You are on page 1of 2

Bangsa Sampiran

Oleh:
Kanis Ehak Wain

Peneliti Bungahnata Nusantara


Institute for Local Genuin Studies

Gendang gendut tali kecapi (S)

Kenyang perut senanglah hati (I)

Larik sampiran (S) dan Isi (I) dalam sebuah pantun tidak memiliki hubungan secara
substansial. Keduanya hanya diikat oleh permainan rima belaka. S dan I menyatu dalam
sebuah pantun bukan karena keduanya memiliki hubungan yang bersifat pararel, metaforik,
dan (apalagi) kausal. S dan I disatukan sejauh bisa menghasilkan bunyi yang enak bagi
telinga. Artinya, hubungan di antara keduanya sungguh-sungguh artifisial alias dibuat-buat.

Dikatakan bahwa makna sebuah pantun tersurat (tidak pernah tersirat) dalam larik I.
Sementara, larik S sendiri tidak punya makna baik untuk dirinya sendiri maupun keseluruhan
pantun. Disposisi S dan I sedemikian itu menggambarkan adanya suatu struktur hubungan
yang bersifat politis di antara keduanya. Karakteristik struktur hubungan politis ditandai oleh
adanya kekuasaan di mana salah satu di antaranya menjadi dominan dan yang lainnya
menjadi sub-ordinan. I menjadi dominan, sementara S menjadi subordinan. I menjadi
dominan sekaligus mendominasi bangunan pantun. Struktur politik itu memberikan otoritas
pada I karena kebermaknaannya.

Disposisi tersebut tentu saja bersifat hierarkis. Implikasinya, I menjadi yang utama atau
diutamakan. Pengutamaan itu sendiri pada gilirannya akan menetapkan (establish) suatu
privilege (hak istimewa) bagi I. I memiliki hak istimewa dalam bangunan sebuah pantun
sebagai makna. I memiliki hak untuk menentukan makna sebuah pantun. Bersamaan dengan
itu, proses peminggiran, pengucilan dan peniadaan terhadap S berlangsung. Status S berakhir
di penghujung permainan rima, sebab dia sama sekali tidak memiliki signifikansi di tingkat
makna.

Hubungan S dan I bersifat artifisial dan (kemudian) politis. Kedua hubungan ini tampaknya
tidak beriringan—yang satu mendahului (artifisial) dan yang lainnya mengikuti (politis).
Lebih dari itu, keduanya (artifisial dan politis) berbeda secara kualitatif dalam kaitannya
dengan disposisi S dan I dalam hubungan itu. Pada tingkatan hubungan yang artifisial
disposisi S dan I setara (equal) sebagai partisipan dalam permainan rima. S dan I sama-sama
saling mempertahankan demi rima itu sendiri. Keduanya tidak mungkin saling menegasi agar
rima bisa tercipta. Akan tetapi, disposisi itu segera berubah (peralihan) pada tingkat
hubungan yang bersifat politis. S dan I tidak lagi setara, juga tidak lagi menjadi partisipan. I
begitu sigap dan licik mendominasi hubungan itu atas nama makna. I mencaplok pantun bagi
dirinya sendiri sembari menegasi S. Hubungan politis seperti itu memperlihatkan bahwa
bangunan pantun menyiratkan penindasan dan ketidakadilan terhadap S. Perlu kiranya
ditambahkan bahwa peralihan ke politis seperti itu dimungkinkan oleh artifisial itu sendiri.
Dengan kata lain, artifisial menjadi bahaya ketika diinstrumentasi oleh yang dominan untuk
kepentingan politisnya sendiri!

Sekalipun tidak beriringan dan berbeda, kedua jenis hubungan itu tetap saja dipertahankan
dalam sebuah pantun. Pemertahanan itu sendiri merupakan suatu keharusan, sebab hanya
dengan itu sebuah pantun eksis. Argumentasi yang belakangan ini sekaligus menjawab
pertanyaan aneh berikut ini,”kenapa sampiran ditiadakan saja dari bangunan pantun kalau
hanya artifisial, tidak bermakna, ditindas dan menderita ketidakadilan seperti itu?”

Pantun (mungkin) memiliki realitasnya sendiri (?) Akan tetapi, bagaimana jika realitas yang
sama juga berlangsung dalam kehidupan bangsa di mana pantun diciptakan? Apakah patut
dikatakan bahwa realitas itu harus dipertahankan karena hanya dengan itu masyarakat
(tetap) eksis sebagaimana pantun?

Semua kita tentu saja ingin menciptakan suatu “rima” yang harmonis bagi bangsa ini. Akan
tetapi, penciptaan itu tidak bisa dilakukan dengan dasar hubungan yang artifisial dan
(kemudian) politis sebagaimana pantun. Soalnya adalah (1) sifat hubungan yang artifisial dan
politis yang masih sangat kuat dalam realitas politik, ekonomi, sosial, budaya dan ideologi,
telah menyebabkan sebagian besar anak bangsa ini bernasib sebagai sampiran, dan (2) hal itu
mengakibatkan bahwa bangsa inipun masih menjadi sampiran di antara bangsa-bangsa di
muka bumi ini.

Kita bukan pantun, tetapi bangsa manusia. Kita bukan ungkapan bahasa yang bila sudah
terfiksasi tidak boleh atau enggan berubah lagi. Kita adalah bangsa yang merdeka untuk
mengubah keadaan kita sendiri. Kita bisa lebih baik sejauh kita bukan bangsa dengan watak
“gendang gendut tali kecapi, kenyang perut senanglah hati”.

* Pernah dimuat dalam jurnal Institute for Global Justice (IGJ) Edisi Khusus
”Menakar Neo-Liberalisme dalam Pasar Pilpres 2009”

You might also like