You are on page 1of 19

Presentasi kasus

SPINAL ANESTESI PADA PRE EKLAMPSIA BERAT

OLEH : Muh. Bayuaji M G. 0097045 PEMBIMBING : Dr. Marthunus Judin, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK LAB/UPF ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2007

KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga presentasi kasus dengan judul SPINAL ANESTESI PADA PRE EKLAMPSIA BERAT dapat diselesaikan. Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Unit Anestesi dan Keperawatan Intensif di FK UNS / RSUD dr. Moewardi Surakarta. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Marthunus Judin, Sp.An selaku kepala bagian Anestesi dan Keperawatan Intensif FK UNS / RSUD dr. Moewardi Surakarta dan pembimbing. 2. Prof. Dr. dr. St. Mulyata, SpAnKIC, selaku staf ahli anestesi 3. Dr. Soemartanto, SpAnKIC selaku staf ahli anestesi. 4. Dr. Beny Suryo, Sp.An, selaku staf ahli anestesi. 5. Dr. Purwoko, Sp.An, , selaku staf ahli anestesi. 6. Dr. Sugeng, Sp.An, , selaku staf ahli anestesi. 7. Dr. MH. Sudjito, Sp.An, selaku staf ahli anestesi. 8. Dr. Supraptomo, SpAn, selaku staf ahli anestesi 9. Dr. Eko Setijanto, SpAn, selaku staf ahli anestesi. 10. Seluruh staf dan paramedis yang bertugas di bagian anestesi RSUD Dr. Moewardi Surakarta. 11. Semua pihak yang telah membantu selama penulisan laporan ini. Saran dan kritikan kami harapkan demi perbaikan laporan ini. Akhirnya penyusun berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan semua pihak yang berkepentingan.

Surakarta, Agustus 2007

ii

Penyusun DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... KATA PENGANTAR..................................................................................... DAFTAR ISI................................................................................................... BAB BAB I. PENDAHULUAN......................................................................... II. TINJAUAN PUSTAKA...............................................................

i ii iii 1 2 7 14 15

BAB III. LAPORAN KASUS..................................................................... BAB IV. PEMBAHASAN............................................................................ BAB V. KESIMPULAN.............................................................................. DAFTAR PUSTAKA

iii

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan anestesi lokal ditandai dengan ditemukannya obat-obatan anestesi lokal sintetis yang lebih dipercaya dan juga ditemukannya teknik baru anestesi regional. Anestesi lokal sangat berguna karena alasan sebagai berikut : 1. Sederhana, harga terjangkau, merupakan zat yang mudah diinjeksikan dan peralatan yang dibutuhkan minimal serta dapat mengurangi kebutuhan post operatif. 2. Efek samping yang tidak diinginkan dari general anestesi dapat dihindari. 3. Metode ini sesuai dengan pasien rawat jalan, operasi singkat dan pada daerah superfisial. Lokal anestesi sangat berguna bagi pasien yang kooperatif. Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek anestesi tercapai setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar. Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal). Indikasi : anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki. Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat dengan lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang sampai 2-3 jam. Kontra indikasi : pasien dengan hipovolemia, anemia berat, penyakit jantung, kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial yang meninggi. A. Premedikasi Premedikasi adalah tindakan yang penting disamping persiapan anestesi lainnya. Maksud dan tujuan premedikasi adalah : 1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien karena menghilangkan rasa cemas dan takut, menimbulkan sedasi, amnesia dan analgesi. 2. Mencegah muntah. 3. Memudahkan induksi. 4. Mengurangi dosis obat anestesi. 5. Mencegah terjadinya hipersekresi traktus respiratorius.

Obat-obat premedikasi yang biasa digunakan adalah : 1. Sulfas Atropin Obat ini dapat mengurangi sekresi traktus respiratorius dan merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi efek bronkhial dan kardial yang berasal dari parasimpatis akibat rangsangan obat anestesi atau tindakan operasi. Pada dosis klinik (0,4 - 0,6 mg) akan menimbulkan bradikardi yang disebabkan perangsangan nervus vagus. Pada dosis yang lebih besar (>2mg) akan menghambat nervus vagus sehingga terjadi takikardi. Efek lainnya yaitu melemaskan tonus otot polos dan menurunkan spasme gastro intestinal. Atropin tersedia dalam bentuk Atropin sulfas dalam ampul 0,25 mg dan 0,5 mg. Obat ini dapat diberikan secara intra muskuler, intra vena dan subkutan. Untuk dosisnya adalah 0,5 mg atau 0,01 mg/kg BB untuk dewasa dan 0,1-0,4 mg/kg BB untuk anak-anak. 2. Pethidin Pethidin adalah derivat fenil disperidin, suatu obat sintetik dengan rumus molekul yang berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek dan efek samping yang hampir sama dengan morfin. Efek anagesi hampir sama dengan morfin, tetapi mula kerja dan masa kerjanya lebih singkat. Efek sedasi, euforia dan eksitasi hampir sama dengan morfin tetapi pethidin dapat menyebabkan kedutan dan tremor akibat rangsangan SSP. Terhadap sistem respirasi akan mendepresi dan menekan reaksi pusat pernapasan terhadap rangsangan CO2. Obat ini juga meningkatkan kepekaan terhadap alat keseimbangan sehingga menimbulkan muntah, pusing terutama pada penderita berobat jalan. Obat ini dapat mengatasi kejang. Pethidin biasanya digunakan untuk nyeri berat atau pada penderita dengan terapi inhibitor monoamin oksidase, oleh karena tidak adanya kemampuan untuk memetabolisme Pethidin sehingga dapat menyebabkan

koma. Dosis Pethidin untuk dewasa 1 mg/kgBB IM. Efek analgetik tercapai dalam 15 menit, efek puncak 45-60 menit durasinya 3-4 jam. 2. Diazepam (Valium) Merupakan obat hipnotik sedatif sebagai premedikasi untuk menghilangkan rasa takut dan gelisah serta sebagai anti konvulsi yang baik. Dapat mendepresi pusat pernafasan dan sirkulasi. Sediaan dalam bentuk ampul berisi diazepam 10 mg/ml injeksi. Dosis 0,2-0,5/kgBB untuk anak 5-10 mg. Pemberian IV, 30 menit sebelum induksi. B. Analgesi Spinal 1. Untuk tujuan klinik, pembagian tingkat analgesi spinal adalah sebagai berikut: a. Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal bawah dan segmen sakrum. b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah umbilikus / Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral. c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk thoraks bawah, lumbal dan sakral. d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral. e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih tinggi. 2. Teknik anestesi : a. Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya kekuatan motorik dan berkaitan keyakinan kalau paralisisnya hanya sementara. b. Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi obat anestesi lokal. c. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil lumbal pungsi, tetapi bila kesulitan, posisi duduk akan lebih mudah untuk pungsi. Asisten harus membantu memfleksikan posisi penderita.

d. Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titikl tertinggi krista iliaka kanan kiri akan memotong garis tengah punggung setinggi L4-L5. e. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis. f. Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1. g. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan jarum lumbal no. 22 lebih halus no. 23, 25, 26 pada bidang median dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang terakhir ditembus adalah duramater subarachnoid. h. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Cabut jarum, tutup luka dengan kasa steril. i. Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika terjadi hipotensi diberikan oksigen nasal dan ephedrin IV 5 mg, infus 500-1000 ml NaCl atau hemacel cukup untuk memperbaiki tekanan darah. 3. Obat yang dipakai untuk kasus ini adalah : Lidodex. Lidokain merupakan aminostilamid, anestetik lokal kuat yang digunakan secara luas dengan cara topikal atau suntikan. Pada anestesi spinal akan terjadi cepat, lebih lama dan lebih efektif dari pada prilain. Onset tercapai dalam 2 menit dan lama kerja 1,5 jam, bila dengan vasokonstriktor lama kerja 2 jam. Anestetik ini efektif bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorbsi dan toksisitas bertambah dan masa kerjanya lebih pendek. Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan dan dapat melewati sawar darah otak. Lidokain di metabolisme di hati dan diekskresikan melalui ginjal. Dosis : a. Analgesi infiltrasi dan blok :

Larutan 0,5 2 %, 2 60 ml dengan atau tanpa epinefrin, dosis maksimal 300 mg tanpa epinefrin dan 500 mg dengan epinefrin. b. Analgesi epidural : Larutan 1-2%, 15-30 ml dengan atau tanpa epinefrin. c. Analgesi topikal : Larutan 2-4% untuk kornea, faring, laring, pipa trakeobronkhial, dosis maksimal 250 mg. Jeli digunakan untuk endoskopi urethra. d. Analgesi spinal : Larutan 5% dengan dekstrosa 7,5% dosis yang digunakan adalah 40-50 mg untuk persalinan perabdominal, 75-100 mg untuk pembedahan ekstremitas bawah dan abdomen bawah, dan 100-150 mg untuk anestesi spinal yang tinggi. Gejala yang timbul pada pemakaian over dosis adalah drowiness dan amnesia khususnya pada penggunaan tanpa epinefrin. Hipotensi, nausea, vomitus, twitching, dan kejang juga dapat terjadi. Reaksi hipersensitivitas akibat lidokain jarang terjadi. 4. Keuntungan dan kerugian anestesi spinal : a. Keuntungan 1. Respirasi spontan 2. Lebih murah 3. Ideal untuk pasien kondisi fit 4. Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru pada pasien dengan perut penuh 5. Tidak memerlukan intubasi 6. Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal 7. Fungsi usus cepat kembali 8. Tidak ada bahaya ledakan 9. Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan b. Kerugian 1. Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general sistem 2. Menyebabkan post operatif headache.

BAB III LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PENDERITA Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan : Ny. S : 26 th : Perempuan : Jaten, Karanganyar : Ibu rumah tangga hamil aterm. Macam Operasi Macam Anestesi Tanggal masuk Tanggal Operasi No CM : SCTP Emergensi : Regional Anestesi dengan teknik spinal anestesi : 9 Agustus 2007 : 9 Agustus 2007 : 85 91 16

Diagnosis Pre Operasi : Pre eklampsi berat respon terapi pada sekundigravida,

B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI 1. Anamnesis a. Keluhan utama : Ingin melahirkan. b. Riwayat Penyakit Sekarang : Datang seorang G2P0A0, kiriman bidan dengan keterangan Pre eklampsia berat dan proteinuria +4, merasa hamil 9 bulan, belum merasa kenceng-kenceng, darah (-), air ketuban (+), gerakan janin masih dirasakan. Hari pertama menstruasi terakhir (HPMT) : 29 November 2006, hari perkiraan lahir :11Agustus 2007, Usia kehamilan 39+5 minggu. c. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat DM Riwayat Hipertensi selama kehamilan Riwayat Asma (-) (+) (-)

Riwayat Alergi Obat/Makanan 2. Pemeriksaan Fisik a. Tanda vital : R : 20 X/menit S : 36,5 C T : 150/80 mmHg N : 88 X/menit BB : 56 kg b. Keadaan umum c. Mata d. Hidung e. Telinga f. Mulut g. Leher h. Thorax i. Abdomen

(-)

: baik, compos mentis, gizi cukup. : conjunctiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, reflek cahaya +/+. : nafas cuping hidung (-), sekret (-). : tak ada infeksi, pendengaran baik. : mukosa dalam batas normal, sianosis (-). : pembesaran limfonodi (-), JVP tidak meningkat. : Cor/Pulmo : Dalam batas normal : I : Perut membuncit, linea fuscha (+), striae gravidarum (+). P : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, TFU 38 cm, taksiran berat janin 3500 gram, teraba janin tunggal, presentasi kepala, bagian terendah belum masuk panggul, His (-). A : Denyut jantung janin (+) 12-12-12.

j. Genital

: VT : Vulva dan urethra tenang, dinding vagina licin, portio mencucu, pembukaan (-), presentasi kepala, kulit ketuban (+).

3. Pemeriksaan Laboratorium Hb Hct AL : 15,8 gr/dl : 47,8% : 11.8. 103 L AT : 274.103 L Gol darah : A GDS : 63 mg/dL BT : 2 30 CT : 4 30

Ureum : 24 Creatinin : 0,4

4. Kesimpulan Kelainan sistemik ringan (-) Kegawatan bedah (-) Kegawatan Obstetri (+) Status fisik ASA II E C. RENCANA ANESTESI 1. Persiapan Operasi - Persetujuan tertulis (+) - Puasa 6 jam - Infus RL 2 cc/kg BB/jam : 28 tetes/menit 2. Jenis Anestesi 3. Teknik Anestesi 4. Premedikasi : Regional Anestesi : Anestesi Spinal : Diazepam 10 mg (IV) Pethidin 25 mg 6. Maintenance : O2 2 liter/menit 7. Monitoring tanda vital selama anestesi setiap 10 menit 8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan D. TATALAKSANA ANESTESI 1. Di Ruang Persiapan Periksa persetujuan operasi dan identitas penderita. Pemeriksaan tanda-tanda vital : T : 150/100 mmHg R : 20 X/menit Cek obat dan alat anestesi. Infus RL 28 tts/menit Jam 17.40 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang. N : 90 X/menit S : 36,5 C

5. Obat Anestesi Regional : Lidodex 50 mg

2. Di Ruang Operasi -

10

Jam 17.45 mulai dilakukan anestesi spinal dengan prosedur sebagai berikut: a. Pasien diminta duduk dengan punggung fleksi maksimal. b. Dilakukan tindakan antiseptis pada daerah kulit punggung bawah pasien dengan menggunakan larutan Iodin 1%. c. Menggunakan sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan menyuntikkan jarum spinal no. 23 pada bidang median dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horizontal ke arah kranial pada ruang antar vertebra lumbal 3-4. d. Setelah jarum sampai di ruang subarachnoid yang ditandai dengan menetesnya cairan LCS, stilet dicabut dan disuntikkan lidodex 50 mg dan pethidin 25 mg. e. Lokasi penyuntikan ditutup dengan perban. f. Pasien dikembalikan pada posisi telentang. Oksigen 2 liter/menit. Jam 17.53 Operasi dimulai, tanda vital dimonitor. Jam 17.55 diberi Canul O2 3lt/menit. Jam 18.00 bayi dilahirkan perabdominal, jenis kelamin lakilaki, berat badan 3500 gram, APGAR 8-9-10, anus (+).Berikan methergin 1 ampul IV, Sintosinon 1 ampul per drip. Jam 18.14 plasenta dilahirkan per abdominal lengkap dengan insersio parasentral. Jam 18.25 infus RL habis diganti infus NaCl. Jam 18 .45 diinjeksi remopain 30 mg dan ketamin 25 mg. Jam 19.05 Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.

11

Monitoring selama operasi. Jam 17.45 17.55 18.05 18.15 18.25 18.35 18.45 18.55 19.05 Tensi (mmHg) 140/90 160/110 150/105 130/105 125/80 90/60 110/70 130/88 145/90 Nadi (X/menit) 78 75 82 90 92 90 89 88 90 Sp O2 (%) 99% 99% 99% 99% 99% 99% 98% 98% 98%

3. Di Ruang Pemulihan Jam 19.10 pasien di ruang pemulihan, posisi Fowler, diberi oksigen 2 lt/menit, dimonitor tanda vital, infus RL 25 tts/menit. Jam 19.25 pasien bisa menggerakkan kaki. Jam 19.45 pasien dapat mengangkat kaki Jam 19.55 pasien pindah bangsal.

12

TERAPI CAIRAN Perhitungan cairan pada kasus ini adalah (BB = 56 kg) Defisit cairan karena puasa 6 jam = 2 X 56 X 6 = 672 cc Kebutuhan cairan selama operasi + kebutuhan operasi besar (lama 1,2 jam) : = (2 X 56 X 1,2) + (8 X 56 X 1,2) = 134,4 + 537,6 = 672 cc Perdarahan selama operasi 500 cc EBV pada pasien ini = 70 X 56 kg = 3920 cc. Persentase perdarahan = 500/3920 X 100% = 12,35 % dari EBV. Jadi kebutuhan cairan total = 672 + 672 + 500 = 1844 cc Jumlah cairan yang telah diberikan : 1. 2. Pra operasi : 500 cc Saat operasi : 1000 cc

Total cairan yang diberikan 1500 cc, jadi masih kurang 344 cc sehingga pemberian cairan masih diperlukan saat pasien berada di bangsal.

13

BAB IV PEMBAHASAN Pada pasien ini, dilakukan anestesi secara regional karena memiliki keuntungan yaitu : 1. Bahaya kemungkinan terjadinya aspirasi kecil karena pasien dalam keadaan sadar. 2. Relaksasi otot yang lebih baik. 3. Analgesi yang cukup kuat. A. Permasalahan dari segi medik 1. Emergensi. 2. Menyangkut 2 nyawa yaitu nyawa ibu dan anak. 3. Diphragma terdorong keatas, sehingga timbul sesak nafas. 4. Supine hipotensi, oleh karena janin menekan vena cava inferior ibu. Hal ini juga mempengaruhi sirkulasi fetomaternal. 5. Khawatir adanya Mendelson syndrome. B. Permasalahan dari segi bedah 1. DIT (Delivery Intake Time) : Kecepatan ahli bedah untuk mengeluarkan induksi. 2. Perdarahan 3. Trauma C. Permasalahan dari segi Anestesi Pemberian Obat-obat anestesi yang sesuai : 1. Premedikasi : Diazepam 10 mg 2. Anestesi spinal : Lidodex 5 % 50 mg dan Pethidin 25 mg. 3. Maintenance : Oksigen 3 liter/menit. Pada kasus ini terjadi defisit cairan sebanyak 344 cc, ini diperoleh dari kebutuhan cairan total ( terdiri dari : defisit cairan karena puasa 6 jam, kebutuhan dasar selama operasi, kebutuhan operasi besar dan kehilangan darah selama operasi ) yang total sebanyak 1844 cc. Sedangkan cairan yang masuk sebanyak bayi dari kandungan, kurang dari 10 menit setelah

14

1500 cc. Untuk mengatasi defisit cairan ini maka diperlukan penambahan cairan saat pasien masuk bangsal. Pada kasus ini, yang dilakukkan anestesi spinal, saat operasi tidak terjadi penurunan tekanan darah. Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal biasanya sering terjadi. Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 75 mmHg atau terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka harus cepat diatasi untuk menghindari cedera ginjal, jantung dan otak, di antaranya dengan memberikan oksigen dan menaikkan kecepatan tetesan infus. Hipotensi dapat terjadi pada sepertiga pasien yang menjalani anestesi spinal. Hipotensi terjadi karena : 1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac out put. 2. Penurunan resistensi perifer. Penurunan venous return juga dapat menyebabkan bradikardi. Untuk mengatasi bradikardi yang terjadi diberikan sulfas atropin 0,25 mg IV. Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot pernapasan, abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami kesulitan bernapas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen yang adekuat.

BAB V KESIMPULAN Telah dilakukan anestesi regional dengan menggunakan teknik anestesi spinal pada penderita pre eklampsia berat dengan ASA II E dengan menggunakan induksi Lidodex 50 mg, Pethidin 25 mg, maintenance O2 2 lt/menit. Pemeriksaan pre anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi, melalui pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga komplikasi anestesi dapat diantisipasi ataupun ditekan seminimal mungkin. Secara umum penatalaksanaan operasi dan penatalaksanaan anestesi pada kasus ini berjalan lancar tetapi masih terdapat adanya defisit cairan sehingga perlu dipenuhi pada pasca operasi di bangsal.

15

DAFTAR PUSTAKA Karyadi Wirjoatmojo, Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk Pendidikan S1 Kedokteran, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 1999/2000. Sulistia Ganiswara, Farmakologi dan Terapi, FK UI, Jakarta, 1996. Michael B. Dobson, Penuntun Praktis Anestesi, EGC, Jakarta, 1994.

You might also like