You are on page 1of 12

ASFIKSIA

Oleh:

SALVITRI PUSPA ARYAGO 04124705084

PENDIDIKAN DOKTER UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2013

ASFIKSIA

Definisi Asfikisa adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapnea).Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipokasik) dan terjadi kematian. Asfiksia berasal dari bahasa yunani yang artinya tidak berdenyut, pengertian ini sering salah digunakan sehingga sering menimbulkan kebingungan untuk membedakan dengan status anoksia lain pada defisiensi Hb, racun sianida, sirkulasi darah yang terganggu dimana ambilan oksigen oleh jaringan terganggu.

Etiologi Asfiksia Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997): 1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru. 2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya. 3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya barbiturat dan narkotika. Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia mekanik, dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun keracunan (Knight, 1996 ).

Fisiologi Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu: 1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia) Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena: Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan

tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi. Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik. 2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia) Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik. 3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia) Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya. 4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia) Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas: Ekstraseluler Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan. Intraselular Oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya. Metabolik Asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia. Substrat Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia.

Patologi Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan (Amir, 2008), yaitu: 1. Primer (akibat langsung dari asfiksia) Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia. Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas. 2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh) Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada: Penutupan mulut dan hidung (pembekapan). Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic asphyxia). Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

Jenis Asfiksia Mekanik Terdapat beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia mekanik, yakni : 1. Penutupan saluran pernafasan bagian atas : a. Suffocation Peristiwa suffokasi dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara lokal kurang memadai, seperti misalnya di dalam satu ruang kecil tanpa ventilasi cukup berdesak-desakan dengan banyak orang, pertambangan yang mengalami keruntuhan, ataupun terjebak di dalam ruang yang tertutup rapat. Kematian dalat terjadi dalam beberapa jam, tergantung

dari luasnya ruangan serta kebutuhan oksigen bagi orang yang berada di dalamnya. Sebab kematian pada peristiwa sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari hipoksia, keracunan CO2, hawa panas dan kemungkinan juga cedera yang terjadi, misalnya pada saat peristiwa kebakaran gedung. b. Smothering Smothering (pembekapan) adalah bentuk safiksia yang disebabkan oleh penutupan lubang hidung dan mulut. Penutupan dpat dilakukan dengan mengguankan tangan atau suatu benda yang lunak, misalnya bantal atau selimut yang dilipat.

Peristiwa pembekapan dapat terjadi karena pembunuhan, kecelakaan atau bunuh diri. Kecelakaan dapat terjadi ketika anak-anak bermain dengan memasukkan kepala ke dalam kantong plastik dan mengikatnya di leher, meskipun cara ini juga dapat digunakan oleh orang dewasa untuk melakan pembunuhan atau bunuh diri. c. Gangging & choking Keduanya merupakan jenis asfiksia yang disebabkan blokade jalan nafas oleh benda asing yang datangnya dari luar ataupun dari dalam tubuh, misalnya seperti inhalasi mutahan (aspirasi), tersedak makanan, tumor, jatuhnya lidah ke belakang ketika dalam keadaan tidak sadar, bekuan darah atau lepasnya gigi palsu. Gejalanya sangat khas, yakni dimulai dengan batuk-batuk yang terjadi secara tiba-tiba, kemudian disusul sianosis dan akhirnya meninggal.

Peristiwa ini dapat karena bunuh diri (meskipun sulit untuk memasukkan benda asing ke dalam mulutnya sendiri, karena akan ada reflek batuk atau muntah), pembunuhan (umumnya korban adalah bayi, orang dengan fisik lemah atau tak berdaya) dan kecelakaan (misalnya tersedak makanan hingga menyumbat saluran nafas). Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau refleks vagal akibat rangsangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring yang menimbulkan inhibisi kerja jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian.

Pada gangging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking sumbatan terdapat lebih dalam, yakni pada laringofaring.

2. Penekanan dinding saluran pernafasan a. Stranggulation Penjeratan, adalah penekanan benda asing yang permukaannya relatif sempit dan panjang, dapat berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, dan sebagainya, melingkari

atau mengikat leher yang makin lama makin kuat di mana kekauatan jeratan berasal dari tarikan keua ujungnya, sehingga secara berturutan pembuluh darah balik, arteri superfisial dan saluran nafas tertutup. Biasanya arteri vertebralis tetap paten, hal ini disebabkan karena kekuatan atau beban yang menekan pada penjeratan biasanya tidak besar. Mekanisme matinya bisa karena tertutupnya jalan nafas hingga terjadi asfikisa, atau tertutupnya vena hingga anoksia otak, atau refleks vagal atau karena tertutupnya arteri karotis sehingga otak kekurangan darah.

Penjeratan biasanya merupakan peristiwa pembunuhan, meskipun dapat karena bunuh diri maupun kecelakaan (misalnya selendang yang dililitkan di leher tertarik roda saat mengendari motor). b. Manual strangulation/throttling Pencekikkan adalah penekanan leher dengan tangan yang menyebabkan dinding saluran nafas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran nafas, sehingga udara pernafasan tidak dapat lewat. Mekanisme matinya adalah karena asfiksia ataupun refleks vagal yang terjadi akibat rangsang pada reseptor nervus vagus pada corpus caroticus di percabangan arteri karotis interna dan eksterna.

Cekikkan merupakan jenis strangulasi yang hampir selalu disebabkan oleh pembunuhan. Dapat disebabkan kecelakaan, misal pada saat latihan bela diri atau pembuatan film, meskipun sangat jarang dan tidak mungkin digunakan untuk bunuh diri, sebab cekikkan akan lepas begitu orang yang melakukan bunuh diri itu muali kehilangan kesadaran. c. Hanging Penggantungan / peristiwa gantung adalah peristiwa di mana seluruh atau sebagian dari berat tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu benda dengan permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah tersebut mengalami tekanan. Kasus ini hampir sama dengan penjeratan, bedanya adalah asal tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil jeratan. Pada penjeratan, tenaga datang dari luar, sedangkan pada penggantungan, tenaga bersal dari berat badan korban sendiri, meskipun tidak perlu seluruh berat badan digunakan.

Pada penggantungan tidak harus seluruh tubuh berada di atas lantai, sebab dengan tekanan berkekuatan 10 pon pada leher sudah cukup menghentikan aliran darah di

daerah itu. Sehingga tindakan gantung diri dapat saja dilakukan dengan sebagian tubuh tetap berada/menempel lantai. Peristiwa penggantungan tidak identik dengan bunuh diri, karena bisa saja karena pembunuhan maupun kecelakaan.

Mekanisme kematian pada peristiwa penggantungan bisa karena asfiksia, gangguan sirkulasi darah ke otak (akibat terhambatnya aliran arteri-arteri leher), refleks vagal ataupun karena kerusakan medulla spinalis akibat dislokasi/fraktur vertebra cervicalisd (bisa pada sendi atlantoaxial).

3. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik) Terjadi akibat penekanan dari luar pada dinding dada yang menyebabkan dada terfiksasi, kadang hingga perut, hingga menimbulkan gangguan gerak pernafasan, misalnya saat dada atau seluruh badan tertimbun pasir, tanah, runtuhan tembok, tergencet saat saling berdesakan, ataupun tergencet stir mobil. Akibatnya gerakan pernafasan tidak mungkin terjadi sehingga tubuh mengalami asfiksia. Istilah lain untuk asfiksia jenis ini adalah crush asphyxia.

4. Saluran pernafasan terisi air (tenggelam/drowning) Kematian karena tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat mati lemas disebabkan masuknya cairan ke dalam saluran pernafasan. Istilah tenggelam sebenarnya harus pula mencakup proses yang terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan mengancam jiwa, meskipun pada peristiwa tenggelam tidak seluruh tubuh harus masuk dalam air. Asalkan lubang hidung dan mulut berada di bawah permukaan air, maka hal itu sudah cukup memenuhi kriteria peristiwa tenggelam. Berdasarkan pengertian tersebut, maka peristiwa tenggelam tidak hanya terjadi di laut atau sungai tetapi juga dapat terjadi di dalam watafel atau ember berisi air. Dalam kenyataan sehari hari hipoksia merupakan gabungan dari empat kelompok yang memiliki ciri tersendiri, namun mengakibatkan keadaan yang sama, yaitu: 1. Hipoksik hipoksia Dalam keadaan ini oksigen gagal masuk dalam sirkulasi darah. 2. Anemic hipoksia

Yang tersedia tidak mampu membawa oksien yang cukup untuk metabolism dalam jaringan. 3. Stagnan hipoksia Suatu keadaan yang menggambarkan terjadinya suatu kegagalan dalam sirkulasi. 4. Histotoksik hipoksia Keadaan yang menggambarkan oksigen yang terdapat di dalam darah, oleh karena hal tertentu tidak dapat digunakan oleh jaringan, dibagi dalam 4 kelompok, antara lain : a. Histotoksik hipoksia ekstraselular Enzim pernapasan jaringan (cytochrom oxydase) mengalami keracunan. Misal : pada keracunan sianida dan CO. b. Histotoksik hipoksia periselular Oksigen tidak dapat masuk kedalam sel oleh karena terjadi penurunan permeabilitas membrane sel. Misal : pada keracunan eter dan chloroform. c. Substrate histotoksik hipoksia Bahan makanan (substrat) untuk metabolism yang efisien tidak cukup tersedia. Misal : Hipoglikemia d. Metabolik histotoksik hipoksia Hasil akhir dari pernapasan selular (end product) tidak dapat dieliminasi sehinga metabolism berikutnya tidak dapat berlangsung karena gangguan metabolism sel memakai oksigan. Misal : pada uremia dan keracunan gas CO2.

Gejala Asfiksia Ada empat stadium hingga terjadinya asfiksia, antara lain : 1. Dispnue Durasi 4 menit, dengan gejala nafas cepat dalam, tekanan darah naik, nadi cepat, dansianosis terutama pada muka dan tangan. Gejala tersebut akibat rangsangan pusat pernafasan di medulla oblongata oleh karena kurangnya oksigen pada sel darah merah disertai penumpukan kadar CO2 berupa amplitudo-frekuensi nafas meningkat, nadi cepat, tensi tinggi, tanda-tanda sianosis pada muka-tangan

2. Konvulsi Durasi 2 menit, semula klonik tonik epistotonik rangsangan susunan saraf pusat akibat peningkatan CO2 berupa kejang klonik, lalu tonik, akhirnya epistotonus, pupil dilatasi, denyut jantung menurun, tensi turun. Pupil dilatasi, bradikardi dan tekanan darah menurun oleh karena paralise pada pusat syaraf yang letaknya lebih tinggi. 3. Apnue Durasi 1 menit, dengan gejala nafas sangat lemah atau berhenti, tak sadar, pengeluaran feses, urin & sperma depresi pusat nafas hingga berhenti, kesadaran menurun, relaksasi spinkter.

4. Stadium akhir Paralise total, jantung masih berdenyutbeberapa saat postapneu. Pernafasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernafasan kecil pada leher.

Lama proses asfiksia sampai timbulnya kematian umumnya antara 4-5 menit. Massa dari saat asfiksia timbul hingga terjadi kematian sangat bervariasi, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.

Tanda Kardinal Asfiksia Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu: a. Tardieus spot (Petechial hemorrages) Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum. b. Kongesti dan Oedema Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena

yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema). c. Sianosis Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah. d. Tetap cairnya darah Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia

Tanda Khusus Asfiksia Didapati sesuai dengan jenis asfiksia (Amir, 2007), yaitu: a. Pada pembekapan, kelainan terdapat disekitar lobang hidung dan mulut. Dapat berupa luka memar atau lecet. Perhatikan bagian di belakang bibir luka akibat penekanan pada gigi, begitu pula di belakang kepala atau tengkuk akibat penekanan. Biasanya korban anak-anak atau orang yang tidak berdaya. Bila dilakukan dengan bahan halus, kadang-kadang sulit mendapatkan tanda-tanda kekerasan. b. Mati tergantung. Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh berat badan sendiri. Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas jeratan di leher. Ada garis ludah di pinggir salah satu sudut mulut. Bila korban cukup lama tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua kaki dan tangan. Namun bila segera diturunkan, maka lebam mayat akan didapati pada bagian terendah

tubuh. Muka korban lebih sering pucat, karena peristiwa kematian berlangsung cepat, tidak sempat terjadi proses pembendungan. Pada pembukaan kulit di daerah leher, didapati resapan darah setentang jeratan, demikian juga di pangkal tenggorokan dan oesophagus. Tanda-tanda pembendungan seperti pada keadaan asfiksia yang lain juga didapati. Yang khas disini adalah adanya perdarahan berupa garis yang letaknya melintang pada tunika intima dari arteri karotis interna, setentang dengan tekanan tali pada leher.

Tanda-tanda diatas tidak didapati pada korban yang digantung setelah mati, kecuali bila dibunuh dengan cara asfiksia. Namun tanda-tanda di leher tetap menjadi petunjuk yang baik.

Pemeriksaan Jenazah a. Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997): 1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku. 2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. 3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. 4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler. 5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah. 6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot.

Penulis lain mengatakan bahwa Tardieus spot ini timbul karena permeabilitas kapiler yang meningkat akibat hipoksia.

b. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997): 1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat paska kematian. 2. Busa halus di dalam saluran pernapasan. 3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah. 4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis. 5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia. 6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

You might also like