You are on page 1of 18

Jurnal Hortikultura, Tahun 2000, Volume 10, Nomor (3): 226-240

SISTEM PENGETAHUAN “INDIGENOUS” PENGENDALIAN HAMA


PENYAKIT KENTANG DI PANGALENGAN
Witono Adiyoga dan Mieke Ameriana
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung

ABSTRAK. Adiyoga, W. dan M. Ameriana. 1996. Sistem pengetahuan indigenous pengendalian hama dan penyakit
kentang di Pangalengan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pengetahuan indigenous pengendalian hama
penyakit kentang agar proses pengambilan keputusan petani dapat diadaptasikan ke dalam perbaikan komponen teknologi
pengendalian terpadu. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung (Agustus-Desember
1996). Responden yang terlibat secara intensif dalam penelitian ini adalah 15 orang informan kunci. Penelitian ini
merupakan kegiatan survai yang mengkombinasikan pendekatan: observasi partisipan, wawancara dengan informan kunci,
dan diskusi kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen biaya yang meningkat dengan cepat adalah pengelu-
aran untuk pengendalian hama penyakit. Berdasarkan pengalamannya, petani secara lengkap dapat mengidentifikasi gejala
serangan serta faktor-faktor penyebab/stimulan untuk keempat jenis hama penyakit penting kentang (Liriomyza, sp.,
Phythophtora infestan, Pseudomonas solanacearum, dan Thrips palmi). Sistem pengetahuan indigenous menunjukkan
bahwa petani melakukan kegiatan pemantauan secara intensif dan melaksanakan pengendalian mekanis, kultur teknis dan
kimiawi. Ketergantungan terhadap pengendalian kimiawi yang tercermin dari kecenderungan penggunaan pestisida
berlebih, terutama disebabkan oleh faktor resiko kegagalan panen yang tinggi serta terbatasnya alternatif pengendalian
yang tersedia. Komponen pengendalian indigenous atau lokal yang memiliki potensi untuk mendukung perbaikan
pendekatan pengendalian hama terpadu adalah sistem pemantauan yang lebih intensif, penentuan ambang kerusakan dan
pengambilan keputusan mengenai perbedaan perlakuan antar musim. Berbagai komponen lokal tersebut dapat diikut-
sertakan dalam usaha perbaikan komponen teknologi pengendalian di lahan petani melalui pendekatan partisipatoris.
Prosedur ini akan mempercepat adopsi PHT karena petani dapat merespon langsung berdasarkan hasil evaluasinya, serta
memiliki kesempatan untuk melakukan berbagai modifikasi sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan produksi spesifik yang
dihadapi.

Kata kunci: Sistem pengetahuan indigenous; Pengendalian hama terpadu; Pendekatan partisipatoris.

ABSTRACT. Adiyoga, W. and M. Ameriana. 1996. Indigenous knowledge system of potato pest and disease control
in Pangalengan. This study was aimed to fully understand indigenous knowledge system of pest and disease control
management, so that farmers’s decision making can be adapted to improve the existing generated components for
accelerating and increasing the adoption of IPM. This study was conducted in August-December 1996 in the highland
ecosystem of Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. There were 15 key informants intensively involved and
actively participate in this study. This is a survey research that combines several approaches include, participant
observation, intensive interviews with key informants, and group discussion. Results show that based on their experience,
farmers are fully capable of identifying symptoms, and factors that can stimulate the development of some important pests
and diseases (Liriomyza, sp., Phythophtora infestan, Pseudomonas solanacearum, and Thrips palmi). Indigenous
knowledge system indicates that intensive monitoring, cultural practice control and mechanical control are common practices
to farmers. At present, high dependency on chemical control method as reflected by the use of excessive pesticides is
mainly caused by high risk factors in potato cultivation, and limited availability of alternative control methods. Some
components of indigenous control strategy that potentialy can support the improvement of integrated pest management are
intensive monitoring system, determination of control treshold, and decision making to differentiate treatments for rainy and
dry season planting. Those local components could be incorporated into the effort of improving IPM through the use of
participatory research approach at the farmer’s field. This procedure may accelerate the IPM adoption since farmers may
respond directly based on their own evaluation and have a chance to modify the IPM technology based on their immediate
needs.

Key words: Indigenous knowledge system; Integrated pest management; Participatory approach.

1
Secara eksternal, stabilitas sistem produksi suatu komoditas pertanian dipengaruhi oleh faktor
fisik (iklim), ekonomi (harga pasar) dan biologis (hama dan penyakit). Sementara itu, menurunnya
stabilitas sistem produksi secara internal juga diantaranya merupakan akibat dari adanya peningkatan
salinitas tanah, hilangnya bahan organik tanah dan meningkatnya penggunaan pestisida. Beberapa
aktivitas yang pengaruhnya dianggap sangat potensial terhadap keberlanjutan sistem produksi
sayuran adalah: (a) pengendalian hama penyakit, (b) pengelolaan tanah dan pupuk, serta (c)
pemeliharaan dan pemanfaatan keragaman genetik (Dumsday, et al., 1991). Penggunaan pestisida
dalam pengendalian hama penyakit sayuran mendapat sorotan cukup tajam akhir-akhir ini, walaupun
pada awalnya aktivitas tersebut merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan keberlanjutan jangka
pendek usahatani sayuran. Pengambilan keputusan pengendalian cenderung lebih diarahkan untuk
mengantisipasi resiko hama penyakit dibandingkan dengan usaha untuk mengatasi serangan hama
penyakit secara aktual (Mumford, 1981). Berbagai kritik menyatakan bahwa penggunaan bahan
sintetis dalam aktivitas pengendalian hama penyakit dapat membahayakan kesehatan manusia dan
kelestarian lingkungan, serta mendorong timbulnya resistensi hama. Dalam jangka panjang,
penggunaan pestisida yang tidak bijaksana bahkan dapat menimbulkan (a) berkurangnya durabilitas
ekologis, (b) hilangnya keseimbangan pengendalian yang bertumpu pada aspek biologis, dan (c)
meningkatnya probabilitas kejadian eksplosi serangan hama penyakit (Feder, 1979).
. Dalam waktu lima tahun terakhir, berbagai komponen teknologi sayuran telah dikemas menjadi
suatu pendekatan pengendalian hama penyakit yang menekankan keterpaduan aspek-aspek
budidaya serta pengurangan penggunaan pestisida. Bahkan usaha pengembangan dan
pemasyarakatan sistem pengendalian terpadu ini juga ditempuh melalui penyelenggaraan sekolah
lapang bagi petani. Khususnya untuk komoditas sayuran, teknologi anjuran pengendalian hama
terpadu (PHT) telah dirancang, baik untuk sayuran dataran tinggi (kentang, kubis dan tomat) maupun
untuk sayuran dataran rendah (bawang merah, cabai dan kacang-kacangan). PHT merupakan suatu
konsep, strategi dan sekaligus teknologi yang disusun berdasarkan pertimbangan serta penalaran
ekologis dan ekonomis, melalui rekayasa pengelolaan ekosistem yang mengacu pada prinsip-prinsip
keberlanjutan. Lebih jauh lagi, PHT merupakan suatu pendekatan holistik yang melibatkan
produktivitas, keberlanjutan usahatani, prinsip-prinsip ekologis, pengetahuan petani, organisasi sosial,
keterampilan komunikasi dan kesehatan manusia.
Beberapa penelitian yang mencoba mengkaji penyebaran PHT di tingkat petani mengindikasi-
kan adanya kecenderungan adopsi yang relatif lambat (Marwoto, 1996). Lambatnya penyebaran
maupun adopsi teknologi ini diperkirakan karena belum optimalnya fungsionalisasi mekanisme transfer
yang dilakukan oleh penyuluh, pengamat hama, kelompok tani, maupun petani yang pernah mengikuti
sekolah lapang PHT. Penelitian lainnya bahkan menunjukkan bahwa petani yang pernah mengikuti
sekolah lapang PHT ternyata tidak memperlihatkan pola pengendalian yang berbeda dengan petani
yang belum pernah mendapatkan pelatihan (Basuki, et al., 1996). Secara spesifik, penelitian ini
menyarankan reevaluasi dan perbaikan komponen-komponen teknologi yang telah ada dengan
menekankan keterlibatan petani dalam proses perancangannya.
Sebagian besar teknologi pertanian yang digunakan di negara-negara berkembang
sebenarnya adalah hasil inovasi informal dari petani-petani subsisten. Petani juga memanfaatkan ide-
ide dari paket teknologi yang ditawarkan oleh lembaga penelitian dan secara selektif memilih beberapa
komponen untuk dicoba sendiri. Berdasarkan pengalaman trial and error, komponen-komponen
teknologi yang dianggap layak akan diadopsi sesuai dengan kebutuhan serta pengetahuan lingkungan
lokal usahataninya. Oleh karena itu, rendahnya adopsi komponen-komponen teknologi tertentu,
sebenarnya tidak selalu disebabkan oleh petani yang bersifat konservatif atau sistem penunjang yang

2
kurang berfungsi, tetapi seringkali merupakan akibat dari karakteristik inovasi tersebut yang tidak
sesuai dengan kebutuhan serta lingkungan produksi yang dihadapi petani.
Berkaitan dengan hal di atas, pemahaman mengenai sistem pengetahuan indigenous
merupakan aspek yang bersifat instrumental dalam merancang suatu inovasi. Melalui proses yang
panjang, sistem pengetahuan indigenous atau lokal (PL) telah menjadi acuan petani dalam
mengamankan usahataninya dari berbagai kendala lingkungan spesifik lokasi. Secara turun-temurun,
petani telah mengembangkan berbagai strategi untuk menghadapi organisme-organisme yang tidak
diinginkan. Metode pengendalian indigenous yang dilatar-belakangi berbagai pertimbangan ekologis
ini merupakan bahan masukan yang berguna dalam rangka perbaikan penelitian PHT.
PL tidak hanya menyangkut masalah teknis, tetapi juga termasuk aspirasi, nilai, preferensi dan
norma yang diterapkan petani dalam usahataninya. Dengan demikian, PL adalah basis informasi yang
bersifat dinamis, karena berkembang melalui proses sosial, ekonomi dan kultural yang membentuk
kehidupan masyarakat pedesaan atau petani (Titikola, 1991). Berdasarkan potensinya, integrasi
antara pengetahuan lokal dengan pengetahuan moderen merupakan kebutuhan yang sangat esensi,
terutama dalam bidang penelitian pertanian. Isu kerusakan lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan yang semakin marak akhir-akhir ini menyebabkan para akhli ekologi dan ekonomi
menaruh perhatian yang lebih besar lagi terhadap pemanfaatan PL dalam pembangunan pertanian
(Norgaard, 1984). Berbagai karakteristik PL dapat memberikan gambaran, terutama bagi para ilmuwan
pertanian dan penentu kebijakan, bahwa sistem pengetahuan ini bukan merupakan suatu hambatan
yang perlu dihilangkan, melainkan suatu basis pertimbangan dalam memperkenalkan teknologi baru
yang dirancang berdasarkan penggunaan sumberdaya efisien dan berkelanjutan.
Secara berangsur semakin disadari bahwa PL perlu mendapat perhatian yang lebih besar
sebagai basis penyusunan paradigma pembangunan/pengembangan. Widyastuti (1995) menggabung-
kan elaborasi pengetahuan lokal dengan kegiatan koleksi sumber genetik ubi jalar di Jawa dan Irian
Jaya. Melalui pendekatan ini, tingkat biodiversitas ubi jalar serta preferensi petani dapat disusun
secara lebih lengkap sebagai bahan masukan untuk kegiatan pemuliaan. Pendekatan serupa juga
dilakukan dalam merancang kurikulum sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu untuk ubi jalar.
Penyertaan sistem PL memberikan indikasi bahwa pengelolaan tanaman terpadu (PTT) lebih cepat
diadopsi, jika diseminasinya lebih difokuskan pada pemahaman proses dan prinsip PTT, dibandingkan
dengan rekomendasi budidaya tertentu. Fuglie, et al. (1992) menunjukkan bahwa perpaduan antara
PL dan ilmu pengetahuan formal/moderen berhasil mempercepat adopsi teknologi pengendalian PTM
(Potato Tuber Moth) di Tunisia. Perakitan teknologi diawali dengan pemahaman PL mengenai PTM
secara mendetil, yang mencakup persepsi petani mengenai PTM serta klarifikasi proses pengambilan
keputusan petani dalam pengendaliannya. Berdasarkan informasi yang diperoleh, peneliti bersama-
sama dengan petani, merakit teknologi pengendalian PTM yang menekankan metode pengendalian
secara kultur teknis. Adopsi teknologi pengendalian ini dapat menghemat devisa impor pestisida
sampai 150 000 dinar per tahun. Sementara itu, petani juga dapat meningkatkan pendapatan bersih
usahataninya sebesar 20 persen. Beberapa studi kasus lainnya (Sharland, 1989; Scheidegger, et al.,
1989; Bebbington, 1993; Riches, et al., 1993; Mosse, 1995) juga menunjukkan potensi kontribusi PL
terhadap perancangan teknologi baru dan berbagai aspek lain yang berkaitan dengan pembangunan
pedesaan.
Penelitian ini diarahkan untuk melakukan dokumentasi dan evaluasi sistem pengetahuan lokal
yang mencakup fungsionalisasi persepsi serta cara/kebiasaan petani dalam mengendalikan hama
penyakit kentang.

3
BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan kegiatan survai multi-disiplin (agro-ekonomi, hama penyakit dan
agronomi) yang menggabungkan beberapa metode pendekatan meliputi: wawancara dengan informan
kunci, diskusi kelompok, dan observasi lapangan. Target penelitian adalah informan kunci di sentra
produksi yang diharapkan dapat memberikan informasi keragaman pengetahuan lokal (PL)
menyangkut strategi pengendalian hama penyakit kentang. Tahapan penelitian dirancang sebagai
berikut:
• Seleksi lokasi (site): Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung dipilih sebagai lokasi
penelitian berdasarkan pertimbangan kontribusinya terhadap produksi nasional dan
keberadaannya sebagai sentra kentang yang telah berkembang sejak lama.
• Pemahaman pedesaan secara cepat (Rapid Rural Appraisal/RRA): Menghimpun informasi gam-
baran umum sistem pertanian dan data dasar sosial ekonomi yang relevan dengan sasaran studi.
• Wawancara informal dengan tokoh masyarakat: Memperoleh informasi mengenai keragaman ta-
naman, sistem usahatani dan teknologi yang berubah-ubah sepanjang waktu (dinamika perubahan
yang terjadi), serta persepsi dan reaksi masyarakat terhadap perubahan-perubahan tersebut.
• Mengidentifikasi informan kunci: Berdasarkan informasi yang diperoleh dari tahapan terdahulu
serta saran/rekomendasi dari tokoh masyarakat (gate keepers) -- dari kalangan pemerintah
daerah/ kecamatan, tokoh sesepuh petani dan petani andalan, dipilih 15 orang informan kunci
secara sengaja (purposive). Pemilihan informan kunci terutama didasarkan pada pengalaman
mengusahakan kentang (> 20 tahun), dikenal sebagai "petani kentang" (kentang sebagai usaha
pokok), masih menangani usahatani kentang secara langsung, dan kesediaannya untuk
diwawancarai secara intensif.
• Wawancara intensif dengan informan kunci: Kegiatan ini dilaksanakan secara intensif dan
berlangsung lebih dari satu kali tatap muka. Panduan pertanyaan yang sifatnya terbuka digunakan
untuk memperoleh informasi berkaitan dengan pengalaman dan persepsi informan mengenai
pengendalian hama penyakit, sejak mulai melakukan usahatani kentang sampai sekarang.
Validasi informasi yang diperoleh ditempuh melalui kunjungan lapangan dan diskusi kelompok.
• Informasi utama yang dihimpun adalah persepsi petani mengenai organisme pengganggu utama,
nama lokal, urutannya berdasarkan kerusakan yang ditimbulkan, strategi pengendalian (melalui
acara ritual, metode pengendalian berefek langsung, pengaturan pola tanam atau sistem
pertanaman, cara bercocok tanam, dan pengendalian secara kimiawi). Informasi tersebut
selanjutnya didokumentasikan secara lengkap, dan disintesis untuk memperoleh bahan masukan
bagi perbaikan metode pengendalian yang sudah ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN

• Dinamika Usahatani Kentang

Komoditas kentang sudah sejak lama diusahakan oleh petani sebagai tanaman komersial
secara monokultur di Pangalengan. Dalam perkembangannya, daerah Pangalengan bahkan masih
dianggap sebagai sentra produksi acuan, khususnya bagi petani kentang dari daerah lain. Hal ini
terlihat tidak saja dari kontribusinya terhadap produksi kentang konsumsi nasional, tetapi juga dari
banyaknya permintaan terhadap bibit kentang yang diproduksi oleh petani Pangalengan. Kentang
pada umumnya ditanam sepanjang tahun, namun petani mengklasifikasi dua musim tanam utama,
4
yaitu (a) antara bulan September sampai April, dan (b) antara bulan Juni sampai Agustus. Pada musim
tanam pertama, pasokan kentang dari Pangalengan dapat mencapai rata-rata 100 ton per hari,
sedangkan pada musim kedua rata-rata mencapai 25 ton per hari. Walaupun tidak tersedia data
kuantitatif yang pasti, diperkirakan 40-50% kebutuhan bibit di Jawa dipasok oleh Pangalengan.
Sementara itu, tidak sedikit petani yang berasal dari Pangalengan juga mengusahakan kentang di
sentra-sentra produksi lain (Garut, Majalengka, Cianjur dan Wonosobo).
Informasi mengenai kepastian masuknya kentang ke Pangalengan tidak berhasil diperoleh,
namun petani pada umumnya menyatakan bahwa usahatani kentang sudah mulai berkembang
bahkan sebelum tahun 1940'an. Berdasarkan pengamatannya, petani mengemukakan bahwa sejak
tahun 1960'an, penanaman kentang berkembang sangat pesat dan diusahakan semakin intensif.
Petani kentang melakukan penanaman paling sedikit tiga kali dalam setahun, yaitu:
• Januari - Pebruari / pertengahan atau akhir musim penghujan / "porekat"
• September - Oktober / awal musim penghujan / "ngawuku"
• Juni - Agustus / musim kemarau / "ceboran".
Pola penanaman semacam ini memungkinkan petani secara kontinyu memiliki:
• persediaan umbi bibit atau calon bibit di gudang.
• pertanaman kentang di lapangan yang sedang dalam fase pertumbuhan.
• pertanaman kentang di lapangan yang berada pada fase mendekati panen.
Pada hamparan lahan yang sama, petani pada umumnya menanam satu kali setahun.
Tanaman sayuran lain yang digunakan untuk rotasi jenisnya cukup beragam, diantaranya kubis, tomat,
petsai, wortel, kacang-kacangan, jagung dan cabai. Pemilihan jenis tanaman rotasi terutama
didasarkan pada perkiraan petani bahwa pada saat panen akan mendapatkan harga yang cukup baik.
Disamping itu, jenis tanaman rotasi dipilih sedemikian rupa agar pada penanaman kentang berikutnya
petani tidak melakukannya di lahan bekas tomat. Namun demikian, petani juga mengungkapkan
bahwa ada sebagian petani yang menanam kentang secara berturut-turut pada hamparan lahan yang
sama. Hal ini terutama disebabkan oleh kesulitan untuk memperoleh lahan lain, sementara petani
bersangkutan sudah memiliki bibit siap tanam. Jenis tanaman rotasi saat ini jauh lebih bervariasi
dibandingkan dengan tahun 1950'an. Pada saat itu, sistem rotasi yang umum dilakukan adalah
kentang-jagung-"katralia"/"segil". Tanaman terakhir yang menurut petani termasuk jenis kacang-
kacangan, tidak dipanen sebagai tanaman pangan, tetapi dibenamkan ke tanah sebagai pupuk hijau.
Walaupun petani juga menanam jenis sayuran lainnya, petani tetap memilih kentang sebagai tanaman
pokok berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
• petani mengamati bahwa fluktuasi harga kentang tidak setajam fluktuasi harga sayuran
lainnya (harga kentang relatif lebih stabil).
• jika tingkat harga pada saat panen dirasa belum menguntungkan, kentang konsumsi dapat
disimpan sampai satu bulan, menunggu harga lebih baik.
• jika tingkat harga rendah tetapi karena alasan tertentu harus tetap menjual, petani masih
memiliki bahan bibit yang dapat digunakan sebagai bibit pertanaman selanjutnya atau
dijual sebagai bibit.
Sepanjang pengalaman petani mengusahakan kentang, jenis/varietas yang pernah ditanam,
diantaranya adalah Koninghe, Eigenheimer (sebelum 1960), Voran, Marita, Patrones, Sequoia, Red
Pontiac, Cosima, Katella (1960-1980), Herta, Granola, Atlantic (setelah 1980). Menurut petani,
keputusan untuk mengganti varietas pada umumnya diambil setelah petani mencoba sendiri (dalam
skala kecil) atau melihat keberhasilan petani lain yang terlebih dahulu menggunakan varietas yang
diminati tersebut. Oleh karena petani sudah terbiasa membibitkan sendiri untuk pertanaman
berikutnya, disamping potensi hasil, kriteria utama lainnya yang sering digunakan dalam memilih
5
varietas adalah sampai berapa kali varietas tersebut dapat ditanam dan masih memberikan hasil yang
cukup baik. Sampai saat ini, Granola yang masih dominan digunakan petani tampaknya memenuhi
kriteria di atas. Dibandingkan dengan varietas-varietas terdahulu yang maksimal dapat ditanam
sampai tiga kali, Granola masih mampu memberikan hasil yang cukup baik walaupun ditanam sampai
lima atau enam kali (memiliki sifat degenerasi lebih lambat).
Satu hal yang membedakan usahatani kentang dahulu dengan sekarang adalah semakin
tingginya intensitas penggunaan masukan, terutama pupuk dan pestisida (Tabel 1). Hal menarik yang
perlu dicatat adalah pernyataan petani yang mengindikasikan bahwa peningkatan intensitas
penggunaan masukan ternyata tidak selalu diimbangi dengan peningkatan produktivitas. Petani
mengamati bahwa sejak tahun 1980, produktivitas usahatani kentang khususnya di Pangalengan
meningkat sangat lambat, bahkan cenderung stabil.
Biaya produksi kentang per hektar di Pangalengan berkisar antara Rp. 8 000 000 - Rp. 12
000 000. Variasi biaya produksi yang terjadi terutama disebabkan oleh perbedaan intensitas masukan
non-bibit serta kualitas bibit yang digunakan. Komponen biaya produksi yang perubahannya menurut
petani semakin memberatkan adalah pengeluaran untuk pestisida. Jika dahulu, pestisida menempati
urutan ketiga/keempat setelah bibit, pupuk dan tenaga kerja, maka sekarang menempati urutan kedua
setelah bibit atau bahkan setara dengan pengeluaran bibit. Petani menyatakan bahwa peningkatan
pengeluaran pestisida bukan semata-mata disebabkan oleh kebutuhan penggunaan pestisida yang
bertambah, tetapi juga oleh harga pestisida yang semakin meningkat. Sementara itu, harga kentang
sendiri tidak menunjukkan kenaikan secepat harga masukan. Sebagai contoh, dahulu (10-15 tahun
yang lalu) harga 1 kg kentang setara dengan 2 kg NPK atau 10 kg kentang setara dengan 1 kg
fungisida Cobox, sedangkan sekarang, harga 1 kg kentang setara dengan 1 kg NPK atau 50 kg
kentang setara dengan 1 kg Ridomil MZ. Hal ini menunjukkan nilai tukar kentang yang cenderung
semakin menurun relatif terhadap harga masukan.
Berkaitan dengan isu penggunaan pestisida berlebih, petani berkomentar bahwa
kecenderungan tersebut diakui benar jika yang menjadi acuan adalah saran penggunaan seperti
tertera dalam label. Dilain pihak, tingkat penggunaan pestisida pada saat ini juga dapat dikatakan
wajar jika dikaitkan dengan kondisi lingkungan usahatani yang dihadapi petani sekarang. Sebenarnya
petani juga menyadari tidak ingin merugikan diri sendiri dengan menggunakan pestisida berlebihan,
namun berdasarkan pengalamannya penggunaan pestisida sesuai label mengandung resiko yang
terlalu tinggi. Menurut petani, dua faktor utama yang menyebabkan kerugian pada usahatani kentang
adalah:
a. produksi yang rendah akibat serangan hama dan penyakit
b. fluktuasi harga kentang (pada saat harga rendah)
Petani tidak dapat memberikan informasi konklusif mengenai urutan kepentingan (mana yang lebih
penting) kedua faktor di atas. Pada musim ini mungkin saja kerugian petani disebabkan oleh serangan
hama penyakit, tetapi pada musim sebelumnya disebabkan oleh harga yang rendah, atau sebaliknya.
Berdasarkan pengalaman, petani biasanya dapat mengurangi resiko kerugian akibat serangan hama
penyakit melalui penerapan pola pengendalian preventif. Namun demikian, beberapa tahun terakhir ini
petani menyatakan bahwa strategi tersebut dirasakan kurang efektif, karena kondisi cuaca yang
semakin sukar diprediksi. Sementara itu, karakteristik kentang yang tahan simpan sebenarnya dapat
mengurangi resiko kerugian yang disebabkan oleh harga rendah. Walaupun demikian, strategi ini juga
seringkali tidak ditempuh (khususnya oleh petani menengah ke bawah) karena kebutuhan mendesak,
terutama untuk keperluan perputaran usaha.

6
Tabel 1 Persepsi petani mengenai beberapa perbedaan budidaya kentang 15-20 tahun yang lalu dan sekarang
(Farmers’ perceptions with regard to cultural practice differences at present and 15-20 years ago)
15-20 tahun yang lalu Sekarang
(15-20 years ago) (At present)
• Insektisida digunakan 3-5 kali per musim, satu • Insektisida digunakan 7-9 kali per musim, jenis insektisida
jenis/tunggal (Endrin dan Basudin), jenis hama masih bermacam-macam (Marshall + Padan, Curacron+ Padan),
terbatas (ulat) / Insecticides were used 3-5 times per jenis hama bertambah (pengisap daun dan lalat) /
season, single type of insecticide (Endrin dan Basudin) , Insecticides are used 7-9 times per season, multiple-mixed
important pest type was still limited to worms insecticides (Marshall + Padan, Curacron+ Padan), pest
types increase (leaf-sucking pests and Liriomyza)
• Fungisida digunakan 8-9 kali/musim (musim hujan), satu • Fungisida digunakan 12-14 kali/musim, jenis campuran
jenis/tunggal (Vendozeb) / Fungicides were used 8-9 times (Dithane+Daconil) / Fungicides are used 12-14 times per
per season, single type of fungicide (Vendozeb) season, multiple-mixed insecticides (Dithane + Daconil)
• Tidak menggunakan nematisida / Nematicide was not used • Menggunakan nematisida (Furadan) / Nematicide is used
(Furadan)
• Tidak ada pengapuran / No limimg • Pengapuran dilakukan dan diulang setiap 3-5 kali tanam /
Limimg is carried out and replicated after 3-5 plantings
• Pupuk kandang (kambing) digunakan 15-18 ton/hektar / • Pupuk kandang (kambing dan ayam) digunakan 25-30
Goat manure was used at 15-18 t/ha ton/hektar / Goat and chiccken manures are used at 25-30
t/ha
• Pupuk buatan yang digunakan berkisar antara 800- 1 200 • Pupuk buatan yang digunakan dapat mencapai 2 000
kg/hektar / Chemical fertilizerss were used at 800-1 200 kg/hektar / Chemical fertilizerss are used at 800-1 200
kg/ha kg/ha
• Pergiliran kentang dengan tanaman lain merupakan pola • Semakin banyak petani yang menanam kentang dua kali
tanam yang umumnya digunakan petani / Potato rotation berturut-turut pada lahan yang sama / Number of farmers
with other crops was a dominant cropping system followed planting potato two times in a row in the same field/ parcel
by farmers tends to increase
• Memperoleh hasil 20-25 ton/hektar relatif lebih mudah • Memperoleh hasil 15-20 ton/hektar sudah termasuk baik /
dicapai / Achieving 20-25 t/ha was relatively easy Achieving 15-20 t/ha is considered good achievement –
getting more difficult

• Pengetahuan Lokal Hama Penyakit

Berdasarkan pengalamannya, petani mengemukakan bahwa masalah hama penyakit pada


usahatani kentang dirasakan cenderung semakin berat untuk ditanggulangi. Beberapa jenis hama
penyakit yang dikenal petani dan seringkali menimbulkan kerugian usahatani kentang adalah:

Tabel 2 Jenis hama penyakit yang dikenal petani dan seringkali menimbulkan kerugian (Pests and diseases
well-identified by farmers that frequently causing loss in potato production)
Hama (Pests) Penyakit (Diseases)
Jenis Nama Lokal Jenis Nama Lokal
(Type) (Local name) (Type) (Local name)
Ulat penggerek umbi/ "salisip" Busuk daun/ Phytophtora “lodoh”
Phthorimaea operculella infestan
Ulat tanah/Agrotis ipsilon “hileud punggel” Layu/Pseudomonas “rayut”
solanacearum
Anjing tanah/Gryllotalpa sp. “gaang”
Penghisap daun/Thrips palmi “bereng”
Lalat/Liriomyza sp. “laleur”

7
Untuk melihat urutan kepentingannya, petani mengklasifikasikan hama penyakit di atas berdasarkan
pengalaman yang dialami di lapangan:

Tabel 3 Persepsi petani menyangkut klasifikasi hama/penyakit berdasarkan potensi perusakan dan kesulitan
pengendaliannya (Pests/diseases classification based on their attacking severity potential and difficulty
to control as perceived by farmers)

Lalat Layu Busuk daun Pengisap daun


(Leafminer flies) (Bacterial wilt) (Late blight) (Thrips)
daya/potensi perusakan 1 3 2 4
(damaging potential)
kesulitan pengamatan gejala 1 2 4 3
(difficulty to monitor symptom)
kesulitan pengendalian 1 2 3 4
(difficulty to control)
Keterangan: 1, ...., 4 adalah bobot kepentingan -- semakin tinggi nilai bobot, semakin rendah urutan kepentingannya (as the
number increases, its rank of importance decreases).

Berdasarkan klasifikasi ini, hama penyakit yang menjadi titik perhatian petani dalam aktivitas
pengendalian berturut-turut mulai dari yang terpenting adalah: (a) Lalat, (b) Layu, (c) Busuk daun, dan
(d) Pengisap daun. Hama lalat selalu menempati urutan pertama pada ketiga parameter di atas,
karena hama ini relatif baru diidentifikasi di Pangalengan (1992/1993), sehingga pengalaman petani
dalam menghadapinya masih sangat terbatas.
Pengamatan gejala serangan merupakan langkah awal yang sangat penting dalam
menentukan tahap pengendalian berikutnya. Menurut petani, faktor pengalaman sangat berpengaruh
terhadap pengambilan keputusan pengendalian. Gejala serangan berdasarkan versi petani
diperlihatkan pada tabel di bawah ini. Menurut petani, berbagai faktor yang bersumber dari gangguan
alami maupun cara pengelolaan yang kurang baik, dapat menyebabkan timbulnya serangan hama
penyakit dan mempercepat perkembangannya. Pada umumnya, petani mengemukakan bahwa faktor-
faktor alami, terutama yang berkaitan dengan perubahan cuaca, merupakan sumber ketidak-pastian
yang sangat sukar diantisipasi. Beberapa tahun terakhir yang ditandai dengan perubahan cuaca yang
tidak terduga (kemarau panjang, curah hujan berlebihan) merupakan pengalaman berat bagi petani,
terutama dikaitkan dengan pengendalian hama penyakit. Faktor ketidak-pastian ini tampaknya
semakin mendorong petani untuk untuk menggunakan strategi/metode pengendalian, khususnya
kimiawi, yang bersifat preventif. Tindakan preventif tersebut biasanya dicerminkan dari pola
penyemprotan rutin yang dilakukan petani. Dampak negatif jangka panjang yang ditimbulkan oleh
tindakan ini mulai disadari merupakan permasalahan baru yang harus segera dicarikan
pemecahannya. Sementara itu, ditinjau dari sudut pengelolaan usahatani, petani menyatakan bahwa
peluang untuk melakukan pencegahan-pencegahan sebenarnya lebih memungkinkan. Walaupun
demikian, seringkali peluang ini tidak dapat dimanfaatkan karena terbentur faktor-faktor non teknis.
Sebagai contoh, petani sudah mengetahui bahwa menanam kentang di musim hujan, pada lahan yang
memiliki drainase buruk, dapat menimbulkan resiko layu yang tinggi. Namun, resiko ini terpaksa
ditempuh karena akibat ketersediaan lahan terbatas, petani tidak mempunyai pilihan lain.

8
Tabel 4 Gejala serangan hama penyakit penting menurut pengamatan petani (Description of pests and diseases
symptoms based on farmers’ experience)
Hama/penyakit Gejala serangan
(Pests/diseases) (Symptoms)

Lalat • lalat kecil beterbangan di sekitar pertanaman, pada bagian pinggir atau tengah
(Leafminer flies) pertanaman, bahkan pada tanaman pinggiran (small insects fly around the plants, even
around the border plants)
• pada permukaan daun terdapat bintik-bintik putih dan daun menggulung/mengkerut (white
spots on the leaf surface and the leaves curl)
• daun menjadi kuning dan terdapat jejak menyerupai garis-garis dan daun berlubang
(leaves turn to yellow, tunnels inside the leaves and holes on the leaves)
• dapat menyerang daun muda dan tua bersamaan (attack old and young leaves
simultaneously)
Pengisap daun • daun tampak pucat, terdapat keriput-keriput (pale and wrinkled leaves)
(Thrips) • terdapat bintik-bintik putih dan hitam di balik daun (white and black spots on the underside
of leaves)
• dapat ditemukan kutu-kutu kecil di balik daun (small bugs on the underside of leaves)
• serangan awal tampak pada daun-daun di bagian bawah (initial attack appears on the
lower leaves)
• serangan awal dimulai dari bagian pinggir pertanaman (initial attack starts from the leaf
edges)
Layu • daun layu, mulai terlihat pada daun-daun muda dan menjalar ke daun-daun bagian bawah
(Bacterial wilt) (wilting leaves appear on the young leaves and move to the lower leaves)
• batang bagian bawah/pangkal berwarna coklat (lower stem is browning)
• jika serangan telah mencapai umbi, terdapat warna kecoklatan dan umbi berlendir (if the
tuber has been attacked, a grayish white slime exudes when a cross section is made)
Busuk daun • terdapat bintik-bintik hitam membusuk pada daun yang semakin berkembang melebar
(Late blight) (black rotten spots on the leaves getting wider)
• jika cuaca buruk (curah hujan tinggi), serangan menyebar ke bagian batang dan batang
menjadi hitam, kemudian membusuk (under wet conditions, stems turning black and rotten)

Tabel 5 mendokumentasikan pengetahuan petani mengenai faktor-faktor yang dapat menstimulasi


timbulnya serangan hama penyakit utama atau mempercepat perkembangannya.

9
Tabel 5 Persepsi petani mengenai faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan hama penyakit penting dan
menstimulasi perkembangannya (Factors that may induce and stimulate the occurrence of some
important pests/diseases incidence as perceived by farmers).
Hapen Faktor-faktor penyebab dan stimulan
Pest/ (Determinant and stimulant factors)
disease
Lalat* • pola tanam yang semakin tidak teratur dan kualitas lingkungan yang semakin menurun (cropping
(Leafminer pattern becomes more irregular and the quality of environment decreases)
flies) • menanam kentang menjelang musim kemarau (planting potatoes approaching dry season)
• terdapat tanaman kacang merah di dekat pertanaman kentang yang diduga sebagai tanaman
inang lalat (kidney beans near potato planting are suspected as host plant for the flies)
Pengisap • musim kemarau dan panas matahari yang terik (dry season and intense sun heat)
daun (Thrips) • menanam kentang bersebelahan dengan lahan yang baru dicangkul atau bersebelahan dengan
pertanaman kentang yang lebih dahulu dipanen (planting potatoes by the side of newly hoed land
or previously harvested potato field causing insect migration)
• tiupan angin kencang dari arah lahan yang baru dicangkul atau dipanen (strong wind from the
direction of newly hoed land or previously harvested potato field)

Layu • calon bibit pada saat panen terkena hujan, pada saat disimpan timbul kentit/kentot (tuber seed
(Bacterial bespattered with rain and got rotten in the storage)
wilt) • seleksi bibit yang kurang teliti sehingga bibit yang sudah terinfeksi ikut ditanam (inappropriate
seed selection and some infected seeds are planted unintentionally)
• menanam pada lahan bekas kentang yang pernah terserang layu (planting potatoes on
previously infected land)
• musim penghujan, terutama pada bulan-bulan Januari-Pebruari (planting potatoes in rainy
season, especially in January-February)
• lahan berdrainase buruk dan lokasinya yang memiliki kelembaban tinggi (planting potatoes on
land with bad drainage and high humidity)

Busuk daun • hujan terus menerus sehingga pestisida tercuci (continuous rain that washes off the pesticides)
(Late blight) • siang hari terang, malam hari gerimis, berkabut (extreme condition changes between night and
day, foggy day)
• malam berembun pada musim kemarau (foggy night in dry season)
• seleksi bibit yang kurang teliti (uncareful seed selection)
• pada saat pertanaman masih muda, tanaman kentang di lahan yang berdekatan dipanen terlebih
dahulu (when the plant is still young, near potato field is harvested)

Dalam perkembangan usahatani kentang sampai saat ini, petani juga mengemukakan adanya
peningkatan jenis hama serta potensi resiko kerusakan yang diakibatkan, baik oleh hama maupun
penyakit (Tabel 6). Sebagai contoh, serangan lalat pada tanaman kentang baru dialami petani sejak
tahun 1992/1993. Ketersediaan informasi dan pengalaman yang relatif terbatas mengenai hama ini
seringkali menyebabkan kerugian fatal bagi petani. Menurut petani, serangan hama lalat ini dapat ter-
jadi di musim kemarau atau musim penghujan, pada tanaman kentang usia muda (20-30 hari) atau tua
(70-80 hari). Penyebarannya sangat cepat, dalam waktu semalam dapat menyerang 20% total
pertanaman dengan kisaran kehilangan hasil antara 30-50% (tergantung umur tanaman pada saat

10
Tabel 6 Pengamatan petani terhadap perubahan hama penyakit kentang 15-20 tahun yang lalu dan sekarang
(Changes with regard to the existence of pests and diseases in 15-20 years ago and at present)
15-20 tahun yang lalu * Sekarang **
(15-20 years ago) (At present)
Hama (Pests): Hama (Pests):
• Ulat penggerek umbi (P. operculella) • Ulat penggerek umbi (P. operculella)
• Ulat tanah (Agrotis ipsilon) • Ulat tanah (Agrotis ipsilon)
• Anjing tanah (Gryllotalpa sp.) • Anjing tanah (Gryllotalpa sp.)
• Pengisap daun (Thrips palmi)
• Lalat (Liriomyza sp.)

Penyakit (Diseases): Penyakit (Diseases):


• Busuk daun (Phytophtora infestan) • Busuk daun (Phytophtora infestan)
• Layu (Pseudomonas solanacearum) • Layu (Pseudomonas solanacearum)

* kerusakan tidak terlalu parah (the damage is not ** kerusakan semakin parah (the damage is more
severe) severe)

terjadi serangan). Kecenderungan peningkatan potensi kerusakan juga diperlihatkan oleh hama dan
penyakit yang sudah agak lama dikenal petani. Sebagai contoh, hama pengisap daun yang pada
awalnya menyerang terutama pada musim kemarau, sekarang juga sering timbul pada musim
penghujan. Sementara itu, petani juga merasakan peningkatan bobot serangan dari penyakit busuk
daun yang diindikasikan oleh semakin meningkatnya kebutuhan pestisida.
Disatu sisi, petani sebenarnya mulai menyadari bahwa pengelolaan usahatani yang dilakukan
selama ini juga mempunyai andil terhadap semakin tingginya resiko kegagalan akibat hama penyakit.
Namun disisi lain, kondisi lingkungan produksi (alami maupun internal dan eksternal sosio-ekonomi)
yang dihadapi dirasakan petani masih beresiko tinggi jika petani merubah kebiasaan pengendalian
yang selama ini dilakukan.

• Pengetahuan Lokal Pengendalian Hama Penyakit

Dalam konteks pengendalian hama penyakit, pengetahuan lokal merupakan akumulasi dan
interaksi antara pengetahuan yang berasal dari sumber formal maupun informal. Melalui uji coba dari
waktu ke waktu (melalui proses sosial, ekonomi dan kultural), kumpulan pengetahuan tersebut
berkembang menjadi praktek-praktek kongkrit yang bersandar pada kenyataan langsung di lapangan.

Pemantauan

Kegiatan ini secara teratur (minimal 2 hari sekali) dilakukan oleh petani, terutama pada saat
tanaman berumur 20-60 hari yang merupakan usia rawan bagi tanaman kentang. Menurut petani,
pemantauan dibedakan menjadi: (a) pemantauan sebelum pengendalian -- untuk mengamati gejala
serangan, tingkat kerusakan, waktu pengendalian/kapan mulai pengobatan (kimiawi), jenis pestisida
dan dosis pestisida; (b) pemantauan setelah melakukan pengendalian kimiawi-- untuk mengamati
efektivitas pengendalian atau hasil penyemprotan dan menentukan peningkatan dosis atau
penggantian jenis pestisida.

11
Pengendalian secara mekanis

Cara pengendalian ini selalu dilakukan petani sebagai salah satu usaha untuk mengurangi
penyebaran hama penyakit. Menurut petani, cara mekanis ini cukup membantu seandainya serangan
awal (serangan masih sedikit) segera ditemukan pada saat pemantauan. Namun cara ini dianggap
tidak efektif jika serangan sudah terlanjur menyebar dan pada lahan usaha yang relatif luas.

Tabel 7 Pengendalian mekanis hama penyakit kentang yang dilakukan petani (Mechanical method conducted by
farmers to control pests and diseases)
Hama penyakit Pengendalian mekanis
(Pests/diseases) (Mechanical control)
Ulat tanah (Root-knot • ulat diambil, dikumpulkan dan dimusnahkan (worms are handpicked and disposed)
nematodes)
Ulat penggerek • daun dipetik ("ditaruk") dan dibakar / (leaves are picked and burned)
Cutworms)
Busuk daun (Late • daun dipetik ("ditaruk") dan dimusnahkan (leaves are picked and disposed)
blight)
Layu (Bacterial wilt) • tanaman dicabut dan dimusnahkan (terutama jika produksi ditujukan untuk
menghasikan bibit) (plants are pulled out and disposed, especially for seed production)

Pengendalian secara kultur teknis

Cara kultur teknis pada dasarnya merupakan salah satu cara pengendalian yang lebih
mengarah pada pencegahan serangan hama penyakit (Tabel 8). Melalui budidaya tanaman sehat
diharapkan tanaman kentang memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap kemungkinan terserang
hama penyakit. Sementara itu, beberapa aspek kultur teknis lainnya, secara umum, lebih diarahkan
pada usaha untuk mencapai produksi maksimal. Hasil identifikasi di atas menunjukkan respon petani
terhadap penyakit layu dan busuk daun yang sejak lama dianggap memerlukan perhatian ekstra
dibandingkan dengan hama/penyakit lainnya.
Walaupun tidak secara spesifik ditujukan untuk pencegahan hama penyakit tertentu, petani
menganggap bahwa seleksi calon bibit di lapangan dan perawatan bibit selama penyimpanan
merupakan salah satu usaha pencegahan yang penting. Seleksi umbi bibit di gudang dilakukan setiap
2-4 minggu sekali, umbi yang terinfeksi (kentot, busuk) dimusnahkan. Namun demikian, observasi di
lapangan menunjukkan bahwa usaha pencegahan ini kurang ditunjang dengan fasilitas gudang yang
memadai. Sementara itu, kebanyakan petani menyatakan bahwa gudang terutama diperlukan untuk
penyimpanan umbi bibit, yang sebenarnya justru memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu
(misalnya, fasilitas yang menunjang kecukupan penyinaran matahari dan pertukaran udara). Petani
umumnya menyisihkan umbi ukuran 30-60 gr dari hasil panen untuk digunakan sebagai bibit pada
pertanaman selanjutnya. Untuk varietas Granola petani biasa melakukan hal ini sampai 4-5 kali tanam,
setelah itu semua hasil panen dijual sebagai umbi konsumsi. Petani juga menyadari bahwa bibit
dengan generasi yang lebih tinggi akan lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Disamping
memproduksi sendiri, petani terkadang juga harus membeli dari petani lain. Menurut petani, jika hal ini
sudah diantisipasi, maka petani akan ikut mengamati kondisi pertanaman petani bersangkutan
(sumber bibit) sebelum memutuskan untuk membeli bibit. Bibit yang dibeli dari petani lain dapat berupa
calon bibit ("pi'eun") atau bibit siap tanam.

12
Tabel 8 Pengendalian kultur teknis hama penyakit kentang yang dilakukan petani (Cultural method conducted by
farmers to control potato pests and diseases)
Hama penyakit Pengendalian kultur teknis
(Pests/diseases) (Cultural practice control)

Layu • menghindari tanam pada lahan yang becek dan tanah yang lengket ("cepel") (avoid to
(Bacterial wilt) plant on wet/damp lands, sticky lands)
• mencangkul lebih dalam, 60-70 cm, tanah dibalik, dilakukan 2-3 tahun sekali (digging the
soil deeper, 60-70 cm, reverse the soil and repeat it every 2-3 years)
• pemberian kapur 1-3 ton/hektar, diberikan bersamaan dengan pengolahan tanah atau
pada saat pemasangan pupuk kandang, dilakukan 2 tahun sekali (lime 1-3 t/ha provided
during land preparation or manure fertilization, once every two years)
• memberakan lahan 1-2 tahun (cara pengendalian yang jarang dilakukan karena
ketersediaan lahan yang semakin terbatas) (fallowing the land for 1-2 years)
• panen pada saat udara cerah, tidak hujan/gerimis (harvest during bright shiny day)
• tanaman yang terserang layu sampai umur 60-70 hari dipanen ("dikodok") (wilting plants
are harvested at 60-70 days)
• menghindari menanam kentang setelah tomat atau menanam kentang dua kali berturut-
turut pada lahan yang sama (tanpa diselingi oleh tanaman lain) (avoid planting potatoes
after tomatoes or planting potatoes two times in a row in the same land/parcel)

Busuk daun • terutama untuk penanaman pada musim penghujan, jarak tanam dibuat lebih renggang
(Late blight) (40x75 cm) (especially during wet season, make the planting distance wider)
• arah guludan diusahakan utara-selatan agar tanaman mendapat penyinaran matahari
yang lebih merata (plant rows are arranged north-south to get an even sunshine)
• arah guludan sejajar dengan kemiringan tanah agar tidak ada air tergenang (plant rows
are arranged in parallel with land slope in order to avoid flooding)

Penggerek umbi • panen pada saat cuaca cerah (harvest during bright shiny day)
(Potato tuber moths) • tanah yang melekat pada umbi dibersihkan (sebelum disimpan di gudang) (clean off
soils stuck on the tubers before they are stored)

Pola tanam setahun yang dilakukan petani pada hamparan lahan tertentu sangat beragam.
Salah satu diantaranya adalah: kentang--kubis/petsai/wortel--tomat--kubis/petsai/kacang-kacangan/
jagung--kentang. Pengamatan petani menunjukkan bahwa jagung merupakan salah satu tanaman
penyelang terbaik (untuk memutus siklus hidup hama penyakit), namun relatif jarang dipilih karena
pertimbangan nilai ekonomisnya. Berdasarkan pengalamannya, petani mengetahui bahwa menanam
kentang secara berturut-turut pada lahan yang sama, atau menanam kentang setelah tomat,
mengandung resiko terserang hama/penyakit yang tinggi. Namun demikian, dalam kondisi yang sangat
mendesak (sudah memiliki bibit siap tanam, tetapi petani tidak memiliki atau tidak dapat menyewa
lahan lain) , sebagian petani masih ada yang melakukan pola spekulatif tersebut.
Petani menyatakan bahwa hubungan antara pemupukan dengan pengendalian hama penyakit
sebenarnya tidak terlalu jelas. Walaupun demikian, petani juga menya-dari bahwa pertumbuhan
tanaman yang baik mendukung ketahanannya terhadap serangan hama penyakit. Dosis penggunaan
pupuk sangat bervariasi dengan kisaran 900-2 000 kg per hektar (total). Semakin banyak petani yang
menggunakan pupuk majemuk (NPK) dengan alasan kepraktisan. Pemupukan (buatan) biasanya
dilakukan satu kali pada saat tanam. Beberapa petani melakukan pemupukan tidak secara seka-ligus
13
dengan tujuan penghematan. Pada pemberian pertama, petani mengunakan pupuk di bawah
rekomendasi (800-900 kg/hektar). Setelah tanaman berumur satu bulan, pertumbuhannya diamati
untuk menentukan perlu atau tidaknya pemberian pupuk susulan. Pada penanaman di musim
penghujan, sebagai sumber N petani menggunakan ZA, sedangkan pada musim kemarau
menggunakan Urea. Dosis peng-gunaan pupuk buatan dari musim ke musim tidak selalu tetap. Salah
satu patokan (perbandingan) yang digunakan petani adalah: awal musim penghujan : pertengahan/
akhir musim penghujan : musim kemarau (ngawuku:porekat: ceboran) = 2:3:3.

Pengendalian secara kimiawi

Kecenderungan semakin meningkatnya komponen biaya pengendalian hama dan penyakit


dalam biaya produksi kentang memberikan indikasi semakin tingginya ketergantungan petani terhadap
pestisida. Secara implisit, hal ini menunjukkan pula adanya kecenderungan penggunaan pestisida
yang berlebih. Menurut petani, keadaan ini terjadi karena kondisi lingkungan produksi usahatani yang
kualitasnya semakin menurun dan terbatasnya pilihan dalam pengendalian hama penyakit.
Pengambilan keputusan untuk menggunakan jenis pestisida dalam pengendalian hama/
penyakit tertentu, pada umumnya bersumber dari informasi petani lain, pedagang sarana produksi dan
formulator pestisida. Disamping itu, penentuan tersebut juga banyak dipengaruhi oleh pengalaman
petani bersangkutan pada musim-musim sebelumnya. Sementara itu, penentuan konsentrasi larutan
lebih didasarkan pada hasil uji coba petani bersangkutan. Untuk semua jenis pestisida, petani pada
awalnya menggunakan konsentrasi anjuran seperti yang tertulis pada label. Peningkatan konsentrasi
secara berangsur terjadi pada saat pengamatan petani menunjukkan bahwa konsentrasi yang sedang
digunakan ternyata belum efektif dalam mengendalikan hama/penyakit target. Dengan kata lain,
sebenarnya petani juga menyadari bahwa penggunaan pestisida berdasarkan konsentrasi yang
disarankan dapat menghemat biaya produksi. Namun jika saran tersebut diikuti, pengalaman petani
seringkali menunjukkan bahwa hama/penyakit sasaran ternyata tidak dapat dikendalikan dan
mengakibatkan kerugian usahatani.
Walaupun petani melakukan pemantauan lapangan secara rutin, sebagian besar petani tetap
memilih metode pengendalian preventif sebagai strategi pengelolaan resiko kegagalan panen (akibat
serangan hama penyakit). Penyemprotan pertama dilakukan segera setelah 1-2 helai daun kentang
muncul dipermukaan tanah :
• Untuk bibit "jegung" (6-7 bulan), penyemprotan dimulai 15-25 hari setelah tanam.
• Untuk bibit "bagor" (3-4 bulan), penyemprotan dimulai 20-30 hari setelah tanam.
Sementara itu, sebagian petani ada pula yang melakukan penyemprotan segera setelah
melihat gejala serangan di lapangan. Sebagai contoh, petani mulai melakukan penyemprotan setelah
melihat :
• titik-titik hitam di ujung daun (Busuk daun)
• 1-3 kutu di bagian bawah daun (Pengisap daun).
Frekuensi penyemprotan sangat tergantung pada perkembangan serangan & keadaan cuaca:
• musim penghujan, dan cuaca buruk, 2-3 hari sekali;
• musim penghujan, tetapi cuaca terang, 4-5 hari sekali;
• musim kemarau, 5-7 hari sekali.
Menurut petani, waktu kritis yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan serangan hama penyakit
adalah pada saat umur kentang 30-60 hari. Dalam kisaran waktu tersebut sering terjadi peningkatan
dosis atau frekuensi penyemprotan. Berkaitan dengan masa kritis ini, pengalaman petani menunjukkan
bahwa : (a) jika serangan hama penyakit dapat diatasi sebelum umur kentang mencapai 60 hari,maka
14
produksi masih dapat diselamatkan, dan (b) seandainya kentang sudah mencapai umur di atas 60
hari dan serangan hama penyakit masih belum dapat diatasi, biasanya petani mengalami kehilangan
hasil sekitar 20-40%.
Pada saat tanaman kentang baru tumbuh, petani biasanya melakukan penyemprotan dengan
menggunakan alat penyemprot tangan (hand sprayer), selanjutnya penyemprotan dilakukan dengan
alat power sprayer. Kisaran jumlah larutan (per sekali perlakuan) yang digunakan petani adalah 1000-
2000 l/ha (bandingkan dengan anjuran pada label yang berkisar 800-1200 l/ha).
Pada umumnya, konsentrasi yang digunakan petani sudah melebihi konsentrasi yang disaran-
kan (maksimal 1-2 gr/l atau 1-3 ml/l). Sementara itu, pencampuran pestisida yang biasa dilakukan
petani dapat mencapai lebih dari dua jenis, dengan biaya berkisar antara Rp. 20 000 - Rp. 40 000 per
drum (200 l larutan). Beberapa alasan yang dikemukakan petani dalam melakukan pencampuran:
(a) beberapa jenis hama/penyakit menyerang bersamaan,
(b) menghemat biaya pengobatan
Sebagai contoh, untuk mengendalikan busuk daun, petani mencampur Ridomil SD (sistemik) dengan
Vendozeb (kontak) sebagai pengganti Ridomil MZ (sistemik-kontak) yang harganya jauh lebih mahal
(Rp. 50 000/kg). Menurut petani, pencampuran tersebut dapat menghemat biaya sampai Rp. 20 000.
Disamping menggunakan pestisida yang tersedia di pasar, petani juga sering bereksperimen
membuat semacam bahan campuran yang digunakan untuk pengendalian hama penyakit. Menurut
petani, penggunaan campuran ini tidak bertahan lama karena :

Tabel 9 Jenis dan konsentrasi pestisida yang digunakan petani kentang dalam pengendalian hama penyakit penting
(Pesticides and concentration used by farmers to control important pests and diseases)
Hama/penyakit Pestisida 1 Konsentrasi Pestisida 2 Konsentrasi
(Pests/diseases) (1st pesticide) (Concentration) (2nd pesticide) (Concentration)
Busuk daun Daconil 2.5 gr/l Previcur 0.5 ml/l
(Late blight) Daconil 1.25 gr/l Polyram 5.0 gr/l
Daconil 2.5 gr/l Dithane 5.0 gr/l
Daconil 2.5 gr/l Vendozeb 5.0 gr/l
Trineb 5.0 gr/l - -
Manzet 5.0 gr/l - -
Ridomil SD 2.5 gr/l Vendozeb 5.0 gr/l
Ridomil MZ 5.0 gr/l
Pengisap daun Marshall 2.5 ml/l - -
(Thrips) Padan 2.5 gr/l - -
Dicarsal - -
Lannate - -
Tralate - -
Curacron 2.5 ml/l - -
Hosthation 2.5 ml/l - -
Tamaron 5.0 ml/l - -
Penggerek umbi Decis 2.0 ml/l - -
(Potato tuber moth) Decin 2.0 ml/l - -
Lalat Padan 2.5 gr/l Marshall 1.25 gr/l
(Leafminer flies) Padan 2.5 gr/l Arivo
Padan 2.5 gr/l Tralet
Padan 2.5 gr/l Lannate
Padan 2.5 gr/l Rizotin
Keterangan (Notes): Dalam penggunaannya, pestisida 1 dan pestisida 2 dicampurkan (In its application, the 1st and 2nd pesticides are
mixed).

15
(a) komponen bahan campuran, misalnya Arpuse sudah sukar ditemukan, (b) efektivitasnya sangat
terbatas atau sama sekali tidak efektif, dan (c) dianggap tidak praktis. Beberapa contoh bahan
campuran yang pernah dibuat dan digunakan petani untuk pengendalian hama/penyakit :

Tabel 10 Beberapa bahan campuran lokal yang pernah dicoba oleh petani untuk mengendalikan hama/penyakit
(Some local mixed materials that have been tried by farmers to control pests/diseases)

Hama/penyakit Campuran
(Pests/diseases) (Mixed material)
Busuk daun • terusi + kamper (direbus) (copper sulphate + camphor, boiled)
(Late blight) • terusi + abu gosok + kapur (direbus) (copper sulphate + "abu gosok" + lime,
boiled)
• sabun + minyak tanah + Dithane (soap + kerosene + Dithane)
• sabun + minyak tanah + Daconil (soap + kerosene + Daconil)
• kacang babi + kapur + cabai rawit ("kacang babi" + lime + hot pepper)
Lalat • obat serangga + kamper + minyak tanah (insectiside + camphor + kerosene)
(Leafminer flies)
Pengisap daun • arpuse + cabai rawit ("arpuse" + hot pepper)
(Thrips) • arpuse + kapur ("arpuse" + lime)

IMPLIKASI HASIL PENELITIAN TERHADAP PERBAIKAN


KOMPONEN TEKNOLOGI PHT

Salah satu faktor utama yang menyebabkan kerugian pada usahatani kentang adalah
kehilangan hasil yang diakibatkan oleh serangan hama penyakit. Dalam perkembangannya, komponen
biaya yang harus dikeluarkan untuk pengendalian hama penyakit tersebut menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat. Hal ini tidak saja mengakibatkan petani kehilangan
kesempatan untuk meningkatkan pendapatannya, tetapi juga dapat menimbulkan implikasi jangka
panjang yang membahayakan keberlanjutan sistem produksi sayuran. Pendekatan pengendalian
hama terpadu sebagai salah satu terobosan untuk memecahkan permasalahan di atas, ternyata masih
belum mendapat respon dari petani seperti yang diharapkan. Kenyataan di lapangan menunjukkan
lambatnya adopsi teknologi pengendalian terpadu yang telah direkomendasikan untuk beberapa
sayuran penting dataran tinggi dan rendah. Dalam konteks pengambilan keputusan pengendalian yang
dilakukan petani, tampaknya teknologi baru ini dianggap lebih beresiko (keberhasilannya) dibanding-
kan dengan metode pengendalian yang menitik-beratkan pada penggunaan pestisida. Petani masih
berang-gapan bahwa pendekatan pengendalian hama terpadu yang ditawarkan belum mampu
menggantikan strategi yang selama ini digunakan untuk menghadapi kondisi lingkungan produksi
setempat. Sementara itu, perkembangan di lapangan (timbulnya hama/penyakit baru atau peningkatan
kerusakan yang diakibatkannya) justru menghadapkan petani pada ketidak-pastian yang semakin
tinggi.
Sistem pengetahuan lokal strategi pengendalian yang ada, memberikan suatu gambaran
bahwa petani memiliki pemahaman yang lengkap mengenai hama penyakit penting dan juga
melaksanakan metode pengendalian non-kimiawi (baik mekanis, maupun kultur teknis). Disamping itu,
kegiatan pemantauan yang merupakan tulang punggung strategi pengendalian juga dilaksanakan oleh
petani secara lebih intensif. Beberapa aspek pengetahuan lokal yang dapat dimanfaatkan untuk
perbaikan pendekatan pengendalian hama terpadu, diantaranya adalah sistem pemantauan yang lebih
16
intensif, penentuan ambang kerusakan/kendali dan keputusan membedakan perlakuan antar musim.
Perbaikan komponen teknologi pengendalian juga sebaiknya dilaksanakan di lahan petani, agar dapat
memberikan kesempatan bagi petani untuk secara langsung melakukan modifikasi sesuai dengan
kondisi lingkungan produksi yang dihadapi. Prosedur ini akan mempercepat adopsi PHT karena: (a)
petani dapat merespon PHT secara langsung berdasarkan hasil evaluasinya bahwa teknologi
pengendalian ini memiliki potensi menjaga resiko kegagalan usahatani tetap rendah, (b)
memungkinkan petani mengadopsi komponen-komponen PHT berdasarkan kebutuhan dan masalah
spesifik yang dihadapi secara individual atau secara bertahap (stepwise adoption) dan (c)
diseminasinya tidak saja ditekankan pada pemasyarakatan prinsip dan konsep PHT, tetapi lebih
ditekankan pada operasionalisasinya di lapangan yang dapat memberikan fleksibilitas cukup tinggi
bagi petani, bukan semata-mata sebagai suatu paket teknologi yang kaku.

KESIMPULAN

1. Dalam perkembangannya, pengusahaan komoditas kentang di Pangalengan dilakukan semakin


intensif (baik intensitas penanaman maupun intensitas penggunaan input) sepanjang tahun.
Komponen biaya produksi yang cenderung meningkat dengan cepat adalah pengeluaran untuk
aktivitas pengendalian hama penyakit.
2. Berdasarkan kepentingannya, secara berurutan petani menempatkan (a) Liriomyza, sp. (lalat), (b)
Phythophtora infestan (busuk daun), (c) Pseudomonas solanacearum (layu), dan (d) Thrips palmi
(pengisap daun) sebagai organisme pengganggu utama pada kentang. Lalat merupakan hama
baru yang menunjukkan potensi perusakan yang tinggi dan ketersediaan informasi
pengendaliannya sangat terbatas.
3. Sistem pengetahuan indigenous menunjukkan bahwa petani secara lengkap dapat mengidentifi-
kasi gejala serangan serta faktor-faktor penyebab dan stimulan untuk keempat jenis hama
penyakit penting kentang.
4. Sistem pengetahuan indigenous menunjukkan bahwa petani melakukan kegiatan pemantauan
secara intensif dan melaksanakan pengendalian mekanis serta kultur teknis.
5. Strategi pengendalian di tingkat petani mengindikasikan adanya ketergantungan terhadap metode
pengendalian kimiawi serta penggunaan pestisida yang cenderung berlebih.
6. Ketergantungan terhadap pengendalian kimiawi terutama disebabkan oleh faktor resiko kegagalan
panen yang tinggi serta terbatasnya alternatif pengendalian yang tersedia.
7. Beberapa komponen strategi pengendalian lokal yang memiliki potensi untuk mendukung
perbaikan pendekatan pengendalian hama terpadu adalah sistem pemantauan yang lebih intensif,
penentuan ambang kendali/kerusakan dan pengambilan keputusan mengenai perbedaan
perlakuan antar musim.

PUSTAKA

Adiyoga, W. (1996). Studi baseline identifikasi dan pengembangan PHT pada tanaman cabai di
Jawa Barat. Makalah disampaikan pada Temu Tek-nologi dan Persiapan Pemasyarakatan
PHT, Lembang, 27 - 29 Mei 1996.
17
Basuki, R. S., M. Ameriana, W. Adiyoga & B. K. Udiarto (1996). Survai pengetahuan, sikap dan
tindakan petani bawang merah dalam pengendalian hama dan penyakit. Makalah
disampaikan pada Temu Teknologi dan Persiapan Pemasyarakatan PHT, Lembang, 27 - 29
Mei 1996.
Bebbington, A. J. (1993). Rural peoples' knowledge, farmer organizations and regional development:
Implications for agricultural research and extension. Agricultural Administration Network,
41(2): 3-18.
Dumsday, R., D. Midmore & H. Kobayashi. (1991). Sustainability of vegetable production system.
Journal of Agriculture., Ecosystem and Environment, 32(4): 119-132.
Feder, G. 1979. Pesticides, information, and pest management under uncertainty. American Journal
of Agricultural Economics, (61): 97-103.
Fuglie, K., H. Ben Salah, M. Essamet, A. Ben Temime & Rahmaouni. (1992). The development and
adoption of integrated pest management of the potato tuber moth in Tunisia. Southern
Journal of Agric. Economics, 14(3) 128-142.
Marwoto. (1996). Evaluasi dampak SLPHT dan peranan kelembagaan serta partisipasi petani
dalam pemasyarakatan PHT di Jawa Timur. Makalah disampaikan pada Temu Teknologi
dan Persiapan Pemasyarakatan PHT, Lembang, 27 - 29 Mei 1996.
Mosse, D. (1995). People's knowledge in project planning: The limits and social conditions of
participation in planning agricultural development. Agricultural Administration Network,
58(3): 22-36.
Mumford, J. D. (1981). Pest control decision making: Sugar beet in England. Journal of Agricultural
Economics. 32(1):31-41.
Riches, C., L. Shaxson, J. Logan & S. Batterbury. (1993). Roles for farmers' knowledge in Africa.
Agricultural Administration Network, 42(4): 14-27.
Scheidegger, U., G. Prain, F. Ezeta & C. Vittorelli. (1989). Linking formal R&D to indigenous systems:
A user-oriented potato seed programme for Peru. Agricultural Administration Network,
9(2): 9-20.
Sharland, R. W. (1989). Indigenous knowledge and technical change in a sub-sistence society:
Lessons from the Moru of Sudan. Agricultural Administration Network, 9(2): 22-37.
Titikola, S. T. (1991). Indigenous knowledge systems: Problems and prospects with references to
Nigeria agricultural development. Journal of International Development , 3(1): 1-15.
Widyastuti, C. A. (1995). The collection of associated knowledge during short germplasm
collections: Field experiences in Java and Irian Jaya. In Schneider, J. (Ed.). Indigenous
knowledge in conservation of crop genetic resources. Proceedings of International Workshop
held in Cisarua, Bogor, Indonesia. January 30 - February 3, 1995.

18

You might also like