You are on page 1of 3

MERETAS PROFESIONALISME GURU DAN DOSEN Kegiatan pendidikan merupakan kegiatan yang sangat penting, karena pendidikan tersebut

jika dilihat secara lebih detail tidak hanya membina aspek kognitifnya saja, akan tetapi juga membina aspek afektif seseorang. Maka dari itu pendidikan harus diselenggarakan secara sistematis agar pendidikan tersebut dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan. Terlebih lagi pendidikan Islam, pendidikan Islam membina anak didik tidak hanya segi jasmaniahnya saja akan tetapi juga membina segi rohaniah. Pendidikan Islamiah memberikan penekanan yang lebih kepada keimanan, kerohanian dan akhlak. Namun begitu, dalam masa yang sama aspek-aspek kehidupan manusia dan lain-lain seperti pendidikan jasmani, akal dan kemahiran tidak diabaikan. Pendidikan dari segi individu ialah pengembangan potensi-potensi pendidikan diri manusia yang terpendam dan tersembunyi. Ini karena manusia mempunyai berbagai bakat dan kemampuan yang mana jika kita bijak menggunakannya, maka hal itu akan memberi peluang yang menguntungkan. Namun begitu, pendidikan dari kaca mata Islam, tujuan pendidkan dalam Islam sebagaimana jelas dalam al-Quran dan Sunnah, ialah untuk membawa seseorang Muslim atau masyarakat Islam agar mampu merealisasikan akidah, ibadah dan sistem akhlak untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan berbagai elemen yang harus koheren dan profesional, terutama pendidik. Keprofesionalisasian merupakan hal yang mendasar yang harus ada dalam diri seseorang yang menjalankan suatu kegiatan agar kegiatan tersebut dapat berhasil dengan baik. Demikian juga mengenai pendidikan Islam, agar tujuan pendidikan Islam dapat dicapai dan juga kegiatan pendidikan dapat berjalan dengan baik, maka pendidik dalam pendidikan Islam haruslah profesional. Tanpa adanya pendidik yang profesional, maka pendidikan Islam tidak akan dapat berjalan dengan baik. Di samping itu, untuk menjadi pendidik yang ideal dan berkualitas, maka seorang pendidik harus memperhatikan kinerjanya dan selalu meningkatkan kinerjanya. Biasanya bagi pendidik atau guru baru, mereka tidak mengetahui kinerja dan kewajibannya. Apabila seorang pendidik tidak mengetahui kinerjanya, maka yang terjadi adalah tidak adanya peningkatan kinerja atau bahkan kemerosotan kinerja. Tanpa peningkatan kinerja, maka pendidik akan mengalami stagnasi dan kurang profesional. Terlebih dalam era modern sekarang ini, pendidik harus mempunyai kompetensi tertentu untuk melaksanakan tugasnya. Pendidik harus mampu bekerja seprofesional mungkin agar pendidik memperoleh tunjangan yang berupa tunjangan keprofesioanlisasian. Apabila pendidik tidak mampu meningkatkan kinerjanya, maka yang terjadi adalah pendidik tersebut akan sulit untuk menaikkan pangkatnya, terlebih lagi menuju sertifikasi dan kualifikasi pendidik. Akan tetapi kenyataan yang terjadi adalah pendidik, baik itu guru maupun dosen jauh dari hal tersebut. Sebenarnya, harapan akan adanya pencerahan dan perubahan nasib bagi guru dan dosen telah lama disuarakan sejak masa Orde Baru. Tetapi akibat tekanan politik pada masa Orde Baru begitu kuat mencengkram para pegawai negeri, lebih-lebih para guru dan

dosen, akhimya yang terjadi hanyalah trauma politisyang secara evolutif sangat mempengaruhi pola pikir dan sikap guru dan dosen yang cenderung menurut, nrimoapa adanya meskipun digaji sedikit, tidak kritis (karena takut dimotasi dan dipecat) dan bahkan kehilangan independensi dan profesionalisme-nya. Sebagai konsekuensinya, pendidikan kita saat ini dirundung banyak masalah. Tidak bermutu atau kualitas rendah, disparitas tinggi dan banyak sekolah yang belum memenuhi standar yang layak. Situasi di atas, mirip sekali dengan sebuah puisi menarik yang berjudul Nasibmu Pegawai Negeri (Guru), yang isinya sebagai berikut: nasibmu wahai pegawai negeri (guru) / berhasil dalam tugas sudah tradisi / kerja berat sudah pasti / loyalitas terhadappimpinan harga mati/ komitmen tidak bisa ditawar lagi / gagal dalam tugas dimutasi/ salah sedikit dicaci maki / pulang terlambat dimarahi istri / hidup kaya dicurigai/ kalau miskin salah sendiri/ mau beli beras harus hutang sana-sini / mau mendapat jabatan tinggi harus pandai melakukan loby/ kenaikan pangkat belum pasti / kalau idealis cepat diganti/ kalau kritis dimusuhi / banyak bicara menjadi dibenci/ banyak menentang pasti dibui/ potongan bank dan koperasi tiap bulan menanti/ kenaikan gaji tidak memadai / pasti tidak mampu untuk naik haji / sementara, masuk surga belum pasti/ nasibmu . wahai pegawai negeri. Puisi di atas nampaknya menggambarkan kondisi guru pada masa orde baru dan awalawal orde reformasi. Pada masa itu, memang seorang guru bukan merupakan jabatan yang diidam-idamkan, karena kondisi kehidupan, yang sangat tidak mapan. Bahkan banyak mahasiswa yang meletakkan guru sebagai alternative terakhir, sehingga jabatan guru menjadi jabatan yang terdiskriminasikan. Untuk itu, sejak orde reformasi, Pemerintah Republik Indonesia di era Megawati Soekarnoputri, melalui Depdiknas (kini Kemendikbud) berupaya membongkar trauma politistersebut dengan berusaha memperbaiki sistem, pendidikan nasinonal kita, dengan melahirkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional, yang kemudian dilanjutkan oleh era pemerintahan SBY-Kalla (2004-2009) dengan melahirkan UndangUndang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru. Dikatakan melanjutkan, karena dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab XI pasal 40 ayat 1 dan 2 cukup rinci menjelaskan hak dan kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan. Lahirnya kedua Undang-Undang di atas, tentu saja merupakan sebuah bentuk kebijakan pemerintah untuk membangkitkan kembali dunia Pendidikan Indonesia dan mengembalikan eksistensi guru agar lebih professional dan lebih sejahtara. Dengan ditetapkannya UUGD pada tanggal 6 Desember 2005 (diundangkan pada tanggal 30 Desember 2005), telah menjadi momentum untuk memberikan titik terang agar profesi guru dan dosen tidak lagi dipandang sebelah mata dan terpinggirkan. Undang-undang inilah yang menjadi babak baru perkembangan dinamika keguruan di Republik Indonesia. Sebab, setelah muncul kebijakan tentang UUGD di atas, pemerintah kemudian melahirkan banyak sekali peraturan perundang-undangan yang khusus tentang guru, mulai dari Permendiknas No. 16 Tahun 2005 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi

Pendidik, Permendiknas No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan (diperbarui dengan Permendiknas No. 10 tahun 2009) hingga Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, yang semuanya telah mengatur segala hal tentang masa depan guru yang cukup menjanjikan. Persoalannya sekarang, jika pemerintah sudah punya sekian senjata untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru. Akankah peningkatan mutu pendidikan kita bisa terselesaikan? Mungkinkah kinerja guru dan dosen bisa lebih baik dan profesional? Masih perlu cukup bukti untuk mengatakan ya. Sebab, pengalaman terhadap kebijakan menaikkan gaji guru dan tunjangan fungsional guru pernah terjadi pula pada pemerintahan sebelumnya, yaitu di masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie yang telah melahirkan kebijakan memberikan uang penyesuaian sebanyak Rp 150.000 per bulan untuk semua guru. Dilanjutkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (alm.), yang menaikkan tunjangan fungsional guru hingga rata-rata di atas Rp 200.000, dan tunjangan kepada guru swasta sebesar Rp 75.000 untuk tingkat SD-SMA dan Rp 50.000, untuk guru TK. Tetapi apa yang terjadi? Kebijakan-kebijakan tersebut tetap saja tidak meningkatkan etos kerja dan profesionaIisme guru. Kinerja mereka tetap seperti sebelumnya, malasmalasan, low curiosity,minimalis, mental belajar yang lemah, kreativitas rendah dan tidak produktif. Akankah UU Guru dan Dosen ini akan mengalami nasib yang sama?

You might also like