You are on page 1of 11

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kamis, 3 Oktober 2013

KE ARAH SOSIOLOGI TRANSFORMATIF PERSPEKTIF ISLAM*


Oleh: M. Dawam Rahardjo
Sosiologi berasal dari kata Latin, socius artinya teman dan logos, artinya ilmu, yang secara umum dipahami sebagai ilmu tentang masyarakat atau ilmu tentang perilaku individu dalam kelompok itu. Dengan demikian sosiologi adalah sebuah ilmu pengetahuan sosial yang relevan dan berguna untuk memahami maupun melaksanakan ajaran agama. Hal ini sebagaimana nampak dalam teori Emile Durheim (1858-1917) mengenai peranan agama sebagai representasi simbolik dari masyarakat serta peranan integratifnya dan Max Weber (1864-1920) yang mengemukakan peranan ethic dan ethos keagamaan dalam perkembangan ekonomi. Sosiologi, memang sebuah ilmu pengetahuan modern yang lahir dan berkembang pesat sejak akhir abad 18, sezaman dengan masa Pencerahan (aufklarung), Abad Nalar (The Age of Reason) dan Abad Ideologi (The Age of Ideology), sebagai ilmu sosial yang lahir sesudah ilmu ekonomi (1776). Oleh karena itu maka sosiologi adalah sebuah ilmu yang merespon dampak perkembangan ilmu ekonomi, khususnya industrialisasi dan perubahan masyarakat, yaitu urbanisasi.Sosiologi memberikan pengaruh terhadap timbulnya aliran ekonomi kelembagaan (institutional economics) dalam perkembangan ekonomi sebagai antithesis terhadap aliran individualisme ekonomi (economic individualism) yang kemudian disebut kapitalisme itu.Secara implisit ekonomi institusional membuka pemikiran mengenai peranan agama sebagai lembaga sosial dalam perkembangan ekonomi dan perubahan sosial. Pada awalnya, sosiologi adalah ilmu mengenai masyarakat perkotaan. Sosiologi berbeda dengan ilmu ekonomi yang bertolak dari individualism sedangkan sosiologi bertolak dari sosialisme atau peranan lembaga dan kelompok masyarakat.Dengan peranan lembaga, termasuk agama dan masyarakat itu, maka perubahan masyarakat bisa bersifat transformative. Sebagai ilmu sosial modern, istilah sosiologi, mula-mula diperkenalkan oleh filsuf Pencerahan Prancis, August Comte (1798-1847), sehingga dia dianggap sebagai, pendiri ilmu sosiologi, sebuah ilmu yang memiliki dua ciri utama. Pertama merupakan kajian empiris dan karena itu merupakan ilmu pengetahuan positif. Kedua, sosiologi itu merupakan ilmu yang abstrak, dalam arti berisikan teori-teori mengenai hukum-hukum sosial dan sejarah yang merupakan abstraksi terhadap kenyataan-kenyataan atau gejala-gejala yang terdapat dalam masyarakat. Sosiologi dianggap sebagai the queen of social science, karena sosiologi-lah awal dari ilmu-ilmu sosial positif yang dipengaruhi oleh filsafat naturalisme, yang menganggap gejala sosial sama dengan gejala alam yang memiliki hukum-hukumnya yang pasti, yang dalam bahasa agamanya disebut sebagai sunatullah. Ilmu ekonomi, yang pada waktu itumasih disebutsebagai ilmu moral (moral science) dan ilmu ekonomi politik (political science), masih tergolong ke dalam ilmu pengetahuan normatif dan filsafat sosial atau yang disebut oleh Robert Heilbrouner sebagai the worldly philosophy yang merupakan kebalikan dari teologi. Sungguhpun demikian, dalam sejarah pemikiran, penggagas awal sosiologi dan ilmuilmu sosial pada umumnya, adalah seorang filsuf Muslim akhir Abad Pertengahan Ibn Khaldun, dalam bukunya Al Mukaddimah yang oleh para ahli sejarah seperti Toymbee sebagai buku filsafat sejarah pertama yang mengawali dan cikal bakal filsafat sejarah
1|Page

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kamis, 3 Oktober 2013

modern. Dalam buku itu, ilmu-ilmu sosial merupakan bagian dari ilmu sejarah, atau epistemologi sejarah yang dipakai sebagai alat analisis perkembangan sejarah masyarakat. Hubungan antara sosiologi dan sejarah masih tetap menjadi paradigma ilmu pengetahuan sosial dan humaniora hingga saat ini, mula-mula ditekankan oleh Karl Marx.Dari paradigma itu, Marx merumuskan teori dasar mengenai hubungan antara kesadaran dan kondisi masyarakat yang bersifat materialis, membalik teori Hegel sebelumnya dengan rumusan bukan kesadaran yang menentukan kondisi, melainkan kondisilah yang menentukan kesadaran Rumusan itu berkebalikan dengan paradigma teologi yang terkesan memisahkan teologi dan ilmu-ilmu sosial positif, termasuk sosiologi. Walaupun pendiri ilmu sosiologi Max Weber dalam tesisnya mengenai etik Protestantisme mengikuti pandangan Weber ketika ia berpandangan bahwa etik Protestantisme-lah yang bertanggung-jawab terhadap kebangkitan kapitalisme di Eropa, pada awal perkembangnnya. Dari tesis Weber tersebut, maka idealismeHegel masih tetap dianut, sehingga timbul pandangan bahwa teologi itu bisa menimbulkan dampak perubahan dan transformasi sosial. Perdebatan tentang kontroversi antara ilmu-ilmu sosial dan teologi dalam kaitannya dengan transformasi sosial pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1986, antara antropolog Muslim Abdurrahman dan sejarawan Kuntowidjojo, dalam forum Seminar Teologi Pembangunan yang diselenggarakan oleh Pengurus Nahdhatul Ulama (NU) di Kaliurang, Yogyakarta. Dalam perbincangan itu Muslim Abdurrahman mengajukan suatu gagasan mengenai teologi transformatif, yaitu teologi yang membahas tentang transformasi sosial, khususnya dalam pemberantasan kemiskinan. Gagasan itu ditolak oleh Kuntowidjojo, atas dasar alasan bahwa teologi itu adalah istilah Kristen yang tidak ada padanannya dalam ilmu-ilmu keagamaan tradisional Islam.Karena yang dikenal dalam Islam adalah ilmu kalam atau ushuluddin, yaitu ilmu tentang dasar-dasar kepercayaan, khususnya ketuhanan, yang terpisah dari masalah kemasyarakatan. Atas dasar itu maka Kuntowidjojo berpendapat bahwa yang dibutuhkan dewasa ini oleh umat Islam adalah ilmu-ilmu sosial transformatif yang kemudian dikembangkan lebih lanjut olehnya menjadi ilmu-ilmu sosial prophetik. Sebenarnya Muslim Abdurrahman pernah mengadvokasikan ilmu-ilmu sosial transformatif, bahkan ia pernah menerbitkan bulletin mengenai itu. Tetapisebagai seorang sarjana ilmu-ilmu sosial yang berlatar-belakang pesantren dan IAINdan kemudian aktif di Muhammadiyah, Muslim Abdurrahman mencari dasar-dasar Quraninya dan menemukan suratal Maun, mengikuti K.H. Ahmad Dahlan. Dari gagasan Muslim Abdurrahman itu timbul gagasan mengenai teologi al Maun atau teologi sosial, yaitu semacam teologi Kristen Doktrin Sosial Gereja Katholik atau wacana yang ditulis dalam buku yang ditulis oleh Michael Zweig Religion and Social Justice (1991), yang juga menulis mengenai Socialisme Religious itu. Pemikiran Kuntowidjojo itu memang bertolak belakang dari segi epistemologi dengan pemikiran Muslim Abdurrahman yang sejalan dengan gagasan Islamisasi Pengetahuan, yaitu epistemologi yang ingin mencari dasar-dasar keagamaan terhadapilmuilmu sosial. Tapi sebaliknya Kuntowidjojo punya gagasan yang bertolak-belakang, yaitu mengenai saintifikasi Islam, yaitu membahas ajaran-ajaran Islam dengan teori ilmu-ilmu sosial.Konsekuensi pemikiran Muslim Abdurrahman adalah pengembangan epistemologi Islam sebagai dasar pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan umum.Sedangkan konsekuensi gagasan Kuntowidjojo adalah memakai epistimologi Barat modern untuk mengembangkan pemikiran Islam.
2|Page

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kamis, 3 Oktober 2013

Persepsi Kuntowidjojo mengenai teologi (Kristen) memang benar, karena teologi Kristen bukanlah semata-mata ilmu ketuhanan atau dasar-dasar kepercayaan. Dengan perkataan lain adalah teologi membahas konsekuensi sosial dari kepercayaan agama (social consequence of religion). Namun persepsi Kuntowidjojo bahwa ilmu kalam itu hanya membahas masalah-masalah ketuhanan, adalah keliru. Sejarah lahirnya ilmu kalam diawali dengan masalah-masalah politik, yaitu gerakan kelompok Arab Badui melawan Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib, yang kemudian melahirkan partai Syiah yang disamping merupakan partai politik, juga merupakan gerakan pemikiran untuk mengembangkan teologi Ali bin Abi Thalib yang terekam dalam kodifikasi hadist Ali yang sekarang diterbitkan dengan judul Najhul Balaghgah. Teologi Syiah itu tidak hanya membahas masalah-masalah keagamaan, tetapi juga masalah-masalah sosial dan politik.Di masa Abad Pertengahan melahirkan pemikiran filsuf Mulla Sadra yang terus dikembangkan hingga sekarang.Dan di masa modern, melahirkan pemikiran Murthado Mutahhari mengenai sejarah, masyarakat dan peradaban.Di bidang ekonomi melahirkan pemikiran Muhammad Baqir Sard dalam bukunya yang menjadi rujukan ilmu Ekonomi Islam Iqtishaduna (2008) atau Ekonomi Kita. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah pemikiran Islam mengenai teologi, walaupun baru diperkenalkan kemudian oleh Muslim Abdurrahman pada tahun 1986.Teologi disini dimaksudkan sebagai ilmu mengenai konsekuensi sosial dari ajaran agama.Dasarnya terkandung dalam al Quran sendiri, yaitu: Akan terjadi kehinanaan di manapun manusia berada kecuali mereka yang merawat hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablun minallah dan hubungan di antara manusia sendiri (habun minannaas) (Q.s.Ali Imron (3): 112). Dalam Kristen Katholik dikenal Ajaran Sosial Gereja yang dipelopori oleh Paus Leo ke III dan dikembangkan kemudian oleh geraja Katholik AS. Dalam kata pengantarnya terhadap buku Religion and Social Justice, Zweig menceritakan pengalamannya berkenaan dengan teologi pembebasan. Ia mengatakan,dalam persepsinya ketika ia mengalami masa remaja di AS sebelum tahun 1960 bahwa dalam lingkungan masyarakat industri di Detroit, AS, Gereja Katholik adalah suatu lembaga yang respresif yang mengekang kebebasan berfikir dan gagasan-gagasaan reaksioner, konservatif dan tidak peduli terhadap kemiskinan. Itulah sebabnya ia kemudian mempelajari Maxisme dan Sosialisme, sehingga menjadi pengajar Ekonomi Sosialis. Namun pandangannya berubah ketika ia mendapat kunjungan seorang Rohaniawan Katholik pada State University of New York, di Sony Brook, Michael Quinn yang berperan sebagai seorang pejuang perdamaian yang menentang agresi AS di Asia Tenggara. Ia kemudian melihat juga gerakan Gereja Kristen Protestan Hitam (Black Protestant Christian Church) yang memperjuangan hak-hak sipil dan diskriminasi rasial Sebagai seorang Sosialis perhatiannya terarah pada masalah-masalah ketidak-adilan dan degradasi manusia, pengangguran, rasisme, penindasan atas perempuan, kemubaziran hidup akibat penyakit dan pengabaian kemiskinan(ignorance of poverty). Dari pengalaman itu ia tertarik pada teologi pembebasan (Liberation Theology) yang dikembangkan oleh Gustavo Guiterrezdi Amerika Latin. Ia tertarik dengan teologi itu, tentunya disebabkan oleh suatu gejala yang mengejutkan, yaitu bagaimana suatu teologi Katholik dikembangkan berdasarkan analisis Maxis. Dalam persepsinya Teologi Pembebasan adalah sebuah interpretasi religious sebagai panggilan untuk melakukan aksi sosial kearah tujuan untuk mencapai keadilan sosial. Bagi Zweig, Teologi Pembebasan Amarika Latin, bukan satu-satunya teologi pembebasan, karena terdapat berbagai versi teologi pembebasan itu. Misalnya, di
3|Page

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kamis, 3 Oktober 2013

lingkungan Islam telah ditulis buku mengenai Teologi Pembebasan Islam, sebagaimana dikembangkan oleh Shabair Akhatar The Final Imperative of Islamic Theology of Liberation (1991) dan oleh SyedAsghar Ali EngeeneirIslam dan teologi Pembebasan (1999) dari judul aslinya Islam and the Liberation Theology: : Essay on Liberative Element in Islam. Tetapi pemaduan antara Islam dan komunisme pernah terjadi pada Syarikat Ialam pada tahun 1919, ketika Haji Misbah, seorang pedagang Muslim dari Solo yang menjadi pimpinan Sarekat Islam mengembangkan wacana melalui penerbitan koran yang mempropagandakan bahwa Komunis terkandung di dalam ajaran Ialam, sehingga sebagai Muslim ia merasa yakin untuk melakukan gerakan komunis di lingkungan gerakan politik Sarekat Islam. Haji Misbach bahkan dapat disebut sebagai cikal bakal SI-Merah yang berkembang menjadi Partai Komunis Hindia Belanda tahun 1923. Tapi dengan kajian yang lebih mendalam tentang Islam maupun Sosialisme, khususnya Sosial-Demokrasi dan sejarah Nabi saw, pemimpin Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto menulis buku yang terkenal Islam dan Sosialisme (1924). Para pemimpin komunis terkemuka, sepetri Semaun, Alimin, Darsono dan Musso, pada mulanya adalah para pemimpin Sarekat Islam.Mereka memilih Komunisme daripada Islam, karena melihat Komunisme memberikan pedoman ideologi maupun politik yang lebih kongkritdalam melakukan gerakan politik untuk melakukan transformasi sosial.TapI tulisan-tulisan Haji Misbach lebih merupakan pamphlet politik.Dan buku Tjokroaminoto adalah sebuah karya ilmu sosial dan bukan teologi.Mungkin karena itulah maka buku Tjokroaminoto kurang mampu memberikan efek calling sebagaimana Teologi Pembebasan.Bahkan ahli ilmu politik muda Denny J.A. yang menganjurkan sekularisasi, justru menganjurkan agar pemikiran sekularisme ditulis dengan pendekatan teologi, sehingga memperoleh legitimasi keagamaan. Teologi adalah suatu ilmu,-teo adalah Tuhan dan logos adalam ilmu sehingga arti harfiyahnya adalah ilmu atau filsafat Ketuhanan, yang bertolak atau bersumber dari ajaran agama atau Ketuhanan. Karena itu pemikir muda Muslim seperti Muslim Abdurrahman, berusaha mencari dasar-dasar keagamaannya mengenai ilmu-ilmu sosial transformatif. Dan sebagai kader Muhammadiyah, ia menemukan apa yang ditemukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, yaitu surat al Maun. Dalam surat al Maun pengabaian terhadap kemiskinan (ignorance of poverty) dan tiadanya jaminan sosial (yatim) itu disebut sebagai pendustaan terhadap agama. Ayat inilah yang menarik perhatian K.H. Ahmad Dahlan dan Muslim Abdurrahman.Pada awal abad 20, telah terjadi kebangkitan ekonomi di kalangan saudagar Muslim yang kemudian diorganisir oleh Haji Samanhudi di Solo. Tapi K.H. Ahmad Dahlan mengingatkan tanggungjawab sosial kaum saudagar Muslim itu dan kemudian membentuk lembaga amil zakat yang masih lestari hingga sekarang. Tapi dalam perkembangannya, Muhammadiyah lebih tertarik untuk mengembangkan gagasan tauhid Wahabiyah dan modernisasi pendidikan Muhammad Abduh dan mengabaikan program pemberantasan kemiskinan, walaupun mendirikan pantipanti asuhan yatim-piatu yang juga masih menjadi model gerakan sosial Islam hingga sekarang.Karena itu maka Muhammadiyah sebenarnya melakukan ignorance of poverty dan gagasan inilah yang dikembangkan oleh Haji Misbach. Namun perhatian terhadap masalah kemiskinan, walaupun diekspresikan dalam bentuk positif, yaitu program pembangunan, dilakukan oleh Sjafruddin Prawiranegara yang dituliskannya dalam sebuah pamphlet Al Aqabah. Pamflet ini sebenarnya sangat penting dan mendasar, karena ia adalah teknokrat yang paling awal (Tahun 1966) menulis hakekat
4|Page

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kamis, 3 Oktober 2013

dari ekonomi syariat sebagai legal economics yang bertolak dari Q.S. Saba (34): 15 mengenai negari Saba yang makmur karena sistem irigasinya yang diinterpretasikannya sebagai perlambang sistem hukum. Tapi secara substansial ia bertolak dari surat al-Balad, yang sebagai tafsir pernah ditulis oleh Anwar Harjono,Dalam hal ini ia tertarik pada surat al Balad ayat 10-17 yang dapat diterjemahkan sebagai berikut: PENDAKIAN TINGGI (GREAT ASCEND). Dan Kami tunjukkan kepadanya, dua jalan yang terang Tetapi ia tidak berusaha untuk mendaki jalan naik Dan apakah yang membuat engkau tahu? Apakah jalan naik itu? Yaitu memerdekakan budak belian Atau memberi makan pada hari kelaparan Kepada anak yatim yang ada pertalian keluarga, Atau orang miskin yang berbaring di debu Lalu ia adalah golongan orang yang beriman Dan saling menasehati, supaya bersabar Dan saling menasehati, Supaya berbelas kasih. Dalam surat itu Allah mengemukakan dua jalan. Jalan pertama adalah mereka yang menghambur-hamburkan harta benda yang tidak memberikan manfaat terhadap pemberantasan kemiskinan.Dan yang kedua, disebut pendakian tinggi atau Al Aqobah yang diterjemahkan oleh Sjafruddin Prawiranegara dengan istilah ahli sejarah ekonomi AS terkemukan Robert Heilbrouner, yaitu the great ascend. Dalam penafsiran Sjafruddin Prawiranegara, pendakian tinggi itu adalah pembangunan ekonomi yang didasarkan pada hukum (legal economics). Ekonomi legal itu sebenarnya dirumuskan pasca Perang Dunia II di Jerman ke dalam konsep yang hingga sekarang terkenal dengan sebutan social market economy yang sukses`dilaksanakan di Jerman. Dalam teori ekonomi terhadap empat aliran utama. Pertama aliran individual (individual economics) yang berpandangan bahwa penggerakan ekonomi adalah para individu.Kedua adalah aliran social (social economy) yang berpandangan bahwa penggerakan ekonomi adalah kelompok. Ketiga ekonomi kelembagaan (institutional economics) yang berpandangan bahwa penggerak ekonomi adalah lembaga.Dan keempat adalah ekonomi syariat (legal economics) yang menggerakkan ekonomi dengan hukum Islam. Surat al-Balad ini juga dikutip oleh Akhtar dengan interpretasi yang menarik. Pertama ia berpandapat bahwa langkah hijrah pada tahun 922, yang kemudian ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai kalender baru Islam, pada hakekatnya adalah sebuah langkah pembebasan (liberasi), sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi Musa as.Kedua, zaman Mekah dianggapnya sebagai zaman perbudakan, sedangkan zaman Madinah adalah zaman pembebasan, sebab itu sejak berdirinya Negara Madinah, maka proses pembebasan dimulai, pertama-tama dengan membangun kedaulatan bersama. Izin berperang yang dikeluarkan setalah umat islam mengalami agresi besar-esaran oleh rezim Mekah yang pada waktu itu dipimpin oleh Abu Sofyan yang masih kafir, harus dipahami sebagai politik menegakkan kedaulatan yang ternyata merupakan kunci keberhasilan Risalah Islam yang dipimpin oleh Muhammad saw.
5|Page

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kamis, 3 Oktober 2013

Pada waktu Muhammad masih tinggal di Mekah pada masa awal kenabiannya, ia pernah ditawari kekuasaan pemimpin kota Mekah dan diberikan kekayaan yang ia kehandaki, asalkan ia bersedia meninggalkan misi yang terkandung dalam wahyu-wahyu yang diterimanya dari Allah. Tawaran itu ditolak oleh Muhammad, karena bukan itu tujuan misi kenabiannya. Peristiwa itu mirip dengan kisah Yesus yang juga ditawari kekuasaan dan kekayaan oleh setan asal ia mau tunduk kepada kehendak setan . Ayat ini surat Matheus (48-49) itu dijadikan kutipan motodalam bab awal yang ditulis dalam bukunya. Sikap Yesus itulah yang menjadi titik tolak dalam teologi pembebasan melawan kemiskinan dan kapitalisme. Dalam konteks kontemporer Indonesia, istilah menghambur-hamburkan harta itu adalah ibarat bantuan sosial sebesar Rp 81 triliun, tetapi hanya dengantujuan pencitraan bahkan pemeliharaan kondisi kemiskinan, karena bantuan itu membuat rakyat manja dan bergantung kepada bantuan Pemerintah. Pencitraan itu dilakukan dengan mengemukakan menurunnnya angka penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan karena mendapat Bantuan Langsung Tunai Sementara (BLTS) yang dipelesetkan rakyat menjadi balsam itu. Tetapi akar kemiskinan itu sendiri tidak terberantas. Padahal yang dikenedaki adalah, pembebasan masyarakat dari perbudakan dan pengangkatan masyarakat dari kemiskinan absolute yang disebut al quran sebagai pendakian tinggi dan ditafsirkan oleh Sjafruddin Prawiranegara dalam pembangunan berdasarkan hukum atau syariat. Isi surat al Balad yang istilah al aqobah dijadikan titik tolak konsep pembangunan Indonesianya oleh Sjafruddin Prawiranegara, pada hakekatnya adalah sebuah doktrin pembebasan, yaitu pembebasan dari perbudakan (fakku raqabah) dan mengangkat orang yang terbaring di debu yang intinya adalah pemberantasan kemiskinan. Memang, dalam pamphlet itu, Sjafruddin Prawiranegara tidak menyabut istilah pembebasan, tetapi intinya adalah liberalisasi ekonomi yang harusditetapkan dan diatur melalui UU dan peraturan. Karena itu secara implisit ia sebenarnya berbicara mengenai syariat Islam sebagai legal economics. Pendekatan legalnya dalam pembangunan ekonomi ditulisnya dalam pamflet Membangun Kembali Ekonomi Indonesia (1966), yang ditulis sebelum paket Kebijaksanaan 3 Oktober 1967 yang intinya adalah liberalisasi ekonomi, yang nyaris bertentangan pendekatannya dengan pandangan Syafruddin Prawiranegara. Padahal TAP MPRS No.XXII/1966 dari segi pendekatan sejalan dengan pemikirannya. Dalam konsep Sjafruddin Prawiranegara mengenai pembangunan ekonomi Indonesia.Secara hukum mengandung tiga tujuan.Pertama, menjamin keselamatan harta dan jiwa.Kedua, menjamin keadilan hukum da keadilan jiwa. Dan ketiga, mempertinggi kesejahteraan rakyat lahir maupun batin. Tapi Peraturan 3 Oktober, 199 yang merupakan paket liberalisasi ekonoi itu telah menimbulkan dampak, pertama hancurnya ekonomi rakyat. Kedua, kesenjangan antara golongan ekonomi kuat, khususnya modal asing dan lemah.Dan ketiga menimbulkan marginalisasi tenaga kerja dan kemiskinan yang memuncak pada pertengahan dasawarsa 70-an. Teologi pembebasan sebagaimana ditulis oleh Guiterrez, berbeda dengan pendekatan syariat dan lebih sejalan dengan pendekatan kalam atau tasauf Islam. Teologi ini bersendikan dua praxis. Pertama adalah diam dihadapan Allah dimana manusia berhadapan dan merasakan kehadiran Allah yang menimbulkan kontemplasi mengenai aksi manusia dalam sejarah dan kehidupan. Dalam praxis kontemplasi dan aksi itu maka manusia menemukan misteri Allah. Interpretasi ini mengingatkan kita kepada suatu ayat dalam al quran yang mengatakan bahwa barangsiapa ingin berjumpa dengan Allah, hendaklah ia melakukan amal saleh (Q.s. Al-Kahfi (18): 110). Kedua adalah diam dalam aksi yang
6|Page

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kamis, 3 Oktober 2013

artinya keterlibatan diri dalam kehidupan bersama-sama dengan orang lain sesuai dengan kehendak Allah. Dalam konteks Amerika Latin, keterlibatan itu menyatu dalam solidaritas bersama kaum miskin dan tertindas dalam memperjuangkan pembebasan.Keterlibatan itu merupakan tindakan politis yaitu perjuangan dalam mewujudkan kondisi masyarakat yang adil melalui transformasi tatanan sosial yng tidak adil.Dalam konteks sekarang, teologi pembebasan itu dalam al Quran disebut sebagai jihad fi sabilillah melalui aksi amar makruf nahi munkar yang hakekat maknanya adalah transformasi sosial. Kaitan antara gerakan pembebasan dalam Teologi Pembebasan, dengan doktrin amar makruf nahi munkar atau jihad fi sabilillah. Nampak pada interpretasi sejarawan sosial Kuntowidjojo terhadap surat Ali Imran ayat 110. Ayat itu sebenarnya merupakan suatu konsep mengenai masyarakat utama (al khairu al ummah). Ciri atau sendi masyarakat utama ada tiga.Pertama, adalah amar makruf yang diinterpretasikan oleh Kuntowidjojo sebagai humanisasi. Kedua adalah nahi munkar, atau, liberasi atau pembebasan (liberation). Dan ketika adalah iman kepada Allah, yang dalam ayat lain diekspresikan sebagai jihad fi sabiliiahyang oleh Kuntowidjojo diinterpretasikan dalam filsafat sosial sebagai sebagai transendens. Sebenarnya pandangan Kuntowidjojo yang memakai pendekatan filsafat dan teori sosial itu sejalan dengan Teologi Pembebasan.Di satu pihak, Teologi Pembebasan Amerika Latin didasarkan pada pendekatan teologi Katholik dalaminterpretasi baru.Tapi di lain pihak Teologi Pembebasan juga memakai pendekatan ilmiah, atau lebih spesifik, Sosialisme Ilmiah atau Marxisme. Sementara itu Kuntowidjoyo bertolak dari konsep masyarakat al Quran, tetapi ditafsirkan secara ilmiah sejalan dengan pandangannya mengenai saintifikasi Islam yang ia maksudkan sebagai alternatif terhadap pendekatan Islamisasi Pengetahuan. Tapi dari segi epistemologi, keduanya memang bertolak belakang, walaupun menghasilkan pemikiran yang sama. Teologi pembebasan sendiri mengandung dua aspek.Pertama adalah aspek spiritualisme yang dalam teori Marx tergolong ke dalam konsep kesadaran.Aspek kedua, adalah aspek sosial, yaitu tentang pembebasan.Tetapi bedanya dengan Sosialisme ilmiah Marxis adalah jika epistemologi Marxis adalah materialisme.Sementara itu epistemologi Teologi Pembebasan adalah idealisme Hegel, dimana roh atau kesadaran manusia menentukan kondisi. Perbedaannya dengan pendekatan ekonomi legal atau syariat adalah, bahwa dalam ekonomi legal, kondisi dibentuk oleh hukum. Sedangkan dalam Teologi Pembebasan, kesadaran manusia dalam praxis ketuhanan, menggerakkan masyarakat menciptakan transformasi, yaitu pembebasan manusia dari kondisi perbudakan dan kemiskinan. Dalam pandangan Asghar Ali, konsep pembebasan mengandung empat elemen. Pertama adalah menantang status-quo dan menghendaki perubahan sosial yang mendasar.Kedua, menantang kemapanan (establishment) dalam tatatan kemasyarakatan.Ketiga adalah pembelaan dan pemihakan terhadap golonganyang tertindas. Dan keempat, prinsip menentukan nasib sendiri. Tapi menurut Asghar Ali, Teologi Pembebasan Islam merupakan tawar menawar antara takdir dan kebebasan menentukan nasibnya sendiri, sebagaimana tercermin dalam Q.s. Ar-Rad (13): 11, Allah tidak merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah apa yang terdapat dalam kaum itu sendiri. Takdir adalah konsep mengenai hukum Allah yang berlaku dalam alam material, masyarakat dan sejarah. Tapi sebagaimana dikatakan oleh filsuf Muslim Pakistan, Mohammad Iqbal yang dirujuk oleh Asghar Ali itu, manusia memiliki posisi tawar menawar dengan Tuhan.
7|Page

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kamis, 3 Oktober 2013

Dalam Teologi Pembebasan Amerika latin, unsur tawar menawar itu sebenarnya juga ada, yaitu dalam sikap diam di hadapan Tuhan yang artinya mengakui kuasa Tuhan, Teologi Pembebasan juga mengadung elemen praxis, yaitu melakukan gerakan pembebasan oleh masyarakat miskin. Pemikiran Sjafruddin Prawiranegara, Muslim Abdurrahman dan Kuntowidjojo juga mengandung aspek menentukan nasib sendiri itu, yaitu melakukan transformasi sosial. Dalam konsep Kuntowidjo, berbeda dengan sosiologi Klasik yang mengarah kepada perubahan sosial, khususnya industrialisasi dan urbanisasi yang terkesan netral nilai itu, perubahan itu mengarah kepada humanisasi, liberasi atau pembebasan dan trandsandensi atau dalam konsep Asghar Ali, mengkaitkan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat atau sebaliknya, yaitu di satu pihak kehidupan di dunia itu orientasi kepada kehidupan akhirat dan di lain pihak kehidupan di akhirat itu ditentukan oleh kehidupan di dunia, kehidupan akhirat adalah hasil dari kehidupan di dunia. Sosiologi Islam sangat dikenal dengan penentangannya terhadap prinsip bebas nilai (value free) yang mula-mula diperkenalkan oleh Max Weber dalam penelitian sosial sesuai dengan paham positivisme ilmu-ilmu sosial. Kedua, penentangannya terhadap epistemologi materialis Marxis, yaitu prinsip bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan, melainkan sebaliknya, keadaanlah yang menentukan kesadaran. Ketiga penentangannya terhadap pandangan individualisme. Masalah prinsip bebas nilai Weberian telah menimbulkan banyak kesalah-pahaman yang luas. Sebenarnya, yang dimaksuskan dengan bebas nilai itu adalah dalam kaitannya dengan metode penelitian yang tidak berpedoman pada nilai yang dianut oleh peneliti, tetapi harus berdasarkan fakta dalam positivisme August Comte. Weber sendiri, dalam penelitiannya juga tidak bebas nilai, sehingga timbul penilaiannya yang prejudis terhadap Islam sehingga menimbulkan kesalahan persepsi yang mendasar, sebagaimana dikemukakan dan dikritik oleh muridnya sendiri, Bryan Turner. Demikian pula biasnya terhadap protestanisme yang mampu mendorong perubahan sosial, dengan mengabaikan Katholikisme. Namun kesimpulannya mengenaipentingnya peranan agama dalam perubahan sosial tetap valid, baik dalam teori maupun realita. Prinsip bebas nilai dalam penelitian sosial itupun telah dibantah oleh Gunnar Myrdal, ekonom besar Swedia. Bagi Myrdal, tidak seorang penelitipun yang mampu membebaskan diri dari bias nilai. Mereka hanya menyembunyikan nilai. Karena itu dalam bukunya Objectivity in Social Research (1988) yang menganjurkan eksplitisasi nilai dalam suatu penelitian. Hal inilah yang dianut dan dipraktekkan oleh para peneliti sosial Muslim. Dalam epistemologi, tesis Hegel yang dibantah dan dijungkir-balikkan Marx itu, hingga kini tidak terbantahkan dan dianut luas di kalangan ahli-ahli ilmu sosial di seluruh dunia. Bahkan epistemologi Marx itu oleh Karl Poper dinilai sebagai paham determinisme historis yang menimbulkan sikap otoriter dan gerakan radikal.Bahkan Ilmuwan sosial yang berpijak pada peranan kesadaran individual dalam pembentukan kondisi. Bahkan Marx sendiri juga menganut peranan seorang pemimpin dan intelektual. Secara lebih mendasar, pentingnya peranan kesadaran itu telah ditulis oleh seorang Marxis sendiri, yaitu Antonia Gramnch, pendiri Partai Komunis Eropa yang menekankan pentingnya ideologi, baik dalam mempertahankan hegemoni maupun dalam perubahan sosial yang transformatif. Sjafruddin Prawiranegara juga menulis pamphlet mengenai peranan agama dalam pembangunan. Pandangan individualismesejak awal sudah ditentang oleh pandangan sosial yang disebut sosialisme atau kolektivisme.Islam sendiri sebenarnya menganggap penting peranan individu dalam konsep etika al akhlaq al karimah (budipekerti mulia), terutama dalam menciptakan keselamatan hidup. Namun Islam menganggap penting terhadap nilai
8|Page

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kamis, 3 Oktober 2013

persaudaraan (ukhuwah) dan solidaritas yang melahirkan prinsipkerja sama dalam kebaikan, berdampingan dengan prinsip berloma-lomba dalam kebaikan. Al Quran, banyak mengemukakan nilai-nilai kemasyarakatan yang dijadikan acuan dalam penelitian sosiologi maupun ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Misalnya saja prinsip amanah, atau tanggung-jawab sosial, musyawarah dalam pemecahan masalah sosial, ukhuwah, atau kerjasama dalam kebaikan, taaruf, yaitu saling belajar dan memahami pandangan orang lain dan kelompok lain. Al adl, atau keadilan dalam hukum dan kesejahteraan sosial, al mizan, atau keseimbangan dalam menilai sesuatu dan washatan, yaitu sikap moderasi dalam menghadapi ekstremitas sikap dan pandangan.Dan dalam kaitannya dengan perubahan dan transformasi sosial, Islam mengemukakan prinsip amar makruf nahi munkar dan jihad fi sabilillah. Sosiologi sebagai ilmu mengenai masyarakat berfungsi menyelidiki, di satupihak, kemungkinan penerapan nilai-nilai Qurani itu dalam pembentukan masyarakat utama (al khair al ummah). Di lain pihak menyelidiki batasan atau kendala sosial (social constraint) dalam realisasi nilai-nilai kemasyarakatan dalam islam.Namun kesemuanya itu dilakukan secara obyektif dalam arti menemukan fakta-fakta sosial.Dengan demikian, maka sosiologi Islam tidak bertentangan dengan positivisme, walaupun tidak sepenuhnya menyetujui. Beberapa ayat al quran yang bisa`dijadikan dasar pembangunan sosiologi Islam adalah, Pertama ayat yang mengatakan Allah tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah apa-apa (factor penentu) yang terdapat dalam kaum itu sendiri (Q.s. Ar-Rad (13): 11. Kedua, ayat yang mengatakan manusia akan mengalami kehinaan dimana saja kecuali yang memelihara hubungan manusia dengan Tuhan dan antara sesama manusia sendiri (Q.s. Ali Imron (3): 112). Ketiga, ayat yang mengatakan Telah timbul kerusakan di darat dan di laut akibat ulah manusia (Q.s. Ar-Rum (31): 41). Keempat, berpegang teguhlah kepada tali Allah dan janganlah berpecah belah (Q.s. Ali Imron (3): 103). Kelima Hendaklah ada di antara kaum yang membentuk suatu umat, yang mengacu kepada nilainilai keutamaan, menciptakan kebaikan dan mencegah keburukan. Dengan demikian engkau akan mencapai kebahagiaan (Q.s. Ali Imron (3): 104) ayat ini berkaitan dengan ayat lain yang mengatakan Engkau adalah sebaik-baik umat, karena menciptakan kebaikan dan mencegah keburukan dan beriman kepada Allah (Q.s. Ali Imron (3): 110). Keenam, ayat yang memerintahkan Bekerjasamalah dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah bersekongkol dalam kejahatan (Q.s. Al-Maidah (5): 2). Ketujuh, ayat yang mengatakan Telah kuciptakan kaum yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kaum saling memahami. Sesungguhnya yang terbaik di antara kaum adalah yang paling bertaqwa (Q.s. Al-Hujarat (49): 13). Ke delapan, adalah ayat-ayat dalam keseluruhan surat al Maun. Ke delapan surat al Balad, khususnya ajat (10-17). Ke sembilan, ayat yang mengatakan Bukanlah kebajikan itu menghadapkan wajahmu ke timur atau ke barat. Tetapi kebajikan adalah .. (Q.s. Al-Baqarah (2): 177). Ke sepuluh adalah ayat yang melukiskantentang Ibadurrahman. Ke sepuluh ayat-ayat sosilogis itu terangkum dalam visi Islam yang terkandung dalam ayat Sesungguhnya tidak aku mengurusmu (Muhammad), kecuali menjadi rahmat bagi sekalian alam. Sumber nilai sosiologi Islam tentangnya adalah al Quran dan Sunnah. Tetapi Ahmad Wahid dalam pandangannya mengenai sumber ajaran islam adalah Sejarah Muhammad. Al Quran dan Sunnah dalam pandangan Ahmad Wahib adalah merupakan bagian dari Sejarah Muhammad.Pandangan ini relevan untuk dipertimbangkan dalam pengembangan sosiologi Islam.Sejarah Muhammad adalah sejarah transformasi masyarakat, sehingga karena itu

9|Page

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kamis, 3 Oktober 2013

maka penelitian sosiologi dan ilmu-ilmu sosial Islam pada umumnya, perlu pula mengacu kepada Sejarah Muhamad dan transformasi social yang dibawanya. Dalam penelitian ilmu politik umpamanya, terkandung dua pendapat. Pertama mengembangkan teori-teori politik dari al quran dan al sunnah sebagai penjelasannya. Tapi kedua, sebagaimana telah dilakukan akhir-akhir ini adalah dengan meneliti Sejarah Muhammad dan para sahabatnya.Dalam pendekatan kedua itu, telah dilakukan pengkajian historis mengenai terbentuknya dan perkembangan Negara Madinah. Dalam penelitian sosiologis, dapat dilakukan penelitian yang serupa, yaitu dengan meneliti proses terbentuknya masyarakat islam, baik di masa Rasulullah, Khilafah Rashidah maupun generasi salaf. Dengan dua pendekatan itu, maka akannampak kesenjangan antara idealita dan realita. Misalnya al Quran memerintahkan persatuan. Kenyataan yang terjadi dalam sejarah adalah perpecahan yang bersumber dari apa yang disebut sebagai al fitnah al kubra atau kekacauan besar. Dengan demikian, maka sosiologi Islam mengandung dua pendekatan. Pertama pendekatan normatif dengan menggali ajaran al quran dan sunnah. Kedua, pendekatan positif, dengan meneliti realitas masyarakat dan perkembangnnya sebagai dampak dari ajaran Islam. Dalam perspektif sosiologi tranformatif, akan nampak pula diskrepensi antara nilai-nilai yang terkandung dalam al quran dan kenyataan sejarah. Dalam pembahasan perbudakan umpamanya, telah terjadi proses pembebasan melalui berbagai cara. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa dalam perkembangan masyarakat islam hingga masa modern, perbudakan dalam berbagai bentuknya masih juga ada. Demikian pula al Quran mengajarkan pemberantasan kemiskinan, namun dalam kenyataannya, hingga kini masyarakat Islam pada dasarnya adalah masyarakat yang miskin dan terkebelakang. Konsekuensi dari pendekatan positivisme itu ialah, bahwa sosiologi Islam dimulai dengan mempelajari kondisi dan perubahan transformatif masyarakat Arab dari masa sebelum ke sesudah turunnya wahyu Allah menjadi masyarakat Islam. Masyarakat Arab pra Islam disebut dalam al Quran dan Sunnah sebagai masyarakat jahiliyah (the society of ignorance). Sedangkan masyarakat Islam yang dimaksud adalah masyarakat yang perilaku warganya selamat dan menyelamatkan, sehingga terbentuk kedamaian berdasarkan keadilan dan sejahtera. Masyarakat Islam dengan demikian adalah masyarakat yang peduli terhadap kondisi diri dan lingkungannya. Transformasi lain yang disebut dalam al Quran adalah minal dhulumati ila al nur dari kegelapan menjadi pencerahan. Dengan studi sosiologi diperoleh gambaran obyektif tentang masyarakat jahiliyah dan kegelapan dengan beberapa ciri tertentu, misalnya yang paling terkenal adalah masyarakat misogini, masyarakat yang anarkis yang penuh konflik dan perpecahan dan masyarakat perbudakan yang miskin. Masyarakat gelap adalah masyarakat yang tanpa kabar (al naba) sehingga menimbulkan masyarakat yang tanpa peduli terhadap kondisi diri dan lingkungannya. Masyarakat seperti itu terjadi karena setiap orang tidak menyadari potensinya sebagai khalifah yang dianugerahi akal pikiran untuk mengetahui gejalagejala.Dengan demikian masyarakat yang tercerahkan adalah masyarakat yang sadar lingkungan karena mempergunakan akalnya, sehingga menimbulkan kepedulian terhadap kondisi diri dan lingkungannya. Berdasarkan epistemologi Kuntowidjojo tentang saintifikasi Islam, dapat dilakukan penelitian dengan mempergunakan teori Pencerahan filsuf Jerman Emmanuel Kant. tentang tipologi masyarakat. Pertama adalah masyarakat barbarism, yaitu masyarakat yang tidak mengakui negara atau otoritas kekuasaan, tidak mengenal hukum dan tanpa kebebasan, karena kondisi homo-homini lupus Thomas Hobbes yang membentuk masyarakat Laviathan.
10 | P a g e

Kuliah Umum Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kamis, 3 Oktober 2013

Kedua adalah masyarakat anarkhisme, yaitu masyarakat yang menolak kekuasaan yang memerintah dan tidak mengenal hukum, sehingga menimbulkan kebebasan mutlak. Ketiga adalah masyarakat despotism yang mengenal dan tunduk kepada kekuasaan, tetapi tanpa hukum, sehingga tidak ada kebebasan. Dan keempat adalah masyarakat yang mengakui kekuasaan dan tunduk kepada hokum sehingga menimbulkan kebebasan atau perdamaian. Masyarakat seperti itu disebut sebagai masyarakat republikanisme. Di masa jahiliyah, masyarakat Mekah mengenal negara yang dikuasai oleh orang-orang kaya pedagang yang disebut plutokrasi, tetapi sangat korup. Sementara itu masyarakat di Yathrib sebelum disebut al Madinah al Munawarah, adalah masyarakat tanpa otoritas kekuasaan sehingga yang terjadi adalah konflik dan peperangan. Dengan kepemimpinan Nabi saw, dilakukan rekonsiliasi yang menghasilkan perdamaian. Atas dasar itu disepakati oleh masyarakat yang multi-kultural itu, sebuah perjanjian atau piagam yang merupakan lembaga hukum. Karena itu masyarakat Yathrib mulai mengenal hukum dan kemudian mengakui kekuasaan yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw. Ciri utama masyarakat sesudah Piagam Madinah adalah kebebasan beragama dan mengeluarkan pendapat melalui proses musyawarah yang dimulai oleh Nabi saw dalam proses pembentukan Piagam Madinah. Ciri lain dari masyarakat Madinah adalah pluralisme, yang mengakui hak-hak dan kewajiban setiap kelompok suku, agama dan kepemimpinan. Dengan Piagam Madinah itu Yatrib berubah dari masyarakat anarkis menjadi masyarakat republik yang tercerahkan, sehingga dinamai oleh Nabi Muhammad saw sebagai al Madinah al Munawarah atau Masyarakat Yang Tercerahkan. Pendekatan sosiologi yang normatif dapat pula dilakukan yang mengacu kepada nilainilai keutamaan (al kahir an ummah). Pertama adalah perubahan masyarakat yang jahiliyah (ignorance) yang anarkhis, menjadi masyarakat yang amanah, yaitu peduli dan bertanggungjawab atas nasibnya sendiri. Kedua, terjadinya proses musyawarah (al syura) untuk memecahkan masalah bersama. Ketiga, lahirnya hubungan antar manusia yang didasarkan pada prinsip keadilan, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam pasal-pasal Piagam Madinah. Keempat adalah masyarakat yang memiliki solidaritas dan bersaudara (al ukhuwah) atau kerjasama, yang dimulai dengan kerja sama antara masyarakat pendatang atau muhajirin dan masyarakat yang menolong atau anshar, demikian juga adalah kemitraan dua orang yang dibentuk oleh nabi. Ke lima, adalah masyarakat yang saling memahami di antara individu, kelompok suku dan agama atau proses taaruf yang dianjurkan dalam surat al Hujurat (49): 13. Ke enam adalah masyarakat yang washatan atau moderasi di antara perbedaan sikap dan pandangan yang ekstrem atau masyarakat yang berkeseimbangan (al mizan), antara yang material dan spiritual. Dan ketujuh adalah masyarakat yang transformatif yang melaksanakan amar makruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan beriman kepada Allah (transendensi). Proses transformasi itu dilakukan berdasarkan semangat jihad fi sabilillah dan usaha yang berbentuk al aqobah atau pendakian tinggi sebagai proses pembebasan dari perbudakan dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Kesemuanya itu memberi dorongan untuk mengembangkan sosiologi atau ikmu-ilmu sosial transformatif, yang dimulai dengan wacana Teologi Pembebasan.Tapi dewasa ini, yang berkembang dalam Perguruan Tinggi Islam lebih mengarah kepada sosiologi dan ilmuilmu sosial transformatif, daripada teologi pembebasan. Dengan perkataan lain, yang lebih berkembang adalah kajian Islam daripada pemikiran Islam. Jakarta, 30 September 2013

11 | P a g e

You might also like