You are on page 1of 15

BRAIN DEATH

I. PENDAHULUAN

Sampai tiga-empat dekade yang lalu, penentuan saat kematian relatif sederhana. Seseorang yang sudah berhenti bernafas, tidak teraba denyut jantungnya, dinyatakan mati. Namun dengan kemajuan teknologi medis sejak beberapa puluh tahun terakhir ini, saat ini fungsi vital dapat dipertahankan secara buatan, meskipun fungsi otak telah berhenti. Hal tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap definisi kematian secara medis, yang kemudian memunculkan suatu konsep kematian batang otak sebagai penanda kematian. Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak. Brain death, atau dalam bahasa Indonesia disebut mati otak atau mati batang otak, meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus di Hongkong, dan 60% dari mati otak diakibatkan oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi (Gunther et al., 2011), Di Amerika, penyebab utama brain death adalah cedera kepala dan perdarahan subarachnoid. Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan tekanan pada kompartemen supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi suplai darah atau integritas struktur otak. Cedera hipoksia lebih mempengaruhi korteks dari pada batang otak (Lazar et al., 2001) Mati otak diartikan sebagai berhentinya semua fungsi otak secara total dan ireversibel termasuk batang otak. Awalnya kematian didefenisikan oleh para dokter sebagai berhentinya denyut jantung dan respirasi secara permanen (mati somatik). Perkembangan dalam resusitasi telah menyebabkan defenisi kematian terpaksa ditinjau kembali. Perkembangan medis misalnya ventilator, peralatan dialisis dan infus obat yang mendukung sirkulasi seringkali menopang pasien yang sedang kritis untuk dapat bertahan hidup secara somatik walaupun secara fisiologis sangat parah termasuk di dalamnya kematian otak itu sendiri.

II.

ETIOLOGI

Penyebab kematian otak yang utama adalah sedera kepala traumatik, cerebrovascular accidents, dan cedera hipoksik iskemi setelah henti jantung. Waktu antara cedera ke diagnosis mati otak bervariasi dari jam samapai beberapa hari, tergantung tingkat keparahan dan respon terhadap terapi (Shemie et al., 2003).

Penyebab umum kematian otak lainnya termasuk, overdosis obat, tenggelam, tumor otak primer, meningitis, pembunuhan dan bunuh diri. Dalam kepustakaan lain, hipoglikemia jangka panjang disebut sebagai penyebab kematian otak. Kematian otak ditandai dengan koma, apneu dan hilangnya semua refleks batang otak. Diagnosis klinis ini pertama kali disampaikan dalam kepustakaan kedokteran pada tahun 1959 dan kemudian digunakan dalam praktik kedokteran pada dekade berikutnya pada bidang trauma klinis yang spesifik. Kebanyakan kasus kematian dapat didiagnosis di tempat tidur pasien.
III. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK meningkat mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral (TPS) mendekati nol, maka perfusi serebral akan terhenti dan kematian otak terjadi (Lazar, 2001). Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-rata sekitar 50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk seluruh otak, yang kira-kira beratnya 1200 1400 gram terdapat 700 sampai 840 ml/menit. Penghentian aliran darah ke otak secara total akan menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang kemudian langsung menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah ke otak yang terhenti untuk tiga menit dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat irreversibel (Guyton 1996). Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh kuat terhadap pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalah konsentrasi karbon dioksida, konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida maupun ion hidrogen akan meningkatkan aliran darah serebral, sedangkan penurunan konsentrasi oksigen akan meningkatkan aliran (wilson, 1994). Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran oksigen ke otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itu secara reversible dan ireversibel. Percobaan pada binatang menunjukkan aliran darah otak dikatakan kritis apabila aliran darah otak 23/ml/100mg/menit (Normal 55 ml/100mg/menit). Jika dalam waktu singkat aliran darah otak ditambahkan di atas 23 ml, maka kerusakan fungsi otak dapat diperbaiki. Pengurangan aliran darah otak di

bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan infark, tergantung lamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 dan 23 ml/100 mg/menit. Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat secara parsial, maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekurangan oksigen. Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: 1) tekanan perfusi yang rendah, 2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan vasodilatasi maksimal (Gunther et al., 2011). Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat dari daerah iskemik tersebut tidak dapat teratasi oleh mekanisme autoregulasi dan kelola vasomotor. Di situ akan berkembang proses degenerasi yang ireversibel. Semua pembuluh darah dibagian pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus, sehinga berada dalam keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-sel saraf daerah iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan pembengkakan serabut saraf dan selubung mielinnya (udem serebri) merupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritosit dan leukosit. Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang pertama adalah gambaran yang sesuai dengan keadaan iskemik dan yang terakhir adalah gambaran infark (Guyton 1996). Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum.

Hipoglikemia jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai mekanisme dikatakan terlibat dalam patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamat dan aktivasi reseptor glutamat neuron, produksi spesies oksigen reaktif, pelepasan Zinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose) polymerase dan transisi permeabilitas mitokondria (Cryer, 2007).
IV. KRITERIA BRAIN DEATH

Pada tahun 1979 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma de pass (koma irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan hilangnya kesadaran, refleks batang otak, respirasi dan dengan hasil elektroensefalogram yang 3

mendatar. Pada tahun 1968, sebuah komite Ad hoc pada Fakultas Kedokteran Harvard meninjau kembali defenisi kematian otak dan kemudian diartikan sebagai koma ireversibel atau kematian otak adalah tidak adanya respon terhadap stimulus, tidak ada gerakan napas, tidak adanya refleks batang otak dan koma yang penyebabnya sudah diketahui, kondisi tersebut menetap sekurang-kurangnya 6 sampai 24 jam (Reis, 2007). Pada tahun 1991 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan batang otak sebagai komponen penting dari kerusakan otak yang berat. Konferensi perguruan tinggi Medical Royal dan fakultas-fakultas yang ada di dalamnya di Kerajaan Inggris pada tahun 1996, menerbitkan sebuah pernyataan mengenai diagnosis kematian otak dimana kematian otak diartikan sebagai hilangnya fungsi batang otak secara lengkap dan ireversibel. Pernyataan ini memberikan pedoman yang termasuk di dalamnya perbaikan dalam uji apnea dan memusatkan perhatian pada batang otak sebagai pusat dari fungsi otak. Tanpa batang otak ini, tidak ada kehidupan. Pada tahun 1981 komisi presiden untuk studi masalah etik dalam kedokteran biomedis juga penelitian tentang perilaku menerbitkan pedomannya. Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan tes konfirmasi untuk mengurangi durasi waktu yang dibutuhkan untuk observasi dan merekomendasikan periode 24 jam bagi pasien dengan gangguan anoksia dan kemudian menyingkirkan syok sebagai syarat untuk menentukan kematian otak (Doyle, 2007). Akhir-akhir ini Akademi Neurologi Amerika memberikan kasus berdasarkan bukti dan menyarankan adanya pemeriksaan-pemeriksaan dalam praktek. Laporan ini secara spesifik mengarah kepada adanya peralatan-peralatan pemeriksaan klinis dan tes konfirmasi validitas serta adanya deskripsi tentang uji apnea dalam praktek. Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode terstruktur suatu diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan. Beberapa diantaranya: 1. Kriteria Harvard Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan Kriteria Harvard, kunci diagnosis tersebut adalah: a. Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive coma). b. c. Hilangnya kemampuan bernapas spontan. Hilangnya refleks batang otakdan spinal. 4

d. e.

Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi. EEG datar.

Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan. Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang-kurangnya 24 jam kemudian.

2.

Kriteria Minnesota Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang disarankan

mungkin sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan Chou mengusulkan Kriteria Minnesota untuk kematian otak. Yang dihilangkan dari kriteria ini adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis dan aktivitas EEG

(elektroensefalograf dan masih dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi), elemen kunci kriteria Minnesota adalah a. Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan. b. Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya refleks batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya dolls eye movement, hilangnya respon terhadap stimulus kalori dan hilangnya refleks tonus leher. c. Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam, dan d. Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki (Dimancescu, 2002). Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai berikut: 1) Hilangnya fungsi serebral, 2) hilangnya fungsi batang otak termasuk respirasi spontan, dan 3) bersifat ireversibel. Hilangnya fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya pergerakan spontan dan berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap seluruh rangsang visual, pendengaran dan kutaneus. Refleks-refleks spinalis mungkin saja ada (Wijdicks, 2001) . EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan banyak lembaga kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral Silence (ECS), yang juga disebut EEG datar atau isoelektrik. Dikatakan EEG datar apabila tidak ada perubahan potensial listrik melebihi 2 mikroVolt selama dua kali 30 menit yang direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan bahwa tidak adanya respon serebral dan EEG datar tidak selalu berarti kematian otak. Akan tetapi, keduanya dapat terjadi dan

bersifat reversible pada keadaan hipotermia dan intoksikasi obat-obatan hipnotiksedatif (Reis, 2007). Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat reaksi pupil terhadap cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vertibulo-ocular, orofaringeal atau trakea. Tidak ada respon deserebrasi terhadap stimulus noksius dan tidak ada pernapasan spontan. Untuk kepentingan dalam praktek, apnea absolut dikatakan terjadi pada pasien, jika pasien tersebut tidak melakukan usaha untuk menolak penggunaan alat respirasi setidaknya selama 15 menit. Sebagai tes akhir, pasien dapat dilepaskan dari respirator lebih lama (beberapa menit) untuk memastikan bahwa PCO2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang pernapasan spontan (Doyle, 2007). Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak hilang, maka pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk memastikan bahwa keadaan pasien bersifat ireversibel. Jika riwayat dan pengamatan komprehensif yang sesuai terhadap prosedur penggunaan obat-obatan tidak ada, maka observasi selama periode 72 jam mungkin dibutuhkan untuk memperoleh reversibilitas walaupun jarang terjadi dalam praktek, studi perfusi serebral menunjukkan terhentinya sirkulasi intrakranial secara sempurna menyebabkan terjadinya kematian otak (Walton, 1997).

V.

PENETAPAN DIAGNOSIS BRAIN DEATH

Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila temuan klinis yang sesuai dengan kriteria kematian batang otak atau pemeriksaan konfirmatif yang mendukung diagnosis kematian batang otak tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian batang otak tidak dapat ditegakkan (NYSDH, 2005). Menegakkan diagnosis mati matang otak, meliputi tiga langkah, yaitu (1) evaluasi etiologi dari cedera kepala berat dan mengekslusi penyebab reversible; (2) penemuan 3 temuan klinis mati otak; (3) konfirmasi test (Gunther et al., 2011). Tiga temuan klinis dalam kematian otak adalah koma atau tidak adanya respon, absennya refleks batang otak, dan apnea. (Doyle, 2007). 1. Koma atau tidak adanya respon.

Tidak ada respon pada rangsangan nyeri, dengan stimulasi nyeri pada penekanan daerah supraorbita, sternum dan dasar kuku.

2. Absennya refleks batang otak. a. Pupil. Pengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji respon terhadap cahaya yang terang. Kematian otak akan menunjukkan pupil yang berbentuk bulat, oval, ataupun ireguler. Kebanyakan pupil pada pasien yang mengalami kematian otak akan berada pada ukuran 4 hingga 6 mm, namun ukuran dapat bervariasi dari 4 hingga 9 mm. Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat mempengaruhi ukuran pupil. Pemberian obat topikal di mata dan trauma kornea atau bulbus okuli dapat menyebabkan abnormalitas ukuran pupil dan menyebabkannya menjadi non reaktif.

b.

Pergerakan okuler. Gerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar kepala da

tes kalorik. Pengujian ini hanya dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada fraktur atau instabilitas dari servikal atau pada pasien dengan cedera kepala. Pergerakan okuler dilihat dari dua reflex, yaitu reflex okulosefalik dan tes kalori. Reflex okulosefalik dirangsang dengan menggerakkan kepala secara cepat dan tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri dan kanan, pada orang normal akan menghasilkan deviasi mata ke arah berlawanan dengan gerakan kepala. Pergerakan mata vertikal juga diuji dengan melakukan fleksi leher. Pada kematian otak, tidak akan ditemukan adanya pembukaan kelopak mata dan pergerakan mata vertikal dan horizontal. Rangsangan kalori adalah suatu tes yang menggunakan perbedaan temperatur untuk mendiagnosa adanya kerusakan saraf ke delapan. Jika terjadi kematian batang otak, maka tidak akan muncul deviasi tonus dari mata

sebagai resfleks terhadap rangsangan yang diberikan. Posisi pasien tidur terlentang, dengan kepala fleksi 30, atau duduk dengan kepala ekstensi 60. Tes ini terdiri dari dua cara, yaitu tes kalori cara Kobrak dan tes kalori

bitermal. Untuk penegakan diagnosis mati otak, yang direkomendasikan adalah tes kalori kobrak (UDD,1997). Tes kalori cara kobrak menggunakan spuit 5 atau 10 mL, ujung jarum disambung dengan kateter. Perangsangan dilakukan dengan mengalirkan air es (0C), sebanyak 5 mL selama 20 detik ke dalam liang telinga.Sebagai akibatnya terjadi transfer panas dari telinga dalam yang menimbulkan suatu arus konveksi dalam endolimfe. Hal ini menyebabkan defleksi kupula dalam kanalis yang sebanding dengan gravitasi, dan rangsangan serabut-serabut aferennya.Suatu cairan dingin yang dialirkan ke liang telinga kanan akan menimbulkan nistagmus dengan fase lambat ke kanan. Tes kalori bitermal ditemukan oleh Dick & Hallpike. Pada cara ini dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30C, sedangkan suhu air panas adalah 44C. Volume air yang dialirkan ke dalam liang telinga masing-masing 250 mL, dalam waktu 40 detik .Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul.Setelah liang telinga kiri diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga kanan.Pada tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit. Tes kalori bitermal ini untuk melihat dan membandingkan fungsi vestibuler. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan tes kalori adalah adanya obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan respon kalorik, yakni sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat

antiepilepsi, dan agen kemoterapi. Setelah cedera kepala atau trauma fasial, edema kelopak mata atau kemosis konjungtiva dapat menghambat pergerakan bola mata. Bekuan darah atau serumen dapat juga mengurangi respon kalorik, dan uji dilakukan ulang setelah pemeriksaan inspeksi langsung tympanum. Fraktur basal dari tulang petrosus dapat menghilangkan respon kalorik secara unilateral dan dapat diidentifikasi dengan prosesus mastoideus yang ekimosis (FK Unhas, 2009).

c.

Sensasi fasial dan respon motor fasial Refleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks kornea dan

refleks rahang harus negatif. Wajah yang mengernyit saat diberikan rangsang 8

nyeri dapat diuji dengan memberikan tekanan dalam dengan obyek tumpul pada dasar kuku, tekanan pada daerah supraorbita, atau tekanan yang dalam pada kedua kondilus setinggi sendi temporomandibuler. Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya trauma fasial yang berat sehingga dapat mengganggu interpretasi refleks batang otak.

d.

Refleks faring dan trakhea Respon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring posterior dengan

laringoskop, harus absen. Tidak adanya refleks batuk pada suction bronkhial juga harus tampak. Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada apsien yang diintubasi secara oral, respon tersedak mungkin sulit untuk diamati.

GAMBAR 1 : pemeriksaan refleks batang otak

Manifestasi berikut terkadang tampak dan tidak boleh diinterpretasikan sebagai bukti fungsi batang otak (AAN, 1995) a. Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau ekstensi patologis b. Gerakan mirip bernafas (elevasi dan aduksi bahu, lengkungan punggung, ekspansi interkosta tanpa volume tidal yang bermakna) c. Berkeringat, kemerahan, takikardi d. Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau peningkatan mendadak tekanan darah 9

e. Tidak-adanya diabetes insipidus f. Refleks tendo dalam, refleks abdominal superfisial, respon fleksi triple g. Refleks babinski

3. Apnea Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum dilakukannya pengujian. Persyaratan-persyaratan berikut ini harus diperhatikan: a. b. c. suhu inti 36,5o C tekanan darah sistolik 90 mm Hg, euvolemia (atau lebih baik apabila balans cairan positif selama 6 jam sebelum pemeriksaan), d. e. eukapnea (atau apabila PCO2 arteri 40 mm Hg), dan normoksemia (atau apabila PO2 arteri 200 mm Hg).

Tahapan-tahapan dalam melakukan tes apnea adalah sebagai berikut: a. Kondisi awal pasien adalah menggunakan ventilator, maka pasang oksimetri, pre-oksigenasi dan observasi hingga syarat-syarat terpenuhi Pre-oksigenasi bertujuan untuk mencapai PO2 arteri 200 mm Hg Pre-oksigenasi bertujuan untuk mengeliminasi tumpukan nitrogen, akselerasi transport oksigen, dan mengurangi resiko hipoksik akibat dilakukannya tes apnea. Pre-oksigenasi dilakukan selama 30 menit atau sampai saat syarat terpenuhi (PO2 arteri arteri 200 mm Hg) b. Lepas ventilator c. d. Pasang nasal kanul setinggi karina dan berikan O2 100% 6-8lpm Selama proses pemberian O2 6-8lpm melalui nasal kanul, amati dengan seksama pergerakan respirasi. e. Setelah pemberian O2 6-8 lpm melalui nasal kanul selama 8-10 menit, pasang kembali oxymetri untuk mengukur PO2 dan PCO2. Lalu hubungkan kembali dengan ventilator. f. Bila saat tes apnea tekanan darah sistolik menjadi 90 mm Hg, atau oksimeter pulsa menunjukkan desaturasi, atau terjadi aritmia kardia, segera ambil sampel darah, dan lakukan analisa gas darah arteri. Pasien pun segera di hubungkan kembali dengan ventilator tanpa harus

10

menunggu 8-10 menit untuk meminimalisir terjadinya komplikasi tes apnea. Interpretasi hasil tes apnea adalah: Tes apnea disebut positif jika tidak ada pergerakan respirasi dan kadar PCO2 arteri 60mmHg (atau terjadi peningkatan PCO2 20mmHg dari PCO2 awal untuk penderita dengan riwayat hiperkarbia). Tes apnea disebut negatif bila teramati adanya gerakan respirasi. Tes apnea disebut indeterminan apabila saat proses pemberian O2 kanul terjadi aritmia atau hipotensi dan hasil BGA menunjukkan PCO2 < 60 mm Hg, atau peningkatannya < 20 mm Hg. Pada hasil ini diperlukan tes konfirmasi untuk diagnosis mati batang otak. Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm Hg, dan tidak ada aritmia kardia atau hipotensi signifikan, tes dapat diulang 10 menit kemudian (Wijdicks, 1994. Wijdicks, 2001. Beterhealt,2000. Eduardo,2009). Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukannya tes apnea adalah: Asidosis (63%) Hipotensi (24%) Aritmia kardiak (3%)

GAMBAR 2 : Tes apnea

Tes Konfirmasi Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks batang

11

otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Beberapa pasien dengan kondisi tertentu seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas kardiovaskular, atau faktor lain yang menyulitkan dilakukannya pemeriksaan klinis untuk menegakkan diagnosis kematian batang otak, perlu dilakukan tes konfirmatif (Widjicks,2001; NYSDH,2005. Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi kriteria berikut: a. Tidak boleh ada positif palsu, sehingga saat tes mengkonfirmasi adanya kematian otak, maka tidak boleh ada pasien yang sembuh atau memiliki potensi untuk sembuh. b. Tes harus dapat berdiri sendiri dalam menegakkan apakah kematian otak benar-benar terjadi atau tidak. c. Tes tidak boleh dipengaruhi faktor yang dapat menyesatkan seperti efek obat atau gangguan metabolik. d. Tes harus distandarisasi dalam hal teknologi, teknik, dan klasifikasi hasilnya. e. Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan mudah dilakukan. Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis kematian batang otak, sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak dapat dibuat dengan pasti hanya berdasarkan pada alasan klinis sendiri. Pada keadaan ini pemeriksaan konfirmatif direkomendasikan (Widjicks, 2001): a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat b. c. Kelainan pupil sebelumnya Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, agen kemoterapi, atau agen blokade neuromuskular d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi kronis CO2 Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung pada pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan kerugian yang mungkin terjadi (Widjicks, 2001). Beberapa tes konfirmatif yang biasa dilakukan antara lain:

12

a. Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes elektrofisiologis (elektroensefalografi, potensial pacuan somatosensorik dan potensial pacuan pendengaran batang otak, dan respon pacuan motorik), b. Tes aliran darah otak (angiografi serebri empat vasa, tes kedokteran nuklir aliran darah otak, Doppler transkranial, MRI, angiografi resonansi magnetik, dan pemeriksaan CT), c. Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan metabolisme, pemeriksaan oksigen vena jugularis, dan tes atropin. Saat dilakukan secara kontinyu, pemantauan elektroensefalografi dapat menunjukkan supresi tegangan secara umum, yang dapat menunjukkan pada klinisi adanya kematian otak. Namun, EEG telalu anatomis, dan terbatas secara fisilogis. EEG merekam aktivitas hanya dari lapisan korteks yan berada tepat di bawah kulit kepala dan tidak merekam dari struktur subkorteks, seperti batang otak atau thalamus, dan hanya memberikan cakupan yang terbatas dari permukaan cembung otak besar. Lebih jauh lagi, tidak semua frekuensi EEG tertangkap sehingga dapat memberikan hasil datar atau isoelektrik saat ada neuron yang masih hidup di batang otak atau tempat lain. Hanya ada sedikit penelitian yang menguji validitas dari EEG dalam kaitannya dengan kematian otak. EEG juga memiliki kelemahan, dimana dapat terjadi gangguan dari faktor-faktor yang dapat menyesatkan, seperti terjadinya gambaran yang datar atau isoelektris saat terjadi overdosis barbiturat atau anestesi yang dalam, dimana keduanya merupakan kondisi yang reversibel. Sehingga, pada tes EEG dapat terjadi positif palsu maupun negatif palsu, membuat EEG menjadi suatu tes yang jauh dari ideal untuk penentuan kematian otak (Leis, 2007). Saat diperlukan konfirmasi untuk penentuan kematian otak, tes aliran darah ke otak dianggap lebih tepat. Tes yang menunjukkan absennya aliran darah ke otak umumnya diterima sebagai penegakan kematian otak yang memiliki kepastian, karena konsep bahwa apabila otak tidak mendapatkan suplai darah selama periode waktu tertentu akan mati sudah diyakini secara luas. Tentunya kondisi hipotermia dan hipotensi transien yang reversibel harus disingkirkan. Kematian otak dapat disertai dengan baik edema jaringan ataupun efek massa yang menyebabkan tekanan intrakranial menjadi sama atau lebih dari tekanan darah sistolik dan tekanan darah arteri rata-rata. Konsekuensinya, darah tidak memasuki kompartemen intrakranial, atau hanya memasuki selama sistol, mengakibatkan tidak terjadinya perfusi ke jaringan otak, sehingga menyebabkan kematian sel neuron dan glia otak, tes aliran 13

darah otak memberikan metode yang dapat diterima dan dapat berdiri sendiri dalam menegakkan kematian otak. Tes tersebut tidak disesatkan oleh obat, gangguan metabolik, atau hipotermia. Syarat sebelumnya adalah bahwa tekanan darah sistemik harus adekuat, dimana pasien tidak dalam kondisi syok. Tes aliran darah otak meliputi angiografi empat vasa (karotis dan vertebral), TCD, MRI, dan MRA, angiografi CT, dan tes kedokteran nuklir. Tes yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni angiografi dan CT emisi foton tunggal (SPECT), dibandingkan dengan pencitraan sirkulasi otak dua dimensi (Framnas et al., 2009). .Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana ditemukan perfusi struktur arteri atau vena pada pasien yang telah dikonfirmasi mengalami kematian otak secara patologis dan klinis. Ini terutama terjadi pada kondisi dimana tekanan intrakranial menurun akibat mekanisme dekompresi, seperti kraniektomi dekompresif, fraktur tengkorak, pintasan ventrikuler atau anak dengan tengkorak yang masih rapuh. Negatif palsu tersebut jarang terjadi. Harus diingat bahwa adanya aliran darah tidak serta merta mengeksklusi kemungkinan kematian otak. Harus diingat bahwa dalam melakukan tes konfirmasi kematian otak, negatif palsu tidak lebih bermasalah daripada positif palsu, karena lebih berbahaya apabila seseorang secara keliru dinyatakan mengalami kematian otak daripada bila seseorang dinyatakan tidak mati otak padahal sesungguhnya telah terjadi kematian otak. Tes yang menjadi standar emas tes konfirmasi kematian otak adalah angiografi serebral empat vasa. Tes ini invasive dan harus dilakukan dengan memndahkan pasien ke departemen radiologi. Absennya pengisian darah intrakranial dari arteri karotis interna atau vertebra harus didahului oleh tekanan intrakranial yang melebihi tekanan darah arteri rata-rata. (Young et al. 2006)

New York State Department of Health (2005) menyebutkan langkah-langkah yang diperlukan dalam penetapan kematian batang otak adalah sebagai berikut: a. Evaluasi kasus koma b. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini pasien c. Penilaian klinis awal refleks batang otak d. Periode interval observasi 1. sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam 2. usia lebih dari 2 bulan sampai dengan 1 tahun, periode interval observasi 24 jam 14

3. usia lebih dari 1 tahun sampai dengan kurang dari 18 tahun, periode interval observasi 12 jam 4. usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam e. Penilaian klinis ulang refleks batang otak f. Tes apnea g. Pemeriksaan konfirmatif bila ada indikasi h. Persiapan akomodasi yang sesuai i. Sertifikasi kematian batang otak j. Penghentian penyokong kardiorespirasi

VI.

DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Status vegetative menetap (Persistent Vegetative States). Keadaan ini berbeda dengan mati otak. Fungsi batang otak masih baik. Pada PVS yang diperkirakan hilang adalah fungsi neokortikal dari otak. Pasien masih dapat bernafas spontan dan reflexreflex masih ada. Pasien tidak sadarkan diri dengan mata terbuka dan pupil melebar. Pada PVS kriteria Harvard tidak terpenuhi. Pasien PVS masih hidup secara biologis, tetapi secara intelektual dan sosial sudah mati. Kemungkinan pulih ke keadaan normal sangat sulit, hanya satu banding seribu (Jacobalis, 1997).
VII. TINDAKAN TERHADAP PASIEN BRAIN DEATH

Tidak ada lagi yang dapat dilakukan pada pasien dengan mati otak (Jacobalis, 1997). Pasien dengan mati otak adalah manusia yang sudah mati, Brain death is death. Mati adalah kematian batang otak, sekalipun elektrokardiografi masih menunjukkan ritme normal (Indries, 1997). Jika semua criteria mati otak sudah terpenuhi, maka ventilator dan alat pendukung hidup lainnya dapat dilepas. Dengan begitu, dokter dan rumah sakit tidak dituntut melakukan pembunuhan. Untuk negara dengan tindakan transpalntasi yang telah berkembang pesat, diagnosis mati otak diusahakan secepat mungkin agar organ yang ada pada pasien tersebut dapat digunakan untuk keperluan transplantasi calon resepien (Jacobalis, 1997).

15

You might also like