Professional Documents
Culture Documents
AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA)
- Prof Dr. Bagir Manan, SH., M.CL. -
Internasional dalam bentuk ratifikasi, “konfirmasi” dan hal ini tercermin dalam Pasal
aksesi, penerimaan dan persetujuan. (The 11 UUD 1945.2 Namun dalam praktek
international act so named whereby a State ketatanegaraan RI, yang kemudian ditafsirkan
establishes on the international plane its oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000
consent to be bound by a treaty) yang tentang Perjanjian Internasional, pengertian
diatur oleh Hukum Perjanjian Internasional. persetujuan ini bergeser menjadi “konfirmasi
DPR” ketimbang “persetujuan DPR”. Itulah
Para perumus Konvensi Wina 1969 tentang sebabnya pasal ini masih menyisakan
Perjanjian Internasional (Komisi Hukum pertanyaan mendasar tentang “apakah DPR
Internasional) menyadari adanya perbedaan ini harus terlibat membuat perjanjian sebelum
dan bahkan mengakui bahwa kedua perspektif ditandatangani atau hanya terlibat setelah
ini selalu membingungkan. Komisi secara perjanjian ditandatangani oleh Pemerintah?”
tegas menyatakan bahwa “Since it is clear that Dalam hal ini perbedaan pengertian
there is some tendency for the international “persetujuan” dengan “konfirmasi” pada
and internal procedures to be confused and lembaga pengesahan/ratifikasi menjadi sangat
since it is only international procedures which relevan. Permasalahan ini tentunya akan sangat
are relevant to international law of treaties, the terkait dengan persoalan wewenang membuat
Commission thought it desirable in the perjanjian, apakah wewenang eksklusif
definition to lay heavy emphasis on the fact eksekutif atau tidak.
that it is purely the international act to which
the terms ratification relate in the present Undang-Undang No. 24 Tahun 2000
article.”1 Namun demikian, sekalipun tentang Perjanjian Internasional per definisi
membedakannya, relasi kedua prosedur ini hanya mengatur tentang pengesahan/ratifikasi
cukup jelas bagi Komisi. Pada bagian lain, dalam perspektif Prosedur Eksternal sehingga
Komisi menegaskan bahwa Prosedur Internal berkarakter “konfirmasi”, yaitu perbuatan
harus dipenuhi untuk dapat dilaksanakannya hukum untuk mengikatkan diri pada suatu
Prosedur Eksternal. Komisi lebih lanjut Perjanjian Internasional dalam bentuk ratifikasi
menegaskan bahwa berlakunya perjanjian (ratification), aksesi (accession), penerimaan
terhadap suatu Negara ditentukan oleh (acceptance) dan penyetujuan (approval).
Prosedur Eksternal bukan Prosedur Internal. Namun demikian Undang-Undang ini juga
mengatur tentang persyaratan internal
Jika dalam Prosedur Eksternal pengertian (pengesahan/ratifikasi dengan Undang-Undang
pengesahan/ratifikasi adalah “konfirmasi” dari atau Perpres) sebagai dasar konstitusional
Negara maka pada Prosedur Internal pengertian untuk dapat melakukan pengesahan/ratifikasi
ini dapat berupa: dalam perspektif eksternal. Dalam Undang-
Undang dan praktek Indonesia, untuk Prosedur
a. “Konfirmasi”, yaitu organ Negara seperti Eksternal (yaitu penerbitan notification atau
parlemen memberikan konfirmasi terhadap instrument of ratification/ accession /
perbuatan Pemerintah yang telah acceptance/approval oleh Departemen Luar
menandatangani suatu perjanjian, atau Negeri) hanya dapat dilakukan setelah
b. “Persetujuan”, yaitu organ Negara seperti Prosedur Internal terpenuhi. Akibatnya, secara
parlemen memberikan persetujuan terlebih
dahulu terhadap perjanjian yang akan 2
Pasal 11 UUD 1945:
ditandatangani oleh Pemerintah. 1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
Negara lain.
Hukum Tata Negara RI tanpa sengaja 2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
mengartikan lembaga pengesahan/ratifikasi rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau
sebagai “persetujuan DPR” bukan mengharuskan perubahan atau pembentukkan undang-undang
harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur
1
ILC Draft Articles on the Law of Treaties and Commentaries, AJIL dengan undang-undang.
Vol 61, Jan 1967, hal. 285-294
hakiki maka Undang-Undang ini telah DPR” kedalam format Undang-Undang dan
memberikan interpretasi bahwa yang dimaksud dalam praktek istilah ini selanjutnya selalu
dengan “persetujuan DPR” pada Pasal 11 UUD diartikan secara baku sebagai
1945 adalah “konfirmasi” yang berarti bahwa “pengesahan/ratifikasi”. Pemahaman ini
keterlibatan DPR adalah untuk menerima atau kemudian terkristalisasi dalam Undang-
menolak pengesahan/ratifikasi perjanjian yang Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
sudah dibuat oleh Pemerintah bukan untuk Internasional yang secara sengaja telah
menyetujui perjanjian yang akan dibuat oleh menafsirkan kata “persetujuan DPR” pasal 11
Pemerintah. Dari kekisruhan ini maka dapat UUD 1945 sebagai “pengesahan dengan
disimpulkan bahwa telah terjadi tarik menarik bentuk Undang-Undang”. Namun tanpa
untuk mengartikan pengertian disengaja Undang-Undang No. 24 Tahun 2000
pengesahan/ratifikasi antara Hukum Tata ternyata mendefinisikan istilah
Negara dengan Hukum Perjanjian “pengesahan/ratifikasi” sebagai perbuatan
Internasional. Pasal 11 UUD 1945 sebagai hukum untuk mengikatkan diri pada suatu
produk Hukum Tata Negara bergesekan dengan Perjanjian Internasional dalam bentuk
Undang-Undang No 24 Tahun 2000 yang
sangat dipengaruhi oleh Hukum Perjanjian “Mohammad Yamin sebagai salah satu
perumus UUD 1945 pernah menyatakan
Internasional. Dalam kaitan ini, pandangan bahwa “tidak diterapkan dalam Pasal 11
Prof. Bagir Manan bahwa “wewenang untuk bentuk juridis lain daripada persetujuan
melakukan hubungan luar negeri termasuk DPR, Sehingga persetujuan DPR itu
membuat dan memasuki Perjanjian sendiri berupa apapun telah mencakupi
Internasional adalah kekuasaan eksklusif syarat formil menurut Konstitusi Pasal
11”.”
eksekutif”3 menjadi sangat relevan. Dalam hal
ini maka pengertian “persetujuan DPR” pada
Pasal 11 UUD 1945 harus diartikan sebagai ratifikasi, aksesi, penerimaan dan persetujuan.5
“konfirmasi DPR” atas perbuatan hukum Sekalipun memakai definisi eksternal, Undang-
eksekutif. Undang ini juga ternyata mengartikan
pengesahan/ratifikasi seperti yang dikenal
Format Undang-Undang sebagai dalam Prosedur Internal (misalnya pemakaian
Output dari “Persetujuan DPR”: istilah “pengesahan dengan Undang-
Formal atau Prosedural? Undang/Keppres” sehingga tanpa disengaja
telah menggunakan istilah yang sama untuk
Persoalan mendasar lainnya adalah apa pengertian yang sebenarnya berbeda.
output dari tindakan “persetujuan DPR” seperti
yang dimaksud oleh Pasal 11 UUD 1945? Selanjutnya apa konsekeunsi dari Undang-
Mohammad Yamin sebagai salah satu perumus Undang atau Perpres yang mengesahkan suatu
UUD 1945 pernah menyatakan bahwa “tidak Perjanjian terhadap Hukum Nasional (aspek
diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain internal) ternyata telah pula menimbulkan
daripada persetujuan DPR, sehingga perdebatan baik di kalangan akademisi maupun
persetujuan DPR itu sendiri berupa apapun praktisi. Masalah ini telah menjadi perdebatan
telah mencakupi syarat formil menurut dalam kerangka pergulatan teori monisme-
Konstitusi Pasal 11”.4 Dari pandangan dualisme tentang hubungan Hukum
Muhammad Yamin tersebut maka sebenarnya Internasional dan Hukum Nasional. Konstruksi
“persetujuan DPR” dapat mengambil bentuk yang tepat perihal ini (apakah monisme atau
apa pun dan hanya merupakan syarat formil dualisme) belum tercermin dalam Hukum Tata
untuk dibuatnya suatu Perjanjian Internasional. Negara Indonesia. Undang-Undang No. 24
Namun dalam perkembangan praktek Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
ketatanegaraan Indonesia output dari ternyata juga tidak dimaksudkan untuk
“persetujuan DPR” ini telah mengambil bentuk menyentuh masalah substansi aspek internal
Undang-Undang. Perkembangan ini tercermin dari pengesahan/ratifikasi ini.
dari praktek yang timbul menyusul Surat
Presiden No. 2826/HK/1960 kepada Ketua Dituangkannya “persetujuan DPR” dalam
DPR, yang selalu menuangkan “persetujuan format Undang-Undang/Perpres telah
3
Manan, Bagir Prof, Akibat Hukum di Dalam Negeri Pengesahan melahirkan diskusi baru tentang apa arti
Perjanjian Internasional (Tinjauan Hukum Tata Negara), Focussed Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan
Group Discussion, Deplu-FH UNPAD, Bandung, 29 November 2008.
4 5
Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar Pasal 1 (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
1945, Djilid Ketiga, 1960, hal. 784. Internasional
tersebut, apakah “pengaturan” atau diaplikasikan dalam Hukum Nasional
“penetapan”. Dengan formatnya sebagai adalah dalam karakternya dan formatnya
Undang-Undang/Perpres maka Hukum sebagai materi Undang-Undang/Perpres
Nasional dewasa ini cenderung dan bukan dalam karakternya sebagai
memperlakukan Undang-Undang/Perpres ini norma perjanjian. Kelompok ini menilai
sebagaimana layaknya produk legislasi yang tidak perlu lagi ada legislasi baru untuk
dengan demikian tunduk pada kaidah memberlakukan norma perjanjian
perundang-undangan. Dalam kaitan ini Prof. kedalam Hukum Nasional (dualisme?).
Bagir Manan memberi pernyataan yang sangat Pendekatan ini tampaknya tercermin pada
menarik yaitu “Jadi ada semacam kontradiksi Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
keilmuan. Di satu pihak, Perjanjian tentang Hak Asasi Manusia yang pada
Internasional ditempatkan sebagai sumber pasal 7 ayat (2) menyatakan “ketentuan
hukum yang berdiri sendiri, di pihak lain Hukum Internasional yang telah diterima
Perjanjian Internasional diberi bentuk Negara Republik Indonesia yang
peraturan perundang-undangan (Undang- menyangkut Hak Asasi Manusia menjadi
Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan Hukum Nasional.
Presiden).”6 Dari tataran praktis, pemberian
bentuk peraturan perundang-undangan b. Kedua, pandangan yang menilai Undang-
terhadap pengesahan Perjanjian Internasional Undang/Perpres yang mengesahkan suatu
telah menimbulkan berbagai pertanyaan, antara Perjanjian adalah bersifat prosedural yaitu
lain: hanya merupakan persetujuan
DPR/Presiden dalam jubah Undang-
a. Apakah Perjanjian Internasional yang Undang/Perpres. Undang-Undang/Perpres
diratifikasi oleh Undang-Undang/Perpres ini tidak memiliki efek normatif karena
dapat dibatalkan oleh perundang- hanya bersifat penetapan bukan
undangan yang lebih tinggi? pengaturan. Pandangan ini pada tahap
b. Apakah suatu Undang-Undang tidak selanjutnya akan terbagi dua, yaitu:
dapat mengakui eksistensi suatu • Pertama, pandangan yang
Perjanjian Internasional karena hanya menganggap Undang-Undang/Perpres
diratifikasi dengan Perpres? yang mengesahkan suatu Perjanjian
c. Apakah Perjanjian Internasional yang adalah ”menginkorporasi” Perjanjian
disahkan dengan Undang-Undang tidak tersebut kedalam sistem Hukum
bisa langsung diimplementasikan dengan Nasional. Dengan inkorporasi ini
Peraturan Pemerintah atau Perpres? maka Perjanjian Internasional dalam
d. Apakah Undang-Undang/Perpres yang karakternya sebagai norma Hukum
mengesahkan Perjanjian Internasional Internasional telah memiliki efek
dapat di judicial-review? normatif dan mengikat di dalam
Hukum Nasional. Keterikatan
Jika diidentifikasi dan dipetakan maka penegak hukum terhadap norma yang
secara garis besar setidak-tidaknya terdapat dua dihasilkan adalah bersumber dari
pandangan yang secara dinamis hidup dalam perjanjian itu sendiri dan bukan dari
dunia akademis dan praktisi tentang arti Undang-Undang/Perpres yang
Undang-Undang/Perpres pengesahan/ratifikasi, mengesahkan (monisme?). Pandangan
yaitu: ini tercermin dalam praktek
administrasi Negara misalnya dalam
a. Pertama, pandangan yang menilai penerapan Konvensi Wina 1961/1963
Undang-Undang/Perpres yang tentang Hubungan
mengesahkan suatu Perjanjian adalah Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi
produk Hukum Nasional (substantif) yang dengan Undang-Undang No. 1/1982.
mentransformasikan materi perjanjian ke Konvensi ini telah dijadikan dasar
dalam Hukum Nasional sehingga status hukum bagi Pemerintah untuk
perjanjian berubah menjadi Hukum memberikan pembebasan pajak serta
Nasional. Undang-Undang/Perpres ini fasilitas diplomatik lainnya kepada
telah memiliki efek normatif. Norma yang para korps diplomatik di Indonesia.
Dalam hal ini tidak diperlukan
6
“Undang-Undang No.Prof,
Manan, Bagir 24Akibat
TahunHukum2000
di Dalam Negeri Pengesahan transformasi kaidah Konvensi
Perjanjian
tentang Internasional
Perjanjian (Tinjauan Hukum Tata Negara), Focussed
Internasional
Group Discussion, Deplu-FH UNPAD, Bandung, 29 November 2008.
kedalam Hukum Nasional dan bahkan
ternyata juga tidak dimaksudkan untuk
menyentuh masalah substansi aspek
internal dari pengesahan/ratifikasi ini.”
sampai saat ini tidak ada legislasi Keppres sehingga diberlakukan logika hirarki
nasional yang memuat kaidah perundang-undangan.
konvensi ini.
• Kedua, pandangan yang menganggap
Undang-Undang/Perpres yang “Apapun pandangan yang hendak dianut
oleh Indonesia hendaknya dapat
mengesahkan suatu Perjanjian hanya ditegaskan dalam sistem hukum
sekedar jubah persetujuan Indonesia baik dalam suatu doktrin
DPR/Presiden kepada Pemerintah RI maupun aturan konstitusi/legislasi guna
untuk mengikatkan diri pada tataran menciptakan kepastian hukum serta
Hukum Internasional dan belum prinsip “predictability” baik kalangan
akademisi khususnya praktisi seperti
mengikat pada tataran Hukum
diplomat.”
Nasional. Untuk itu masih dibutuhkan
legislasi nasional tersendiri untuk
mengkonversikan materi perjanjian Implikasi juridis dari peningkatan status
menjadi materi Hukum Nasional. ratifikasi ini akan muncul terhadap Hukum
Tanpa legislasi nasional ini maka Internasional. Dari sisi Hukum Internasional
Indonesia sebagai subjek Hukum ratifikasi adalah pernyataan “consent to be
Internasional hanya terikat pada bound by a treaty” yang bersifat “eenmalig”
tataran internasional, sedangkan (satu kali saja/final) dan tidak melihat
warganegaranya tidak terikat bagaimana Hukum Tata Negara mengatur
(dualisme?). Pandangan ini misalnya mengenai pernyataan ini. Dengan kata lain,
tercermin dalam praktek Indonesia pada saat Indonesia telah menyatakan
menyikapi UNCLOS 1982 yang persetujuan untuk terikat pada Konvensi ini
diratifikasi dengan Undang-Undang melalui ratifikasi, maka pada saat itu pula
No. 17/1985. Undang-Undang ini Konvensi ini berlaku (entry into force) bagi
hanya bersifat prosedural sehingga Indonesia. Peningkatan status ratifikasi (dari
masih dibutuhkan suatu Undang- Keppres ke Undang-Undang) tidak akan dapat
Undang lain yang mempengaruhi/mengubah status Konvensi vis
mentransformasikan UNCLOS 1982 a vis Indonesia. Dalam hal ini, peningkatan
ke dalam Hukum Nasional, yaitu status Keppres menjadi Undang-Undang tidak
Undang-Undang No. 6/1996 tentang akan mungkin dilanjutkan dengan
Perairan yang pada hakekatnya adalah penyampaian ratifikasi baru kepada Sekjen
penulisan kembali (“copy paste”) PBB karena “peningkatan tingkat ratifikasi”
pasal-pasal pada UNCLOS 1982. tidak dikenal dalam Hukum Internasional.
Undang-Undang No. 6/1996 inilah
(bukan Undang-Undang No. 17/1985) Di lain pihak, pandangan kedua akan
yang mencabut Undang-Undang No. menolak gagasan peningkatan status ratifikasi
4/1960 tentang Perairan Indonesia. ini. Menurut mereka Keppres No. 36 Tahun
Permasalahan praktis yang muncul dewasa 1990 bersifat prosedural yang mengantar
ini yang bersumber dari tarik menarik antara Indonesia menjadi terikat pada Konvensi
perbedaan berbagai pandangan tersebut adalah tentang Hak Anak. Pandangan bahwa Keppres
adanya gagasan untuk meningkatkan status ini hanya bersifat prosedural didasarkan pada
Keppres No. 36 Tahun 1990 (yang meratifikasi fakta hukum bahwa berlakunya Konvensi ini
Konvensi tentang Hak Anak 1989) menjadi terhadap Indonesia tidak secara langsung
Undang-Undang dengan dalih bahwa disebabkan oleh Keppres ini melainkan
kedudukannya sebagai Keppres telah disebabkan oleh “instrument of ratification”
mempersulit untuk dikeluarkannya Undang- yang disampaikan oleh Indonesia kepada
Undang atau Peraturan Pemerintah guna Depository (Sekjen PBB). Berlakunya
mengimplementasikan Konvensi ini. Produk Konvensi terhadap Indonesia bukan pada
setingkat Undang-Undang (seperti Undang- tanggal berlakunya Keppres melainkan pada
Undang No. 23 Tahun 2002 tentang tanggal diserahkannya “instrument of
Perlindungan Anak) tidak bisa merujuk atau ratification” kepada depository.
mendasarkan pada Konvensi tentang Hak Anak
dengan alasan bahwa Konvensi ini berstatus Berdasarkan padangan kedua ini maka
Keppres. Pemikiran ini mewakili pandangan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
yang melihat Keppres 36 Tahun 1990 sebagai Perlindungan Anak seharusnya tidak perlu
produk substantif sebagaimana layaknya suatu merujuk Keppres ini namun langsung merujuk
pada Konvensi-nya. Menurut pandangan ini, Sekalipun Hukum Tata Negara Indonesia
seyogyanya tidak ada persoalan untuk belum memberi ketegasan tentang arti dan
mengeluarkan produk legislasi (Undang- konsekuesi hukum dari suatu
Undang atau Peraturan Pemerintah) untuk pengesahan/ratifikasi, setelah melalui
mengimplementasikan Konvensi ini karena pembahasan dan kajian yang intensif dengan
yang diimplementasikan adalah Konvensi berbagai kelompok akademis tentang
tentang Hak Anak (sebagai norma Hukum pengertian pengesahan/ratifikasi ini maka
Internasional yang telah berlaku bagi kecenderungan kuat sebaiknya diarahkan pada
Indonesia) bukan Keppres No. 36 Tahun 1990 konstruksi pemahaman tentang
sebagai suatu produk legislasi. pengesahan/ratifikasi sbb:
Pandangan ini juga akan cenderung a. Pengesahan pada hakekatnya adalah the
mengusulkan bahwa seyogyanya pada international act so named whereby a
preamble Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 State establishes on the international
Kedua: berdasarkan praktek ketatanegaraan. Ilmu Hukum Indonesia atau Ilmu Tata
Hukum Indonesia, mengajukan berbagai
Telah menjadi praktek ketatanegaraan sumber hukum formal – antara lain – peraturan
(konvensi) setiap Perjanjian Internasional yang perundang-undangan dan Perjanjian
memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk Internasional (traktat, treaty). Dua sumber
Undang-Undang. Di masa sebelum Undang- tersebut terpisah masing-masing berdiri sendiri.
Undang No. 24 Tahun 2000, berlaku pedoman
atas dasar Surat Presiden No. 2826/HK/60. 10
Lihat, KC. Wheare, Modern Constitutions….
Surat ini dikeluarkan sebagai jawaban atas surat 11
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 9 ayat (2): “Pengesahan
Ketua DPR meminta ketegasan Pemerintah Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden. Undang-Undang No. 24
mengenai bentuk Tahun 2000, Pasal 10 “Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan
“Jadi ada semacam kontradiksi
hukum Perjanjian keilmuan. Disatu pihak,dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan:
a. masalahPerjanjian
politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan Negara.
Internasional, baik yang Internasional ditempatkan
b. Perubahan wilayah
sebagai atau penetapan batas wilayah Negara Republik
Indonesia.
9
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasalsumber hukumc. yang
1 angka 1: “Perjanjian berdiri
Kedaulatan atau hak berdaulat Negara.
Internasional adalah perjanjian, dalam bentuksendiri, dipihak
dan nama tertentu, yang d.lain
HakPerjanjian
asasi manusia dan lingkungan hidup.
diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta e. Pembentukan kaidah hukum baru.
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukumInternasional
publik”. diberi
f. bentuk
Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
peraturan perundang-undangan.”
(Undang-Undang atau Keputusan
Presiden/Peraturan Presiden)”.
Tetapi dipihak lain, setiap Perjanjian Berdasarkan sistem pembagian kekuasaan
Internasional yang dibuat atau dimasuki diberi Negara, apalagi pemisahan kekuasaan,
bentuk Hukum Nasional yaitu Undang-Undang hubungan luar negeri termasuk membuat atau
atau Keputusan Presiden (sekarang, lebih tepat memasuki Perjanjian Internasional masuk ke
Peraturan Presiden).12 Undang-Undang dan dalam lingkungan kekuasaan eksekutif bahkan
Keputusan Presiden yang bersifat mengatur sebagai kekuasaan eksklusif (exclusive power)
(Peraturan Presiden), adalah peraturan eksekutif (dhi. Presiden atau Pemerintah yang
perundang-undangan. Dengan demikian bertindak atas kuasa atau atas nama Presiden).
ditinjau dari sumber hukum, Perjanjian Jadi, kalau pernah ada pengesahan suatu
Internasional (traktat, treaty), bukan sumber Perjanjian Internasional atas inisiatif DPR
hukum yang berdiri sendiri, melainkan masuk merupakan suatu penyimpangan atas Asas
sebagai salah satu sumber peraturan perundang- Pembagian Kekuasaan sebagai kekuasaan
undangan. Jadi ada semacam kontradiksi eksklusif Presiden (Pemerintah). Hal ini serupa
keilmuan. Disatu pihak, Perjanjian dengan hak budget. Meskipun DPR mempunyai
Internasional ditempatkan sebagai sumber hak budget, tetapi tidak mempunyai hak
hukum yang berdiri sendiri, dipihak lain inisiatif mengajukan RUU APBN. Membuat
Perjanjian Internasional diberi bentuk peraturan dan melaksanakan APBN adalah kekuasaan
perundang-undangan (Undang-Undang atau eksekutif, bahkan lebih khusus sebagai
Keputusan Presiden/Peraturan Presiden). kekuasaan administrasi Negara. Hal semacam
ini dapat diperluas pada yang dalam ilmu
Sistematik keilmuan ini berbeda dengan hukum disebut “Undang-Undang formil”
misalnya pada Negara-Negara Uni Eropa (27 (formeel wet)13 lain, seperti Undang-Undang
Negara). Semua anggota Uni Eropa tidak pembentukan daerah otonom, pembentukan
memberi bentuk peraturan perundang-undangan pengadilan tinggi, semestinya inisiatif hanya
nasional (seperti Undang-Undang). Perjanjian pada Presiden. Dalam praktek dijumpai
antar anggota Uni Eropa dan peraturan- pembentukan Kabupaten, Kota, Propinsi atas
peraturan yang ditetapkan Uni Eropa, inisiatif DPR.
berkedudukan lebih tinggi dari semua peraturan
perundang-undangan nasional. Bahkan UUD Kedua, DPR tidak mempunyai Hak
harus menyesuaikan dengan traktat Uni Eropa. Amandemen dalam pengesahan Perjanjian
Perjanjian Internasional, khususnya perjanjian Internasional. DPR hanya berwenang
antar anggota, berada pada urutan teratas menyetujui atau tidak menyetujui, menerima
sumber hukum. Dengan demikian, Perjanjian atau menolak mengesahkan suatu Perjanjian
Internasional (traktat, treaty), memang Internasional. Rancangan Undang-Undang
mempunyai bentuk hukum tersendiri terpisah suatu Perjanjian Internasional adalah hasil
dari peraturan perundang-undangan nasional, kesepakatan yang sudah diparaf oleh masing-
seperti Undang-Undang. masing Pemerintah. Dalam hal memasuki
Perjanjian Internasional, DPR hanya setuju atau
Kembali kepada memberi bentuk Undang- tidak setuju mengikatkan diri pada Perjanjian
Undang Perjanjian Internasional. Sebagai Internasional yang sudah ada. Jadi, kalau DPR,
konsekuensi diberi bentuk Undang-Undang, baik di dalam atau di luar sidang berpendapat
maka segala tata cara membentuk Undang- agar ada perubahan isi suatu Perjanjian
Undang berlaku pada peraturan perundang- Internasional, sebagai syarat pengesahan,
undangan Perjanjian “DPR tidak mempunyai hak merupakan sesuatu
Internasional, kecuali: amandemen dalam pengesahan ucapan atau tindakan
Perjanjian Internasional. DPR tanpa wewenang.
Pertama, hak inisiatif hanya berwenang menyetujui atau
membuat atau tidak menyetujui, menerima atau Setiap Undang-
memasuki suatu menolak mengesahkan suatu Undang akan serta
Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional.” merta mengikat setelah
semata-mata ada pada segala tata cara
Presiden. DPR tidak
13
mempunyai hak Undang-undang formil (formeel wet) berbeda dengan Undang-
Undang dalam arti formil (wet in formeel zijn). Undang-undang formil
inisiatif membuat atau memasuki suatu adalah Undang-Undang yang dinamakan Undang-Undang karena cara
Perjanjian Internasional. Mengapa? pembentukannya sehingga diberi nama Undang-Undang. Undang-undang
formil tidak memenuhi kriteria mengikat (secara ) umum, bahkan isinya
lebih merupakan sebuah “beschikking”. Berbeda dengan Undang-Undang
12
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan dalam arti formil. Selain berbentuk Undang-Undang, juga mengikat
Perundang-undangan. (secara) umum.
melahirkan Undang - Undang dipenuhi, kecuali serta merta mengikat, kecuali Undang-Undang
: tersebut menentukan lain.
(1) Undang-Undang itu sendiri menyatakan
saat (waktu) mulai berlaku. Salah satu tata cara yang perlu dicatat
(2) Undang-Undang itu sendiri menyatakan adalah “memuat dalam Lembaran Negara”.
akan berlaku setelah ada peraturan UUD 1945 (termasuk setelah perubahan), tidak
pelaksana (implementing regulation). memuat fungsi hukum “memuat dalam
Lembaran Negara”. Berbeda dengan UUDS ’50
Suatu contoh, Undang-Undang tentang yang menegaskan: “Pengundangan, terjadi
Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang dalam bentuk menurut Undang-Undang, adalah
No. 5 Tahun 1986). Undang-undang ini syarat tunggal untuk kekuatan mengikat”. Hal
menegaskan akan berlaku setelah lima tahun serupa dalam Konstitusi RIS. Demikian pula
dan ada peraturan pelaksana (Peraturan dalam AB dan IS.14
Pemerintah).
Bagaimana praktek ketatanegaraan yang
Kasus yang sama berlaku juga pada berlaku. Ketentuan wajib memuat dalam
Undang-Undang Perjanjian Internasional. Lembaran Negara dimuat dalam Undang-
Undang-Undang Perjanjian Internasional akan Undang yang bersangkutan dengan
serta merta berlaku sebagaimana Undang- menyebutkan: “Agar setiap orang dapat
Undang pada umumnya, sepanjang tidak ada mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
ketentuan pengecualian di atas. Khusus untuk Undang-Undang ini melalui Lembaran Negara
Undang-Undang Perjanjian Internasional dapat Republik Indonesia”.
ditambahkan klausula lain sehingga tidak serta
merta berlaku. Secara kebahasaan, ketentuan di atas
(1) Syarat jumlah Negara penandatangan. seolah-olah hanya bersifat pengumuman (agar
Misalnya setelah ditandatangani lebih dari setiap orang mengetahui). Apakah sekedar
separoh anggota PBB. pengumuman?
(2) Mencantumkan syarat peraturan
pelaksanaan (implementing regulation) baik Ketentuan “agar setiap orang mengetahui...”
untuk seluruh atau pasal-pasal tertentu. merupakan pengejawantahan fiksi hukum:
Misalnya, terhadap ketentuan yang “setiap orang dianggap mengetahui Undang-
menimbulkan kewajiban pada warga negara Undang”. Setiap Undang-Undang atau
(kewajiban individual). peraturan yang telah dimuat dalam Lembaran
(3) Memerlukan penyesuaian hukum nasional, Negara, tidak ada lagi alasan mengatakan tidak
seperti penyesuaian UUD yang memuat mengetahui, karena itu tidak terikat. Dengan
ketentuan berbeda dengan Perjanjian perkataan lain, memuat dalam Lembaran
Internasional yang bersangkutan. Negara yang secara kebahasaan seolah-olah
(4) Praktek ketatanegaraan yang senantiasa sekedar untuk diketahui (mengetahui), secara
memerlukan peraturan pelaksana sebagai substantif mengandung arti dengan dimuat
syarat Perjanjian Internasional berlaku dalam Lembaran Negara berarti setiap orang
efektif. Praktek ini seyogyanya tidak terikat. Karena itu Undang-Undang tentang
berlaku bagi Negara yang memberi bentuk suatu Perjanjian Internasional dimuat dalam
Undang-Undang “Harus diakui ada kemungkinan suatu Lembaran Negara,
pada Perjanjian Undang-Undang Perjanjian Internasional, maka dengan
Internasional. seperti juga Undang-Undang lain, sendirinya mempunyai
mengatur sesuatu sangat umum, lebih- kekuatan mengikat,
Di atas telah lebih kalau akan berlaku pada individu,
sehingga memerlukan peraturan
dikemukakan, pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan
sepanjang Undang- dibuat karena kebutuhan 14 penerapan,
UUDS’ 50, Pasal 100 ayat (2), menggunakan kata “pengundangan”,
Undang Perjanjian bukan sebagai syarat berlaku
Konstitusi efektif.
RIS, Pasal ” (2) menggunakan kata “pengumuman”
143 ayat
Internasional telah dengan maksud yang sama yaitu “pengundangan”. Dalam terjemahan
bahasa Belanda, baik UUDS’ 50 Pasal 100 ayat (2) maupun Konstitusi RIS
dibuat dengan tata cara Pasal 143 ayat (2), sama-sama diterjemahkan “afkondiging” yang secara
yang diatur Undang- baku diartikan ”pengundangan”.
AB, Pasal 1: “De bepalingen door de Koning, of, in zijnen noam, door den
Undang (Undang- Gouverneur General vosgesteld, verkrijgen in Indonesie kracht van wet
Undang No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Tata door hare afkondiging, in de vorm bebuald bij het reglement op het beleid
der regering”.
Tertib DPR), Undang-Undang tersebut akan IS, Pasal 95 ayat (2): “Die afkondiging wordt gerekend geschied te zijn
door plaatsing in het Staatsblad van wed-indie. Zij is, in geldigen vorm
geschied, de eenige voorwaarde der verbindbaarheid”.
kecuali kalau ada klausula yang sudah Perjanjian Internasional yang berbentuk
diuraikan di atas. Undang-Undang, maka berlaku asas dan
ketentuan berlakunya suatu Undang-Undang.
Persoalannya, mungkin ditinjau dari bentuk Karena sudah ada Undang-Undang (Undang-
hukum dan prinsip-prinsip pembentukan Undang No. 24 Tahun 2000) yang mengatur
Undang-Undang, sudah semestinya Undang- Perjanjian Internasional dalam bentuk Undang-
Undang Perjanjian Internasional mengikat, Undang, maka segala sesuatu harus diselesaikan
tetapi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 dengan bentuk Undang-Undang termasuk tata
sebagai Undang-Undang yang mengatur tata cara berlaku suatu Undang-Undang.
cara membuat atau memasuki Perjanjian
Internasional, tidak mencantumkan ketentuan Harus diakui ada kemungkinan suatu
mengikat tersebut. Lebih-lebih lagi jika Undang-Undang Perjanjian Internasional,
dihubungkan dengan praktek ketatanegaraan seperti juga Undang-Undang lain, mengatur
yang selalu menyediakan peraturan pelaksanaan sesuatu sangat umum, lebih-lebih kalau akan
agar Perjanjian Internasional berlaku efektif. berlaku pada individu, sehingga memerlukan
Bukankah dalam keadaan semacam itu, praktek peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan
ketatanegaraan yang telah menjadi konvensi dibuat karena kebutuhan penerapan, bukan
mempunyai kedudukan kuat, bahkan lebih sebagai syarat berlaku efektif.
kuat?
Penutup
Acap kali ada kekeliruan (misleading)
mengartikan hubungan antara hukum atau Ditinjau dari teori dan tata cara
peraturan perundang-undangan yang umum pembentukkan Undang-Undang, suatu Undang-
dengan yang khusus. Seolah-olah yang khusus Undang yang materi muatannya berasal dari
harus atau pasti mengesampingkan yang umum. Perjanjian Internasional akan serta merta
Semestinya tidak demikian. Prinsip yang benar mengikat seperti Undang-Undang lainnya.
adalah, ketentuan-ketentuan yang bersifat
umum tetap berlaku pada peraturan khusus Agar suatu Undang-Undang yang materi
yang bersangkutan. Mari simak bunyi Pasal 1 muatannya bersumber dari Perjanjian
KUH Dagang: “Ketentuan-ketentuan KUH Internasional tidak perlu memerlukan Undang-
Perdata, sepanjang tidak diatur khusus dalam Undang atau peraturan pelaksanaan
Kitab Undang-Undang ini (maksudnya KUH (implementing regulation), kecuali Undang-
Dagang) tetap berlaku (diterapkan). Hal serupa Undang tersebut menentukan sendiri peraturan
dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 pelaksanaan.
yang tidak mengatur berbagai akibat hukum
PROF. DR. BAGIR MANAN, SH., M.CL.
Bagir Manan adalah Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung,
kelahiran Lampung, 6 Oktober 1941. Pada
tahun 2001, beliau diangkat menjadi Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Kariernya di bidang hukum tergolong panjang.
Ia pernah menjabat sebagai Dirjen Hukum
dan Perundang-undangan Departemen
Kehakiman. Sebelumnya, ia menjabat Direktur
Perundang-undangan Ditjen Hukum dan
Perundang-undangan Departemen Kehakiman
(1990-1995), serta dosen luar biasa di UI,
UGM dan sejumlah perguruan tinggi lain. Ia
alumnus FH Unpad (1967), Master of
Comparative Law Southern Methodist di
University Law School Dallas Texas AS (1981),
dan doktor ilmu hukum tata negara lulusan
Unpad tahun 1990.
DR. HARJONO, SH., M.CL.
Di dalam sistem Civil Law atau Statute Law Karenanya sebagai sumber hukum utama,
System (Sistem Hukum Perundang-undangan). yakni hukum positif yang berlaku, maka
Sumber hukum utamanya adalah Hukum Hakim harus menerapkan Perjanjian
Positif dalam bentuk kodifikasi. Berdasarkan Internasional yang telah disahkan tsb. dalam
asas konkordansi, sistem ini dianut di Indonesia pertimbangan jurisdiksinya.
sampai sekarang.
Hakim terikat dengan Perjanjian
Salah satu ciri pokok Hukum Positif adalah Internasional tersebut yang tentunya dengan
diciptakan secara formil yakni sengaja segala reservation sebagaimana political law
diciptakan secara tertulis, penciptaannya dari Pemerintah RI.
melalui proses dan prosedur yang ditentukan
Hukum Tata Negara dan yang berwenang Maka jelaslah dalam memutus suatu
menciptanya hanya Badan yang secara perkara yang ada hubungannya dengan
konstitusional ditetapkan dalam UUD. Perjanjian Internasional, Hakim terikat dengan
Perjanjian Internasional yang telah disahkan
Di Indonesia penciptaan Undang-Undang oleh Pemerintah RI, yang biasanya masih
telah ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) dan memerlukan Undang-Undang lagi secara
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, (pembahasan nasional dalam implementasinya.
pertama UUD 1945, tanggal 19 Oktober 1999).
2) Apabila Hakim tidak menemukan Mengenai aspek social justice, Hakim
peraturan perundang-undangan atau harus mempertimbangkan pula dalam
peraturannya tidak jelas, untuk dasar mengadili suatu kasus, tentang aspek
pertimbangan putusan, Hakim dapat sosiologinya yakni tentang pendapat
menemukan dari sumber hukum tidak tertulis, masyarakat mengenai kasus yang dimaksud.
dalam hal ini hukum adat yang masih tetap Namun Hakim tidak diperkenankan semata-
diakui sebagai tata hukum di Indonesia. mata mengikuti Public Opinion ini, yang
Kebijakan politik hukum tersebut masih tetap akhirnya akan bertentangan dengan kebebasan
dipertahankan dalam pasal 25 ayat (1) Undang- Hakim sebagaimana diamanatkan oleh pasal 1
Undang No. 4 Th 2004 tentang Kekuasaan Undang-Undang No 4 Th 2004 tentang
Kehakiman. Kekuasaan Kehakiman bahwa; Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
3) Sumber lain tempat Hakim mencari dan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
menemukan hukum yang hendak diterapkan guna menegakkan hukum dan keadilan
dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
adalah Yurisprudensi. Bila suatu kasus yang Negara Hukum RI. Kekuasaan Kehakiman
disengketakan tidak diketemukan aturan yang merdeka mengandung pengertian bahwa
hukumnya dalam hukum positif dan juga tidak kekuasaan kehakiman bebas dari segala
ada dijumpai dalam hukum tidak tertulis, campur tangan pihak kekuasaan ekstra
Hakim dibenarkan mencari dan menemukannya yudisial. Jadi dalam memeriksa dan
dari Yurisprudensi. mengambil suatu putusan, Hakim diharuskan
pula memperhatikan aspek sosiologisnya, agar
Mengapa Hakim berkewajiban mencari dan putusan tersebut berimbang antara segi
menemukan hukum obyektif atau hukum Juridisnya dan segi pendapat
materiil yang akan diterapkan dalam perkara umum/masyarakat terhadap suatu kasus.
yang sedang diperiksa yang selanjutnya akan
diputus; hal ini disebabkan karena adanya asas; Sedang mengenai aspek filosofinya (
bahwa pengadilan / Hakim tidak boleh menolak moral justice ) yang melandasi Hakim dalam
memeriksa dan mengadili perkara dan adanya memeriksa dan mengambil suatu putusan
asas / prinsip JUS CURIA NOVIT. adalah tidak kalah pentingnya. Sebagai bangsa
yang religius, Hakim akan menyandarkan
Asas bahwa pengadilan / Hakim tidak boleh putusannya pada sang Khalik, yang
menolak memeriksa dan mengadili perkara dimanifestasikan dengan irah-irah dalam suatu
dengan dalih hukum yang mengatur tidak ada putusan “DEMI KEADILAN
atau kurang jelas tertera dalam pasal 16 ayat (1) BERDASARKAN KETUHANAN YANG
Undang-Undang No. 4 tentang Kekuasaan MAHA ESA”. Dasar filosofinya adalah bahwa
Kehakiman. putusan yang telah diambil oleh Hakim itu
diserahkan dan diharapkan mendekati rasa
Dalam hal apabila memang tidak ada atau keadilan hakiki yang adanya hanya pada
kurang jelas hukumnya, Hakim wajib untuk kekuasaan Allah semata. Hal ini diupayakan
memeriksa dan mengadilinya, dengan cara oleh Hakim dalam memeriksa dan mengambil
berpedoman pada ketentuan pasal 28 ayat (1) putusan perkara yang diajukan kepadanya,
Undang-Undang No. 4 Th 2004 tentang dengan landasan nurani yang jernih dan
Kekuasaan Kehakiman, yakni Hakim sebagai bening, diserahkan kepada KEADILAN yang
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, Agung milik Tuhan Yang Maha Esa.
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat. III. Berdasarkan uraian bagaimana Hakim
dalam memeriksa dan mengambil suatu
Berdasarkan adagium Jus Curia Novit, putusan seperti tersebut diatas, lalu
Hakim dianggap mengetahui dan memahami bagaimana Hakim mengakomodasikan
segala hukum, dengan demikian Hakim yang hukum materiil yakni hukum positif
berwenang menentukan hukum obyektif / yang berlaku di Indonesia termasuk
materiil mana yang harus diterapkan sesuai Hukum Internasional yang sudah
dengan materi pokok perkara yang menyangkut ditransformasikan ke dalam Hukum
hubungan hukum pihak-pihak yang bersengketa Nasional dalam putusannya dapat
in konkreto. dijelaskan sbb;
Telah diuraikan di depan bahwa sebagai
hukum positif yang berlaku, perjanjian- Menurut E. BARNETT, bila terjadi rasa
perjanjian internasional yang telah disahkan keadilan berbenturan dengan hukum positif
Pemerintah RI, bagi para Hakim tentu terikat atau peraturan perundang-undangan yang
padanya, karena dalam memeriksa dan berlaku, maka agar kepastian hukum selaras
memutus perkara-perkara yang ada dengan rasa keadilan, hukum positif atau
relevansinya dengan Perjanjian Internasional perundang-undangan yang ada perlu
yang telah disahkan tersebut, niscaya Hakim “diluweskan”.
akan mencari dan menemukan hukum positif
dari Perjanjian Internasional dimaksud yang Jadi dalam mengakomodasi peraturan
akan diterapkan ke dalam pertimbangan dan perundang-undangan sebagai hukum positif
putusannya, sesuai dengan aspek Juridisnya. termasuk Hukum Internasional tidak secara
mutlak, harus disesuaikan dengan kondisi dan
Di dalam mengakomodasikan hukum- rasa keadilan baik rasa keadilan masyarakat
hukum / peraturan-peraturan pada putusannya dan rasa keadilan Hakim sendiri.
termasuk hukum internasional, seorang Hakim
tidak terpaku dalam pandangan yang legalistik. IV. Dari analisa sederhana ini dapat
Sebab disamping Hakim harus menerapkan disimpulkan bahwa;
segala peraturan perundang-undangan dan
hukum positif yang berlaku, Ia harus pula a) Di dalam membuat putusan, Hakim
dituntut untuk menerapkan rasa keadilan yang terikat dengan hukum positif yang
pada galibnya sering berbenturan dengan berlaku termasuk Perjanjian-Perjanjian
hukum positif yang berlaku, yang berupa Internasional yang telah disahkan oleh
Undang-Undang. Pemerintah RI, namun keterikatannya
itu tidak mutlak, disesuaikan dengan
Memang benar menerapkan hukum positif kondisi dan keadilan masyarakat atau
secara mutlak itu bertujuan untuk mencapai bangsa Indonesia sebagai Negara yang
kepastian hukum. Namun bila kepastian hukum bermartabat.
tercapai tetapi dengan mengorbankan rasa
keadilan, adalah merupakan suatu b) Sesuai dengan keterikatan Hakim terhadap
ketidakseimbangan. Perjanjian Internasional diatas, maka
Hakim dalam mengakomodasi Hukum
Dipaparkan disini dengan contoh, mengenai Internasional dalam putusan-putusannya
Undang-Undang No. 5 Th 1997 tentang adalah tidak secara mutlak pula. Bila
Psikotropika yang dibuat oleh Pemerintah RI Hukum Internasional tersebut tidak sesuai
berdasarkan Pengesahan Convention On dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia
Psychotropic Substances 1971 (dengan dan kondisi kepentingan bangsa serta tertib
Undang-Undang No. 8 Th 1996). Bila misalnya hukum Indonesia, maka Hakim dapat
ada seorang pelajar / mahasiswa tanpa hak “meluweskan” Hukum Internasional yang
memiliki, menyimpan dan atau membawa 1 akan diterapkan di dalam putusan Hakim
(satu) butir atau ½ (setengah) butir pil ekstasi tersebut.
golongan I, kemudian tertangkap tangan apakah
harus dipidana penjara minimum 4 Tahun dan Demikian tentang sedikit uraian topik
denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- diatas, dengan catatan bahwa pendapat dan
sebagaimana ketentuan pasal 59 Undang- pemikiran ini adalah pemikiran pribadi penulis
Undang No. 5 Tahun 1997 tentang sebagai Hakim yang di dukung oleh sebagian
Psikotropika. Dalam hal seperti ini rasa besar rekan-rekan Hakim Tinggi Jawa Timur
keadilan terasa terusik bila dihadapkan dengan namun tidak mewakili pendapat dan pemikiran
hukum positif yang berlaku berupa Undang- semua Hakim di Indonesia.
Undang meskipun maksud pembuat Undang-
Undang dalam penjatuhan pidananya bukan
kepada kuantitas obyek (barangnya).
Dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang Prosedur dan metode yang digunakan
yang ada sekarang, belum ada ketentuan Negara merupakan suatu kelanjutan proses,
(pasal), yang secara tersendiri menentukan yang dimulai dengan penutupan (persetujuan)
sikap Indonesia. Bertumpu pada pengakuan suatu Perjanjian Internasional. Tidak ada
Indonesia terhadap keberadaan Hukum transformasi. Tidak ada penciptaan
Internasional, Indonesia menganut paham (pembuatan) aturan hukum atau Hukum
monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia Nasional yang benar-benar baru. Yang
cenderung pada monisme dengan pengutamaan dilakukan hanya merupakan kelanjutan
Hukum Internasional. (perpanjangan) dari satu perbuatan penciptaan
yang tunggal. Syarat-syarat konstitusional
Masalah berikutnya yang perlu diperhatikan hukum nasional hanya merupakan bagian dari
adalah bagaimanakah penerapan Hukum satu kesatuan mekanisme penciptaan
Internasional dalam ranah Hukum Nasional (pembuatan) hukum.
Indonesia. Mengenai hal ini ada beberapa teori
yang dikenal dalam Hukum Internasional, yaitu Cukup sulit menetapkan teori apa yang
teori transformasi, delegasi, dan inkorporasi. digunakan Indonesia. Indonesia tidak secara
tegas-tegas menerima teori inkorporasi. Tetapi
Menurut teori inkorporasi Hukum Indonesia nampak cenderung secara diam-
Internasional dapat diterapkan dalam Hukum diam menggunakan teori inkorporasi. Dalam
Nasional secara otomatis tanpa adopsi khusus. menerapkan Hukum Kebiasaan Internasional
Hukum Internasional dianggap sudah menyatu dan Hukum Internasional universal, Indonesia
ke dalam Hukum Nasional. Teori ini berlaku tidak pernah melakukan tindakan yang dapat
untuk penerapan Hukum Kebiasaan dikategorikan sebagai adopsi khusus.
Internasional dan Hukum Internasional
universal. Indonesia nampak tidak sepenuhnya
menggunakan teori transformasi. Dalam
Dalam penerapan Hukum Internasional, penerapan Perjanjian-Perjanjian Internasional
yang bersumber dari Perjanjian Internasional yang berlakunya tidak memerlukan ratifikasi,
ada dua teori, yaitu teori transformasi dan teori Indonesia belum pernah membuat perundang-
delegasi. Berdasarkan teori transformasi, undangan yang mengatur substansi perjanjian
Hukum Internasional yang bersumber dari yang telah ditandatangani.
Perjanjian Internasional dapat diterapkan di
dalam Hukum Nasional apabila sudah Berkenaan dengan Perjanjian-perjanjian
dijelmakan (ditransformasi) ke dalam Hukum Internasional yang berlakunya memerlukan
Nasional, secara formal dan substantif. Teori ratifikasi, Indonesia dapat dianggap ingin
transformasi mendasarkan diri pada pendapat menggunakan teori transformasi. Pengesahan
pandangan positivis, bahwa aturan-aturan perjanjian-perjanjian tersebut dituangkan
Hukum Internasional tidak dapat secara dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan
langsung dan “ex proprio vigore” diterapkan Presiden. Dalam hal ini dapat dianggap terjadi
dalam Hukum Nasional. Demikian juga penjelmaan dari Hukum Internasional menjadi
sebaliknya. Hukum Internasional dan Hukum Hukum Nasional. Akan tetapi perjanjian yang
Nasional merupakan sistem hukum yang benar- disahkan dilampirkan begitu saja seperti
benar terpisah, dan secara struktur merupakan aslinya, bukan dalam bentuk perundang-
sistem hukum yang berbeda. Untuk dapat undangan formal mengenai substansi
diterapkan ke dalam Hukum Nasional perlu perjanjian yang bersangkutan. Indonesia secara
proses adopsi khusus atau inkorporasi khusus. diam-diam menerima bahwa perjanjian yang
bersangkutan sudah menyatu dalam Hukum
Menurut teori delegasi, aturan-aturan Nasional. Untuk sepenuhnya menggunakan
konstitusional Hukum Internasional teori transformasi perlu dilampirkan
mendelegasikan kepada masing-masing perundang-undangan yang mengatur mengenai
konstitusi Negara, hak untuk menentukan: substansi yang termuat dalam perjanjian yang
bersangkutan.
PROF. DR. MOHD. BURHAN TSANI, SH., MH.
Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.
pembuatan Perjanjian Internasional yang
Nampaknya Indonesia cenderung bersangkutan.
menggunakan teori delegasi. Pengesahan yang
dilakukan menurut Hukum Nasional Indonesia, Keterikatan Indonesia pada Perjanjian
merupakan bagian prosedur ratifikasi dalam Internasional yang bersangkutan, dilandaskan
ranah Hukum Nasional untuk memperoleh pada penyampaian instrumen ratifikasi dalam
instrumen ratifikasi, yang diperlukan prosedur ranah Hukum Internasional. Apabila Indonesia
ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. sudah menjadi Negara pihak, Indonesia wajib
Ratifikasi merupakan bagian prosedur melaksanakannya dengan itikad baik dan
pembentukan Hukum Internasional yang melakukan penyesuaian perundang-
dituangkan dalam perjanjian yang undangannya dengan Perjanjian Internasional
bersangkutan. yang sudah berlaku secara definitif.