You are on page 1of 4

Rumah Ramah Lingkungan Wheny Hari Muljati | Jumat, 11 Mei 2012 - 13:28:26 WIB Dibaca : 305

(dok/ist)Rumah ramah lingkungan tidak harus rumah yang meminimalkan penggunaan kayu. Banyak pendapat mengatakan rumah ramah lingkungan adalah rumah yang dalam konstruksinya meminimalkan penggunaan unsur kayu. Pada masa sekarang orang umumnya berpikir begitu, bahwa penggunaan banyak kayu berarti tindakan tidak ramah lingkungan. Menurut mereka, bila menggunakan kayu berarti kita menambah jumlah pohon yang ditebang, ujar Yu Sing kepada SH beberapa waktu lalu. Jumlah kayu di negara kita padahal kan banyak, tuturnya. Hanya, selama ini kayu-kayu itu memang ditebang sembarangan dan diperjualbelikan secara ilegal oleh banyak oknum, termasuk para pejabat. Akibatnya, kayu menjadi langka dan harganya jadi mahal, ujar arsitek yang dikenal memiliki desain yang khas dan cenderung inovatif ini. Kayu Sah Saja Jadi, masalahnya bukan penggunaan kayu yang salah, tapi karena penyelewengan yang dilakukan para pembalak liar itu, yang menebangi pohon kita secara sembarangan dan mengambil untung untuk diri mereka sendiri, Yu Sing menambahkan. Menurut arsitek yang juga dikenal memiliki kepedulian pada masyarakat kelas bawah ini, bila kita memang memiliki persediaan kayu, sah-sah saja bila kita menggunakannya untuk membangun rumah. Misalnya, klien saya memiliki banyak pohon kelapa berusia tua di kebunnya. Ketimbang membeli bahan bangunan mahal, kan mendingan dia memanfaatkan kayu pohon kelapa yang banyak terdapat di kebunnya itu, ujar Yu Sing lagi. Selain soal penggunaan material kayu, bila membahas rumah ramah lingkungan, kita sebemarnya perlu membicarakan sejumlah aspek. Menurut arsitek Baskoro Tedjo, falsafah dasar dari istilah ramah lingkungan adalah tidak merusak lingkungan. Jadi, rumah atau perumahan dapat dikatakan ramah lingkungan bila keberadaan rumah atau perumahan tersebut tidak menimbulkan kerusakan pada lingkungan. Konteks Perumahan

Merusak atau tidaknya sebuah rumah atau suatu perumahan misalnya, bisa kita lihat dari aspek pengelolaan lahannya, tutur Baskoro. Menurut dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, ramah atau tidaknya suatu rumah terhadap lingkungan bisa kita lihat pertama-tama dari pengaruh rumah tersebut terhadap ekosistem di wilayah tersebut. Begitu juga perumahan. Perumahan yang ramah lingkungan adalah perumahan yang tidak merusak ekosistem di kawasan tempatnya dibangun. Jadi, saat membangun sebuah perumahan usahakan agar ekosistem di lahan tersebut tidak berubah, ujar Baskoro. Kalau tadinya lahannya hijau, banyak pohon, dan banyak O2 atau oksigen, setelah perumahan dibangun lahan hijaunya harus diganti, tutur arsitek yang pernah membangun Kalla Building di Makassar, Sulawesi Selatan ini. Ia juga mengatakan, jumlah O2 yang berkurang dari kondisi sebelumnya harus ditambah lagi sehingga sama jumlahnya dengan O2 saat sebelum perumahan dibangun. Upaya mengembalikan jumlah O2 seperti semula, antara lain bisa dilakukan dengan memproduksi O2 dengan cara menempatkan pot-pot bunga di area rumah dan perumahan, menempatkan tanaman-tanaman di atap rumah, atau menanami lahan perumahan dan area sekitarnya dengan pepohonan. Nol Air ke Tetangga Aspek penting lain dalam konsep rumah ramah lingkungan adalah soal pengaturan air hujan. Menurut Baskoro, air hujan pada dasarnya harus meresap ke dalam tanah. Namun, keberadaan rumah umumnya membuat jalan air hujan untuk meresap ke tanah terhambat. Akibatnya, air yang jatuh ke rumah kita akan mengalir ke area sekitarnya, termasuk ke tetangga, dan bisa jadi menyebabkan genangan atau bahkan banjir. Air harus dicarikan tempat lain untuk meresap, tutur Baskoro. Oleh karena itu, sebuah rumah atau perumahan harus memiliki daerah resapan air hujan di lahan tempatnya dibangun. Menurut Baskoro, selain membuat resapan di rumah-rumah, pengembang perumahan ramah lingkungan wajib membuat area-area resapan di lahan perumahannya. Supaya air hujan tidak menggenang dan tidak terjadi limpahan air ke area lain, perumahan perlu membuat sumuran-sumuran untuk meresapkan air hujan ke tanah di wilayahnya, Baskoro menambahkan. Selain itu, lanjut dia, jangan membiarkan air melimpah ke rumah tetangga, karena itu merugikan lingkungan. Menurutnya, run off atau aliran air ke tetangga harus diusahakan nol. Artinya, air hujan sebaiknya terserap di area rumah atau perumahan kita sendiri sehingga tidak merugikan lingkungan. Misalnya, jangan sampai air hujan yang turun ke rumah kita membuat banjir tetangga kita karena tidak ada resapan air di rumah kita, jelasnya. Suhu Semula Perubahan suhu lingkungan juga perlu dicermati dalam membangun rumah atau perumahan. Perumahan yang baik adalah perumahan yang tidak memanaskan lingkungan. Misalnya, bila suhu lingkungan sebelum perumahan dibangun adalah 30 derajat maka suhu lingkungan setelah perumahan dibangun harus tetap 30 derajat, papar Baskoro.

Ia mencontohkan, bila suhu lingkungan awalnya 30 derajat, tapi setelah perumahan dibangun suhu meningkat menjadi 35 derajat, berarti perumahan tersebut tidak ramah lingkungan. Menurutnya, penyebab meningkatnya suhu setelah dibangunnya perumahan adalah penggunaan bahan-bahan bangunan yang menimbulkan panas. Bahan bangunan sebaiknya dipilih dari bahan-bahan yang tidak memantulkan sinar matahari dan menimbulkan panas. Lebih baik material yang digunakan dipilih yang bisa mendinginkan lingkungan. Misalnya, pilih genting tanah liat ketimbang atap beton. Hindari menggunakan terlalu banyak kaca, ganti dengan krawang atau teralis, katanya. Bahan Terbarukan Saat membangun rumah ramah lingkungan, pemilihan material terbarukan pun perlu lebih jeli. Untuk menghindari penggunaan kayu yang harganya kian mahal, Baskoro menyarankan penggunaan bambu. Ini karena bambu tergolong tanaman yang cepat tumbuh. Setelah ditebang, bambu sudah bisa tumbuh tinggi lagi dalam waktu setahun, saran Baskoro. Selain ketiga aspek di atas, menurut Baskoro, perilaku penghuni perumahan juga perlu dijaga jangan sampai merusak lingkungan. Penghuni harus berkarakter ramah lingkungan, seperti hemat energi dan hemat air. Kalau tidak perlu menyalakan lampu, matikan saja lampunya, dan gunakan air seperlunya, ia melanjutkan. Senada dengan Baskoro, pengamat properti Ali Tranghada mengatakan perumahan ramah lingkungan perlu memperhitungkan sistem pengaliran air, termasuk air limbahnya. Menurut Ali, perumahan dikatakan ramah lingkungan bila air limbahnya tidak langsung masuk ke selokan, melainkan masuk ke bawah dulu, misalnya ke septictank. Soal material kayu, Ali menyarankan agar penggunaannya dikurangi, diganti bahan nonkayu, seperti aluminium untuk kusen pintu dan rangka baja ringan untuk konstruksi rumah. Harga nonkayu memang lebih tinggi, tapi perawatannya lebih mudah, tutur Ali. Menurut Ali, di samping mahal, beberapa jenis kayu kini tidak boleh digunakan lagi karena langka. Kalaupun bisa dipakai, harganya sangat mahal, misalnya jati. Penggunaan sebenarnya tidak dilarang, tapi kayu sekarang ini umumnya hasil penebangan liar. Kalau bukan dari penebangan liar sih boleh saja, tapi harga pasti sangat tinggi, Ali menjelaskan. Menurut Ali, rumah masa sekarang yang menggunakan unsur kayu umumnya hanya bagian pintu. Tapi, kayu untuk pintu biasanya bukan kayu solid, hanya lapisan saja, tengahnya kosong, ujarnya. Sekadar Tren Rumah ramah lingkungan saat ini mulai banyak dikembangkan pengembang. Namun, jumlah perumahan yang sunguh-sungguh ramah lingkungan sebenarnya masih terbatas. Kalau benarbenar ramah lingkungan, harganya pasti tinggi, bisa naik 15-20 persen, tutur Ali. Pengembang saat ini sekadar ikut tren, dan konsep ramah lingkungan mereka umumnya masih cenderung ke arah penghijauan dan desain.

Saat ini perumahan ramah lingkungan cenderung ke desain hemat energi, misalnya banyak bukaan untuk menghemat penggunaan lampu dan pendingin ruangan. Ini karena rumah yang banyak bukaannya tidak perlu banyak energi untuk lampu dan pendingin ruangan, papar Ali. http://www.shnews.co/detile-1698-rumah-ramah-lingkungan.html

You might also like