You are on page 1of 10

sumber:www.oseanografi.lipi.go.

id

Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 1524

ISSN 02161877

ASPEK BIOLOGI UDANG EKONOMIS PENTING Oleh Rianta Pratiwi


1)

ABSTRACT BIOLOGICAL ASPECTS OF THE ECONOMICALLY IMPORTANT SHRIMPS. In Indonesia prawns and lobsters are the economical important of marine resources. Over the last decade, capture fishing has been declined, at the same time, the demand of lobster export is continually increasing. Base on these facts. Indonesian marine resources of Indonesia, especially shrimps, should be managed carefully and wisely. This paper discuss about some biological aspects of the economically important shrimps.

PENDAHULUAN Potensi perikanan di Indonesia sangat berlimpah, namun sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat, karena hasil perikanan laut tersebut terkuras oleh ilegal fishing yang nyaris sama dengan hutan yang gundul oleh ilegal logging. Untuk itu informasi perikanan sangat diperlukan demi penyelamatan potensi perikanan agar tetap lestari. Hasil perikanan (ikan, udang, kepiting, cumi-cumi dan lainnya) sebagai sumber makanan protein hewani tidak akan pernah terlepas dari konsumsi perikanan dunia. Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia (81.000 km) setelah Kanada dan kekayaan alam laut yang besar dan beranekaragam telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang

berpotensi besar dalam bidang perikanan (SUBANI & BARUS, 2007). Namun, seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk dunia, konsumsi hasil perikananpun semakin meningkat dari tahun ke tahun, tetapi seperti halnya kondisi perikanan dunia, kondisi perikanan tangkap Indonesia juga semakin menurun dari tahun ke tahun, sehingga hal ini mendorong upaya peningkatan aktivitas di bidang budidaya. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang besar pula. Salah satunya adalah sumberdaya udang yang belum dieksplorasi secara optimal. Indonesia sebagai negara kepulauan, kedalaman lautnya relatif dangkal, sehingga merupakan habitat yang baik bagi kehidupan udang. Udang dikenal sebagai komoditi penting dari sektor perikanan, karena

1)

Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta.

15

Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

mempunyai nilai gizi yang tinggi. Umumnya udang diekspor dalam bentuk beku dan sebagai komoditi ekspor menduduki tempat tertinggi, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber devisa dan protein penunjang konsumsi baik di dalam maupun di luar negeri. Potensi produksi udang di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Sejak tahun 1998 potensi udang Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4 persen per tahun (DIREKTORAT JENDRAL PERIKANAN, 2000). Sebagian besar produksi udang berasal dari hasil eksploitasi di laut, karena peranan dan potensi perairannya juga mendukung bagi produksi udang secara umum. Dalam upaya meningkatkan produksi udang telah dilakukan upaya budidaya dengan pendayagunaan tambak kolam dan danau. Pengusahaan di daerah padat nelayan umumnya sudah tinggi atau tangkap lebih (over exploited), banyak di jumpai di perairan Paparan Sunda (Selat Malaka, Timur Sumatera, Laut Jawa dan Kalimantan). Di kawasan Timur Indonesia pengusahaan udang masih dalam taraf berkembang, kecuali untuk perairan Arafura yang sudah cukup tinggi (SUMIONO, 1998). Aktivitas budidaya udang yang tinggi tetapi tidak dibarengi dengan usaha penyelamatan lingkungan perairan mengakibatkan usaha tambak udang menjadi hancur akibat serangan hama dan penyakit. Kondisi ini melanda hampir seluruh kawasan tambak di Indonesia. Tidak hanya itu, kerusakan lingkungan akibat kegiatan tambak udang (salah satunya adalah hancurnya ekosistem hutan mangrove dan habitat organisme) menjadi tantangan yang sangat berat untuk pengembangan budidaya di masa yang akan datang, oleh karena itu saatnya disusun konsep pengembangan budidaya udang ramah lingkungan yang tidak hanya meningkat dalam produksi tetapi juga aman dan ramah terhadap lingkungan.

Besarnya permintaan udang mengharuskan adanya informasi yang lengkap atau data potensi sumberdaya udang yang mutakhir (up to date), berkelanjutan dan menyeluruh dari perairan Indonesia. Informasi tersebut sangat dibutuhkan oleh berbagai pengguna, khususnya nelayan dan pengusaha perikanan, dengan adanya informasi tersebut daerah penangkapan (fishing ground) dapat diketahui secara potensial, sehingga usaha penangkapan dapat dilakukan lebih baik. Menurut SETYONO (2006) besarnya permintaaan udang lobster, baik untuk pasar domestik, maupun ekspor di daerah Pacitan, Jawa Timur, maka pengusaha udang di daerah tersebut melakukan budidaya dengan cara pembenihan dan restocking untuk mengimbangi penangkapan lobster dari alam. Harga lobster yang cukup baik di pasaran mengakibatkan nelayan cenderung meningkatkan usahanya menangkap dari alam. Pada awal 2006, harga lobster dengan berat 300-400 g/ekor di tingkat nelayan berkisar antara Rp 170.000,- hingga Rp. 260.000,-/kg. Penangkapan yang semakin intensif tentu akan membahayakan populasi lobster di alam, apalagi ukuran yang belum layak (anakan pun) ikut dijaring (diambil) untuk dijual. Tulisan ini akan memberikan informasi tentang jenis-jenis udang ekonomi penting dan beberapa aspek biologinya.

JENIS-JENIS UDANG EKONOMI PENTING (NIAGA) Ada 3 marga udang yang mempunyai nilai ekonomi penting yaitu: Penaeus , Metapenaeus dan Panulirus. Udang Penaeus dan Metapenaeus merupakan komoditi ekspor perikanan utama yang mempunyai potensi cukup tinggi dan dagingnya gurih serta bergizi. Disamping itu udang tersebut sangat disukai karena seluruh tubuhnya dapat dimanfaatkan

16

Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

sebagai penunjang kebutuhan ekonomi masyarakat, seperti kulitnya dapat dijadikan campuran pembuatan pelet, dagingnya dapat diolah sebagai bahan makanan seperti file udang, kerupuk, abon dan terasi. Udang Penaeus dikategorikan sebagai udang yang mempunyai nilai niaga utama, diikuti oleh Metapenaeus yang merupakan udang penting yang kedua, disusul oleh udang air tawar Macrobrachium, dan yang terakhir adalah udang karang Panulirus (TORO & SOEGIARTO, 1979). Udang Penaeus yang merupakan niaga utama terdiri dari Penaeus monodon (udang Windu/ Pacet), Penaeus merguiensis (udang Jerbung/Putih ), Penaeus indicus (udang Kelong/ Poper), Penaeus semisulcatus (udang Bago/Kembang), Penaeus orientalis ( udang Wangkang/Tajam) , Penaeus canaliculatus ( udang Lurik) , Penaeus latisulcatus (udang Raja) dan Penaeus esculentus (udang Loreng/Harimau Belang). Udang Metapenaeus ada 6 jenis yaitu: Metapenaeus monoceros (udang Dogol/Apiapi), Metapenaeus affinis (udang Pasir), Metapenaeus ensis (udang Berus) , Metapenaeus lysianassa ( udang Kuning/ Brintik), Metapenaeus brevicornis (udang Cendana) dan Metapenaeus dopsoni (udang Kapur). Udang air tawar Macrobrachium hanya satu jenis yaitu Macrobrachium rosenbergii (udang Galah) sedangkan udang karang Panulirus ada 6 jenis: Panulirus versicolor (udang Rejuma), Panulirus polyphagus (udang

Jarak), Panulirus homarus (udang Pantung atau udang Bireng), Panulirus longicep (udang Bunga), Panulirus ornatus (udang Cemara/ Ketangan) dan Panulirus penicilatus (udang Batu). Usaha penangkapan udang-udang tersebut terutama di perairan: Papua, Maluku, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Jawa dan Sumatera. BIOLOGI UDANG EKONOMI PENTING (NIAGA) Secara morfologi udang-udang ekonomis penting dari suku Penaeidae (Penaeus spp. dan Metapenaeus spp.) memiliki bentuk tubuh yang sama, yang terdiri dari 2 bagian yaitu, bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan disebut bagian kepala, yang terdiri dari bagian kepala dan dada (cephalothorax). Bagian belakang, terdiri dari perut (abdomen) dan ekor (telson). Seluruh anggota badan terdiri dari ruas-ruas (segmen) yang keseluruhannya berjumlah 19 ruas, bagian cephalothorax terdiri dari kepala 5 ruas dan dada 8 ruas, serta bagian perut 6 ruas (Gambar 1). Keseluruhan tubuhnya ditutupi oleh kerangka luar yang disebut dengan eksoskleton dan terbuat dari khitin. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungansambungan antar dua ruas. Sedangkan udang dari suku Palinuridae (Panulirus spp.) dikenal juga dengan sebutan udang karang atau lobster, berukuran tubuh lebih besar dan memanjang dengan cangkang yang tebal serta melebar secara dorsoventral (Gambar 2).

17

Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Gambar 1. Morfologi Udang Penaeus spp. Keterangan: 1. Antennula, 2. Rostrum, 3.Carapace, 4. Abdominal segments, 5. Scaphocerite, 6. Maksiliped ke-7. Antenna, 8. Periopods, 9. Telson, 10 & 11. Eksopod dan Endopod segmen, 12. Uropod (TAKEDA et al., 2000).

Gambar 2. Morfologi Udang Panulirus spp. Keterangan: 1. Karapas, 2. Abdomen, 3. Telson, 4. Periopod (Kaki Jalan), 5. Antenulla, 6. Antena (http://www.odu.edu/mbutler/newsletter/index.html. Tanggal akses 26 Maret 2008)

Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008

18

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Sistematika Berdasarkan klasifikasinya udang dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang berdasarkan bangsa (yang berukuran besar) Malacostraca, Latreille 1806. Malakos yang berarti lunak (HOLTHUIS 1992). HARDY (1970 dalam ROMIMOHTARTO & JUWANA, 1999) menyusun dan mengelompokkannya sebagai berikut: Phylum : Arthropoda Class : Crustacea Sub-class : Malacostraca Ordo : Decapoda Sub-ordo : Natantia Super-family : Penaeidea Family : Penaeidae Genus : Penaeus, Metapenaeus, Parapenaeus Species : Penaeus spp., Metapenaeus spp., Parapenaeus spp. Super-family : Scyllaridae Family : Palinuridae Genus : Panulirus Species : Panulirus spp. Reproduksi Jenis kelamin jantan dan betina dari udang-udang tersebut, dapat dilihat dari alat kelamin luarnya dan kaki jalan (periopod). Alat kelamin jantan disebut petasma, yang terdapat pada kaki renang pertama, sedangkan lubang saluran kelaminnya ( gonophore ) terletak diantara pangkal kaki jalan ke tiga. Alat kelamin betina disebut thelycum, terletak di antara kaki jalan keempat dan kelima. (BARNES, 1987; SUYANTO & MUDJIMAN, 1999) (Gambar 3).

Alat kelamin utama disebut dengan gonad terdapat di dalam bagian cephalotorax. Pada udang jantan dewasa, gonad akan menjadi testis yang berfungsi sebagai penghasil mani (sperma). Pada udang betina, gonad akan menjadi indung telur (ovarium), yang berfungsi menghasilkan telur. Ovarium yang telah matang akan menghasilkan telur yang banyak. Telur akan merekat pada ovarium dan terangkai seperti buah anggur yang meluas sampai ekor. Sperma yang dihasilkan oleh udang jantan, pada waktu kawin akan dikeluarkan dalam kantung seperti lendir yang dinamakan kantung sperma (spermatophora ). Spermatophora dilekatkan pada thelicum udang betina dan disimpan terus disana hingga saat peneluran dengan bantuan petasma. Apabila udang betina bertelur, spermatophora akan pecah dan sel-sel sperma akan membuahi telur di luar badan induknya (SUYANTO & MUDJIMAN, 1999). Siklus Hidup Menurut TORO & SOEGIARTO (1979) dan KING & KING (1995) di alam, udang dari suku Penaeidae hidup dalam dua fase yaitu: fase di tengah laut dan fase di perairan muara sungai sebagai berikut: a. Fase di tengah laut (paneluran) Udang dewasa hidup dan berbiak di tengah laut (jauh dari pantai). Beberapa saat sebelum kawin, udang betina berganti kulit terlebih dahulu. Matang telur ditandai dengan ovari yang memanjang di bagian dorsal, melebar ke kiri dan kanan, berwarna kehijauhijauan sampai hijau tua atau coklat tua. Keadaan tersebut biasanya menandakan udang betina sudah siap bertelur dan spermatophora telah diterima dari udang jantan.

19

Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Gambar 3. Alat Kelamin Udang Jantan (Petasma) dan Betina (Thelycum) (PAULA, 1998).

Induk udang matang telur akan melepaskan telur-telurnya (berpijah) di laut pada malam hari. Telur-telur diletakkan di dasar laut dan akan menetas, menjadi larva (dalam bentuk beberapa tingkatan) dan bersifat planktonik. Tingkatan larva pertama dan selanjutnya adalah: nauplius zoea (protozoea) mysis post larva (juvenil). Larva akan terbawa arus hingga ke daerah mangrove (yang dekat dengan muara sungai) atau ke daerah-daerah asuhan. b. Fase di perairan muara sungai Post larva (juvenil) hidup secara merayap atau melekat pada benda-benda di dasar perairan. Juvenil (anakan udang) banyak sekali dijumpai di pantai-pantai terutama di perairan muara sungai daerah hutan mangrove yang berfungsi sebagai tempat berlindung (asuhan) dan tempat mencari makan (feeding ground). Anakan udang hidup menyesuaikan

diri pada salinitas yang bervariasi antara 435%0 dengan suhu yang cukup tinggi dan tumbuh hingga menjadi juvenil muda serta siap bermigrasi kembali ke laut hingga dewasa untuk melakukan siklus berikutnya (Gambar 4 dan 5). Udang karang (lobster) memiliki siklus hidup yang kompleks. Telur-telur setelah dibuahi akan terus berkembang hingga terlihat bintik mata dan menetas menjadi larva phyllosoma dan kemudian menjadi larva peurulus (juvenil). Menurut MOOSA & ASWANDY (1984) lamanya waktu yang dijalani oleh tiap jenis lobster berbeda-beda di dalam siklus hidupnya. Udang yang hidup di perairan tropik akan berbeda (lebih singkat) dengan yang hidup di perairan sub-tropik. Udang betina dewasa yang tidak dibuahi setelah berganti kulit, maka akan mati dan kegagalan mengeluarkan telur juga akan mengakibatkan kematian (FIELDER dalam MOOSA & ASWANDY, 1984).

20

Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Gambar 4. Siklus hidup udang suku Penaeidae (KING & KING, 1995).

Gambar 5. Siklus hidup lobster (Panulirus spp.) (ANONIM, 2004).

21

Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Habitat Udang memiliki habitat yang berbedabeda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Sebagian besar udang hidup di laut, yang keberadaannya di perairan dengan bentuk tubuh yang bersegmen-segmen, sehingga mudah berjalan dan berenang dengan cepat (JOESOEF, 1974). Habitat yang disukai udang pada umumnya adalah dasar laut yang bersubstrat lunak dan biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir. Pada umumnya udang bersembunyi di siang hari untuk mengindari predator, banyak di antaranya hidup dalam lubang di pasir, di terumbu karang yang hidup dan yang mati atau di bawah batu-batu (TORO & SOEGIARTO, 1979). Udang karang banyak dijumpai di perairan pesisir dengan dasar perairan berupa pasir berbatu. Udang tersebut (lobster) hidup berkelompok serta bersifat nocturnal (mencari makan pada malam hari) dan pada siang hari mereka bersembunyi di tempat-tempat yang gelap dan terlindung di dalam lubang-lubang batu karang (SETYONO, 2006). Udang yang masih bersifat bentik, hidup pada permukaan dasar laut yang bersubstrat lunak (soft) (UNAR dalam TORO & SOEGIARTO, 1979). POERNOMO (1968) pada penelitiannya terhadap larva udang bernilai niaga di Indonesia, mendapatkan bahwa benih stadium post larva udang windu (Penaeus monodon ) umumnya terdapat di sepanjang pantai yang landai dengan pasang surut yang berfluktuasi. Udang ini dapat ditemukan di aliran sungai kecil dan berdasar lumpur pasiran atau pasir lumpuran yang berbatu-batu kecil (cangkang kerang). Penaeus merguiensis dan Penaeus indicus, memiliki daya penyesuaian yang tinggi terhadap semua tipe dasar perairan, tetapi lebih menyukai dasar perairan lumpur liat berpasir. Penaeus latisulcatus dan Penaeus monodon menyukai perairan dengan tekstur dasar lumpur berdebu (lumpur dan pasir)

(JOESOEF, 1974), oleh karenanya hutan mangrove yang memiliki dasar perairan berupa lumpur, merupakan habitat yang paling disukai oleh jenis udang, karena jejaring makanan (food web) yang tidak pernah putus menjadikannya sebagai tempat (niche) yang sangat baik untuk berlindung, tempat bertelur dan tempat mencari makan. Makanan dan Cara Makan Udang Udang bersifat pemakan segala ( omnivora ), detritus dan sisa-sisa organik lainnya baik hewani maupun nabati. Dalam mencari makan udang mempunyai pergerakan yang terbatas, tetapi udang selalu didapatkan di alam oleh manusia, karena udang mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkungannya dan tidak bersifat memilih (PUTRI, 2005). MORIARTY ( dalam TORO & SOEGIARTO, 1979) berdasarkan penelitiannya, makanan dari beberapa jenis udang Penaeus seperti: P. esculentus, P. peblejus, P. merguiensis dan Metapenaeus bennettae bersifat omnivora, memakan apa yang tersedia di alam. Sedangkan P. merguiensis tingkat mysis memakan larva dari balanus, copepoda, polychaeta, dan pada tingkat post larva selain jasad-jasad renik, juga memakan phytoplankton dan algae hijau. Pada tingkat mysis jenis udang P. monodon , cenderung memakan diatom dan zooplankton. Krustasea pada umumnya adalah binatang yang mencari makan pada malam hari, sama halnya dengan lobster. Lobster merupakan pemangsa organisme dasar yang sangat bergantung kepada kondisi fauna dasar. Kerusakan pada dasar perairan secara langsung akan mempengaruhi kehidupan udang karang (VASSEROT dalam MOOSA & ASWANDY, 1984). Udang lobster akan keluar dari tempat tinggalnya untuk mencari makan. Jenis yang hidup di perairan dangkal akan menuju terumbu karang atau paparan terumbu, sedangkan jenis yang hidup agak dalam akan berkeliaran di

22

Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

sekitar habitatnya. Makanan yang digemari adalah moluska (gastropoda, keong dan kerang) dan ekhinodermata (bulu babi, bintang laut, teripang dan lili laut). Sedangkan makanan lainnya adalah ikan (MOOSA & ASWANDY, 1984).

mendukung kegiatan tersebut maka beberapa aspek biologi udang seperti: sistematik, reproduksi, siklus hidup, habitat dan makanan serta cara makanannya di alam merupakan informasi yang sangat dibutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA PENUTUP Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kekayaan laut yang besar, terutama komoditi perikanan, salah satunya adalah udang. Oleh sebab itu sudah selayaknya dan menjadi tanggung jawab bersama untuk tetap menjaga lingkungan serta melestarikannya. Sebagai komoditi penting di sektor perikanan udang menduduki tempat kedua setelah ikan, terutama dari jenis udang suku Penaeus, Metapenaeus dan Panulirus . Udang-udang tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik juga diekspor ke negara-negara tetangga yang biasanya dikemas dalam bentuk beku. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai sumber devisa dan protein penunjang konsumsi baik di dalam maupun di luar negeri. Namun, seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk, kondisi perikanan tangkap Indonesia juga semakin menurun dari tahun ke tahun, sehingga hal ini mendorong upaya peningkatan aktivitas di bidang budidaya. Masih banyak daerah-daerah perairan Indonesia yang belum dieksploitasi dengan baik dan benar, tetapi sebagian besar produksi udang berasal dari hasil eksploitasi di laut, karenanya peranan dan potensi perairan perlu dijaga guna mendukung produksi udang secara umum. Dalam upaya meningkatkan produksi udang telah dilakukan upaya budidaya dengan pendayagunaan tambak kolam dan danau. Budidaya dengan pembenihan dan restocking adalah cara terbaik untuk mengimbangi penangkapan udang di alam. Selain itu budidaya yang ramah lingkungan merupakan unsur penting yang harus diperhatikan. Untuk ANONIM 2004. Sea Cage Culture of Lobster. National Insitute of Ocean Technology (Dept. of Ocean Development, Govt of India) Pallikaranai, Chennai 601 302). h t t p : / / w w w. o d u . e d u / m b u t l e r / newsletter/index.html. Tanggal akses 26 Maret 2008. BARNES, R.D.1987. Invertebrate Zoology. Sounders College Publishing. New York: 124 pp. DIREKTORAT JENDRAL PERIKANAN 2000. Statistik Produksi Perikanan Indonesia tahun 1998 . Direktorak Jendral Perikanan Jakarta: 15 hal. HOLTHUIS, L.H. 1992. Marine Lobster of the World. FAO Fisheries Synopsis, vol 13. No. 125. FAO Rome: 139-141. URL: http://www.lobster.org. Tanggal akses 19 Maret 2008. JOESOEF, S. 1974. Beberapa Segi Ekologi dan Penyebaran Udang Penaeus di Perairan Teluk Kotawaringin (Kalimantan Selatan). Skripsi Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta: 45 hal. KING, M. and S. KING 1995. Environmental Education Module. The Oceans and Coastal Areas and their Resources. Unesco-Unep, International Environmental Education Programme (IEEP).http://www.fao.org/docrep/007/ y2859e/y2859e02.htm#1 . Tanggal akses 28 Februari 2008. 23

Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

MOOSA, M.K. dan I. ASWANDY 1984. Udang Karang (Panulirus spp.) dari Perairan Indonesia. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia, Studi Potensi Sumberdaya Ikan. Lembaga Oceanologi Nasional, LIPI, Jakarta: 23 hal. PAULA, D. 1998. National Institute of Oceanography Images. Bioinformatic Centre India. Goa. http:// www.india_ocean.org. Tanggal akses 28 Februari 2008. PUTRI, R.M. 2005. Sistem Informasi Udang (Crustacea, Malacostraca, Decapoda) di Perairan Indonesia. Teknologi Informasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor: 71 hal. POERNOMO, A. 1968. Studies on the Larva of Commercial Prawns and the Possibility of their Culture in Indonesia . Research Institute for Inland Fisheries Bogor: 13 pp. ROMIMOHTARTO, K. dan S. JUWANA 1999. Biologi Laut . Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta: 527 hal.

SETYONO, D.E.D. 2006. Budidaya Pembesaran Udang Karang ( Panulirus spp.). Oseana 31 (4): 39-48. SUBANI, W. dan H.R. BARUS 2007. Teknologi Penangkapan Udang . Tekno Alat Tangkap. Teknologi-http://www. dkp.go.id/ (Tanggal Akses 28 Feruari 2008). SUMIONO, B. 1998. Sumberdaya Udang Peneid dan Krustasea Lainnya: Kumpulan Makalah Potensi dan Penyebaran SDI Laut di Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta: 14 hal. SUYANTO, S.R. dan A. MUDJIMAN 1999. Budidaya Udang Windu . Penebar Swadaya, Jakarta: 125 hal. TAKEDA, M.K.; D.L. RAHAYU and I. ASWANDY 2000. Prawns and Crabs. In: Field Guide to Lombok Island. ( K. Matsura, O.K. Sumadhiharga and K.Tsukamoto, eds). Ocean Research Institute. University of Tokyo. Tokyo: 54-96. TORO. V. dan K. SOEGIARTO 1979. Biologi Udang . Dalam : UDANG . Biologi, Potensi, Budidaya, Produksi dan Udang Sebagai Bahan Makanan di Indonesia. Soegiarto, V. Toro dan K.A. Soegiarto, ( eds). Proyek Penelitian Potensi Sumber Daya Ekonomi. Lembaga Oseanologi Nasional-LPI, Jakarta: 3-44.

24

Oseana, Volume XXXIII No. 2, 2008

You might also like