You are on page 1of 28

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 1 BLOK SISTEM NEFRO-URINARIUS

Tutor: dr. Tisna. Kelompok 1: Iman Hakim W Imelda Widyasari S Mutia Milidiah Gilang Rara A Irma Nuraeni H Raditya Bagas W Isnila F Kelilauw Yefta Nyimas Eva F Fiska Praktika W Fickry Adiansyah G1A011001 G1A011002 G1A011003 G1A011004 G1A011005 G1A011006 G1A011007 G1A011066 G1A011009 G1A011010 G1A009008

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN 2013

BAB I PENDAHULUAN Informasi 1 Seorang wanita umur 19 tahun datang ke IGD dengan keluhan sering buang air kecil (BAK). Tiap BAK disertai rasa panas dan tidak dapat ditahan. Keluhan sudah dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Adanya demam, mual, dan muntah disangkal.

Informasi 2 Keluhan juga disertai rasa sakit ringan di perut bagian bawah. Adanya keputihan dan rasa gatal di kemaluan disangkal. Wanita tersebut merupakann wanita aktif, sudah 2 tahun menikah, dan memiliki 1 anak. Tidak menggunakan alat kontrasepsi. Suami wanita tersebut merupakan pasangan setia, tidak punya partner seks lain. Adanya cairan dan perih/panas di kemaluan suami disangkal.

Informasi 3 Hasil Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi RR Suhu Kepala Leher Thorax Abdomen : baik : compos mentis : 120/70 mmHg : 80x/menit, teraba kuat dan reguler : 18x/menit : 36,8oC : Konjungtiva anemis (-) : JVP tak meningkat : Paru dan jantung dalam batas normal : distensi (-), peristaltik N, supel, distensi suprapubik (-),

nyeri ketok kostovertebrae (-), nyeri tekan suprapubik (+) ringan Ekstremitas : pucat (-), dingin (-)

Informasi 4 Hasil Pemeriksaan Urin

Warna kuning keruh, berat jenis 1.032 dan pH 5,6 Mikroskopis : leukosit (30/LP), leukosit esterase (+), bakteri (++), epitel (+), protein (+), eritrosit (20/LP), silinder (-) Plan : kultur urin

Informasi 5 Diagnosa Terapi : ISK : Trimetropim-Sulfamethoxsazole Forte 800 mg 2 x 1 selama 3 hari

BAB II PEMBAHASAN A. Klarifikasi Istilah 1. Sering buang air kecil a. Normal rata-rata berkemih dalam sehari 5-6 kali dengan volume kurang lebih 300 ml/miksi. Frekuensi atau polakisuria adalah frekuensi berkemih >8 kali dalam sehari (Purnomo, 2012). b. Frekuensi adalah berkemih berulang-ulang lebih dari 8 kali per hari. Setiap kali berkemih volume yang dikeluarkan 200 ml sampai 300 ml. Polakisuria dapat disebabkan oleh produksi urin yang berlebihan atau kapasitas vesica urinaria yang menurun (Purnomo, 2011). 2. Buang Air Kecil (BAK) BAK atau miksi merupakan proses urineasi, yaitu pengeluaran urin dari tubuh. Miksi terjadi ketika sfingter uretra interna dan externa di dasar kandung kemih berelaksasi (Corwin, 2009). 3. Tidak bisa menahan BAK Inkontinensia adalah keadaan seseorang tidak bisa menahan urin yang keluar dari vesica urinaria baik yang disadari atau tidak. Macammacam inkontinensia, antara lain (Purnomo, 2011): a. Paradoksa inkontinensia : Keluar saat vesica urinaria penuh b. Stress inkontinensia : Keluar saat tekanan intra abdomen

meningkat dan terjadi kelemahan otot panggul. c. Urge inkontinensia bisa ditahan. d. True inkontinensia : Pada fistula vesica vagina, ureter ektopik, : Keluar saat hasrat ingin berkemih dan tidak

kerusakan sfingter uretra externa. Salah satu jenis inkontinensia urin adalah inkontinensia kontinu atau continuous incontinence yaitu urine yang selalu keluar setiap saat dan dalam berbagai posisi. Keadaan ini paling sering disebabkan oleh fistula sistem urinarius yang menyebabkan urin tidak melewati sfingter uretra. Penyebab lainnya adalah muara ureter ektopik pada anak perempuan (Purnomo, 2003).

4. Mual Mual adalah sensasi tidak nyaman di abdomen superior dan perasaan ingin muntah (Metz & Hebbard, 2007). B. Batasan Masalah 1. Identitas a. Nama b. Jenis kelamin c. Umur :X : wanita : 19 tahun

2. Riwayat penyakit sekarang a. Keluhan utama : Sering buang air kecil b. Onset c. Kualitas d. Kuantitas e. Progresifitas f. Faktor memperberat g. Faktor memperingan h. Gejala penyerta 3. Analisis Masalah 1. Jelaskan anatomi sistem urinarius! 2. Jelaskan histologi sistem urinarius! 3. Bagaimana fisiologi miksi? 4. Bagaimana mekanisme terjadinya demam? 5. Bagaimana mekanisme terjadinya mual? 6. Apakah diagnosis banding yang sesuai dengan kasus? 7. Apakah penyebab polakisuria? 8. Mengapa ISK bawah tidak disertai dengan gejala sistemik, sedangkan ISK atas disertai gejala sistemik? 9. Apakah semua pertanda inflamasi selalu ditemukan di semua organ tubuh termasuk organ dalam? 10. Apakah gold standar dari masing-masing diagosis diferensial? 11. Bagaimanakah prinsip urinalisis? 12. Apakah diagnosis kerja dari kasus PBL 1? : 2 hari yang lalu : Panas dan tidak dapat ditahan : sering ::::-

a. Definisi b. Etiologi c. Faktor risiko d. Penegakan diagnosis e. Patomekanisme f. Tata laksana g. Komplikasi h. Prognosis 4. Pembahasan Analisis Masalah 1. Anatomi sistem urinarius a. Sistem urinarius superior 1) Ren Ren terdiri dari ren dextra dan ren sinistra. Kedua ren terletak retro-peritoneal pada dinding posterior abdomen. Masingmasing terletak di sisi kanan dan kiri columna vertebralis. Ren sinistra terletak di vertebrae T12-L3, sedangkan ren dextra letaknya lebih inferior karena terdesak oleh hepar di vertebrae L2L4. Ren pada orang dewasa panjangnya sekitar 10 cm, lebarnya 5,5 cm, dan tebalya sekitar 3 cm. Setiap ginjal memiliki berat 150 gram. Sebagian besar bagian ren tertutup oleh arcus costalis. Saat inspirasi diafragma berkontraksi, bergerak naik turun mendorong organ di bawahnya (termasuk hepar) sehingga kedua ren akan turun sejauh 2,5 cm (Snell, 2006).

Gambar 2.1. Ren dextra et sinistra tampak ventral (Putz & Pabst, 2006)

2) Ureter Ureter merupakan tabung muskuler yang mengantarkan urin ke vesica urinarius. Terletak retroperitoneal dan mempunyai tiga area penyempitan lumen: a) Pada peralihan pelvis renalis menjadi ureter (junctura pelvico-ureterica) b) Pada tempat menyilang di depan a. iliaca comunis/permulaan a. iliaca externa (menyilang ketika masuk ke dalam pelvis) c) Pada tempat di mana ureter terletak di dalam vesica urinaria (intramural/uretero-vesical junction/junctura uretero-vesica) Ureter terdiri dari dua pars, yaitu pars abdominalis dan pars pelvina. Pars abdominalis terbentang dari pelvis renalis sampai bagian ventral a.iliaca comunis. Terletak ventromedial m.psoas major dan disilang secara miring oleh vasa spermatica interna/vasa ovarica di sebelah ventralnya. Pars pelvina terbentang dari linea terminalis pelvis ke vesica urinarius. Ureter bermuara ke vesica urinarius secara miring dan keadaan ini membuat fungsinya seperti katup yang mencegah aliran balik urin ke ginjal pada waktu vesica urinaria terisi (Snell, 2006). 3) Vaskularisasi sistem urinarius superior Vaskularisasi ren dimulai dari aorta descendens pars abdominalis yang bercabang menjadi arteri renalis dextra et sinistra. Setiap arteri renalis bercabang menjadi 5 arteri segmentalis. Masing-masing berlanjut menjadi a. Lobares a. Interlobares a. Arcuata a. Interlobulares arteriol aferen glomerulus arteriol eferen glomerulus kapiler peritubuler v. Interlobulares v. Arcuata v. Interlobares v. Lobares v. Segmentalis v. Renalis v. cava inferior (Snell, 2007). Vaskularisasi ureter dibagi menjadi tiga pars, pars 1/3 superior diperdarahi a. renalis, pars 1/3 media diperdarahi a. testicularis/a. ovarica, sedangkan pars pelvina diperdarahi a. vesicalis superior (Snell, 2007).

b. Sistem urinarius inferior 1) Urethra Terdapat perbedaan antara urethra masculine dan feminine, antara lain (Martini et al, 2009): Perbedaan Masculina Panjang 18-20 cm Fungsi Saluran urin dan reproduksi Pars 5 pars a) Urethra Masculina Feminina 3-5 cm Saluran urin Tidak ada

Lima pars pada urethra masculina (Snell, 2006): Pars intra mural Pars prostatica Pars membranacea Pars bulbourethralis Pars spongiosa

Struktur pada urethra masculina (Snell, 2006): Ostium urethra externa Spinchter urethra externa Ostium glandula urethralis Ostium glandula bulbourethralis

Gambar 2.2. Anatomi urethra masculina (Marieb, 2001) b) Urethra Feminina Struktur yang terdapat pada urethra feminine antara lain (Snell, 2006) : Spinchter urethra externa Ostium urethralis Ostium glandula paraurethralis Caruncula urethralis

Gambar 2.3. Anatomi urethra feminina (Marieb, 2001) 2) Vesica urinaria Vesica urinaria terletak tepat di belakang os. pubis, di dalam cavitas pelvis. Vesica urinaria yang kosong terletak di dalam pelvis, bila vesica urinaria terisi maka akan terangkat sampai ke regio hipogastrika. Vesica urinaria yang kosong berbentuk piramidalis mempunyai apex, basis dan sebuah facies superior (Snell, 2006). Vesica urinaria mempunyai dinding penyusun, yang terdiri dari (Snell, 2006): a) Tunika serosa b) Tela subserosa c) Tunika muskularis d) Tela submukosa e) Tunika mukosa 2. Histologi sistem urinarius a) Ginjal Ginjal adalah organ besar berbentuk kacang yang letaknya retroperitoneal pada dinding posterior tubuh. Di atas setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal yang terbenam di dalam lemak dan jaringan

ikat ginjal. Batas medial ginjal yang cekung adalah hilum, yang terdiri atas 3 bangunan besar, yaitu arteri renalis, vena renalis, dan pelvis renalis berbentuk corong. Struktur ini dikelilingi oleh jaringan ikat longgar dan rongga berisi lemak yang disebut sinus renalis (Eroschenko, 2006). Setiap ginjal dilapisi oleh kapsul jaringan ikat padat tidak teratur. Irisan sagital ginjal menunjukkan korteks yang lebih gelap di bagian luar, dan medula yang lebih terang di bagian dalam, yang terdiri atas banyak piramida renalis bentuk kerucut. Basis setiap piramid renalis dan membentuk batas kortikomedularis. Apeks setiap piramid yang bulat meluas ke arah pelvis renalis untuk membentuk papila renalis. Sebagian korteks juga meluas ke masing-masing sisi piramid ginjal untuk membentuk kolumna renalis (Eroschenko, 2006). Korteks ginjal didominasi oleh corpusculum renalis dan tubulus ginjal. Corpusculum renalis terdiri atas kapsula bowman yang mengelilingi glomerulus. Tubulus-tubulus ginjal yang berada di korteks ginjal antara lain tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distal. Sedangkan tubulus kolektivus dan ansa henle mendominasi bagian medula yang terpulas lebih pucat dibandingkan dengan korteks pada pengamatan di bawah mikroskop (Eroschenko, 2006).

Gambar 2.4. Gambaran Histologi Korteks ginjal

Gambar 2.5. Gambaran Histologi Medulla ginjal b) Ureter Dinding ureter terdiri dari beberapa lapisan antara lain lapisan mukosa, muskularis dan adventisia. Mukosa ureter terdiri atas epitel transisional dan lamina propria yang lebar. Epitel transisional memiliki beberapa lapisan sel, lapisan terluar ditandai oleh sel kuboid yang besar. Sel intermedia berbentuk polihedral, sementara sel basal berbentuk kuboid atau silindris rendah (Eroschenko, 2006). Lamina propria mengandung jaringan fibroelastik, yang lebih padat dengan lebih banyak fibroblas di bawah epitel dan lebih longgar di dekat muskularis. Jaringan limfoid difus dan kadang-kadang nodulus limfoid kecil mungkin terlihat di lamina propria (Eroschenko, 2006). Di ureter bagian atas, muskularis terdiri atas dua lapisan otot, lapisan otot polos longitudinal di sebelah dalam dan lapisan otot polos sirkuler di tengah; lapisan ini tidak selalu jelas. Lapisan tambahan yaitu lapisan otot polos longitudinal di sebelah luar terdapat di sepertiga ureter bagian bawah dekat kandung kemih. Adventisia menyatu dengan jaringan ikat fibroelastik dan jaringan adiposa yang

mengandung banyak arteriol, venula, dan saraf kecil (Eroschenko, 2006).

Gambar 2.6. Gambaran Histologi Ureter (Eroschenko, 2006) c) Vesica urinaria Vesica urinaria mempunyai struktur dinding berotot tebal dengan tiga lapisan otot polos yang batasnya tidak jelas. Serosa melapisi permukaan superior dan adventisia melapisi permukaan inferior. Epitel transisional di vesica urinaria yang kosong memperlihatkan sekitar enam lapisan sel. Jika teregang, epitel transisional tampak sebagai epitel berlapis gepeng. Perubahan di epitel disebabkan oleh membran plasma sel superfisial yang lebih tebal dan crusta urothelialis. Crusta berfungsi sebagai engsel, memungkinkan sel mengembang sewaktu teregang; sel menjadi gepeng. Membran plasma yang lebih tebal dan epitel transisional membentuk sawar osmotik terhadap urin (Eroschenko, 2006).

Gambar 2.7. Gambaran Histologi Vesica Urinaria d) Penis

Gambar 2.8. Gambaran Histologi Penis Lapisan pembungkus penis adalah tunika albuginea. Struktur utama penis dibangun oleh 3 silinder, yaitu corpora cavernosa dextra et sinistra, dan sebuah corpus spongiosum di bagian bawah. Corpora cavernosa dextra dan sinistra dipisahkan oleh septum penis atau bisa disebut juga septum mediana. Pada bagian tengah corpus spongiosum terdapat uretra dengan lumen pipih (Eroschenko, 2012).

3. Mekanisme fisiologi miksi Saat volume urin mencapai ambang batas, reseptor regangan akan menangkap sinyal tersebut dan mengirimkan impuls melalui n.splanchnici pelvici menuju segmen S2-S4, kemudian ke otak. Impuls juga dapat dikirimkan melalui saraf simpatis melewati plexus hypogastricus menuju segmen L1-L2, yang selanjutnya ditransmisikan menuju thalamus kemudian ke cortex cerebri. Pusat otak akan mengirimkan impuls eferen ke segmen S2-S4 untuk dilanjutkan melalui n.splanchnici pelvici menuju plexus hypogastrica inferior, kemudian menuju ke m.detrusor vesicae untuk memicu kontraksi m.detrusor, sekaligus merelaksasikan sphincter urethrae interna. Segmen S2-S4 juga mampu mengirimkan impuls melalui n. Pudendus untuk merelaksasikan sphincter urethrae externa sehingga terjadi miksi (Snell, 2007).

4. Mekanisme terjadinya demam Bakteri/Virus Masuk Tubuh Pirogen Eksogen Masuk Darah Area Preoptik; organ vaskulosa lamina terminalis (Neuron pengatur demam / set point hipotalamus) Suhu meningkat Ditangkap makrofag Pirogen Eksogen (seperti: IL-2; IL-6, IL-8)

Mengubah Asam Arakidonat menjadi Prostaglandin

Saraf Aferen

Sinyal pirogen Aktifkan enzim SikloOxigenase (COX) Melepaskan Noradrenalin Traktus Noradrenergik Nukleus Solitarius (Silbernagl, 2006). 5. Mekanisme mual

Iritasi lambung (alkohol aspirin, steroid, HCL)

Vas aktif

permeabilitas pmbuluh darah

Edema lambung

Refleks mual

Aktivasi neuron di Medula Oblongata

Reseptor tegangan

Gambar 2.9. Mekanisme Mual

6. Diagnosis banding yang sesuai dengan kasus a. Uretritis Uretritis adalah iritasi dan pembengkakan uretra, saluran yang mengeluarkan urin dari tubuh. Penyebab uretritis adalah bakteri yang menyebabkan infeksi saluran kemih secara umum (E. coli) atau bakteri penyakit menular seksual (klamidia, gonore, dll). Virus herpes seperti herpes simpleks dan sitomegalovirus juga dapat menyebabkan uretritis (Stamm, 1999). Gejala umum uretritis adalah disuria, hematuria, sering buang air kecil, demam, dan mungkin rasa sakit ketika berhubungan seks (dispareunia). Pada wanita, uretritis dapat menimbulkan keputihan berlebihan (leukorea) (Stamm, 1999). Secara klinis, penderita uretritis tidak dapat dibedakan dengan penderita sistitis. Riwayat tambahan biasanya dengan adanya mitra seksual yang baru, terutama jika mitra tersebut baru saja mengalami uretritis akibat klamidial atau gonokokus, harus menngkatkan kecurigaan infeksi yang ditularkan secara seksual, seperti jika ditemukan servisitis mukopurulen. Hematuria yang jelas, nyeri suprapubik, awitan penyakit yang mendadak, lama penyakit lebih dari 3 hari dan adanya riwayat infeksi saluran kemih mendukung adanya infeksi oleh E. coli atau stafilokokus (Stamm, 1999). Tanda dan gejala uretritis (Guyton, 2008): 1) Terdapat cairan eksudat yang purulen 2) Mukosa memerah dan edema 3) Ada ulserasi pada uretra, iritasi, vesicaliritasi, prostatitis 4) Adanya rasa gatal yang menggelitik, gejala khas pada uretritis G.O yaitu morning sicknes 5) Adanya pus awal miksi 6) Nyeri pada saat miksi 7) Kesulitan untuk memulai miksi 8) Nyeri pada abdomen bagian bawah

9) Pada pria, pembuluh darah kapiler, kelenjar uretra tersumbat oleh pus b. Sistitis akut Sistitis akut atau inflamasi pada vesica urinaria sering disebabkan oleh infeksi bakteri misalnya E.coli, Enterococcus, Proteus, dan Staphylococcus aureus. Sistitis akut mudah terjadi jika pertahanan lokal tubuh menurun. Wanita lebih sering mengalami serangan sistitis daripada pria karena uretra wanita lebih pendek daripada pria (Purnomo, 2011). Reaksi inflamasi menyebabkan mukosa vesica urinaria menjadi eritema, edema, dan hipersensitif sehingga jika vesica urinaria terisi urin, akan mudah terangsang untuk segera mengeluarkan isinya; hal ini menimbulkan gejala frekuensi. Kontraksi vesica urinaria menyebabkan rasa sakit/nyeri di daerah suprapubik dan eritema mukosa vesica urinaria mudah berdarah sehingga timbul hematuria. Tidak seperti gejala pada infeksi saluran kemih bagian atas, sistitis jarang disertai dengan demam, mual, muntah, malaise, dan kondisi umum yang menurun. Jika disertai dengan demam dan nyeri pinggang perlu dipikirkan adanya penjalaran infeksi ke saluran kemih bagian atas (Purnomo, 2011). 7. Penyebab polakisuria (Purnomo, 2011): a. Produksi urin berlebih (poliuri). b. Kapasitas VU menurun disebabkan oleh obstruksi intravesica, penurunan komplians VU, kontraksi VU, atau karena inflamasi (iritasi) pada VU oleh benda asing dalam lumen VU. 8. Ketika bakteri menginfeksi saluran urin bagian bawah, waktu transit bakteri hanya sebentar sehingga tidak sampai menghasilkan efek sistemik termasuk demam, efek sistemik (demam) dihasilkan saat bakteri dari bagian bawah berpindah ke saluran urin bagian atas, saat fimbriae bakteri menempel di mukosa dan menginfeksi saluran urin bagian atas maka akan terjadi peningkatan antibiotik serum akibat reaksi melawan antigen O strain yang dikeluarkan oleh fimbriae bakteri, sehingga tanda tanda gejala

sistemik termasuk demam terjadi saat diketahui adanya infeksi saluran kemih bagian atas (Harrison, 1999). 9. Penyebab inflamasi dapat berupa (Silbernagl, 2006): a. Mikroorganisme, seperti: bakteri, virus, jamur, parasit b. Benda asing (protein asing, misalnya serbuk sarim kristal abses atau silikat); c. Kerusakan jaringan dengan pembentukan debris jaringan, misalnya akibat kerusakan mekanik seperti terpotong, gigitan, gesekan, atau benda asing, senyawa kimia seperti asam atau basa, pengaruh fisik seperti dingin, panas, atau radiasi. Inflamasi akut tampak sebagai reaksi lokal dengan gejala yang sudah dikenal sejak zaman dahulu berupa nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), kemerahan (rubor) dan panas (kalor) (Silbernagl, 2006). 10. Gold standar masing-masing diagosis diferensial a. Uretiritis : Gatal pada daerah genital (pada pria) b. Sistitis : Didapatkan leukosit esterase pada tes distick pada

wanita seringnya tidak ditemukan 11. Urinalisis Spesimen urin harus dikumpulkan di penampung yang bersih, tidak wajib steril. Urin 200 ml pertama di pagi hari adalah spesimen yang dianjurkan. Wanita harus membersihkan genitalia externa dari depan ke belakang sebelum mengumpulkan specimen urin untuk mencegah kontaminasi spesimen (Simmerville et al, 2005). Nilai normal untuk urinalisis adalah sebagai berikut (Simmerville et al, 2005): a. Warna Kuning (light/pale to dark/deep amber) b. Kejernihan Jernih c. pH 4.5-8 d. Berat jenis 1.005-1.025 e. Glukosa 130 mg/dL f. Keton Negatif g. Nitrat Negatif

h. Leukosit esterase Negatif i. Bilirubin Negatif j. Urobilirubin 0.5-1 mg/dL k. Darah - 3 eritrosit l. Protein - 150 mg/d m. RBCs - RBCs/hpf n. WBCs - 2-5 WBCs/hpf o. Sel skuamous - 15-20 squamous epithelial cells/hpf p. Casts 0-5 hyaline casts/lpf q. Kristal Kadang-kadang r. Bakteri Negatif s. Kapang - Negatif 12. Diagnosis kerja kasus PBL 1: Sistitis Akut a. Definisi Sistitis merupakan suatu peradangan kandung kemih, lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria, karena dekatnya muara uretra dan vagina dengan daerah anal. Tanda tanda yang menunjukan terkena sistitis adalah bakteriuria 60 70 % kasus, disuria, sering berkemih, merasa ingin terus berkemih, sakit pada daerah suprapubis (Tambayong, 2000). Cystitis dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu (Nursalam, 2008): 1) Cystitis primer,merupakan radang yang mengenai kandung kemih radang ini dapat terjadi karena penyakit lainseperti batu pada kandung kemih, divertikel, hipertropi prostat dan striktura uretra. 2) Cystitis sekunder, merukan gejala yang timbul kemudian sebagai akibat dari penyakit primer misalnya uretritis dan prostatitis. b. Epidemiologi Menurut dr. H Gunawan Subrata, MBA prevalensi cystitis akut adalah yang paling sering dijumpai dari Urinary Tract

Infection (UTI) terutama pada wanita. Cystitis akut juga bisa dijumpai pada laki-laki usia lanjut dan anak kecil 3-5 tahun dengan

reflux karena katup vesico-ureter yang belum berfungsi normal. Separuh dari wanita dewasa minimal mengalami satu kali atau lebih episode dysuria sepanjang hidupnya. Dysuria merupakan salah satu gejala infeksi saluran kemih. Hubungan senggama juga menjadi penyebab infeksi saluran kemih sebesar 75-90% pada wanita yang aktif secara seksual. Selain itu, paling sedikit 40% infeksi didapat dari rumah sakit dan sebagian besar kasus berhubungan dengan kateter (Subrata, 2011). Di Amerika Serikat, dari 7 juta kunjungan ke dokter setiap tahun, sebesar 2 juta kunjungan karena cystitis. Pada gangguan ini, biaya langsung dan tak langsung yang dikeluarkan sehubungan dengan UTI yang didapat dari komunitas sebesar 1,6 milyar dolar Amerika Serikat (Subrata, 2011). c. Etiologi Mikroorganisme penyebab sistitis antara lain (Kanj et al., 2011): 1) Eschericia coli (70-95%) 2) Staphylococcus saprophyticus 3) Proteus sp. 4) Klebsiella sp. 5) Enterococcus faecalis 6) Enteribacteriaceae d. Faktor risiko (Kanj et al., 2011; Sukandar, 2009): 1) Infeksi saluran kemih seperti cystitis umumnya dimulai dari infeksi nosocomial yaitu penggunaan kateter uretra (80%). Kateter mampun menginokulasikan organisme ke dalm vesica urinaria dan memicu kolonisasi dengan cara menyediakan permukaan adhesi bagi bakteri. 2) Multidrug-resistant gram-negative pathogens 3) Manipulasi genitourinary (5-10%) 4) Hubungan seksual dengan menggunakan spermisida/diafragma 5) Wanita usia lanjut maupun wanita hamil 6) Abnormalitas tractus urinarius

7) Transplantasi renal 8) Litiasis 9) Obstruksi saluran kemih 10) Penyakit ginjal polikistik 11) Nekrosis papilar 12) Diabetes melitus pasca transplantasi ginjal 13) Nefropati analgesik 14) Penyakit Sickle-cell 15) Peserta KB dengan tablet progesteron e. Penegakan diagnosis (Purnomo, 2012): 1) Anamnesis: a) Peningkatan frekuensi miksi (akibat inflamasi mukosa bulibuli sehingga mudah terangsang untuk segera berkontraksi). b) Rasa sakit atau nyeri didaerah suprapubik c) Hematuria (akibat perdarahan dari eritema mukosa buli-buli) d) Jarang disertai dengan demam, mual, muntah, badan lemah, dan kondisi umum yang menurun. 2) Pemeriksaan fisik: Nyeri tekan supra pubik. 3) Pemeriksaan penunjang: a) Pemeriksaan urine Urine berwarna keruh, berbau, dan pada urinalisis terdapat piuria, hematuria, dan bakteriuria. b) Kultur urine Untuk mengetahui jenis kuman penyebab infeksi.

f. Patomekanisme 1) Patogenesis

Kuman (misal E.coli) masuk ke uretra

Multiplikasi dan kolonisasi kuman

Kuman masuk ke saluran kemih melalui cara asending, dari uretra ke VU

Invasi kuman

Berikatan dengan reseptor glikoprotein di membran sel urethelium

Kuman menempel di urothelium

Reaksi inflamasi VU

Gambar 2.10. Patogenesis Sistitis Akut (Corwin, 2009; Price, 2004; Purnomo, 2011) 2) Patofisiologi
Invasi kuman ke vesica urinaria Multiplikasi & kolonisasi bakteri Inflamasi (eritema)

Penekanan pada saraf

VU hipersensitif terhadap impuls regangan

*Edema

Sensasi peregangan

1. Keinginan berkemih terus-menerus 2. Keinginan mendesak berkemih 3. Kontraksi VU

1. POLAKISURIA 2. URGENCY 3. NYERI SUPRAPUBIS + DISURIA

Gambar 2.11. Patofisiologi Sistitis Akut (Corwin, 2009; Price, 2004; Purnomo, 2011) g. Tata laksana 1) Nonmedikamentosa (Djuanda et al, 2011): a) Menjaga dengan baik kebersihan sekitar organ intim dan saluran kemih, cara membersihkan yang benar pada wanita. b) Jangan menahan buang air kecil.

c) Gunakan pakaian dalam dari bahan katun yang menyerap keringat agar tidak lembab. d) Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan hubungan seksual. e) Minum air putih yang banyak karena dapat membantu pengeluaran bakteri melalui urin. f) Mengonsumsi vitamin C karena dapat membuat urin menjadi asam sehingga mengurangi bakteri di saluran kemih. 2) Medikamentosa Pada uncomplicated sistitis cukup diberikan terapi dengan antimikroba dosis tunggal atau jangka pendek (1-3 hari). Tetapi jika hal ini tidak memungkinkan, dipilih antimikroba yang masih cukup sensitif terhadap kuman E. Coli, antara lain: nitrofurantion, trimetoprim-sulfametoksazol, atau ampisillin. Kadang-kadang diperlukan obat-obatan golongan antikolinergik (propantheline bromide) untuk mencegah hiperiritabilitas buli-buli dan

fenazopiridin hidroklorida sebagai antiseptik pada saluran kemih (Purnomo, 2011). a) Trimetoprim-sulfametoksazol (Djuanda et al, 2011): Indikasi Infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, infeksi telinga, infeksi sinus oleh haemofilus influenza dan moraxella Catarrhalis Dosis: Trimetoprim 160 mg + Sulfametoksazol 800 mg Sediaan Tab 120 mg, tab 480 mg, tab 960 mg, syr 240 mg ESO Pada penderita AIDS dapat menimbulkan demam, diare dan leukopenia.

b) Ampicillin (Djuanda et al, 2011): Indikasi Infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, infeksi bakteri gram positif dan gram negatif Kontraindikasi Hipersensitifitas Penicillin, infeksi mononukleosis Dosis 50-100/kgBB per hari Sediaan Tab 500 mg, kaps 500 mg, kapl salut selaput 500 mg ESO Ruam kulit, pruritus, urtikaria, demam, angioedema, glositis, stomatitis, enterokolitik, mual, muntah. c) Nitrofurantoin (Djuanda et al, 2011): Indikasi Infeksi bakteri gram positif dan gram negatif. Dosis 50-100 mg per hari ESO Ruam kulit, pruritus, urtikaria, demam, angioedema, glositis, stomatitis, enterokolitik, mual, muntah, anemia hemolitik pada defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase. d) Fenazopiridin Hidroklorida (Djuanda et al, 2011): Indikasi Menurunkan gejala sakit, menurunkan rasa perih atau terbakar, mengatasi urgensi dan frekuensi Kontraindikasi Gangguan fungsi ginjal, hepatitis Sediaan Kapl 100 mg ESO

Ruam kulit, mual, sakit kepala, vertigo, hepatotoksik, anemia hemolitik jika dosis berlebihan. 3) Resep R/ Ampicillin Trihydrate kaps mg 500 NO. XIV S 2 dd kaps 1 p.c y

R/ Phenazipiridine Hidroklorida kapl mg 100 NO. XXX S 2 dd kapl 2 p.c y

R/ Nitrofurantoin tab mg 100 NO. XXX S 4 dd tab 1 p.c y

R/ Trimethorprim Sulfametoxazole tab mg 960 NO. XIV S 2 dd tab 1 p.c h. Komplikasi sistitis akut (Grace, 2007): 3) Bakterimia dan syok septik 4) Abses ginjal, perinefrik, dan metastasis 5) Kerusakan ginjal dan gagal ginjal akut/kronis 6) Pielonefritis kronis i. Prognosis Prognosis sistitis bisa ditentukn berdasarkan tingkat keparahan (akut bisa menjadi kronis dan kronis bisa relapse), treatment yang adekuat dan efektif, serta tindakan promotif-preventif (Vyas, 2010). xx

DAFTAR PUSTAKA Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC Djuanda, Ardhi., Azrul A., Sofyan I., Merdias A., Rianto S., Rudy F., et al. 2011. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 2011/2012. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Eroschenko, Victor P. 2012. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional Edisi 11. Jakarta: EGC Grace, Pierce & Borley Neil. 2007. At A Glance: Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Erlangga Kanj SS, Kanafani ZA. 2011. Current concepts in antimicrobial therapy against resistant gram-negative organisms: extended-spectrum beta-lactamaseproducing Enterobacteriaceae, carbapenem-resistant Enterobacteriaceae, and multidrug-resistant Pseudomonas aeruginosa. Mayo Clin Proc. Mar; 86(3): 250-259. Marieb, Elaine N. 2001. Human Anatomy and Physiology 5th Edition. San Fransisco: Benjamin Cummings Martini, Frederich H., Nath JL., et al. 2009. Fundamentals of Anatomy and Physiology, 8th edition. San fransisco: Pearson International Education Metz A, Hebbard G. 2007. Nausea and vomiting in adults--a diagnostic approach. Aust Fam Physician; 36 (9): 68892. Nursalam. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC Purnomo, Basuki. 2003. Dasar-Dasar Urologi. Malang: FK Universitas Brawijaya Purnomo, Basuki B. 2011. Dasardasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto Purnomo, Basuki. 2012. Dasar-Dasar Urologi Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto Putz, R. & Pabst, R. 2006. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia Edisi 22 Jilid 2. Jakarta: EGC

Sibernagl, Stefan dan Lang, Florian. 2006. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC Simerville JA, Maxted WC, Pahira JJ. 2005. Urinalysis: a comprehensive review. American Family Physician71 (6): 11531162 Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa kedokteran. Jakarta: EGC. Snell Richard S. 2007. Clinical Anatomy by Systems. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins Stamm, E W et al. 1999. Infeksi Saluran Kemih dan Pielonefritis dalam Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol 2 Edisi 13. Jakarta: EGC Subrata, Gunawan. 2011. Acara Pertemuan Ilmiah Tahunan Pertama Yastroki, 2 Desember 2010. Edisi No 01 Vol XXXVII. http://www.jurnalmedika.com/edisi-tahun-2011/edisi-no-01-vol-xxxvii2011/277-kegiatan/514-guideline-eau-2010-sarankan-terapi-antibiotikjangka-pendek-bagi-penderita-uti, 9 September 2013 Sukandar, Enday. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta: InternaPublishing Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC Vyas, Jatin. 2010. Cystitis Acute. Department of Medicine, Massachusetts General Hospital: Massachusetts. Available at http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000526.htm

You might also like