasaran (target group) yang lebih
luas; (2) memberikan kemudahan untuk merancang topik penelitian yang secara implisit diusulkan serta
ditunjang oleh petani.
Penelitian ini memanfaatkan metode penelitian evaluasi formatif yang diarahkan untuk
mengamati dan meneliti teknologi budidaya tomat di tingkat petani serta mencari bahan masukan bagi
perbaikan program penelitian. Sejalan dengan sasaran penelitian dan metode yang digunakan, maka
penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 1986. Lokasi penelitian adalah beberapa
sentra produksi tomat dataran rendah/medium di Jawa Barat (Pandeglang, Serang, Cianjur dan
Cicalengka) yang dipilih secara pursposif berdasarkan potensi produksinya. Sementara itu, petani
contoh dipilih melalui pengambilan contoh acak sederhana.
Cakupan informasi yang dihimpun melalui penelitian ini meliputi:
(1) Inventarisasi kultur teknis yang dilakukan petani termasuk data input outputnya.
(2) Inventarisasi lingkungan produksi yang dihadapi oleh petani yaitu :
- lingkungan produksi alamiah
- lingkungan produksi eksternal ekonomis
- sasaran petani
2
dan sudah matang dari tanaman yang sehat – dibijikan – direndam selama 1-3 hari – dicuci –
dikeringkan – disimpan untuk pertanaman berikutnya. Tampaknya petani kurang memperhatikan
keseragaman tanaman atau buah sehingga heterogenitas ini muncul di lapangan. Ketidakseragaman ini
dapat disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan petani atau ada pula petani yang dengan sengaja
mencampur varietas-varietas yang ditanam berdasarkan pertimbangan kemudahan pasar.
Kultur teknis
Pengolahan tanah
Berdasarkan hasil kunjungan ke petani tomat dataran rendah/medium, yaitu di Kabupaten
Pandeglang, Serang, Cianjur dan Cicalengka ternyata lahan yang biasa digunakan untuk penanaman
tomat adalah lahan padi sawah, baik lahan yang berpengairan teknis maupun non teknis. Waktu
penanaman tomat di keempat kabupaten tersebut bervariasi, namun petani umumnya menanam tomat
pada musim kurang hujan atau merencanakan penanaman tomat yang hasilnya diperkirakan panen
pada bulan Ramadhan menjelang hari Raya. Pada umumnya frekuensi penanaman tomat dilaksanakan
hanya satu kali dalam satu tahun untuk suatu areal lahan tertentu setelah tanaman padi sawah.
Sedangkan pada rotasi tanaman yang biasa dilaksanakan adalah Padi – Tomat/Palawija – Padi.
Praktek-praktek pengolahan tanah untuk pertanaman tomat di keempat kabupaten tersebut,
pada umumnya relatif sama, artinya pengerjaan tanah selalu dilakukan dan “zero tillage” tidak dijumpai.
Terdapat dua macam cara pengolahan tanah yaitu: pengolahan tanah yang dicangkul secara
konvensional penuh dan pengerjaan tanah awal yang dilaksanakan dengan menggunakan tenaga
hewan atau mesin traktor tangan. Di daerah Pandeglang dan Serang, cara-cara pengolahan tanah yang
dilakukan petani tidak berbeda, yaitu kombinasi dari pembajakan dengan menggunakan tenaga hewan
dan pencangkulan biasa. Sementara itu, di daerah Cianjur, beberapa petani melakukan pengolahan
tanah awal dengan menggunakan mesin traktor tangan yang dilanjutkan dengan pengerjaan tanah
secara manual. Walaupun demikian cara pengerjaan tanah secara “full manual” nampaknya masih juga
dominan di keempat daerah tersebut, terutama bagi petani kecil yang mengelola lahan untuk
pertanaman tomat dengan luas kurang dari 100 tumbak (1/7 ha). Selanjutnya suatu hal yang menarik
dalam kegiatan pengolahan tanah terjadi/dijumpai di daerah Cicalengka, dimana pengerjaan tanah awal
sampai terbentuknya bedengan untuk pertanaman tomat sebagian besar dikerjakan dengan
menggunakan tenaga hewan.
Fase akhir dari pengolahan tanah diantaranya adalah pembuatan guludan yang berbentuk
bedengan dengan ukuran tertentu. Terdapat variasi dalam ukuran pembuatan bedengan, akan tetapi
ukuran bedengan antara 80-100 cm lebih sering dijumpai pada penanaman tomat di dataran rendah.
Bentuk dan ukuran bedengan tersebut umumnya digunakan pada sistem penanaman tomat dengan
barisan ganda. Sedangkan ukuran bedengan yang lebih lebar hanya ditemukan pada salah seorang
petani di daerah Cicalengka, yaitu selebar 120 cm yang digunakan untuk sistem penanaman tomat tiga
baris dalam satu bedengan.
Dipandang dari aspek pengolahan tanah, tampaknya cara yang dilakukan oleh petani di
Cicalengka yaitu dengan menggunakan tenaga hewan sampai siap membentuk bedengan-bedengan,
merupakan cara pengolahan yang paling efisien.
3
kesuburan benih dan atau kesiapan lahan yang akan ditanami. Benih tomat tersebut dicabut secara
hati-hati dan dipindahkan ke lapangan/transplanitng.
Terdapat sedikit variasi jarak tanam tomat di dataran rendah, terutama di daerah Pandeglang,
sedangkan untuk daerah lainnya dapat dikatakan seragam. Di daerah Pandeglang, jarak tanam tomat
pada sistem bedengan dengan barisan tanaman ganda adalah (20-25) cm dalam barisan tanaman dan
antara (50-75) cm antara barisan tanaman. Jarak antara bedengan berkisar antara 50 sampai 100 cm.
Penggunaan jarak tanam tomat di daerah Serang, Cianjur dan Cicalengka umumnya relatif seragam.
Pada sistem penanaman tomat barisan ganda, jarak tanam antara barisan tanaman adalah 50 cm dan
jarak dalam barisan antara 40-50 cm. Sementara itu pada sistem penanaman tomat tiga barisan dalam
satu bedengan yang dijumpai di Cicalengka, jarak tanam dari satu tanaman ke tanaman yang lainnya
adalah 50 cm.
Dpandang dari penggunaan jarak tanam kaitannya dengan efisiensi penggunaan lahan
pertanaman tomat di dataran rendah/medium, tampaknya pengaturan yang dilakukan oleh petani di
Cianjur dan Cicalengka jauh lebih baik dibandingkan dengan petani pandeglang dan serang. Hal ini
terlihat dari cara pembuatan dan pengaturan parit saluran air (drainase) yang memungkinkan
penanaman tomat dengan populasi tanaman per satuan luas yang lebih tinggi, tanpa mengganggu
kemudahan dalam pemeliharaan.
Pengendalian Gulma
Berdasarkan hasil wawancara, pengendalian gulma umumnya dilaksanakan secara
konvensional yaitu melalui penyiangan. Berdasarkan hasil-hasil penelitian Balai penelitian Hortikultura
Lembang, pengendalian gulma pada pertanaman tomat secara konvensional ini sangat efektif apabila
dilaksanakan secara tepat. Penyiangan harus dilakukan pada waktu yang tepat sesuai dengan
kebutuhan tanaman dan tidak mengganggu pertanaman pokok dalam masa kritis pertumbuhannya.
Pelaksanaan penyiangan umumnya dimulai pada saat tanaman berumur dua minggu setelah
tanam sampai umur satu bulan lebih atau sebelum terjadi pembungaan penuh/fruit-setting. Kebiasaan
menyiang tanaman tomat ini umumnya dikaitkan dengan rencana pemupukan susulan. Frekuensi
penyiangan tersebut dapat bervariasi dari petani ke petani tergantung dari keadaan pertumbuhan
gulma. Menurut petani penyiangan dilakukan antara 2-3 kali dan diikuti dengan pembumbunan tanaman
di lapangan.
Pengairan/Penyiraman Tanaman
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, lahan yang digunakan untuk pertanaman adalah lahan
padi sawah, sehingga kebutuhan pengairan tanaman tomat di daerah-daerah tersebut tidak menjadi
masalah. Pelaksanaan pengairan pada pertanaman tomat biasanya dilaksanakan secara leb/boyor
antara seminggu sampai dua minggu sekali tergantung dari keadaan pertanaman. Sementara itu
berdasarkan hasil wawancara, ternyata sehubungan dengan pelaksanaan waktu tanam tomat pada
musim tanam 1986/1987 masih selalu terdapat hujan, maka pengairan praktis tidak diperlukan dan
masalahnya justru dalam mengatasi drainase digunakan.
4
pupuk kotoran ayam atau domba/kambing. Dosis pemakaian pupuk organik pada keempat daerah
tersebut berkisar antara 1 sampai 6 ton per hektar, baik berupa kotoran ayam atau domba.
Dalam penggunaan pupuk buatan di daerah Pandeglang para petani memakai tiga macam
pupuk buatan dengan dosis (80-100) kg Urea, (40-50) kg TSP dan (40-50) kg KCl tiap hektar.
Sedangkan di daerah Serang informasi yang diperoleh mengenai penggunaan pupuk buatan berkisar
antara (100-300) kg Urea, (50-150) kg TSP tiap hektar, tanpa pupuk Kalium/KCl. Campuran dari ketiga
atau dua jenis pupuk tersebut umumnya diaplikasikan dalam dua kali pemberian, yaitu sebagian pada
saat tanaman tomat berumur 2 minggu dan sisanya diberikan pada umur 1 bulan setelah tanam.
Dipandang dari segi aspek pemupukan, terungkap bahwa petani di daerah Cianjur dan
Cicalengka sudah menggunakan pupuk buatan secara lengkap. Untuk daerah Cianjur, dosis pemakaian
pupuk buatan berkisar antara (100-200) kg Amonium Sulfat (ZA), (100-1500) kg Urea, 200 kg TSP dan
100 kg KCl tiap hektar. Pupuk ZA, TSP dan KCl diberikan pada saat tanaman tomat berumur satu
minggu setelah tanam. Pupuk Urea diberikan sebagai pupuk susulan tiga minggu setelah pemupukan
pertama. Disamping itu para petani di daerah ini, beberapa diantarnya telah menggunakan pupuk
tambahan berupa pupuk daun yang mengandung pupuk mikro seperti Gandasil D dan B.
Di daerah Cicalengka variasi penggunaan pupuk untuk pertanaman tomat, meliputi kombinasi
pemakaian pupuk DAP, ZA, TSP dan Urea; kombinasi pemakaian pupuk NPK (15-15-15), Urea dan
TSP; kombinasi ZA, TSP dan KCl; dan kombinasi pupuk Urea dengan TSP. Dosis pemakaian pupuk
dari kombinasi pertama sampai terakhir adalah rendah untuk kesetaraan NP dan/atau NPK masing-
masing kurang dari 50 kg/ha, sampai tinggi untuk tingkat kesetaraan NP dan/atau NPK masing-masing
lebih dari 150 kg/ha. Setiap kombinasi pupuk di atas, umumnya diaplikasikan tiga kali berturut-turut,
yaitu pada saat tanaman tomat berumur: 0-5 hari, 2-3 minggu dan 5 minggu setelah tanam.
Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada usahatani tomat dataran rendah/medium ternyata
masih lebih kecil dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja usahatani tomat dataran tinggi. Hal ini
disebabkan oleh tidak dilakukannya beberapa kegiatan yang biasa dilakukan di dataran tinggi.
Kegiatan-kegiatan tersebut adalah penyapihan tanaman tomat serta pemasangan turus yang relatif
cukup banyak menyerap tenaga kerja. Sementara itu, penggunaan tenaga kerja hewan atau traktor
tangan pada kegiatan pengolahan lahan juga memberikan kemungkinan penghematan pengeluaran
upah tenaga kerja. Sebagai salah satu komponen utama dalam pembiayaan usahatani, maka
berkurangnya anggaran untuk upah merupakan salah satu indikator bahwa ditinjau dari penggunaan
tenaga kerja, usahatani tomat dataran rendah/medium mempunyai peluang keuntungan komparatif
yang lebih baik dibandingkan dengan usahatani tomat dataran tinggi.
Berpegang pada asumsi bahwa intensitas penggunaan input (current inputs) mempunyai
korelasi positif dengan banyaknya tenaga kerja yang digunakan, maka tampak jelas bahwa usahatani
Tabel 1 Kebutuhan tenaga kerja usahatani tomat dataran rendah/medium per hektar 1987/Labor needs of tomato farming
in lowland and medium land per hectare 1987.
5
tomat di Cianjur dan Cicalengka diusahakan secara lebih intensif dibandingkan dengan Pandeglang dan
Serang. Hal ini ditunjang oleh kenyataan bahwa hasil produksi per satuan luas di Cianjur dan
Cicalengka juga lebih tinggi. Berikut ini adalah rata-rata kebutuhan tenaga kerja per hektar untuk
keempat sentra produksi yang dikontribusikan ke satuan hari kerja pria.
Sebagai porsi dari penerimaan bersih, produktivitas (hasil per satuan luas) merupakan salah
satu faktor penentu keberhasilan usahatani. Beberapa faktor yang diduga menyebabkan produktivitas
usahatani tomat di pandeglang dan Serang lebih rendah dibanding dengan Cianjur dan Cicalengka
diantaranya adalah lebih rendahnya jumlah populasi tanaman serta intensitas penggunaan input per
satuan luas. Walaupun rasio antara penerimaan dengan biaya tidak menunjukkan perbedaan yang
menoylok, tetapi lebih rendahnya hasil per satuan luas cenderung menyebabkan biaya per unit output
menjadi lebih tinggi. Rangkaian ini menyebabkan tidak tertangkapnya peluang untuk memperoleh
keuntungan yang lebih baik, walaupun harga per satuan output lebih tinggi.
Tabel 2 Indikator efisiensi agro ekonomi usahatani tomat, 1987/Indicators of agroeconomical eficiency in tomato farming,
1987.
Dalam mengambil kepentingan untuk melakukan usahatani tomat, petani dihadapkan kepada
berbagai faktor alami yang memegang peranan sebagai pembatas biologis pertumbuhan tanaman.
Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: iklim (khususnya curah hujan), jenis dan kemiringan tanah
serta hama dan penyakit.
Pada umumnya kondisi curah hujan rata-rata tidak merupakan masalah bagi petani, walaupun
sebagian besar petani menanam tomat pada saat curah hujan relatif rendah (setelah atau sebelum
pertanaman padi). Bahkan pada kondisi curah hujan cukup kritis, ketersediaan air untuk penyiraman
juga masih mungkin dipenuhi. Dihadapkan kepada pola tanam yang lebih diarahkan untuk padi, maka
petani harus mampu mengatur waktu tanam setepat mungkin agar produksi optimal dapat dicapai.
Dari observasi lapangan terlihat bahwa daya adaptasi tomat cukup baik pada jenis tanah
sawah. Daya adaptasi tomat yang tinggi ini membuka peluang dicapainya produksi optimal jika
diimbangi dengan cara pengelolaan yang baik. Penanaman tomat di lahan sawah menghendaki sistem
drainase yang baik agar oksigen dalam tanah dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan tanaman.
Tampaknya masih mungkin untuk memperbaiki sistem drainase yang dilakukan oleh petani terutama
6
dikaitkan dengan upaya meningkatkan jumlah populasi tanaman per satuan luas. Sementara itu
topografi tanah yang datar memungkinkan petani menggunakan tenaga ternak maupun traktor tangan
pada pengolahan tanah awal, sehingga relatif dapat mengurangi pengeluaran untuk tenaga sewa.
Hama utama yang banyak menyerang tomat dataran medium ini adalah ulat buah (Heliothis
sp). Sementara itu karena diusahakan pada areal persawahan menurut petani tanaman tomat ini juga
terkadang diganggu oleh tikus terutama pada bagian akarnya.
Pada beberapa sentra produksi di Pandeglang dan Serang, kondisi alam yang merupakan
kendala biologis tampaknya belum diimbangi oleh kemampuan pengelolaan petani baik dilihat dari
sudut penguasaan teknologi maupun permodalan.
Faktor lingkungan ekonomi yang berbeda di luar kekuasaan petani untuk mengendalikannya
tetapi berpengaruh terhadap pengambilan keputusan usahatani adalah: struktur dan organisasi
kemsyarakatan, prasarana fisik, pasar produk, pasar tenaga kerja, pasar input, status penguasaan
lahan, kredit penyuluhan, perubahan sosial ekonomi serta kebijaksanaan pemerintah. Beberapa hal
yang akan dibahas berikut ini diantaranya adalah:
Prasarana fisik
Walaupun belum sempurna prasarana jalan menuju lahan usahatani tomat dataran rendah/
medium ini relatif lebih baik dibandingkan dengan lahan usahatani dataran tinggi. Hal ini dimungkinkan
karena pada umumnya pertanaman tomat menempati areal/daerah persawahan yang memang
ditunjang oleh prasarana yang memiliki daya jangkau lebih luas. Dengan latar belakang yang sama,
fasilitas irigasi juga memberikan kemudahan juga bagi petani dalam aktivitas pengairan/penyiraman.
Walaupun demikian di beberapa sentra produksi yang diobservasi tampaknya kemudahan-kemudahan
ini belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagai contoh daerah Pandeglang yang mnemiliki sarana
pengairan cukup baik ternyata rata-rata produksi per satuan luasnya masih berada di bawah 5 ton/ha.
Jadi meskipun ditunjang oleh fasilitas prasarana fisik yang lebih baik, ternyata tidak selalu menjamin
keberhasilan usahatani, karena keterkaitan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya menyebabkan
optimalitas pemanfaatan infrastruktur tersebut tidak dapat dipenuhi.
Pasar produk
Usahatani tomat dpaat diklasifikasikan sebagai jenis usaha yang berorientasi ke pasar, karena
sebagian besar hasil produk/output diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar. Secara teoritis,
klasifikasi ini ditandai oleh adanya suatu kenyataan bahwa respon output tidak hanya tergantung
kepada produktivitas input dan faktor-faktor alami, tetapi dipengaruhi pula oleh biaya input dan harga
pasar komoditi yang diusahakan. Berdasarkan alur pemikiran ini, tampak jelas bahwa peranan pasar
produk bukan saja sebagai “market outlet”, tetapi cenderung berfungsi sebagai “stimulator” dalam
proses transisi menuju spesialisasi produksi.
Rantai pemasaran yeng menghubungkan produsen tomat dengan konsumen menunjukkan
variasi yang cukup beragam yaitu:
a. produsen – pedagang pengumpul – pedagang besar – pedagang pengecer –
konsumen.
b. produsen – pedagang pengumpul – pedagang pengecer – konsumen
c. produsen – pedagang pengumpul antar daerah – pedagang besar – pedagang
pengecer – konsumen
d. produsen – pedagang pengecer – konsumen
e. produsen – konsumen
f. produsen/pedagang pengumpul – konsumen lembaga (perusahaan pengolah)
Di sentra produksi Pandeglang dan Serang, beberapa petani produsen langsung memasarkan
hasil produksinya ke pasar. Hal ini dimungkinkan karena lokasi usahatani berdekatan dengan pasar dan
7
volume transaksi juga relatif kecil. Walaupun didak berhasil diwawancarai, tetapi berdasarkan informasi
petani sekitarnya, di Cianjur terdapat petani yang memasarkan hasil produksinya ke perusahaan
pengolah di Tangerang. Disamping melakukan kegiatan produksi sendiri, petani tersebut juga
menampung hasil produksi dari petani lain.
Cara transaksi yang biasa dilakukan petani adalah dengan menjual berdasarkan sistem “kiloan”
dan “borongan”. Beberapa petani cenderung memilih sistem “borongan” berdasarkan pertimbangan
bahwa biaya panen ditanggung oleh pedagang. Cara borongan ini juga lebih disukai oleh petani
penggarap (bukan pemilik tanah), karena waktu aktivitas panen dapat dipergunakan untuk mengerjakan
kegiatan lainnya. Oleh karena transaksi borongan ini kebanyakan dilakukan oleh pedagang pengumpul
lokal, maka pembayaran seringkali dilunasi seminggu setelah waktu transaksi atau setelah tomat habis
terjual. Cara pembayaran ini menimbulkan resiko adanya kemungkinan harga yang dibayarkan lebih
rendah dibandingkan dengan harga kesepakatan awal. Transaksi borongan dengan sistem pembayaran
keuntungan banyak dilakukan petani di sentra produksi Cicalengka. Negosiasi antara petani dengan
pedagang dilakukan menjelang panen pertama tomat atau pada saat tanaman tomat mulai berbunga.
Berdasarkan pengalamannya, pedagang mengestimasi nilai total produksi melalui perkiraan hasil
produksi (fisik) yang akan diperoleh serta harga tomat pada waktu panen. Setelah harga borongan
disepakati, maka untuk selanjutnya pembiayaan serta pengelolaan usahatani sampai panen tomat
terakhir ditanggung oleh pedagang. Pengalihan pengelolaan ini juga mencakup pemindahan beban
resiko pra panen dan pasca panen. Biasanya para pedagang borongan ini sudah mempunyai
langganan petani untuk menjamin ketersediaan poroduk. Modal operasional padagang borongan
beberapa diantaranya berasal dari pedagang besar dengan perjanjian bahwa selanjutnya hasil tomat
borongan tersebut dipasarkan melalui pedagang besar pemberi modal.
Dari empat sentra produksi tomat dataran rendah/medium yang diobservasi ternyata terdapat
perbedaan harga yang cukup tinggi. Kisaran harga tomat per kg di masing-masing sentra produksi
adalah sebagai berikut: Pandeglang (Rp. 80,- - Rp. 225,-), Serang (Rp. 80,- - Rp. 250,-), Cianjur (Rp.
40,- - Rp. 150,-) dan Cicalengka (Rp. 50,- - Rp. 175,-). Hasil observasi menunjukkan bahwa harga tomat
per kg di Pandeglang dan Serang lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang diterima petani Cianjur
dan Cicalengka. Hal ini terjadi karena disamping permintaan pasar lokal yang cukup tinggi, juga
disebabkan oleh tidak adanya pesaing sentra produksi, tomat dataran tinggi seperti untuk Cicalengka
(Lembang, Cisarua) dan Cianjur (Pacet, Cipanas). Sementara itu, kisaran harga borongan di Cicalengka
adalah Rp. 1.000,- - Rp. 2.500,- per tumbak. Jika diperkirakan hasil tomat per tumbak mencapai 25 kg,
maka harga tomat per kg berkisar antara Rp. 40,- - Rp. 120,- per kg. Melalui sistem transaksi seperti ini
menurut petani resiko kerugian sangat kecil karena biaya produksi diperkirakan berkisar antara Rp.
500,- - Rp. 1.250,- per tumbak. Disamping itu petani juga dapat mengalihkan perhatiannya untuk
pekerjaan-pekerjaan lain segera setelah transaksi dilakukan (setelah panen pertama tomat).
Disamping memenuhi permintaan pasar lokal, sebagian hasil produksi tomat dari Pandeglang
dan Serang dipasarkan ke Cilegon, Tangerang dan Jakarta. Sementara itu, sebagian besar hasil tomat
dari Cicalengka ternyata juga cukup luas yaitu Bandung, Cirebon, Jawa Tengah, Surabaya dan
Pemalang.
Seorang pedagang pengumpul antar daerah yang berhasil diwawancarai di Cicalengka,
membeli tomat dari petani secara borongan untuk dijual ke pedagang besar di Surabaya. Harga beli dari
petani pada saat transaksi Rp. 2.500,- per tumbak dan biaya pemeliharaan sampai panen berakhir Rp.
500,- per tumbak. Jadi harga beli total adalah Rp. 3.000,- per tumbak atau diperkirakan Rp. 120,- per
kg. Pedagang besar di Surabaya menerima hasil tomat dengan harga beli Rp. 190,- per kg. Margin
pemasaran tomat dari Cicalengka ke pedagang besar di Surabaya sebesar Rp. 70,- per kg terdiri dari
keuntungan pedagang Rp. 17,5,- dan biaya pemasaran (sortasi, pengepakan/muat, transportasi,
retribusi dan lain-lain) sebesar Rp. 52,5.
Pasar input
Kondisi pasar input berpengaruh terhadap kombinasi kuantitas faktor produksi yang digunakan
dalam proses produksi dan pada akhirnya akan mempengaruhi kuantitas serta komposisi output.
Ditinjau dari ketersediaan serta harga input, tidak terdapat perbedaan menyolok diantara keempat
8
sentra produksi yang diobservasi. Walaupun demikian, ternyata produksi tomat per satuan luas untuk
sentra produksi Pandeglang dan serang jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga Cianjur dan
Cicalengka. Disamping disebabkan oleh perbedaan kemampuan pengelolaan, hal ini tampaknya
merupakan indikasi adanya perbedaan kemampuan permodalan petani. Data input output usahatani
menunjukkan bahwa kuantitas penggunaan input di Pandeglang dan Serang memang lebih rendah.
Di semua sentra produksi, pupuk buatan urea, TSP, ZA dan KCl sangat mudah diperoleh
dengan kisaran harga Rp. 120,- - Rp. 130,- per kg. Sementara itu, pupuk kandang kambing biasanya
diperoleh dari petani sekitar yang memiliki ternak dengan harga Rp. 10,- - Rp. 15,- per kg. Walaupun
pupuk kandang ayam di beberapa sentra relatif lebih mudah diperoleh, tetapi karena mutunya kurang
baik (terlalu banyak campuran gabah), maka petani lebih cenderung memilih pupuk kandang kambing.
Kisaran harga pupuk kandang ayam adalah Rp. 15,- - Rp. 20,- per kg. Beberapa petani di Cianjur dan
Cicalengka juga menggunakan Gandasil yang dapat diperoleh dengan harga Rp. 1.000,- - Rp. 1.100,-
per bungkus. Ketersediaan obat-obatan juga terjamin dengan variasi harga berada pada tingkat yang
masih dapat ditoleransi. Jenis yang digunakan cukup beragam diantaranya : Sevin, Dursban, Dithane,
Basudin, Diazinon, Sumibash, Antracol dan Bayfolan. Agaknya yang perlu diperhatikan adalah
ketersediaan benih tomat unggul. Walaupun umumnya petani menggunakan bibit hasil produksi sendiri,
tetapi pada kenyataannya petani di Pandeglang dan Serang menginformasikan sulitnya memperoleh
benih tomat di kios-kios saprotan maupun di Balai Benih Induk. Sementara itu benih/bibit tomat hasil
produksi petani yang mutunya kurang terjamin dapat diperoleh dengan harga Rp. 400,- - Rp. 600,- per
korek api (6-7 gr) atau Rp. 2.5,- - Rp. 5.0,- per tanaman.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecuali untuk input bersih, fasilitas pasar input
yang menunjang “rice based cropping pattern” memberikan beberapa kemudahan dalam upaya
kemungkinan pengembangan usahatani tomat dataran rendah/medium.
9
Status penguasaan lahan
Disamping status pemilik penggarap dan bagi hasil, sebagian petani menggarap lahannya
dengan status sewa. Besarnya sewa tanah di Cicalengka pada umumnya dinilai ekivalen dengan 400
kg – 600 kg padi per ha per musim. Sementara itu nilai sewa tanah di Cianjur berkisar antara Rp.
200.000,- - Rp. 300.000,- per ha per musim. Beberapa petani penyakap diperbolehkan oleh pemilik
tanah untuk menanam tomat dengan syarat lahan garapan tersebut siap ditanami padi pada musim
tanam berikutnya. Di Pandeglang dijumpai sistem bagi hasil 2 : 1 masing-masing untuk penggarap dan
pemilik tanah. Sedangkan nilai sewa tanah di pandeglang dan Serang ternyata lebih rendah yaitu
berkisar antara Rp. 100.000,- - Rp. 200.000,- per ha per musim.
Banyak petani tomat di Pandeglang dan Serang yang sebenarnya berstatus petani penyakap
untuk padi. Oleh pemilik tanah, petani tersebut dibeli keleluasaan untuk memilih jenis tanaman yang
akan diusahakan sebelum atau setelah menanam padi. Beberapa petani yang berstatus seperti ini
menyatakan bahwa tidak ada perjanjian formal dengan pemilik tanah mengenai bagi hasil tanaman
penyelang tersebut. Sementara itu, petani yang menyewa tanah khusus untuk mengusahakan tanaman
tomat banyak dijumpai di Cianjur dan Cicalengka.
Kredit
Tidak diperoleh informasi yang terinci mengenai permintaan kredit formal atau informal
khususnya untuk usahatani tomat dataran rendah/medium ini. Walaupun demikian pengamatan selintas
menunjukkan bahwa tampaknya petani tomat di Pandeglang dan Serang lebih membutuhkan fasilitas
kredit tersebut untuk menunjang kegiatan usahataninya. Perlu diperhatikan bahwa kemungkinan
pemberian fasilitas kredit ini harus dilaksanakan simultan dengan usaha meningkatkan kualitas
kemampuan pengelolaan (managerial skills) petani, agar dampaknya terhadap peningkatan
produktivitas dapat dirasakan. Fasilitas kredit murah memang sangat diperlukan oleh petani, sebagai
contoh, seorang petani di Cianjur terpaksa meminjam dari Koperasi Simpan Pinjam dengan bunga 20%
per bulan karena sukar memperoleh alternatif lain yang lebih ringan.
Penyuluhan
Patut diakui bahwa bobot serta intensitas penyuluhan untuk usahatani sayuran dataran
rendah/medium umumnya masih sangat kurang. Sampai saat ini titik berat penyuluhan masih diarahkan
untuk pengembangan komoditi padi dan palawija. Menanggapi respon petani terhadap penanaman
sayuran dataran rendah/medium, maka kekurangan di atas sedikit demi sedikit harus diperbaiki. Hal ini
cukup mendesak untuk segera dilaksanakan mengingat salah satu upaya dalam meningkatkan
pendapatan petani padi adalah dengan menempatkan salah satu komoditi yang memiliki nilai ekonomi
tinggi pada pola tanamnya.
10
penyakap penggarap. Masih berlakunya sistem bagi hasil padi dimana seperti bagian untuk petani
penggarap dan seluruh pembiayaan ditanggung oleh penggarap dirasakan oleh petani sebagai faktor
pembatas dalam mengusahakan tanaman tomat secara intensif. Beberapa petani bahkan sama sekali
tidak menggunakan pestisida karena keterbatasan modal. Adanya konflik dan saling ketergantungan
antara sasaran “self sufficiency/subsistence” dengan karakteristik komoditi tomat yang komersial,
menyebabkan sukarnya diidentifikasi prioritas sasaran yang hendak dicapai petani.
Dari observasi dan wawancara dengan petani di keempat sentra produksi, tidak diperoleh
informasi yang pasti mengenai perilaku petani dalam mengantisipasi resiko yang diakibatkan oleh
adanya variabilitas harga dan hasil produksi. Beberapa petani menyatakan bahwa untuk mengurangi
resiko, seringkali tanaman tomat ditumpangsarikan dengan kacang-kacangan dan mentimun. Walaupun
demikian, sistem tumpangsari ini belum dapat dipastikan sebagai bentuk antisipasi petani terhadap
resiko, karena kemungkinan di latarbelakangi pula oleh alasan-alasan lainnya. Sebagai contoh,
penerapan sistem tumpangsari ini bukan hanya merupakan usaha untuk mengurangi resiko, tetapi
konsisten pula dengan sasaran untuk memperoleh penerimaan yang lebih tinggi per unit input. Alasan
mana yang bobotnya lebih besar tidak dapat diungkapkan dari penelitian “cross section” ini. Kenyataan
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara sasaran petani, perilaku petani dalam
menghadapi resiko/ketidakpastian dan kemampuan petani dalam mengelola input. Hubungan ini
semakin bertambah kompleks karena pada dasarnya petani bekerja dalam situasi yang dinamis. Oleh
karena itu, diperlukan data “time series’ yang dapat menggambarkan variasi keadaan yang dihadapi
petani serta variasi usaha petani untuk mengantisipasinya.
KESIMPULAN
1. Ditinjau secara keseluruhan, keragaan usahatani tomat di Cianjur dan Cicalengka relatif lebih
baik dibandingkan dengan usahatani tomat di Pandeglang dan serang. Hal ini ditunjang oleh
kenyataan bahwa hasil per satuan luas (teknis) yang lebih baik serta biaya per satuan output
(ekonomis) yang lebih rendah.
2. Tingkat pemanfaatan yang rendah dari varietas-varietas tomat rekomendasi (Berlian, Ratna dan
Intan) memberikan beberapa bahan masukan yang perlu dikaji lebih lanjut. Perlu ditelusuri
kembali faktor-faktor yang menyebabkan petani lebih menyukai penggunaan varietas lokal,
misalnya : kemudahan untuk memperoleh benih varietas rekomendasi ditinjau dari aspek
penyediaan dan distribusi, kemampuan varietas-varietas rekomendasi untuk bersaing dengan
varietas lainnya ditinjau dari aspek preferensi konsumen/pasar. Kebutuhan terhadap benih
unggul tampaknya cukup mendesak mengingat tingginya variabilitas hasil per satuan luas antar
sentra produksi maupun antar petani individu. Dihubungkan dengan arah pengembangan
menuju spesialisasi usahatani tomat konsumsi segar (fresh tomato) dan tomat olahan
(processing tomato) maka penggunaan varietas unggul merupakan persyaratan mutlak yang
harus dipenuhi.
3. Masih diperlukan perbaikan dan pemantapan teknologi budidaya tomat dataran rendah/
medium, terutama menyangkut usaha efisiensi penggunaan sumberdaya berdasarkan
lingkungan produksi yang dihadapi petani. Fokus penelitian ke arah terciptanya “low cost
technology” (menekan biaya produksi per satuan output) diharapkan dapat meningkatkan
kontribusi usahatani tomat sebagai salah satu komponen dalam pola tanam padi.
4. Penelitian awal ini perlu dilanjutkan dengan pendekatan yang mencakup penelaahan pola
tanam secara keseluruhan (cropping pattern oriented), agar formulasi perbaikan teknologi yang
diinginkan oleh petani dapat dispesifikasi.
11
PUSTAKA
Byerlee, Derek, et al. Planning Technologies Appropriates to Farmers : Concept and Procedure.
CIMMYT, Mexico, 1980.
Calkins, P.H. Why Farmers Plant What Yhey Do. Tech.Bull. No. 8, AVRDC, 1978.
Collinson, M.P. The Use of Farming System Research for Understanding Small Farmers and
Improving Relevancy in Adaptive Experimentation. CIMMYT, Mexico. 1980.
Normal, D.W. and H.M. Hays. Developing a Suitable Technology for Small Farmers : National
Development, Modern Government, 1979.
12
Lampiran/Appendix.
13