You are on page 1of 13

Ringkasan: Agama-Agama dan Soal Kekuasaan Dalam Lintasan Sejarah

Sejak dulu manusia tak dapat hidup sendiri dan selalu hidup bersama. Kehidupan bersama berarti manusia hidup dalam dua dimensi. Satu dimensi adalah kehidupan sehari-hari, dimana ia hidup bersama dengan lingkungan sekitarnya, dengan keluarga, suku. Dimensi kedua adalah kehidupan religiuu atau transenden, dimana kehidupan ini menguhubungkan masa depan dan masa lampaunya dengan kehidupan masa kininya dalam satu garis lingkaran kehidupan. Dalam agama-agama monoteis, lingkaran tersebut diluruskan lagi dan sejarah dilihat sebagai suatu gerakan maju, meskipin masa kini dikurung dan disambung dengan masa lampau dan masa depan, dimana kedua ujungnya dipahami sebagai permulaan dan tujuan. Ketika manusia memperluas batas persekutuaannya dan memebentuk satu perkumpulan baru yang terdiri dari berbagai kelompok menjadi satu masyarakat. Masyarakat itu bertekad dan bertujuan mengatur kehidupan tersebut atas dasar yang disepakati bersama. Masyarakat tersebut menghasilkan kota, atau wilayah yang diatur oleh hukum yang sudah disepakati dan diberlakukan oleh dan untuk semua anggota masyarakat secara merata, kecuali yang besifat religius yang merupakan soal-soal masa lampau dan masa depan. Karena dimensi religius itu tidak dapat ditentukan oleh satu kelompok dengan memaksa pemahamannya, maka dimensi religius dalam masyarakat perlu mengambil bentuk yang umum. Dalam teori kemasyarakatan modern J.J. Rousseau, dimensi keagamaan dalam masyarakat umum disebut religion civile, yaitu agama awam yang tidak berakar secara langsung dalam suatu wahyu sebagaimana kebanyakan agama lain, yang merupakan pokok dan nilai estika serta kesusilaan, serta berakar dalam agama-agama yang ada dan berguna sebagai pegangan nilainilai yang membantu kehidupan sosial masyarakat. Religion civile ini terbuka

terhadap agama-agama yang ada, namun tidak sama, semacam agama sekuler yang ada di masyarakat. Agama tidak lepas dari kehidupan bermasyarakat, namun agama yang sekarang tidak sama dengan agama yang dulu, karena setiap kelompok mempunyai paham religius yang berbeda berdasarkan tradisinya masing-masing dan tidak bisa dipadukan begitu saja. Dengan demikian kehidupan bersama mencakup dua dimensi, keseharian dan kereligian, atau politik dan agama. Jadi politik dan agama sebenarnya tidak boleh dipisahkan, tetapi perlu dibedakan dan perlu melihat tempat agama dalam suatu masyarakat.

Agama Kristen
Kekristenan muncul pada masa Imperium Romanum dengan Hellenisme sebagai tulang punggung budayanya dan masyarakat yang universal. Dimana Kristen harus memelihara ciri khas budayanya. Masalah serupa juga dialami umat Yahudi, bahkan umat Yahudi sempat membuat perjanjian dengan imperator Romawi bahwa umat Yahudi tidak dijawibkan untuk ikut dalam civil religion pada masa itu. Namun mereka dilarang keras untuk mengembangkan agama yang bisa menjadi saingan civil religion. Masalah ini dapat dilihat dari kasus Yesus dari Nazaret yang d ianggap sebagai Mesias untuk memberitahukan Kerajaan Allah. Bila Kerajaan Allah dipahami sebagai kerajaan politik maka Mesias dipandang sebagai pemimpin (pemberontak) politik. Umat Yahudi demi menjaga posisinya yang istimewa dan menanggulangi harapan mesianis yang ada ditengah umat Yahudi dan Yesus tidak memberi tanda-tanda akan memenuhi harapan politis Yahudi, karena itu Yesus mendapat segala tuduhan, yang akhirnya membawa Yesus ke kayu salib. Namun akhirnya bangsa Yahudi mendapat masalah juga, ketika Bar Kokhba, seorang pemberontak politis yang diberkati Rabbi Aqiba sebagai Mesias, tetapi akhirnya dikalahkan tentara Romawi dan Yahudi diusir dari Palestina. Umat Kristen tidak pernah memperoleh status istimewa seperti umat Yahudi, walau mulanya Kristen dipandang sebagai sekte Yahudi, namun umat Yahudi selalu berusaha menjauh dari umat Kristen. Karena umat Kristen tidak mengikuti civil

religion dan terpisah dari umat Yahudi, mereka dianggap dan diperlakukan seperti ateis. Umat Kristen mengerti pesannya sebagai pesan sosial dan religius, tetapi bukan pesan politik. Umat Kristen tidak memiliki minat terhadap kekuasaan, mereka hanya akan mendukung yang patut didukung dan sebaliknya. Konflik timbul ketika penguasa saat itu memaksa umat Kristen untuk ikut dalam civil religion, dan siapa yang tidak ikut dianggap sebagai musuh sekaligus ateis. Situasi itu berubah saat agama Kristen mulai dipeluk oleh para Kiasar Romawi, dimulai dengan Kaisar Konstantin (324-337). Saat itu pemahaman teologi Kristen juga berubah. Penyembahan terhadap Yesus sebagai Pantokrator (penguasa atas segalanya) yang menjiwai umat Kristiani pada saat mereka dikejar dan dianiaya. Sikap Yesus dalam Filipi 2 ayat 6-11, digambarkan Mesias tidak mau mempertahankan kekuasaaan dan kemuliaan-Nya, karena itu Ia memutuskan untuk turun ke bumi dan muncul dalam lingkungan yang paling hina dan rendah. Sepanjang hidup-Nya pun, Yesus bersama orang-orang rendah, miskin, atau sakit, hingga akhirnya Yesus mati di kayu salib, yang pada zaman itu hanya diberlakukan terhadap dua kelompok manusia yang paling tercela, yaitu budak dan pemberontak. Yesus atau Mesias dilihat sebagai kyrios dan pantokrator. Penempatan Yesus sebagai kyrios dilihat dari kisah Adam yang diciptakan Allah sebagai wakilnya, namun Adam menentang Allah, lalu Yesus rela menjadi manusia , melepas segala kemegahannya, dan sudi menjadi hamba. Karena itu posisi Adam sebagai kyrios atau pengawas ditempatkan pada Yesus. Penempatan kedua Yesus sebagai pantokrator bagi umat Kristen hadir saat mereka tengah tertindas, disiksa, dan di bunuh. Dalam persembunyian mereka Yesus dianggap sebagai pantokrator dan sejak pada masa Konstantin, Yesus dilukis sebagai pantokrator yang nyata. Tandatanda kekuasaan-Nya adalah imperator tunduk kepada kyrios yang diproklamirkan gereja, tetapi sebagai kaisar ia juga mewakili Mesias sebagai penguasa dunia. . Menurut ahli sejarah Eusebius dari Kaisarea, Kerajaan Kristiani yang baru diletakkan asasnya seyogianya berkembang menggambarkan Kerajaan Surgawi dalam bentuk duniawi, dengan kaisar sebagai wakil Yesus. Pemahaman ini terus dilanjutkan oleh Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium. Salah satu akibat pemahaman ini ialah Gereja Ortodoks Yunani ditempatkan dibawah supremasi kaisar. Kaisar yang paling menghayati pemahaman itu ialah Justinian I (memerintah

527-565), yang hendak mengwujudkan satu agama saja diwilayah kekuasaanya. Salah satu usahanya ialah memperluas kerajaannya, tidak hanya dibagian Timur melainkan juga ke bagian Barat. Politik itu membawa konflik dengan Paus di Roma. Setelah runtuhnya bagian Barat Imperium Romawi, Pauslah yang menyimpan mahkota kaisar sehingga ia menobatkan seorang kaisar baru yang diharapkan akan membangun kembali imperium. Menurut pertimbangan Paus, saat itu telah datang ketika Karel Agung menjadi penguasa Kerajaan Frank dan menguasai sebagaian besar Italia dan Spanyol (tahun 800M). Sejak itu Paus dan Kaisar (Barat) senantiasa bersaing memperebutkan supremasi, yang bertahan hingga zaman Reformasi (abad ke 16 M). Perkembangan itu didorong juga didasari kenyataan sejak runtuhnya imperium Barat, Italia terpecah menjadi berbagai negara kecil, dimana salah satu wilayah yang cukup besar pernah dikuasai Paus. Kekristenan dimulai pada masa kekaisaran Konstantin. Orang-orang Kristen, termasuk para Uskup menjadi kejam. Banyak rakyat yang non-Kristen dalam kekaisaran ditindas dan diintimidasi oleh mereka. Jika dulu orang Kristen dituduh tidak punya agama, tuduhan itu dibalikkan dan mereka menuduh orang-orang nonKristen tidak punya agama yang benar karena merituskan dewa(-dewa) yang salah. Kemudian jumlah penduduk non-Kristen menurun tajam, dan dengan demikian peradapan helenisme pun berakhir. Imperium Romanum dibagi menjadi dua (tahun 395), bagian barat mempertahankan namanya hingga akhir, bagian timur dikenal dengan nama Bizantium. Sejarahnya berakhir tahun 1453 saat ibukota

Konstantinopel ditaklukkan Sultan Ottoman. Romawi Barat, yang berada dalam wilayah Gereja Katolik Roma dihancurkan oleh suku-suku bangsa Jerman. Paus, selaku kepala Gereja Katolik Roma ditetapkan sebagai pelindung mahkota kaisar. Pada natal tahun 800, Paus menobatkan Karel Agung menjadi imperator baru. Setelah Karel Agung meninggal kerajaannya dibagi menjadi dan terjadi konflik berkepanjangan antara kaisar dan Paus mengenai supremasi. Hasilnya kaisarlah yang menang, namun Paus mempunyai kewenangan dalam pengurusan Gereja dan pengangkatan uskup. Gereja dianggap sebagai alat keselamatan, sehingga lebih dekat dengan Allah dibanding dengan Kaisar dengan segala keduniaannya. Pendirian Paus dikukuhkan kembali saat ia menugaskan raja-raja Spanyol dan Portugal untuk menaklukkan dunia ini sesudah Christopherus Columbus

menemukan Amerika. Paus memerintahkan kedua raja itu agar mereka jangan mendirikan kerajaan duniawi, melainkan harus menugaskanwakil-wakil mereka, yakni para gubernur, untuk selaras dengan struktur pemerintahan mereka mendirikan hirarki Gereja Katolik di daerah koloni. Dengan perkembangan itu, hubungan Gereja Katolik Roma dengan penguasa menjadi lebih erat dalam struktur kekuasaan, meskipun tetap berbeda dalam relasi legsl (hukum). Di wilayah-wilayah lain, hanya hak untuk mengeluarkan seorang dari gerejadan, dengan demikian menyatakannya kafir, merupakan kekuasaan Paus yang masih ditakuti. Seorang yang dikenakan kutukan seperti itu tidak bisa memerintah lagi. Dalam tradisi gereja-gereja Protestan, agama dan pemerintahan terpisah kepengurusannya, namun masih tetap bersentuhan. Dalam kisah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terlihat bahwa kerajaan manusiawi biasannya menjurus pada ketidakadilan sehingga perlu diganti dengankerajaan Allah. Ada tiga pokok pandangan yang paling menonjol mengenai sikap Gereja terhadap penguasa, yaitu: Pertama, pemahaman Mesianis. Mesias dalam paham Kristiani bukan juruselamat bangsa sebagai panglima politik melainkan juruselamat umat manusia. Kepada manusia, Dia mengembalikan rasa harga diri sebagai manusia yang dewasa dan bertanggung jawab, sehinggga menjadikannya warga aktif dalam masyarakat dan calon warga dalam kerajaan Allah. Sikap terhadap penguasa duniawi tidak jelas ditetapkan. Hal itu tergantung dari sikap dan watak penguasa sendiri. Kedua, hal ini dituliskan dalam surat Rasul Paulus ke jemaat di Roma pasal 13. Dalam surat ini, Paulus melukiskan suatu pemerintahan yang sikapnya terhadap rakyat seimbang, jujur, dan adil sehingga keamanan warga pun terjamin. Kalau keadaan seperti itu diwujudkan, dan kalau penguasa sendiri memenuhi tugasnya dengan benar, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi orang Kristen untuk tidak taat, apalagi berontak, meskipun penguasa bukanlah orang Kristen. Ketiga, dilihat dari kitab Wahyu pasal 13 dan 17. Pada masa kitab ini ditulis Kristen saat itu sudah berbeda dengan Kristen pada zaman Paulus. Saat itu tidak ada keadilan, kedamaian, keamanan dari penindasan dan kerakusan penguasa. Suasana saat itu benar-benar bertolak belakang dengan kehendak Allah, namun penulis tidak mengajak umat Kristen untuk memberontak, melainkan menjadi lebih

bijaksana, waspada, dan menjauhkan diri dari penguasa agar tidak terlibat dalam tindakan-tindakan lalim penguasa. Sikap orang Kristen terhadap penguasa ditentukan oleh sikap penguasa itu sendiri. Ini mengarah pada masalah masa kini yang agak rumit. Dalam ajaran reformasi penguasa diberi hak oleh Allah untuk menertibkan masyarakatnya. Pada zaman itu belum ada penguasa yang berani menyatakan diri ateis, pemahaman ini disertai peringatan bahwa pada saatnya penguasa tersebuat akan

mempertanggungjawabkan segala perbuatannya dihadapan Allah. Pemahaman bahwa penguasa berkuasa atas anugerah Allah, pada masa kini sudah tidak lagi dipegang, walaupun masih banyak penguasa yang enggan mengaku sebagai ateis. Dalam demokrasi sekarang, setiap orang harus

menentukan sikapnya sendiri terhadap penguasa. Dalam mayarakat modern yang majemuk, peranan agama yang klasik diambil alih oleh agama sipil. Paham kewarganegaraan dengan hak, martabat, dan kewajiban dilandaskan diatasnya. Penguasa diangkat oleh wakil-wakil rakyat. Apabila penguasa menjadi lalim atau tidak mengikuti kesepakatan masyarakat, maka masyarakat punya hak untuk menolak penguasa tersebut, bahkan menentangnya. Hak untuk melawan bagi orang Kristen masih harus dipertemukan juga dengan anjuran dalam kitab Wahyu seperti yang disinggung sebelumnya, bahwa dalam keadaan seperti itu umat kristen sebaiknya jangan memberontak, namun menarik diri dari pentas politik. Namun nasihat itu perlu ditelaah lagi untuk zaman sekarang. Kalau dulu rakyat sama sekali tidak punya pengaruh dalam menentukan penguasa. Suatu definisi negara dan masyarakat modern mengatakan bahwa tugas utama civil religion adalah untuk menciptakan suatu kerangka hukum yang mampu melindungi warganya dari kekuasaan negara. Tetapi bagaiman jika warganya sudah sedemikian rupa dikuasai oleh penguasa? Teolog Dietrich Bonhoeffer memutuskan bahwa sebagai warga negara yang hatinya diformasikan oleh iman kristianin, berhak, bahkan wajib untuk melawan penguasa. Dan, apabila tidak ada jalan lain untuk menghentikan kelalimannya, alternatif lain yang harus dipilih untuk menghadapinya adalah dengan kekerasan, termasuk dengan cara membunuh diktaktor itu. Bonhoeffer sendiri menyadari bahwa mwmbunuh manusia lain bertentangan dengan Alkitab. Namun ia menyadari bahwa setiap keputusan yang diambil akan

dipertanggungjawabkan di hadapan Hakim Alam Semesta. Tidak seorang pun dapat melarikan diri dari pengambilan keputusan dalam persoalan masyarakat dimana ia menjadi anggotanya. Dan umat Kristen juga merupakan bagian dari masyarakat yang turut mendapat hak dan kewajibannya. Salah satu haknya adalah ikut serta dalam pentas politik. Namun jika ia adalah seorang pendeta atau orang yang memimpin umat, sebaiknya ia tidak berpartisipasi dalam politik, karena belum tentu umatnya adalah pendukung partai politik yang sama. Sehingga sebaiknya jika ia berpolitik ia menangguhkan jabatannya di umatnya dan baru kembali setelah tidak berpolitik lagi.

Agama Islam
Masalah terhadap kekuasaan duniawi juga digumuli oleh umat Islam, meskipun kerangka pemikiran dan historisnya berbeda. Pemikiran Politis dalam Islam dimulai dengan Perjanjian Madina yang disepakati Nabi Muhammaddengan para pemuka kelompok-kelompok di Yathrib. Saat itu Nabi Muhammad dan pengikutnya di Mekah belum bisa mendirikan suatu masyarakat sendiri, setelah hijrah ke Yathrib tahun 622 M, mereka diberi kesempatan untuk bersama-sama denga orang Arab disana membentuk sebuah community baru yang mengembangkan kehidupan sosialdari petunjuk-petunjuk wahyu yang disampaikan melalui Nabi Muhammad. Jadi kehidupan bermasyarakat dan berpolitik dibimbing oleh petunjuk-petunjuk yang bersifat religius, tetapi tidak diatur oleh agama. Masalah-masalah politik atau sosial tidak boleh ditentukan oleh seorang saja, termasuk nabi, melainkan dengan musyawarah. Muhammad di Madina tidak tampil sebagai penguasa tunggal, melainkan sebagai anggota kelompok pemimpin. Sebagai Nabi, Muhammad tidak ditunjuk oleh umat, melainka oleh Allah sendiri. Para penguasa bukan pemimpin umat secara politis, melainkan ulama, yang disebut pewaris nabi. Karena itu ulama menikmati otoritas khas ditengah-tengah umat. Didalam masyarakat ulama adalah pe;atih dan teladan dalam bermusyawarah. Sesudah Muhammad para pemimpin, atau khalifah harus dipilih dan diangkat berdasarkan musyawarah yang diakhiri dengan mufakat. Kebiasaan bermusyawarah ini kemudian diwariskan dari generasi ke generasi.

Kemudian warisan ini dikesampingkan saat Muawiya mendirikan dinasti Islam pertama dan mengangkat diri dan penerusnya sebagai pemimpin dan membenarkan tindakan tersebut sebagai penetapan Allah. Oleh para pemikir Islam pemahaman dinasti ini dianggap sebagai penyelewengan dari warisan nabi. Pada zaman permulaan Islam pemahaman ini banyak ditolak. Namun lama-kelama paham ini diterima. Dalam suasana anti-Islam di tanah air, para penulis sering kali menyebarkan bahwa sejak awal Islam tidak mampu menangkap paham demokrasi. Pemahaman ini diperkuat oleh kaum fundamentalis yang memang bertentangan dengan demokrasi dan pluralisme. Paham bahwa Islam hanya kekuasaan tunggal dapat diterima oleh para khalifah dan disebarluaskan untuk membenarkan pola pemerintahan mereka. Pemahaman itu saat ini diteruskan oleh kaum fundamentalis yang juga membenarkan perampasan kekuasaan dengan kekerasan. Dalam hal ini perlu digali kembali suasana kemasyarakatan pada permulaan Islam. Robert N. Bellah pernah mengatakan bahwa konsepsi masyarakat Madina sudah begitu maju sehingga hal tersebut datang terlalu dini dan belum dapat dimengerti implikasi-implikasinya oleh umat pada masa itu. Jadi, dalam konflik yang dimulai pada zaman Khalifah Uthman, dan yang bermuara dalam pendirian dinasti bani Umayya oleh sepupunya, khalifah kelima Muawiyah yang mengangkat diri sebagai khalifah, konsep sederhana tentang masyarakat yang bertanggung jawab tidak bertahan dan sistem kekuasaan kembali ke keadaan yang lama. Dalam Perjanjian Madina terdapat kesepakatan-kesepakatan dengan kaum Yahudi di Yathrib, dan waktu itu merupakan mayoritas dibanding orang Arab. Bagian pertama perjanjian itu masih mengurus hubungan antar suku Arab, yang dimulai dengan umat Allah adalah satu. Bagian kedua baru membahas mengenai hubungan kaum muslimin dengan orang-orang Yahudi, yang dimulai dengan mereka juga diakui sebagai umat yang menyembah allah. Jadi umat muslim mengakui adanya umat beragama. Landasan moral kehidupan berpolitik dan bermasyarakat kaum muslim ialah agama. Dari sini disimpulkan bahwa peran nabi juga sebagi politikus dan penguasa. Namun kesimpulan ini tidak didukung oleh catatan sejarah. Yang ditekankan Muhammad adalah musyawarah, Ia berwibawa, namun tidak tampil sebagai penguasa. Madina bukan negara, kekuasaan pribadi atau keluarganya.

Masalah agama dikaitkan dengan kekuasaan pemerintahan pertama kali pada masa Abu Bakr yang membenarkan peperangannya terhadap suku-suku Beduin yang hendak memisahkan diri dari Islam setelah wafatnya nabi, sebagai jihad melawan yang murtadd. Sebenarnya keputusan mereka untuk meninggalkan umat muslimin tidak dipahami sebagai tindakan yang bersifat agama. Menurut paham adat mereka, mereka pernah melakukan perjanjian dengan Nabi Muhammad, apabila salah satu pihak perjanjian tersebut meninggal, maka perjanjian itu akan berakhir dengan sendirinya. Namun menurut paham Abu Bakr, perjanjian itu dilakukan dengan Allah, dengan Muhammad sebagai wakilnya, sehingga perjanjian tetap berlaku. Dan tindakan menghalangi mereka memisahkan diri dari umat Allah bukan hanya merupakan tugas pemerintahannya, melainkan kewajiban agama. Selanjutnya Bani Umayyah, khalifah kelima dan pendiri dinasti Islam pertama, tidak lagi dipilih oleh umat melainkan mengangkat diri sebagai khalifah tahun 661. Tahun 672, ia menetapkan Yazid, putranya sebagai pewaris kekuasaanya. Karena tindakannya mengabaikan hak umat atau rakyat, dinasti ini senantiasa dikutuk sebagai dinasti yang tidak sah. Dalam wacana para sejarawan Islam mengenai masa itu, mereka menyebutnya sebagai masa percobaan bagi umat, apakah mereka akan tunduk atau menentangnya. Umat waktu itu tidak menjadi apatis, melainkan lekas mengembangkan dan menginternalkan suatu spiritualitas yang kuat sebagaimana tampak dalam diri seorang pemuda gerakan al-Hasan alBasri (wafat 722). Namun untuk memberi pembenaran atas legitimasi kekuasaannya, Bani Umayyah mengatakan bahwa Allah sendiri yang memberikan legitimasi yang dinyatakan dalam kemenangan Muawiyah atas musuh -musuhnya. Tindakan ini akhirnya dianggap sah, serta dinyatakan sebagai ucapan kebenaran islami pokok dan legitimasi kekuasaan menjadi urusan Allah dan bukan lagi urusan umat. Saat Dinasti Bani Abbas pola ini terus dilanjutkan hingga akhirnya tahun 1922 kesultanan dihapus dan menjadi republik Turki dan tahun 1924 khalifah ikut dihapuskan. Urusan agama Islam dialihkan dari ulama ke tangan orang awam Turki. Kalangan Tuki muda dan pendukung republik, memahaminya sebagai pembebasan Islam dari suatu unsur perusak yang menghambat kemajuan dan perkembangan Islam. Pada masa kini keterkaitan antara agama dan pemerintahan begitu menonjol dan menjadi ciri khas pemahaman Islam. Apabila ditinjau lagi bukan kekuasaan

yang berkaitan dengan agama melainkan, agama dengan orangnya. Karena kesadaran historis penguasa dan para pujangga populer yang bertugas untuk memuji penyatuan antar agama dan dinasti sebagai pilihan dan penetapan Allah, maka hampir semua filsuf mempersoalkannya, sedangkan rakyat menarik diri dari keterikatan aktif politik sebagai tanda tidak setuju. Seorang penguasa walaupun seorang khalifah juga harus pandai berpolitik. Pandangan ini juga diungkapkan filsuf al-Marwadi, yang karena itu juga menuntut agar khalifah dipilih lagi oleh rakyat, seperti pada masa awal islam, dan calon-calon diseleksi berdasarkan kemampuannya dalam berpolitik dan menjaga keamanan, bukan karena kesalehannya. Pandangan adanya legitimasi dari atas hingga kini masih tetap digunakan, walupun sistem pemerintahannya sudah berbeda.

Penutup
Agama kembali ke tangan rakyat. Baik agama kristen maupun Islam melalui masa percobaan sepanjang sejarah mereka. Jarang mereka lolos dari percobaan untuk menyatukan agama dengan kekuasaan politis, atau malah menjadi penguasa politis itu sendiri jika ada kesempatan untuk melakukannya. Merupakan rekaman sejarah yang sangat memprihatinkan bahwa pada umumnya penguasa yang menuntut legitimasi keagamaan bagi dirinya tidak kalah dalam melakukan kelaliman, ketidakadilan, kekejaman, atau penyalahgunaan kekuasaan dengan penguasa duniawi yang lain. Bahkan, kadang-kadang mereka malah lebih kejam lagi, sebagaimana terlihat juga dalam tindakan-tindakan mereka yang pada masa sekarang bangkit sebagai pembela agama atau pejuang melawan kuasa setan, dengan menumpahkan darah manusia yang tidak mereka pedulikan. Melihat kenyataan itu, salah satu tugas para pemikir yang beragama ialah memikirkan pola alternatif yang bertentangan dengan pola-pola kekuasaan yang hingga kini dialami. Merupakan khayalan yang tak berguna dan kebohongan pada diri sendiri apabila orang beranggapan bahwa politik bisa diperbaiki apabila ia diurus oleh agama, dan negara menjadi negara agama. Bukan agama yang mengurus negara, melainkan manusia. Yang perlu dikembangkan ialah suatu pola etika dan kesusilaan yang kuat dan praktis, yang bisa menjadi pegangan pada politikus atau penguasa apabila ia berkesempatan untuk menggunakan kekuasaan, supaya

polanya sebagai orang beragama dapat dibedakan dengan pola seorang penguasa yang hanya memahami kepentingannya sendiri. Harapan semacam ini boleh dikatakan naif. Dalam bagian tentang agama Kristen sebelumnya, penulis telah menunjukkan gambaran tentang gembala. Dalam paham Islam, dimana dalam bahasa melayu kata rakyat juga digunakan serta diambil dari bahasa Arab dan berkaitan erat dengan gembala, pemahaman itu barang kali bisa juga dikembangkan, mungkin bersama dengan paham al-Quran tentang manusia sebagai khalifah Allah dan pembimbing yang bertanggung jawab dan memperoleh kekuasaannya untuk melindungi, memelihara, melestarukan, dan melayani. Pertanyaannya: apakah manusia beragama berani dan bersedia melayani kepentingan Allah dan bukan kepentingan sendiri? Jadi, salah satu tugas utama agama-agama dalam hubungannya dengan wilayah kekuasaan ialah membina watak dan kesadaran rakyat serta watak dan kesadaran penguasa yang biasanya memang juga pemeluk salah satu agama. Memegang kekuasaan mengandung banyak ambivalensi, yang dengan mudah bisa menjadi percobaan dimana manusia, termasuk yang menganggap diri kuat dalam imannya, biasanya kalah. Karena itu, menjadi penguasa yang benar sebagaimana diharapkan oleh agama-agama, menuntut suatu watak dan budi pekerti yang kuat kesusilaan dan ketahannanya, serta menerima tanggung jawabnya terhadap bawahan dengan tulus dan benar. Apabila mentalnya sendiri sudah dewasa, ia juga akan berusaha agar bawahannya menjadi dewasa dan sanggup mengurus sendiri seluk-beluk kekuasaan di wilayah kediamannya, sesuai dengan pola kedaulatan rakyat. Apabila tujuan itu tidak bisa tercapai, agama-agama, atau para pemuka agama, atau bahkan para pemeluk agama, harus bertanya kepada dirinya sendiri apakah wacana mereka tentang agama dan peranannya di bumi hanya merupakan permainan untuk meyenangkan diri, ataukah iman mereka mempunyai dinamika yang menjadi daya gerak bagi kehidupan mereka, yang pada satu saat harus dipertanggungjawabkan di hadapan instansi yang lain.

Tanggapan
Menurut saya setelah membaca narasi ini ternyata baik agama Kristen dan Islam, masing-masing pernah dijadikan alat peneguh kekuasaan bagi para penguasa dari jaman dulu sampai sekarang, namun hasilnya sering kali dan hampir selalu menjadi buruk bagi agama tersebut dan bagi umatnya. Jadi sebaiknya agama dan politik jangan dicampur. Agama tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk berpolitik, melainkan sebagai sarana moral bagi penguasa dan umatnya agar melakukan segala sesuatunya demi kepentingan masyarakat banyak dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Agama, selain sarana mendekatkan pemeluknya dengan Tuhan, juga merupakan sebuah sarana untuk mendekatkan diri pemeluknya dengan masyarakat. Karenanya agama punya pengaruh yang kuat dalam masyarakat, karena agama adalah kepercayaan dan pegangan hidup sehingga agama dapat dijadikan sarana politik yang sangat berpengaruh. Sehingga agama jangan dijadikan alasan untuk kepentingan pribadi atau mengatasnamakan jihad untuk agama. Bila dalam agama lain terdapat hal-hal yang bertentangan dengan agama yang kita anut, sebaiknya ditelaah lagi agar tidak menimbulkan pertikaian antar bangsa hanya karena alasan perbedaan agama. Semua agama baik adanya. Dan gerakan-gerakan anarkis yang membawa nama agama, sebaiknya para pengikut gerakan ini diberi pengajaran tentang agamanya dan agama lain agar tidak menimbulkan keributan dan kesalahpahaman. Harapannya, agama dapat

dikembalikan lagi ke fungsi awalnya yaitu sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan Allah dan membina watak dan sifat masyarakat. Di Indonesia masalah agama dan politik juga sudah sejak lama terjadi, contohnya adalah masalah piagam jakarta dan saat alm. mantan presiden Soeharto masih berkuasa. Hal ini membuktikan bahwa bahkan negara yang sangat majemuk dalam budaya dan agama pun masih menggunakan agama sebagai sarana politik. Dan bukan itu saja agama hingga saat ini juga masih dijadikan alasan oleh segelintir orang untuk melakukan aksi anarkis. Tentu saja hal ini banyak ditentang oleh berbagai pihak, namun dengan pemerintahan yang politiknya juga disangkutpautkan

dengan agama hal ini menjadi sulit dilakukan. Contoh politik yang disangkutpautkan dengan agama di Indonesia seperti partai politik yang berlandaskan agama. Jika politik agama terus dilakukan di Indonesia maka tidak tertutup kemungkinan akan muncul kelompok-kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara agama, dan jika hal tersebut dilakukan akan terjadi perpecahan di Indonesia, karena Indonesia bukanlah negara yang hanya memiliki satu agama dan kepercayaan, serta budaya. Sehingga untuk itu sebaiknya pemerintah mulai memisahkan dan mengembalikan semua fungsi politik dan agama ke tempatnya semula. Dugaan ini bukannya tidak mendasar, melainkan melihat dari catatan sejarah yang ada, semua negara yang menyatukan politik dengna agama akhirnya tidak bertahan dan terjadi perpecahan, contohnya Romawi (Bizantium) dan Kesultanan Otoman yang kemudian menjadi Turki.

You might also like