You are on page 1of 48

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Kawasan Pegunungan (Studi Kasus Luar negeri: Kawasan Pegunungan Friuli Venezia Giulia, Italia. Kasus Lokal: Kawasan Pegunungan Cyclops, Papua)

Oleh: Nama (NPM) : Bagus Prahutdi (16309813) Inti Lestari Mashudi Ali Nincy Ayu L. Jurusan Dosen : Teknik Sipil : Dr. Ruswandi Tahrir, MSP. (16309836) (16309841) (16309853)

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Trimester XI Perencanaan Pengembangan Wilayah Januari 2013

DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................... Daftar Isi .........................................................................................................

i ii

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1.2 Tujuan Penulisan ...................................................................... 1.3 Batasan Masalah ....................................................................... 1.4 Sistematika Penulisan ............................................................... 1 2 2 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan dan Pengembangan Wilayah ............................... 2.2 NSPM Bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah ............ 2.2.1 Urgensi Penyusunan NSPM dalam Perencanaan dan Pengembangan Wilayah... 2.2.2 Urgensi NSPM dalam Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Pegunungan 2.3 Kawasan Pegunungan ............................................................... 2.4 Perencanaan Tata Guna Lahan Kawasan Pegunungan ............. 2.5 Kawasan Permukiman .............................................................. 2.6 Permasalahan Permukiman di Kawasan Pegunungan .............. 7 7 10 13 16 6 3 5

2.7 Peraturan dan Perundangan yang Terkait Perencanaan Permukiman dan Kawasan Pegunungan ........................................................ 18

BAB III ANALISIS PERMASALAHAN PERMUKIMAN DI KAWASAN PEGUNUNGAN 3.1 Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Pegunungan ............. 3.1.1 Kerangka Kebijakan dan Strategi Kawasan Pegunungan 3.1.2 NSPM Kawasan Pegunungan ......................................... 19 19 20

ii

3.2 Studi Kasus Luar Negeri : Kawasan Pegunungan Friuli Venezia Giulia ........................................................................................ 3.3 Studi Kasus Lokal : Kawasan Pegunungan Cyclops, Papua .... 25 31

3.4 Studi kasus Lokal Tambahan: Kawasan Gunung Sindoro, Jateng 40

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

43 45

iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Proses penataan ruang merupakan rangkaian kegiatan yang perlu mendapat perhatian

sebagai salah satu aspek dalam pelaksanaan pembangunan dan dalam rangka percepatan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mewujudkan penataan ruang yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang diperlukan berbagai perangkat lunak berupa Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) sebagai acuan pelaksanaan penataan ruang. Kurangnya NSPM dalam penataan ruang menyebabkan kelemahan dalam penyelenggaraan penataan ruang sehingga implementasi penataan ruang tidak berjalan optimal. Definisi dari Norma, Standar, Prosedur, dan Manual itu sendiri menurut Kamus besar bahasa Indonesia ialah: Norma : Aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan kendalian tingkah laku yang sesuai Standar : Ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan Prosedur : Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas atau metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu problem Manual : buku petunjuk praktis tentang suatu jenis pekerjaan atau tentang cara kerja suatu alat atau peranti tertentu Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa NSPM dapat dijadikan sebagai standar mutu terutama dalam bidang perencanaan pengembangan wilayah. Dalam merencanakan kawasan pegunungan yang sustainable maka diperlukan standar pengelolaannya sehingga pembangunan di kawasan pegunungan tidak merusak kawasan pegunungan itu sendiri. Hal ini penting diperlukan karena Pegunungan sebagai indikator terhadap perubahan iklim. Kegagalan memprediksi iklim berdampak pada sektor pertanian, kehutanan, wisata, dsbg. Melalui laporan ini untuk mewujudkan kawasan pegunungan yang sustainable akan disusun Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) Kawasan Pegunungan sehingga dapat memberikan panduan dan kemudahan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengimplementasikan penataan ruang. 1

1.2

Tujuan Penulisan 1) Mengetahui definisi, urgensi dan kegunaan NSPM dalam perencanaan pengembangan wilayah 2) Merumuskan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) Kawasan Pegunungan.

1.3

Batasan Masalah Dalam penulisan ini masalah yang dibahas terbatas pada pembahasan mengenai: 1. Pengertian NSPM dan urgensinya dalam perencanaan pengembangan wilayah 2. Perumusan NSPM bagi kawasan pegunungan. 3. Studi Kasus: Sustainable Mountain Development di Friuli Venezia Giulia, Italia dan Pegunungan Cyclops, Papua

1.4 BAB 1

Sistematika Penulisan PENDAHULUAN Berisi latar belakang, tujuan penulisan, dan batasan masalah berkaitan dengan Perencanaan dan pengembangan wilayah pegunungan.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA Berisi mengenai teori tentang konsep Penataan Ruang yang mendahului lahirnya NSPM, Definsi serta Urgensi dibuatnya NSPM, kawasan pegunungan dan fenomena kawasan permukiman di pegunungan.

BAB 3

ANALISIS Berisi Analisis tentang perumusan NSPM bagi Kawasan Pegunungan, beserta studi kasus lokasi tertentu kawasan pegunungan.

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN Berisi Kesimpulan dan Saran berdasarkan dengan permasalahan dan analisis pada bab sebelumnya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Perencanaan dalam suatu definisi yang sederhana adalah menetapkan suatu tujuan dan

memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Perencanaan tata ruang (bahasa Inggris: spatial planning) merupakan metode-metode yang digunakan oleh sektor publik untuk mengatur penyebaran penduduk dan aktivitas dalam ruang yang skalanya bervariasi. Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta pengembangan. Menurut Undangundang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan : 1. Dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan. 2. Tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang. 3. Tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang. (Sumber: http://www.bekasikota.go.id/read/6054/dinas-tata-kota).

Gambar 2.1 Kebutuhan Disiplin Ilmu dalam Perencanaan Kota

Di Indonesia konsep perencanaan tata ruang mempunyai kaitan erat dengan konsep pengembangan wilayah. Konsep pengembangan wilayah telah dikembangkan antara lain oleh 3

Sutami pada era 1970-an, dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif akan mampu mempercepat terjadinya pengembangan wilayah, juga Poernomosidhi (era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota yang hirarki prasarana jalan melalui Orde Kota. Selanjutnya Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang memperkenalkan konsep Pola dan Struktur ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang yang diubah menjadi UU No.26 Tahun 2007. Pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal antara KTI dan KBI, antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad millennium, bahkan, mengarahkan konsep

pengembangan wilayah sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (sumber: Dirjen Penataan Ruang Depkimpraswil,Kebijakan, Strategi dan Program Ditjen Penataan Ruang, BPSDM, Jakarta, 2003, dalam

http://id.wikipedia.org/wiki/Perencanaan_tata_ruang) Pengembangan wilayah merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya perkembangan wilayah secara harmonis melalui pendekatan yang bersifat komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, dan budaya (Misra R.P, Regional Development,1982). Pada dasarnya pendekatan pengembangan wilayah ini digunakan untuk lebih mengefisiensikan pembangunan dan konsepsi ini tersus berkembang disesuaikan dengan tuntutan waktu, teknologi dan kondisi wilayahnya.

Gambar 2.2 Model Konsep Pengembangan Wilayah dengan Alat Penataan Ruang
(Sumber: http://dhenov.blogspot.com/2007/12/pengembangan-wilayah-deui.html)

Banyak cara untuk mengembangkan wilayah mulai dari penggunaan konsep (alat) pembangunan sektoral, bassic need approach, development poles (poles de croissance) yang 4

digagas oleh F. Perroux (1955), growth center yang digagas oleh Friedman (1969) sampai kepada pengaturan ruang secara terpadu melalui proses pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) secara sinergi dengan pengembangan sumberdaya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, yang terakhir inilah yang disebut dengan penataan ruang dan sesuai Undang Undang (UU) No.26/2007 tentang penataan ruang. Di Indonesia, dengan keluarnya undang undang ini maka pengembangan wilayah dilaksanakan melalui alat penataan ruang, (Sumber : Denny, 2007), dan salah satu perangkat lunak dari penataan ruang ialah melalui NSPM.

2.2

NSPM Bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah Ditetapkannya NSPM dimaksudkan untuk memberikan panduan dan kemudahan bagi

yang berkepentingan dalam bidang pekerjaan konstruksi untuk melaksanakan kegiatan pembangunan guna mempertahankan mutu pekerjaan atau bahkan dalam skala tertentu untuk menjaga kepentingan masyarakat agar tidak dirugikan akibat dampak pembangunan di bidang pekerjaan konstruksi (PU). Pengertian dari Norma, Standar, Prosedur, dan Manual (NSPM) itu sendiri ialah: Norma : Aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan kendalian tingkah laku yang sesuai Standar : Ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan

Prosedur : Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas atau metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu problem Manual : buku petunjuk praktis tentang suatu jenis pekerjaan atau tentang cara kerja suatu alat atau peranti tertentu NSPM perencanaan tata ruang ditujukan untuk menjamin produk rencana tata ruang yang berkualitas, yang disusun dengan berdasarkan pada daya dukung lingkungan, kebutuhan pelayanan prasarana dan sarana, dan kebutuhan pengembangan kegiatan masyarakat yang terus berkembang, serta melalui proses partisipatif memperhatkan kepentingan seluruh pemangku kepentingan.

2.2.1 Urgensi NSPM dalam Perencanaan dan Pengembangan Wilayah 1. Dimulai tahun 1980-an sebagai kritik terhadap sistem pemerintahan sentralistik yang mengakibatkan ketidakefisienan pembangunan 2. Dikenalkannya desentralisasi perencanaan, untuk mendukung proses ini, Departemen PU menetapkan PP No.14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidan ke-PU-an kepada Daerah, termasuk penyerahan urursan rencana tata ruang yang merupakan bagian bidang Cipta Karya (Ruchyat Deni, 2003). Pada saat itulah dibuat NSPM dalam kegiatan perencanaan dan pembangunan. 3. Kurangnya NSPM bidang penataan ruang selama ini telah disadari sebagai satu kelemahan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Bagaimanapun juga, desentralisasi mempunyai dampak dalam pelaksanaannya. Pengaruh desentralisasi terhadap wilayah yang belum siap menjadi bumerang terhadap wilayah tersebut dan sekitar. Implementasi dari Perencanaan dan Pengembangan Wilayah yang buruk dinilai sebagai faktor utama dari banyak wilayah seharusnya berkembang menjadi tidak berkembang sehingga mengakibatkan kemiskinan, kerusakan lingkungan dan buruknya tata ruang dan tata guna lahan wilayah tersebut. Sebagai contoh ketidaksesuaian NSPM terhadap implemetasinya dalam perencanaan dan pengembangan wilayah adalah Waduk Pluit yang mengalami pendangkalan akibat lahan yang seharusnya digunakan untuk RTH digunakan sebagai permukiman. (Sumber:

http://www.indopos.co.id/index.php/berita-utama/1660-banjir-di-pluit-yang-paling-susah-hilang) Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dalam Kesepakatan Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan pada 2 Januari 2004, sebagai bagian Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan yang mencantumkan Tujuan Pembangunan Milenium negara (Tantangan Tata Kelola Lingkungan, 2010). Untuk mewujudkan hal tersebut, haruslah dibuat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah kembali yang disesuaikan dengan keadaan sekarang (karena sudah mengalami perubahan lingkungan).

2.2.2 Urgensi Penyusunan NSPM dalam Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Pegunungan 1. Luas hutan tropis di Indonesia sebesar 98 juta ha kemudian luas lahan kritis di Indonesia pada tahun 2010 (data s/d tahun 2006) tanpa DKI Jakarta seluas 81,6 juta ha yang terdiri dari sangat kritis (5,5 juta ha), kritis (23,95 juta ha) dan agak kritis (52,3 juta ha) (Statistik Kehutanan Indonesia, Kementerian Kehutanan, 2011). Dengan sebagian besar wilayah berada di kawasan pegunungan. Ini merupakan parameter betapa rusaknya lingkungan di Indonesia. Kawasan hutan yang sebagian besar berada pada wilayah pegunungan telah rusak. 2. Keterdesakan pembuatan NSPM Pegunungan tidak terlepas dari berbagai bencana seperti tanah longsor, kekeringan di daerah hilir, banjir akibat kurangnya daerah resapan air di kawasan pegunungan (Banjir Jakarta 2013). Bencana-bencana ini menyadarkan kita bahwa kerusakan alam sudah parah dan perlu ada tindakan-tindakan yang harus dilaksanakan, dalam kasus ini adalah pegunungan. Harus segera dibuat Norma, Standar, Prosedur, dan Manual Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Pegunungan yang juga diintegrasikan dengan NSPM wilayah lain. Sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai.

2.3

Kawasan Pegunungan Kawasan pegunungan merupakan kawasan tertinggi di daratan dan mempunyai potensi

yang melimpah. Ditinjau dari beberapa aspek kawasan pegunungan mempunyai nilai strategis, diantaranya : 1. Indikator perubahan iklim. Perubahan Iklim Global dewasa ini disebabkan meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca (CO2, CH4, CFC, HFC, N2O), terutama peningkatan konsentrasi CO2, di atmosfir menyebabkan terjadinya global warming (peningkatan suhu udara secara global) yang memicu terjadinya global climate change (perubahan iklim secara global). Fenomena ini memberikan berbagai dampak yang berpengaruh penting terhadap keberlanjutan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya di planet bumi ini, di antaranya adalah:

a) Pergeseran musim dan perubahan pola/distribusi hujan yang memicu terjadinya banjir dan tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau, b) Naiknya muka air laut yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil dan banjir rob, dan bencana badai/gelombang yang sering meluluh lantakan saranaprasarana penopang kehidupan di kawasan pesisir. Pegunungan sangat sensitif terhadap perubahan iklim. Kegagalan memprediksi iklim berdampak pada sektor pertanian, kehutanan, wisata, dsbg. 2. Integrasi Tataguna Lahan. Pengembangan pembangunan di kawasan pegunungan

bersetuhan dengan berbagai sektor seperti kehutanan, pertanian, pertambangan, industri dan wisata. Perbedaan kepentingan tersebut akan memberi dampak positif dan negatif terhadap masyarakat sekitar kawasan. 3. Sumberdaya Energi dan Mineral. Air yang tersimpan di daerah tangkapan air adalah sumber energi penting. Kawasan pegunungan juga kaya bahan tambang dan mineral. 4. Sumber air. Semua sungai di dunia bersumber dari kawasan pegunungan. Lebih dari setengah masyarakat dunia tergantung pada sumber air tawar yang disediakan oleh menara air untuk kepentingan rumah tangga, pertanian dan industri. 5. Keanekaragaman Hayati. Pegunungan memiliki kekayaan hayati yang tinggi. Variasi jenis endemik dapat dijumpai di beberapa kawasan pegunungan yang penting sebagai indikator kesehatan ekosistem tersebut. 6. Daerah Wisata. Aktivitas wisata dapat memberikan peluang usaha namun juga dapat berdampak negatif pada budaya, ekonomi, dan lingkungan di kawasan ini. (Sumber : Komite Nasional TPI 2002) Kekayaan dalam ekosistem pegunungan sudah semestinya perlu dijaga kelestariannya dan ketersediaannya bagi generasi mendatang. Keseimbangan yang tercipta antara dimensi ekologi dan ekonomi akan menjadikan keseimbangan bagi lingkungan dan kehidupan umat manusia. Perbedaan dalam istilah gunung dan pegunungan ialah, Gunung adalah sebuah bentuk tanah yang menonjol di atas wilayah sekitarnya. Beberapa otoritas mendefinisikan gunung dengan puncak lebih dari besaran tertentu; misalnya, Encyclopdia Britannica membutuhkan ketinggian 2000 kaki (610 m) agar bisa didefinisikan sebagai gunung.

Sedangkan Pegunungan merupakan kumpulan atau barisan gunung, Pegunungan terbentuk pada waktu terjadinya gerak kerak bumi yang dalam dan luas (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung). Ketinggian dari kawasan yang disebut Pegunungan menurut Strategi Nasional PengelolaanEkosistem Pegunungan ialah berkisar diatas 200 m.

Tabel 2.1 Klasifikasi relief berdasarkan Beda Elevasi

Berikut daftar Pegunungan di Indonesia: Tabel 2.2 Daftar Barisan Pegunungan Di Indonesia Pegunungan Selatan Jawa Barat (Puncak) Pegunungan Kapur Utara (disebut juga Pegunungan Kendeng Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur) Pegunungan Jawa Pegunungan Kendeng (disebut juga Pegunungan Kapur Tengah, Jawa Tengah, Jawa Timur) Pegunungan Sewu (disebut juga Pegunungan Kapur Selatan, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur) Pegunungan Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) Pegunungan Muller (Kalimantan Barat) Pegunungan Kalimantan Pegunungan Schwaner (Kalimantan Barat) Pegunungan Meratus (Kalimantan Selatan) Pegunungan Foja Pegunungan Irian Pegunungan Jayawijaya Pegunungan Mauke Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pegunungan_di_Indonesia

2.4

Tata Guna Lahan Kawasan Pegunungan Penggunaan lahan sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan lahan. Saat ini banyak

dijumpai penggunaan-penggunaan lahan yang kurang sesuai sehingga terjadi alih fungsi lahan, misalnya adalah perubahan lahan RTH dan Hutan Lindung pada pegunungan menjadi permukiman atau industri. Institut Pertanian Bogor (IPB) Ernan Rustiadi dalam acara diskusi yang digelar oleh Forum Jabodetabek Pusat Pengkajian, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB, di Kampus

Baranangsiang, Kota Bogor, menyatakan bahwa Tata ruang kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat tidak konsisten (inkonsisten) dengan daya dukung lahan yang ada. 40% kawasan Puncak tidak sesuai dengan tata ruang. Sejumlah kawasan tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti wilayah hutan konservasi berubah menjadi perkebunan. Sementara itu, lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan perumahan, vila dan bangunan lainnya. Disebutkan bahwa untuk kawasan pegunungan, tata guna lahan kawasan ini utamanya ialah daerah resapan air dan hutan lindung. Pembangunan di kawasan puncak memang boleh dilakukan namun harus memperhatikan peraturan yang ada. Berikut aturan peruntukan lahan berdasarkan kemiringan lereng dan kondisi geologi: Tabel 2.3 Peruntukan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng

10

Tabel 2.4 Kaitan Kondisi Geologi dengan Tata Guna Lahan

Pembangunan di lahan berkontur tinggi seperti pegunungan harus memenuhi patokan: 1. Membangun hanya pada daerah yang pergerakan masa tanahnya cukup stabil untuk mengurangi bahaya geologi dan kerugian sumber daya manusia dan alam yang akhirnya tidak ekonomis lagi. 2. Kemiringan lereng disesuaikan dengan fungsi yang sebaiknya ditampung seperti pada Tabel 2.3 Kegiatan pengolahan tanah pelandaian lereng dengan cara timbun gali sebaiknya dibatasi dan disarankan sebaiknya : a) Meninggalkan system petak lahan seperti pada perumahan real estate/perumnas pada umumnya mengingat system tersebut akan banyak memerlukan jaringan jalan yang berarti meningkatkan jumlah pelandaian lereng dan mengakibatkan ketidakstabilan tanah. b) Memperhitungkan penempatan fasilitas dan penataan parkir yang mmemperhitungkan kemiringan lereng. c) Penggunaan tipe perancangan bangunan yang tidak banyak merubah kontur lahan. d) Pembuatan turap-turap alami yang melindungi daerah permukiman dari bahaya longsoran dan memakai tumbuhan-tumbuhan yang dapat membantu kestabilan tanah.

11

Tabel 2.5 Luas Lahan dengan Kemiringan Lahan

Ketinggian lahan memperngaruhi tata guna lahan, sebagai contoh Ketinggian lahan di Wilayah Bandung Utara relative tinggi dari permukaan laut (diatas 750 m dpl) dengan bentuk permukaan lahan yang tidak rata, termasuk wilayah pegunungan. Akibat ketinggian dan bentuk morfologinya, Wilayah Bandung Utara merupakan wilayah konservasi air sehingga memerlukan penataan yang khisus. Ketentuan penataan ruang berdasarkan ketinggian lahan di Wilayah Bandung Utara dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.6 Peruntukan Lahan berdasarkan Ketinggian Lahan Kawasan Bandung Utara (750m dpl)

12

2.5

Kawasan Permukiman

Kawasan Permukiman harus dibangun dilahan yang sesuai dengan daya dukung lahannya agar penggunaan lahan lebih produktif. Penilaian kesesuaian lahan permukiman berdasarkan tapak/topografi permukiman dapat dilihat pada Tabel 2.7 berikut: Tabel 2.7 Penilaian Kesesuaian Kawasan Permukiman Berdasarkan Tapak Permukiman

(Sumber:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55057/BAB%20V%20Kesesu aian%20Kawasan%20Untuk%20Pemukiman....pdf?sequence=8) 13

Selain disesuaikan dengan ketentuan diatas, beberapa kriteria pembangunan permukiman harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Cakupan Kawasan Permukiman terdiri atas : a. Kawasan Permukiman Perkotaan, yaitu kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. b. Kawasan Permukiman Perdesaan, yaitu kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintah, sosial dan ekonomi. 2) Karakteristik Kawasan Permukiman ialah Kawasan yang terletak pada lahan yang bermorfologi datar-landai dengan kemiringan lahan 0-8% tanpa rekayasa teknis, atau kemiringan 8-15% dengan rekayasa teknis. 3) Ketentuan Teknis Permukiman : Ketentuan penataan ruang Kawasan permukiman perkotaan adalah sebagai berikut : a. Pengembangan permukiman perkotaan harus didasarkan pada penataan bangunan dan lingkungan yang serasi dan seimbang, yang meliputi system drainase, air bersih, air kotor, persampahan, jalan lingkungan, tata ruang dan perumahan. b. Pengembangan permukiman perlu pengaturan ruang untuk fasilitas lingkungan seperti ruang terbuka hijau, taman dan fasilitas umum lainnya. c. Kepadatan bangunan dan koefisien dasar bangunan yang dapat menunjang fungsi konservasi/peresapan air dan pengendalian air limpasan permukaan. d. Untuk pembangunan perumahan dalam skala besar diwajibkan untuk menyediakan lahan kuburan, minimal 5% dari luas areal. e. Perlu menyediakan lahan secara bersama (iuran) oleh para pengembang yang membangun perumahan pada radius Ketentuan penataan ruang di kawasan permukiman pedesaan adalah sebagai berikut : a. Bangunan yang diperkenankan dikawasan permukiman desa hanya bangunan usaha tani, kepadatan maks 5 rumah/Ha, dengan koefisien dasar bangunan (KDB) maks 5%.

14

b. Perlu dibatasi agar permukiman perdesaan tidak berubah menjadi permukiman perkotaan, agar pertanian produktif tetap dapat dipertahankan, serta konservasi tanah dan air tanah dapat dilakukan dengan baik. 4) Kemiringan lereng atau topografi suatu Kawasan ikut berpengaruh terhadap peruntukan lahan seperti system perencanaan jaringan jalan, drainase, dll. Kawasan dengan kemiringan diatas >30% tidak boleh dibangun permukiman, kawasan tersebut diperuntukan sebagai kawasan penyangga seperti yang diterangkan Tabel 2.3.

Gambar 2.3 Perumahan dan Vila di Lereng Gunung Sumber: http://azisoelaiman.files.wordpress.com/2012/11/18-pemukiman-di-lerengpegunungan.png?w=930

5) Pertimbangan Geologi Keadaan geologi di suatu Kawasan mempunyai keterkaitan dengan penggunaan lahan. Keadaan geologi yang dimaksud di sini adalah : a) Sifat disik tanah dan batuan. b) Kestabilan lereng termasuk potensial longsoran, rayapan dan robohan. c) Kehadiran sesar aktif atau yang mungkin aktif dan pusat episentrum yang ada dengan skala magnitude dan intensitas. d) Kontur muka air tanah atau keadaan muka air tanah dan potensial air permukaan. e) Ketebalan tanah atau kedalaman hingga mencapai batuan. f) Penyebaran luas setiap daerah banjir, longsoran dan ablasan, gunung api dengan penyebaran produk, dan batasan-batasan penyebaran banjir gelombang pasang. 6) Ketinggian lahan. Sebagai contoh membangun dikawasan pegunungan seperti Bandung Utara ketinggian yang tepat menurut Tabel 2.6 ialah ketinggian 750-1000 m. 7) Pertimbangan Konservasi air. 8) Pertimbangan Penetapan Intensitas Pemanfaatan Ruang 9) Pertimbangan Aliran Run Off/ Air Permukaan 15

10) Pertimbangan Jenis Tanah (Sumber:http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/19781231 2005012-BETA_PARAMITA/Petunjuk_Teknis_KBU.pdf)

2.6

Pemasalahan Pengembangan Permukiman di Kawasan Pegunungan Pengembangan Permukiman di Kawasan Pegunungan telah banyak menyalahi tata guna

lahan. Contohnya saja kawasan pegunungan Cyclops, Papua dimana perumahan masih didirikan diatas ketinggian 1700 m yang diperuntukan sebagai cagar alam pegunungan Cyclops, tidak hanya Papua, bahkan wilayah terdekat ibu kota, yaitu kawasan Puncak, Bogor dan Bandung, Sebanyak 250 pemukiman menyalahi aturan tata ruang serta 12 bangunan tanpa Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Semua bangunan mewah milik pejabat dan mantan jenderal ini berdiri di atas kawasan Hutan Lindung.

Gambar 2.4 Pembukaan Lahan Pegunungan untuk Perumahan dan Apartemen Bupati Bogor Rahmat Yasin sendiri tidak menampik adanya bangunan-bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dikawasan tersebut. Beberapa waktu lalu Wakil Bupati. Kabupaten Bogor, Karyawan Faturah menyatakan sulitnya menertibkan bangunan yang berada di Puncak, karena sebagain besar pemilik bangunan tersebut atas kepemilikan sebagaian warga Jakarta dan membutuhkan bantuan dari pemerintah Jakarta untuk menertibkannya dikarenakan pemiliknya merupakan orang berpengaruh dipemerintahan. Tabel 2.7 Jumlah Villa Tak Berizin di Kawasan Puncak Bogor 2009-2010 Tahun Jumlah Bangunan 2009 112 2010 163 2011 127 Sumber Data: Dinas Tata Bangunan dan Permukiman

16

Setiap vila memiliki luas bervariasi dari sekitar 1.000 meter persegi hingga 1-2 hektar. Dapat dilihat pada Tabel 2.2 Tahun 2010 jumlah villa menurun setelah diadakan pembongkaran dan hingga akhir tahun 2011 belum lagi ada pembongkaran.(Sumber:

http://m.poskota.co.id/berita-terkini/2011/12/11/250-bangunan-di-puncak-menyalahi-tata-ruang) Konversi Penggunaan lahan Kawasan pegunungan menjadi kawasan permukiman dan produksi tanpa memperhatikan kawasan lindung dikawasan Puncak, Bogor bukan hanya

kesalahan para pengguna lahan, tetapi juga kesalahan pemerintah Bogor dalam pemberian izin serta Perda yang salah. PP Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur menjadi dasar dalam penetapan Puncak sebagai kawasan lindung. Anehnya, Perda Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat Nomor 22 tahun 2010 mengubah peruntukan kawasan di Puncak menjadi kawasan produksi. Selama ini, aturan rencana tata ruang Kabupaten Bogor tidak bertentangan dengan PP Nomor 54 tahun 2008. Namun belakangan aturan ini berupaya direvisi menyesuaikan Perda Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010. (Sumber: http://www.mongabay.co.id/2012/08/10/kehancuran-kawasan-puncak-pemerintah-

diminta-bertanggungjawab/#ixzz2LVdfTP1b)

Gambar 2.5 Perubahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Puncak Bogor (Sumber: http://indonesiacompanynews.wordpress.com/2012/07/30/puncak-mengancamjakarta/) Selain puncak Bogor, pembangunan tak terkendali kawasan Bandung Utara juga dikarenakan kesalahan peraturan. Kawasan Punclut, berketinggian 800-1100 m yang 17

diperuntukan sebagai RTH melalui Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004 dengan KDB 2% diubah Walikota menjadi Kawasan Zona 3 dengan KDB 20% melalui Peraturan Nomor 981 Tahun 2006 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Wilayah Pengembangan Cibeunying dan Perda Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perda Kota Bandung Nomor 2 Tahun 2004.

Gambar 2.6 Kawasan Punclut yang Menjadi Kuning (Perumahan Kepadatan Rendah) (Sumber : www.envirozer.blogspot.com, 2008)

2.7

Peraturan dan Perundangan Terkait Kawasan Pegunungan dan Permukiman a. UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang b. UU No.1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman c. PP No.16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah d. PP No. 26 tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional e. PP No. 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan f. PP No. 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang g. PP No.24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan h. PP No.68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang i. Perda No 22 tahun 2010 tentang RTRWP Jabar 2009-2029 j. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Sumber:http://sikumtaru.penataanruang.net/view/template.asp?tentang=&idtipeproduk=PP& idprovinsi=000&idkabupaten=&modul=dccb6725414435e9061d21de37f43bbb) 18

BAB 3 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG KAWASAN PEGUNUNGAN

3.1

Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Kawasan Pegunungan

3.1.1 Kerangka Kebijakan dan Strategi Kawasan Pegunungan 1. Melalui penyiapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) 2. Penyiapan Rencana Tata Ruang Kawasan Tertentu 3. Kajian Ulang Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur

(Jabodetabekpunjur) dan Peraturan dan pedoman pengembangan Kawasan Gunung yang berkelanjutan, untuk kawasan pegunungan lainnya perlu disiapkan pula dan disesuaikan dengan kondisi geologi, topografi, sosio-ekonomi sekitar. Kebijakan dan strategi dalam pengembangan penetapan kerangka pengembangan strategis nasional kawasan pegunungan ialah dengan : 1. Meningkatkan kegiatan perbaikan kawasan pegunungan secara berkesinambungan dan terintegrasi. Terutama kawasan pegunungan Jawa Barat yang mengalami kerusakan parah akibat pengembangan kawasan permukiman yang tidak terkendali dengan strategi : peningkatan pembongkaran kawasan permukiman di kawasan yang melanggar ketentuan pembangunan permukiman yaitu di lereng yang kemiringan >30% , Ketinggian diatas 1000 m dan tidak menyisakan luas lahan tak boleh diganggu sebesar 30-40%. serta dikawasan dengan KDB (koefisien dasar bangunan) tertentu. Misal dikawasan lindung dengan KDB 2% walaupun ketinggian masih pada batas 750-1000 m tetap bila memang sudah difungsikan sebagai RTH maka tetap tidak boleh ada pembangunan melebihi KDB tersebut. 2. Peningkatan kemampuan dan kapasitas pengelolaan potensi kawasan pegunungan yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal seusai dengan tata guna lahan sehingga penggunaan lahan produktif dan berkelanjutan. Dengan strategi

19

:Pengembangan pusat potensi lahan pertanian di ketinggian 1000-2000 m dan kemiringan < 40% dengan menyisakan lahan tak boleh diganggu sebesar 60-90% 3. Memperbaiki kondisi kehidupan sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan strategi : pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan peningkatan pelayanan sosial yang berasal dari retribusi dari sektor ekonomi khsusnya pariwisata dari objek wisata alam pegunungan, pertambangan, perkebunan, pertanian dan kehutanan di kawasan pegunungan. 4. Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan secara selektif didukung dnegan sarana dan prasarana memadai dengan strategi: pengembangan kegiatan ekonomi kawasan pegunungan yang belum berkembang dengan memanfaatkan sumber daya lokal (SDM, SDA ) seperti yang terjadi di Puncak Bogor, kawasan pegunungan yang tak jauh darinya yang juga memiliki potensi pengembangan ekonomi ialah Gunung Bundar yang memiliki ketinggian 750-1050 m , terletak di Kabupaten Bogor. Tentu saja sebagai kawasan yang dilindungi Perhutani, pengembangan ekonomi kawasan ini terbatas pada kawasan wisata hutan namun dengan pengembangan fasilitas, sarana dan prasarana yang baik terutama kemudahan akses ke kawasan ini maka gunung Bundar dapat menjadi alternatif kawasan puncak sementara kawasan puncak Bogor direhabilitasi untuk dikembalikan fungsi lahannya.

3.1.2 NSPM Kawasan Pegunungan 1. Norma Norma yang dijadikan acuan dalam kebijakan dan strategi penataan ruang kawasan pegunungan ialah: a) UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang b) PP No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN c) PP No.68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang d) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (sebagai acuan penataan ruang kawasan puncak lainnya) e) PP No.16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah 20

f) UU No.1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman g) PP No.24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan h) PP No. 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan i) Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Ekosistem Pegunungan yang ditebitkan Deputi VI KLH j) Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman.

2. Standar a) Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan: 1) Topografi datar sampai bergelombang dengan kelerengan lahan 0 - 25% (Tabel 2.3); 2) Ketinggian minimum pembangunan permukiman ditanah berkontur tinggi dan perbukitan yaitu 300 m dpl 3) Ketinggian maksimum boleh dibangun 1000 m dpl (Tabel 2.6) 4) Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh penyelenggara dengan jumlah yang cukup. Untuk air PDAM suplai air antara 60 L/org/hari - 100 liter/org/hari; 5) Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi); untuk daerah pegunungan daerah yang memiliki problem erosi tinggi ialah kemiringan lereng 1525%, dalam pembangunannya biasanya dilakukan pelandaian lereng. 6) Drainase baik sampai sedang; 7) Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/pantai/waduk/danau/mata air/saluran pengairan 8) Tidak berada pada kawasan lindung; 9) Tidak terletak pada kawasan budidaya pertanian/penyangga; 10) Menghindari sawah irigasi teknis. b) Kriteria dan batasan teknis: 1) Penggunaan lahan untuk pengembangan perumahan baru 40% - 60% dari luas lahan yang ada, di kemiringan lereng gunung yang diperbolehkan dibangun antara

21

kemiringan 15-25% harus menyisakan lahan yang tidak boleh diganggu sebasar 3040% (Tabel 2.5) 2) Kepadatan bangunan dalam satu pengembangan kawasan baru perumahan tidak bersusun maksimum 50 bangunan rumah/ha dan dilengkapi dengan utilitas umum yang memadai; 3) Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim di kawasan peruntukan permukiman di perdesaan dengan menyediakan lingkungan yang sehat dan aman dari bencana alam (longsor, letusan gunung berapi, kebakaran hutan) serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi pengembangan masyarakat, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup; 4) Kawasan perumahan harus dilengkapi dengan: a. Sistem pembuangan air limbah yang memenuhi SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan; b. Sistem pembuangan air hujan yang mempunyai kapasitas tampung yang cukup. Direncanakan berdasarkan frekuensi intensitas curah hujan 5 tahunan dan daya resap tanah. Dilengkapi juga dengan sumur resapan air hujan mengikuti SNI 032453-2002 tentang Tata Cara PerencanaanSumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan dan dilengkapi dengan penanaman pohon; c. Prasarana air bersih yang memenuhi syarat, baik kuantitas maupun kualitasnya. Kapasitas minimum sambungan rumah tangga 60 liter/orang/hari dan sambungan kran umum 30 liter/orang/hari; d. Sistem pembuangan sampah mengikuti ketentuan SNI 03-3242-1994 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di Permukiman. 5) Penyediaan kebutuhan sarana pendidikan di kawasan peruntukan permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian, serta lokasi. 6) Penyediaan kebutuhan sarana kesehatan di kawasan peruntukan permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian, serta lokasi dan penyelesaian; 7) Penyediaan kebutuhan sarana ruang terbuka, taman, dan lapangan olah raga di kawasan peruntukan permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang 22

disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas lahan minimal, radius pencapaian, dan kriteria lokasi dan penyelesaian; 8) Penyediaan kebutuhan sarana perdagangan dan niaga di kawasan peruntukan permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas lantai dan luas lahan minimal, radius pencapaian, serta lokasi dan penyelesaian secara lebih rinci ditunjukkan pada Tabel 8; 9) Pemanfaatan kawasan perumahan merujuk pada SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1987 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan kepada Pemerintah Daerah; 10) Dalam rangka mewujudkan kawasan perkotaan yang tertata dengan baik, perlu dilakukan peremajaan permukiman kumuh yang mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kampung Kota. 11) Dalam hal kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun (lisiba), penetapan lokasi dan penyediaan tanah; penyelenggaraan pengelolaan; dan pembinaannya diatur di dalam Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri yang diterbitkan Menpera tahun 2005 berdasarkan PP No.80 Tahun 1999.

3. Prosedur Pembangunan Permukiman di Kawasan Pegunungan Prosedur/pedoman pembangunan kawasan Permukiman di pegunungan dan Kawasan Lindung melaui Kriteria Umum Pembangunan Permukiman sebagai berikut: 1) Ketentuan pokok tentang perumahan, permukiman, peran masyarakat dan pembinaan perumahan dan permukiman nasional mengacu kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dan Surat Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP); 2) Pemanfaatan ruang untuk kawasan peruntukan permukiman harus sesuai dengan daya dukung tanah setempat dan harus dapat menyediakan lingkungan yang sehat dan aman dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi

23

pengembangan masyarakat, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup; 3) Kawasan peruntukan permukiman harus memiliki prasarana jalan dan terjangkau oleh sarana tranportasi umum; 4) Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan peruntukan permukiman harus didukung oleh ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum (pasar, pusat perdagangan dan jasa, perkantoran, sarana air bersih, persampahan, penanganan limbah dan drainase) dan fasilitas sosial (kesehatan, pendidikan, agama); 5) Tidak mengganggu fungsi lindung yang ada; 6) Tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;

4. Manual Seperti yang telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya yaitu subbab 2.2 dan 2.3 serta Tabel 2.3 hingga Tabel 2.6, Pembangunan kawasan permukiman dibangun dikelandaian 015%. Di pegunungan yang memiliki kemiringan yang lebih besar, harus disesuaikan dengan kondisi lahan. Kemiringan 15-25% memiliki problem erosi yang tinggi, diperlukan Pelandaian lereng. Kegiatan pengolahan tanah pelandaian lereng dengan cara timbun gali sebaiknya dibatasi. Manual atau petunjuk pelandaian lereng dalam pembangunan perumahan: a) Meninggalkan system petak lahan seperti pada perumahan real estate/perumnas pada umumnya mengingat system tersebut akan banyak memerlukan jaringan jalan yang berarti meningkatkan jumlah pelandaian lereng dan mengakibatkan ketidakstabilan tanah. b) Memperhitungkan penempatan fasilitas dan penataan parkir yang memperhitungkan kemiringan lereng. c) Penggunaan tipe perancangan bangunan yang tidak banyak merubah kontur lahan. d) Pembuatan turap-turap alami yang melindungi daerah permukiman dari bahaya longsoran dan memakai tumbuhan-tumbuhan yang dapat membantu kestabilan tanah seperti rumput vetiver yang mampu menahan erosi karena akarnya yang mampu menjangkau kedalaman 3 meter dan budidayanya mudah.

24

3.2

Studi Kasus Luar Negeri : Strategi Pengembangan Kawasan Pegununungan Friuli

Venezia Giulia, Italia

Gambar 3.1 Lokasi Area pengunungan dari Friuli Venezia Giulia (FVG) A. Pendahuluan Area pengunungan dari Friuli Venezia Giulia (FVG) berlokasi di utara timur dari daerah Italia dan terdiri dari 99 kota dan 4 himpunan gunung seperti yang telah tercantum di Hukum Regional 1/2004, yaitu: 1. Perhimpunan gunung Carnia; 2. Perhimpunan gunung Friuli Occidentale; 3. Perhimpunan gunung Gemonese, Canal de Fiero dan Val Canale; 4. Perhimpunan gunung Torre, Natisone dan Collio. Area pegunungan di Friuli Venezia Giulia, seperti yang disebutkan di dalam Stra.S.S.E.*, meliputi persentase yang cukup besar pada permukaan regional, di lain pihak data populasi menunjukkan penyia-nyiaan secara progresif akan wilayah-wilayah ini dibandingkan dengan Udine, pada umumnya, area regional urban sentral. Masalah utama yang dihadapi berkaitan dengan kerusakan sosial-ekonomi serta perbedaan yang kuat di tingkat regional, kurangnya infrastruktur dan aksesabillitas dan kelemahan secara ekologi. 25

B. Strategi Penyelesaian Masalah Ada 3 alternatif yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang telah terjadi, adalah : 1. Strategi pertama: 4 Skenario Tidak seperti peramalan, yang melihat masa depan dari pengalaman masa lalu dan mengikuti logika deduktif, penataan ruang datang dari keterbatasan memprediksi masa depan. Oleh karena itu, skenario tersebut harus mengeksplorasi berbagai situasi ekstrim yang mungkin dapat terjadi. Penataan ruang memerlukan imajinasi dan seleksi, memperhatikan batasan dan kemungkinan dari berbagai macam konteks. Ada 4 skenario yang telah dibuat yakni: 1) Inertial Scenario 2) Marginal Development Scenario 3) Linear Concentration Scenario 4) Polycentric Network Scenario Setiap skenario telah dibuat untuk memenuhi dan mengakomodasi peraturan yang berbeda menurut fisik, ekonomi dan nilai-nilai sosial serta memadatkannya ke dalam peta untuk meringkas asumsi awal serta garis pedoman desain tersebut.

Gambar 3.2 Inertial Scenario Inertial Scenario dibuat berdasarkan kecenderungan akan area pegunungan FVG yang mengalami depopulasi, kekunoan, aktivitas ekonomi yang menurun, degradasi lingkungan, hilangnya nilai-nilai budaya dianggap sebagai fenomena yang tidak akan pernah berhenti. Oleh karena itu implementasi infrastruktur yang hanya berkonsentrasi di area sentral urban dapat berkontribusi terhadap jatuhnya wilayah regional dan penyia-nyiaan gunung secara pasti. 26

Gambar 3.3 Marginal Development Scenario

Marginal development scenario, secara langsung berbicara mengenai keanehan dan kemungkinan dari area gunung, oleh karena itu strategi pengembangan dimulai dari pengembangan pariwisata pedesaan, implementasi teknologi baru dengan tidak melupakan tradisi yang telah berakar di daerah tersebut.

Gambar 3.4 Linear Concentration Linear concentration scenario bergerak dari hipotesis bahwa busur di daerah pre-alpine dapat menjadi pemersatu dari aktivitas-aktivitas sehingga menghasilkan objek-objek urban bersamaan dengan jalan kereta dan jalan-jalan utama. Skenario ini tidaklah

mempertimbangkan elemen-elemen tegas dari keseimbangan wilayah.

27

Gambar 3.5 Polycentric Network Polycentric network scenario menawarkan kemungkinan untuk mengatur kembali keseluruhan wilayah sebagai keanekaragaman dan menggabungkan sistem wilayah dengan struktur hierarki yang lemah. Jaringan kereta api, diperbaiki dan diintegrasikan dengan transportasi publik, membentuk tulang belakang infrastruktur wilayah serta menyediakan mobilitas dan aksesabilitas yang berkelanjutan juga di area sekeliling. Dengan membandingkan keempat skenario tersebut maka dapat membentuk gambaran masa depan dan menghubungkan dengan kondisi yang terjadi di masa kini. 2. Strategi kedua: Diagram Kunci Tabel 3.1 Perbandingan Keempat Skenario dengan Visi Masyarakat Lokal

28

Gambar 3.6 Skenario yang Diusulkan untuk Area Pegunungan FVG Pada kasus area pegunungan FVG, diagram kunci mendefinisikan: a. Infrastruktur lingkungan sebagai jaringan tidak hanya dalam keadaan setempat tetapi berhubungan juga dengan konteks yang lebih luas; b. Infrastruktur energi berdasarkan prinsip berkelanjutan eksploitasi hutan yang menjadi model akan desentralisasi produksi energi yang dapat memproduksi dan mempertahankan kekayaan alam lokal; c. Infrastruktur mobilitas berdasarkan implementasi atau pemulihan jalur kereta api yang telah ada dan menyebarkan aksesabilitas jaringan. Aksesabilitas, keduanya material dan immateral, sebagai komunikasi, mewakilkan sebuah fitur kunci untuk implementasi dari sebuah skenario dan secara tegas berhubungan dengan populasi yang dinamis. Konsep diagram kunci menggambarkan sebuah langkah awal untuk bergerak dari rencana menjadi tindakan. Hal ini menggambarkan peraturan tata ruang yang paling relevan dan signifikan untuk dilakukan guna mencapai pengembangan regional yang berkelanjutan melalui proses secara menyeluruh dengan perspektif jangka panjang. 29

Gambar 3.7 Rencana Menjadi Tindakan: Konsep Diagram Kunci untuk Area Pegunungan FVG

3. Strategi ketiga: Sistem Polycentric Dari sudut pandang evaluasi kualitatif, perluasan dari jalur kereta api ke San Pietro al Natisone terlihat memberikan hasil yang positif dalam menyeimbangkan koneksi keluar dan masuk serta dalam meningkatkan kulitas hidup untuk penduduk lokal dengan menguatkan peran dari pokok-pokok yang telah ada.

Gambar 3.8 Proposal Sebuah Urban-Rural Sistem Polycentric 30

Jalur kereta api menghubungkan San Pietro al Natisone-Cividale del Friuli-Udine menyokong aktivitas-aktivitas secara luas. Pengembangan wilayah dengan konsep tata ruang polycentric membentuk sistem urban-rural yang didukung oleh jalur kereta api yang memudahkan serta menyebarkan aksesibilitas untuk fasilitas-fasilitas umum dan tempat-tempat umum seperti Cividale del Friuli dan Udine.

3.3

Studi Kasus Lokal :

3.3.1 Permasalahan, Manajemen dan Strategi Wilayah Cagar Alam Pegunungan Cyclops, Jayapura, Papua a. Profil Singkat Cagar Alam Pegunungan Cycloops Cagar Alam Pegunungan Cycloops merupakan salah satu kawasan konservasi di Papua yang ditunjuk sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 56/Kpts/Um/1/1978 tanggal 26 Januari 1978 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 365/Kpts-II/1987 tanggal 18 Nopember 1987 dengan luas 22.500 Ha. Secara Geografis Cagar Alam Pegunungan Cycloops terletak pada 145-30 BT dan 2-31 LS. Cagar Alam Pegunungan Cycloops terletak memanjang dan membentang dari teluk merah ke arah timur. Gunung Rafeni merupakan puncak tertinggi dalam kawasan ini, ketinggiannya mencapai 1.880 meter dpl. Secara adminitrtif Cagar Alam Pegunungan Cycloops terletak pada Distrik Jayapura Selatan Jayapura Utara, Sentani dan Depapre Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura Provinsi Papua. Cagar Alam Pegunungan Cycloops sebelah utara dibatasi oleh laut Pasifik, sebelah selatan dibatasi oleh Kota dan Kabupaten Jayapura, sebelah timur dibatasi oleh Kota Jayapura dan sebelah barat dibatasi oleh Distrik Depapre.

Gambar 3.9 Profil Cagar Alam Pegunungan Cycloops 31

b. Potensi Flora dan Fauna Kawasan ini terdiri dari 5 tipe ekositem utama yaitu Hutan Hujan dataran rendah, Hutan Pegunungan, Hutan Sekunder, Padang Rumput . Potensi Flora dalam kawasan ini adalah beberapa jenis Anggrek Potensi fauna yang ada antara lain Kakatua Raja, dan beberapa jenis Kelelawar. Salah satu jenis hewan karnivora berkantong yang ditemukan di kawasan ini adalah Dasyrys albopunctatus.

c. Karateristik Wilayah Wilayah sampling Masyarakat lokal Topografi : Desa Waybron Distrik Sentani Barat Kabupaten Jayapura. : Moi (memiliki ketergantungan yang kuat terhadap hutan). : berbukit-bukit, berawa-rawa, pegunungan dan tanah datar, dan sungai yaitu Sungai Armu dan Sungai Arbei. Selatan Barat Iklim Curah Hujan/year : Tanah basah dan berawa-rawa banyak ditumbuhi tanaman sagu : Perbukitan yang ditumbuhi alang-alang sulit untuk pertanian : 21 C - 35,6 C : 1.310 1.933 mm3.

Gambar 3.10 Peta Kawasan C.A Pegunungan Cycloops

32

d 1)

Permasalahan Kawasan Pegunungan Pemukiman dan Pertambahan Penduduk Pemukiman tidak sesuai prosedur dan rencana tata ruang wilayah kabupaten Jayapura Dibangun dikawasan cagar alam Akibat pertambahan penduduk dan kebutuhan perumahan dengan keterbatasan lahan Fokus Pembangunan sumber daya lahan Kabupaten dan Kota Jayapura sejak tahun 1985-2004 belum diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan pokok pengelolaan sumberdaya lahan yang memenuhi prinsip-prinsip kelestarian

Gambar 3.11 Kondisi Fisik Cagar Alam Pegunungan Cycloops Keterangan : HP : Hutan Primer HS : Hutan Sekunder HB : Hutan Belukar PL : Perladangan LK : Lahan Kritis RW : Rawa-Rawa AA : Alang-Alang PIS : Pembangunan Infrastruktur 33

2)

Status Penguasaan Tanah/Lahan di dalam Kawasan Peranan kebudayaan tradisional masih sangat kuat bagi masyarakat asli suku sentani yang pada umunya mendiami Kabupaten Jayapura Sistem adat mempengaruhi sistem pemanfaatan lahan/tanah dan sumber daya alam yang lebih dikenal dengan (Hak Kepemilikan) Hak Ulayat. Masyarakat suku sentani menganggap bahwa kawasan hutan cagar alam pegunungan cycloop merupakan tanah adat yang merupakan hak ulayat mereka sehingga mempengaruhi pengelolaan pgunungan Cyclops kedepannya Instansi terkait sudah melakukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan, namun tidak berhasil menimbulkan konflik sesama pemilik hak ulayat berhentinya program pemberdayaan untuk mencegah tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan cagar alam cycloop.

3)

Penebangan kayu Kegiatan pembalakan hampir dilakukan seluruh kelompok masyarakat selaku pemilik hak ulayat atas areal tersebut dan imigran lokal dari daerah lain. Pengambilan kayu di hutan karena letak kawasan yang dekat dengan pemukiman

masyarakat serta kebiasaan dari masyarakat pemilik tanah (hak ulayat) yang bebas melakukan aktifitas didalam kawasan karena menganggap bahwa areal tersebut adalah hak ulayat mereka. Ketidak mampuan masyarakat membeli kompor dan bahan bakar

4)

Rusaknya Sumberdaya Air & Lahan Sumber-sumber air bersih yang tadinya berjumlah 34 sungai yang berhulu di Cycloop telah mengalami kekeringan hingga 14 sungai Diakibatkan oleh berbagai kegiatan penduduk dalam bentuk perladangan, pembangunan rumah penduduk disekitar sumber air dan penambang serta pengambilan material pasir dan batu 12 dari 14 sungai ini bermuara di Danau Sentani yang sebagai sumber air bersih bagi penduduk yang berada disekitar Danau Sentani.

34

Penyebab lain kekeringan sumber air / sungai-sungai diwilayah hulu Cycloop adalah perladangan berpindah pada kelerengan > 30% yang berdampak pada bencana longsor yang mengakibatkan pencemaran pada sungai dan penumpukan sedimen akibat longsor

Kegiatan pertambangan galian C dan pendulangan emas diwilayah jembatan II, mengakibatkan Danau Sentani mengalami pendangkalan.

4.

Strategi dan Manajemen Wilayah Pegunungan Agar eksistensi cagar alam Cycloop tetap terjamin maka diperlukan upaya pengelolaan

yang yang tepat guna meminimalisir kerusakan yang ada. Untuk merencanakan kegiatan pengelolaan tersebut tentu saja juga diharapkan untuk mengatasi permasalahan atau kerusakan hutan yang terjadi di dalam kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloops. a) Pemantapan Kawasan Pemantapan kawasan hutan perlu dilakukan melalui beberapa bentuk antara lain : a. Pemetaan situasi dan kondisi cagar alam cycloop seperti penyebaran tingkat kerusakan/ degradasi serta kerawanan bencana longsor dan banjir pada kawasan cagar alam cycloop. Tujuannya adalah supaya masyarakat mengetahui dengan jelas lokasi-lokasi dan luas areal yang sudah rusak serta daerah yang rawan bencana. b. Rekonstruksi pal batas yaitu mengembalikan pal-pal batas kawasan yang sudah hilang atau rusak. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat mengetahui dengan jelas batasbatas kawasan cagar alam cycloop sehingga tidak melakukan aktifitas didalam kawasan tersebut. c. Pemancangan papan pengumuman / peringatan disetiap titik-titik jalan yang rawan kerusakan.

b)

Model Daerah Penyangga Pembangunan daerah penyangga merupakan bagian integral dari pembangunan

daerah secara terpadu. 1. Daerah penyangga sebagai pendukung kawasan konservasi dan merupakan daerah yang sangat potensial untuk dikelola 2. Pengelolaan didasarkan pada tiga aspek yang saling terkait, yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat, sehingga daerah penyangga mampu 35

meningkatkan taraf hidup dan persepsi masyarakat dalam menjaga keutuhan kawasan konservasi. 3. 4. Pengelolaannya perpaduan keserasian pengelolaan lahan hutan dan pertanian Penataannya atas wilayah-wilayah (zonasi). Sebagai contoh daerah penyangga Taman Nasional Berbak Jambi dibangun berdasarkan zonasi berupa jalur yaitu Jalur Hijau, Jalur Interaksi, dan Jalur Kawasan Budidaya dapat menjadi model daerah penyangga taman nasional yang dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian taman nasional.

c)

Rehabilitasi Lahan Dengan Praktek Agroforestry Pengelolaan hutan dan kawasan konservasi, termasuk dalam Kepmen No. 311/

Kpts-II/2001, tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, hutan tanaman, dan hutan rakyat dalam bentuk agroforestry. 1) Praktek agroforestry yang dikembangkan bersama masyarakat, melalui hutan rakyat. 36

2) Agroforestry yang dikembangkan masyarakat petani menghasilkan hasil hutan non kayu sebagai hasil utama. Secara ekologis berfungsi sebagai hutan alam karena stratifikasi tajuk dari perpaduan jenis tanaman bersifat perdu dan pohon termasuk buah dan tanaman jenis pohon yang berasal dari hutan alam (Michon dan Foresta, 1995).

Gambar 3.12 Perlindungan Cagar Alam dengan Pohon Batas d) Penanaman Pohon Batas Tujuan dari kegiatan ini yaitu menanam pohon/tanaman sebagai pengganti pal batas sepanjang batas kawasan cagar alam cycloop. Jenis pohon/tanaman yang perlu ditanam adalah a. Jenis tanaman kayu-kayuan seperti merbau, matoa, sengon dan cemara. Bila tanaman ini tumbuh besar dapat ditebang masyarakat tanpa harus masuk cagar alam b. Jenis tanaman yang bersifat multi fungsi seperti pohon pinang, bambu dan buah merah. Mengingat jenis tanaman ini mempunyai banyak fungsi maka perlu ditanam disepanjang batas kawasan. Sedangkan pola tanamnya harus pada batas luar kawasan dan melibatkan penduduk perumahan sekitar cagar alam.

37

e)

Program Perlindungan Dan Konservasi Sumber Daya Alam Sasaran yang hendak dicapai dalam program ini adalah terlindunginya kawasan

konservasi dan kawasan lindung dari kerusakan akibat pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif. Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi : Pengkajian kembali kebijakan perlindungan dan konservasi sumber daya alam Perlindungan sumber daya alam dari kegiatan pemanfaatan yang tidak terkendali dan eksploitatif terutama kawasan konservasi dan kawasan lain yang rentan terhadap kerusakan Pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati dari kepunahan, termasuk spesies-spesies pertanian dan biota-biota laut Pengembangan sistem insentif dalam konservasi sumber daya alam Penyusunan mekanisme pendanaan bagi kegiatan perlindungan sumber daya alam Inventarisasi hak adat dan ulayat dan pengembangan masyarakat setempat Peningkatan partisipasi masyarakat dan pengembangan kerja sama kemitraan dalam perlindungan dan pelestarian alam Pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan di kawasan-kawasan konservasi darat dan laut Perlindungan dan pengamanan hutan Penanggulangan dan pengendalian kebakaran hutan Peningkatan penegakan hukum terpadu dan percepatan penyelesaian kasus

pelanggaran/kejahatan kehutanan Pemantapan pengelolaan kawasan konservasi dan hutan lindung Penguatan sarana dan prasarana pengelolaan kawasan konservasi Pembentukan dan peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi dan kawasan lindung Pengembangan kawasan konservasi laut dan suaka perikanan Pengembangan budidaya perikanan berwawasan lingkungan Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangan bidang konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup

38

Evaluasi lingkungan dan kawasan konservasi alam geologi untuk pelestarian lingkungan hidup

Konservasi geologi dan sumber daya mineral Penanggulangan konversi lahan pertanian produktif dalam rangka peningkatan ketahanan pangan.

f)

Pengamanan Cagar Alam Cycloop Dalam rangka melakukan pengamanan terhadap kawasan cagar alam cycloop, maka

perlu dilakukan beberapa tindakan pengamanan sebagai berikut : a. Membentuk polisi hutan adat yang direkrut dari masyarakat setempat yang berasal dari kampung-kampung yang dilalui cagar alam cycloop. Hal ini perlu dilakukan mengingat ada sebagian kawasan yang sangat susah aksesibilitasnya sehingga tidak pernah dikontrol oleh polisi kehutanan dari BBKSDA Papua maupun Dinas Kehutanan. b. Memasang papan pengumuman dan larangan disekitar kawasan hutan. c. Melakukan pengawasan / patroli rutin ke setiap lokasi yang rentan terhadap kerusakan. d. Menerapkan sanksi yang jelas bagi yang melakukan pelanggaran. e. Pengembangan dan penguatan kelembagaan masyarakat disekitar kawasan hutan.

3.4 Kawasan Gunung Sindoro, Jawa Tengah Kawasan Gunung Sindoro merupakan deret 2 buah gunung yaitu Gunung Sindoro itu sendiri dan Gunung Sumbing. Berikut masing-masing deskripsi dari gunung tersebut:

Nama Lokasi

: Gunung Sindoro : Desa Katekan, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung

Ketinggian Wilayah

: 3.155 m dpl : Kabupaten Temanggung, dan Kabupaten Wonosobo.

Tipe Gunung : Gunung Api Strato Tipe B

Gambar 3.13 Gunung Sindoro 39

Nama Lokasi

: Gunung Sumbing : Desa Pager Gunung, Kecamatan Tjepit, Kabupaten Temanggung

Ketinggian Wilayah

: 3. 340 m dpl : Kabupaten Temanggung, Magelang, Wonosobo dan Purworejo.

Tipe Gunung : Gunung Api Strato Tipe B

Gambar 3.14 Gunung Sumbing Potensi daerah keduanya : 1) Penggunaan lahan yang ada di daerah ini antara lain permukiman, persawahan, semak, serta perkebunan 2) Sektor Pertanian menjadi tumpuan utama dengan hasil pertanian meliputi Padi, Jagung, Ketela, kacang-kacangan, Sayur-sayuran dan buah-buahan

Pembagian Kawasan: Kawasan Lindung: 1) Kawasan lindung adalah suatu wilayah yang keadaan sumberdaya alam air, flora dan fauna seperti hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata, daerah sekitar sumber mata air, alur sungai, dan kawasan lindung lainnya 2) Memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut : a. Mempunyai kemiringan lereng > 40%, b. Mempunyai ketinggian di atas 2000 m dpal. c. Kawasan lindung gunung sindoro dengan luasan sebesar 389,2 ha 40

Kawasan Penyangga: 1) Keadaan fisik satuan lahan memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara ekonomis, lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga. 2) Tidak merugikan lingkungan hidup bila dikembangkan sebagai kawasan penyangga. 3) Kawasan penyangga gunung sindoro dengan luasan sebesar 1.398,7 ha Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan (Kode C) : 1) Kawasan fungsi budidaya tanaman tahunan adalah kawasan budidaya yang diusahakan dengan tanaman tahunan seperti Hutan Produksi Tetap, Hutan Tanaman Industri, Hutan Rakyat, Perkebunan (tanaman keras), dan tanaman buah buahan. 2) Suatu satuan lahan ditetapkan sebagai kawasan dengan fungsi budidaya tanaman tahunan apabila besarnya nilai skor kemampuan lahannya 124 serta mempunyai tingkat kemiringan lahan 15 - 40% dan memenuhi kriteria umum seperti pada kawasan fungsi penyangga. Kawasan Budidaya Tanaman Semusim (Kode D) 1) Kawasan fungsi budidaya tanaman semusim adalah kawasan yang mempunyai fungsi budidaya dan diusahakan dengan tanaman semusim terutama tanaman pangan atau untuk pemukiman Permasalahan : 1) Lahan Kawasan Gunung Sindoro yang mulai kritis akibat pemanfaatan lahan untuk pertanian oleh masyarakat sekitar yang melebihi batas kawasan lindung sehingga wajah gunung Sindoro kini Gundul

2) Kawasan Gunung Sindoro yang pemanfaatannya difokuskan pemerintah untuk kawasan kelestarian lingkungan yang artinya kawasan lindung.

41

Dampak Kerusakan Pegunungan Sindoro: 1) Terjadinya Erosi a. Erosi membawa endapan lumpur masuk ke Bendungan Mrican (Banjarnegara) b. Endapan pada bendungan mengakibatkan pendangkalan dan berkurangnya masa bangunan 2) Terjadinya Banjir a. Erosi membawa endapan lumpur masuk ke Bendungan Mrican (Banjarnegara) b. Endapan pada bendungan mengakibatkan pendangkalan dan berkurangnya masa bangunan 3) Kerusakan Lingkungan a. Adanya kerusakan Lingkungan memberikan Ancaman terhadap satwa dan fauna b. Kerusakan hutan dengan demikian akan menyebabkan hutan tidak mampu berfungsi sebagaimana yang diharapkan 4) Berkurangnya Cadangan Air Tanah danPenurunan Kualitas Lahan a. Hal ini dikarenakan pengalihan fungsi akan mendorong peningkatan jumlah/ volume aliran permukaan yang melaju dari arah hulu ke arah hilir b. lapisan top soil pada lahan yang tererosi telah banyak yang hilang melalui aliran permukaan Strategi Manajemen Kawasan Pegunungan Sindoro 1) Melaksanakan kegiatan budidaya yang sesuai dengan kaidah konservasi a. membuat sistem terasering yang searah kontur b. pengelolaan tanaman yang dapat mengendalikan erosi 2) melaksanakan kegiatan perbaikan kawasan secara berkesinambungan dan terintegrasi, 3) Melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pembelajaran mengenai pemahaman lingkungan 4) memberikan alternatif komoditas/ jenis tanaman yang ramah lingkungan. 5) Melibatkan petani dan penyuluh dalam identifikasi masalah di lapangan, perencanaan, serta pemilihan dan penerapan teknik konservasi tanah dan air. 6) Meningkatkan peran Departemen Pertanian dalam konservasi tanah dan rehabilitasi lahan,

42

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan Strategi dan Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Pegunungan Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Kebijakan Penataan Ruang bagi Kawasan Pegunungan ialah dengan : 1. Meningkatkan kegiatan perbaikan kawasan pegunungan 2. Peningkatan kemampuan dan kapasitas pengelolaan potensi kawasan pegunungan 3. Memperbaiki kondisi kehidupan sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat 4. Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan secara selektif didukung dnegan sarana dan prasarana memadai Strategi Penataan Ruang Kawasan Pegunungan ialah dengan : 1) peningkatan pembongkaran kawasan permukiman di kawasan yang melanggar ketentuan pembangunan permukiman yaitu di lereng yang kemiringan >30% , ketinggian >1000 m, KDB maks pedesaan 5% dan sanksi tegas 2) Pengembangan pusat potensi lahan pertanian di ketinggian 1000-2000 m dan kemiringan < 40% dengan menyisakan lahan tak boleh diganggu sebesar 60-90% 3) Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan peningkatan pelayanan sosial yang berasal dari retribusi dari sektor ekonomi khsusnya pariwisata dari objek wisata alam pegunungan, pertambangan, perkebunan, pertanian dan kehutanan pegunungan. 4) Pengembangan kegiatan ekonomi kawasan pegunungan yang belum berkembang dengan memanfaatkan sumber daya lokal (SDM, SDA ) NSPM Kawasan Pegunungan disusun berdasarkan peraturan normative : a) UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang b) PP No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN c) PP No.68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang di kawasan

43

d) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (sebagai acuan penataan ruang kawasan puncak lainnya) e) PP No.16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah f) UU No.1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman g) PP No.24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan h) PP No. 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan i) Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Ekosistem Pegunungan yang ditebitkan Deputi VI KLH j) Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman. Standar teknis dan prosedur serta manual perencanaan dan pengembangan wilayah pegunungan disusun berdasar aturan normative diatas dengan memadukannya dengan aturan tata guna lahan kawasan pegunungan.

4.2 Kesimpulan Studi Kasus 1. Area pengunungan dari Friuli Venezia Giulia (FVG) berlokasi di utara timur dari daerah Italia, Masalah utama yang dihadapi berkaitan dengan kerusakan sosial-ekonomi serta perbedaan yang kuat di tingkat regional, kurangnya infrastruktur dan aksesabillitas dan kelemahan secara ekologi. Strategi pengembangan kawasan pegunungan Friuli yang sustainable ialah dengan menerapkan 3 strategi : a) Strategi 1 dengan 4 skenario pembangunan b) Strategi 2 membuat diagram kunci c) Strategi 3 : sistem polycentric 2. Untuk mencegah kerusakan hutan yang terjadi pada kawasan cagar alam pegunungan cycloop, maka ada beberapa strategi pengelolaan kawasan guna mengendalikan kerusakan yang terjadi yang perlu dilakukan antara lain : Pemantapan Kawasan, Model Daerah Penyangga, Rehabiitasi Lahan dengan Praktek Agroforestry, Penanaman Pohon Pembatas, Program Perlindungan Dan Konservasi Sumber Daya Alam Cagar Alam Cycloop. 44 Pengamanan

4.3 Saran 1. Pengembangan permukiman di pegunungan harus memenuhi syarat dan pedoman pembangunan di kawasan tersebut. 2. Pemberdayaan masyarakat diperlukan untuk mengurangi tingkat ketergantungannya terhadap potensi kawasan pegunungan. 3. Potensi-potensi yang ada seperti penduduk (tenaga kerja), potensi ekonomi (kekayaan alam dan hasil bumi) dan budaya masyarakat sekitar kawasan dapat dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
4. Pemerintah dalam hal ini instansi terkait perlu membuat dasar hukum yang berbasis

mitigasi dan pembangunan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Paramita,

Beta.

2010.

Petunjuk

Teknis

Kawasan

Permukiman

Bandung

Utara.

http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/19781231200 5012-BETA_PARAMITA/Petunjuk_Teknis_KBU.pdf diakses tanggal 19 Februari 2013 Purnomo, Hadi. 2010. Konservasi Sumberdaya Lahan dan Strategi Manajemen Wilayah dikawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloops (CAPC) Jayapura, Provinsi Papua, diunduh dari http://blog.ub.ac.id/kapttenhadi/files/2012/09/Tugas-1-TKSDL-

19911.docx tanggal 21 Februari 2013

Dept. PU. Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah di Kawasan Pengembangan Baru (Provinsi: NTT; Maluku; Maluku Utara; Irjabar dan Papua). Diunduh dari http://penataanruang.pu.go.id/kpb/Jakstra_REKAP.htm tanggal 20 Februari 2013 AP. Fedrik, A. Roland, & Daniel,. 2010. Jurnal: Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Hutan dan Strategi Pengendaliannya (Studi Kasus Pada Cagar Alam Pegunungan Cycloops) Kabupaten Jayapura Provinsi Papua.

W. Hastanti, B., & Nurapriyanto, I., 2003. Jurnal: Kajian Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Suku MOI disekitar C.A. Peg. Cycloops di Jayapura. 45

You might also like